Laiba tahu jika pemuda yang menolongnya itu berdarah dingin dan hemat bicara, tapi gadis ini tidak sadar jika dirinya sebelas dua belas dengannya. Memiliki banyak kesamaan, introvert, kesulitan bersosialisasi, hanya punya segelintir kenalan maupun teman tidak mudah percaya pada orang lain dan lebih suka mengerjakan pekerjaan sendirian jika memungkinkan.
Sebab itu Laiba memilih jurusan tata busana yang menurutnya akan sedikit berinteraksi dengan banyak orang, lagi pula bakatnya sedikit mendukung hal itu.
Hasil gambarnya tidak bisa dikatakan sangat bagus, tapi juga tidak disebut jelek. Kemampuan bisa diasah asalkan awalnya memang sudah memiliki bakat.Setelah memutuskan jurusan dan mendapatkan universitas yang diharapkan, hari ini Laiba siap terbang ke Surabaya untuk benar-benar memulainya dari awal.
"Tidak ingin melihatnya untuk terakhir kali?" Makky memulai percakapan ketika Laiba sedang mengemasi barang-barangnya yang tidak seberapa itu ke dalam koper.
"Tidak dibutuhkan," jawab Laiba tanpa mengalihkan pandangannya, meskipun Makky tidak menyebutkan nama, tapi cukup tahu siapa yang dimaksud oleh pemuda itu.
"Semoga mulut dan hatimu selaras," ujar Makky seraya tersenyum miring. Laiba hanya tersenyum mengejek mendengar pemuda itu menyindirnya.
"Sesampainya di bandara akan ada orang yang akan membawamu ke rumah yang akan kamu tinggali."
Laiba mengiyakan tanpa bersuara, berurusan dengan Makky cukup mengiyakan dan mengatakan keinginan tidak perlu banyak negosiasi semuanya akan berjalan dengan lancar.
"Makky," panggil Laiba dengan lirih, tapi pandanganya menjelaskan jika panggilannya serius dan sungguh-sungguh.
"Jangan berterima kasih sekarang. Aku merinding mendengarnya," potong Makky sebelum Laiba meneruskan ucapannya.
"Bukan, bukan itu. Aku ...." Laiba berhenti sejenak ada keraguan di kata-katanya. "Aku ingin kerja part time."
"Tidak!"
"Tapi?"
"Kamu hanya boleh fokus belajar, apa uang yang kutransfer kurang? Sebutkan jumlahnya."
"Tidak, bukan itu." Laiba menurunkan nada bicaranya, gadis ini tahu jika dirinya tidak akan menang berdebat dengan laki-laki di depannya ini. "Lagi pula semuanya tidak cuma-cuma aku juga ingin punya uangku sendiri," gerutu Laiba di dalam hati sambil cemberut.
"Tidak perlu memusingkan tentang uang, biarkan aku yang memikirkannya setelah selesai kuliah ada banyak tempat kerja dan akan aku pastikan kamu tidak akan mendapatkan libur sehari pun, jadi nikmati waktu luangmu saat ini."
"Emmm!" Pada akhirnya Laiba harus menerimanya, walau hatinya tidak senang makin ke sini Laiba merasa Makky yang dulunya seorang yang pelit bicara malah menyerupai seorang wanita tua ketika mulutnya sudah terbuka, sangat cerewet.
Makky tidak mengantarkan dirinya ke bandara, hubungan di antara mereka berdua tidak dapat disebut sebagai teman, tapi lebih dekat dari pada seorang kenalan.
Ada kalanya mereka dekat seperti keluarga, tapi ada kalanya seperti orang asing yang tidak tahu apa pun tentang pihak lain. Tidak ada perasaan emosional terhadap Makky ketika dia meninggalkan kota ini, hanya saja ada beberapa hal yang membuatnya menoleh ke masa lalu. Namun, itu hanya sebuah kenangan dan untuk Makky hanya pemuda itu yang nantinya menjadi satu-satunya orang yang masih berhubungan dengan masa lalunya.
***
"Selamat datang di kehidupan yang baru," ujar Laiba pada dirinya sendiri ketika pertama kali menginjakkan kakinya di kota Surabaya.
Semuanya berjalan dengan sangat lancar setibanya di kota tujuan berkat campur tangan sang pahlawan tuan muda Makky. Laiba sangat sadar meskipun dirinya dan Makky terpisahkan oleh benua tapi orang itu tidak akan mungkin meninggalkannya begitu saja, setiap gerak-geriknya terpantau bak di telapak tangannya. Laiba memanglah keras kepala meskipun Makky melarangnya melakukan pekerjaan part time, dengan kemampuannya tidak mungkin akan berpangku tangan.
"Kamu memang pintar, tapi aku juga tidak bodoh." Senyuman licik tercipta di bibirnya mengejek Makky yang jauh di sana.
Laiba menjadi mahasiswi yang menempatkan dirinya sebaik mungkin, karena mengingat jika saat ini dirinya tidak memiliki apa pun kecuali Makky semuanya dilakukan dengan sempurna mungkin agar dirinya segera keluar dari lingkungan universitas, terjun ke dunia nyata dan dengan percaya diri berdiri dikedua kakinya sendiri.
Waktunya hanya untuk belajar, belajar dan belajar. Menyisihkan sedikit waktunya untuk menggambar selain untuk melatih skill dan juga meluapkan inspirasinya karya-karyanya di unggah ke sebuah website dan akan mendapatkan sedikit pundi-pundi dollar jika ada yang berminat akan desainnya.
***
Tanpa terasa dua tahun berlalu begitu saja, hari ini Laiba dengan sedikit bersenandung duduk tenggelam pada iPad di tangannya. Goresan-goresan itu seperti memiliki mata sendiri menunjukkan sang pemilik sudah berlatih ribuan kali, tapi ketika desain itu hampir selesai sembilan puluh persen tiba-tiba Laiba tersadar dan melepaskan iPad di tangannya dengan kasar.
Matanya terbuka lebar dan detak jantungnya berdetak lebih kencang. "Ada apa denganku?" tanya Laiba pada dirinya sendiri sambil memandangi hasil gambarnya sendiri.
"Kenapa dia? Setelah sekian lama kenapa harus dia?" Laiba bicara dengan tidak jelas kata 'dia' merajuk pada seorang pemuda yang jauh di sana.
Laiba memiliki sebuah kebiasaan sebelum menggambar dirinya akan mencari sebuah inspirasi yang akan membuatnya mendapatkan sebuah ide untuk menggambar sebuah desain pakaian, dan kali ini entah mengapa tiba-tiba kecepatan tangannya begitu lancar setelah melihat seorang pemuda menggunakan seragam sekolah menengah atas, dengan senyumannya yang sangat indah.
Laiba tidak banyak berpikir, tapi setelah sadar baru menyadarinya jika yang ada di otaknya bukanlah pemuda yang baru dilihatnya, akan tetapi pemuda lain dari masa lalu yang telah lama tidak ditemuinya.
Tanpa pikir panjang Laiba langsung menghapus desain yang hampir rampung itu, dan memasukkan iPad ke dalam tasnya bersiap untuk pergi. Ponselnya berdering dan menunjukkan jika itu panggilan dari luar negeri.
"Kenapa panggilan video?" tanya Laiba sambil menatap layar ponselnya. Makky hampir tidak pernah melakukan panggilan video, mereka hanya berkomunikasi dengan chat, itupun dengan satu dua kata tidak lebih.
Suatu kali Makky mengirimkan sebuah paket dan Laiba berterima kasih. Pemuda itu hanya membalasnya dengan dua huruf, ok. Saat Makky ingin tahu hasil ujian Laiba pemuda itu hanya mengirim pesan.
"Bagaimana?"
Laiba pun membalas, "Lumayan."
Percakapan mereka hanya seperti itu berlangsung selama dua tahun ini, Laiba tidak akan pernah merengek meminta pemuda itu mentransfer uang bulanan karena tanpa Laiba mengatakan Makky sudah memenuhi kewajibannya.
Saat ini ketika Laiba mendapatkan panggilan video tidak langsung mengangkat karena berpikir jika pemuda itu tidak sengaja membuat panggilan, tapi setelah panggilan itu ditolak, Makky membuat panggilan selanjutnya hingga mau tidak mau Laiba menerima panggilan itu.
Panggilan terhubung menampilkan seorang pemuda yang sedang bersandar di dinding seperti di dalam toilet.
"Kenapa lama sekali menerima panggilanku?" tanya Makky langsung ketika menyadari panggilan itu terhubung.
"Dia mabuk? Pantas saja," gumam Laiba mengerti mengapa kulkas dua pintu itu menghubunginya.
Laiba mencari duduk yang nyaman untuk melayani pemuda yang ada di sebrang sana. "Ada apa?" tanya Laiba dengan tidak sabar.
"Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa menolak panggilanku?" tanya Makky sambil menunjuk ke layarnya sendiri dengan mata beratnya.
"Aku sibuk, baru saja akan pulang."
"Bagus, cepatlah pulang jangan main-main."
"Emm, ok!" Laiba mengiyakan agar cepat selesai.
"Mmh, Laiba--"
Dedalu tidak sedang membuat ekspresi wajah yang di buat-buat, laki-laki itu tulus minta maaf hanya saja semuanya sudah terlambat. Dedalu masih berusaha menunjukkan letusannya pada perempuan yang telah mati rasa padanya."Aku sangat menyesal seharusnya aku mempercayaimu bukan orang lain. Jika saja saat itu aku tidak bodoh mungkin sekarang kita sudah punya keluarga kecil dan juga putra kita ...." Dedalu berhenti bicara karena mengingat bagaimana ia bisa tahu tentang Laiba yang mengandung dari Bram yang sedang kalut saat itu ketika mengetahui kabar kecelakaan yang menewaskan Makky dan Laiba membawa Bram datang menghampiri Dedalu untuk melampiaskan semua kesedihannya. Jika bukan karena Bram yang teramat sedih Dedalu tidak akan pernah tahu apapun tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Laiba. "Aku, aku sangat menyesal. Aku sangat bodoh." Mulut laki-laki itu berantakan begitu juga dengan otaknya.Laiba tidak menyahut lagi karena kembali teringat akan Rui, putranya yang tidak sempat melih
"Apakah ada karyawan bernama Dedalu?" tanya Makky pada Nungki. "Sepertinya nama itu tidak asing, saya akan konfirmasi dulu," jawab laki-laki itu kemudian mencari informasi tentang orang yang dicari oleh atasan barunya ini. Setelah lima menit Nungki mengakhiri panggilan dan menghadap Makky. "Ada tuan." " ... " Laki-laki itu sedikit gugup menghadapi atasan barunya yang tidak membuka mulutnya. Karena dia harus bisa membaca situasi sungguh berbeda dengan atasannya yang lama yang langsung menunjukkan apa perintah dan keinginannya. Dengan mulut Makky yang masih tertutup rapat Nungky berinisiatif untuk melanjutkan bicaranya. "Dedalu bekerja di perusahaan ini 6 bulan yang lalu sebagai fotografer." "Pecat dia!" "Ha?" Nungky begitu terkejut mendengar ini. "Tapi kesalahan apa yang dia perbuat?" "Aku hanya tidak suka melihatnya." Nungky menelan ludahnya dengan susah payah sambil menatap atasannya yang berwajah dingin itu. "Perusahaan harus membayar denda untuk ini," uj
Jemputan mereka datang begitu pagi karena jarak yang begitu jauh dan tidak bisa mengebut karena kondisi Laiba, mereka berdua keluar dari rumah itu hanya membawa tubuh dan pakaian yang mereka kenakan, meskipun tidak tahu kapan mereka akan kembali namun semua hal telah disiapkan oleh Mia Sundara di kota dimana mereka akan memulai kehidupan mereka yang baru, untuk yang kesekian kalinya."Kamu siap?" tanya Makky pelan pada perempuan yang duduk di sampingnya."Ya," sahut Laiba dengan senyuman lebar tangannya di genggam erat oleh pihak lain seolah mereka sedang melangkah menuju kehidupan yang baru berbeda dari kehidupan yang mereka jalani selama ini.Mobil mewah itu membawa pasangan itu dalam perjalanan yang tidak sebentar menuju sebuah kediaman yang mewah namun tidak terlalu besar, Makky berpikir jika kediaman Mia Sundara akan lebih besar daripada kediaman orang tua angkatnya, nyatanya Mia Sundara hanya tinggal sendirian dengan kepribadiannya yang rendah hati pantaslah jika wanita itu hany
Laiba mempererat pelukannya pada pria yang berbaring di sampingnya, entah sejak kapan perempuan itu sudah tidak lagi takut pada kegelapan, mungkin karena setiap saat ketika tidur ada seseorang yang terus menemaninya hingga tidak punya kekhawatiran apapun ketika suasana yang gelap di sekelilingnya. "Kenapa belum tidur?" ucap Makky dengan suara beratnya. "Ingin ke kamar mandi?" Laiba hanya menggeleng pelan kemudian menempelkan wajahnya pada dada pihak lain, tercium aroma familiar dari pria itu jika tidak mengirup aroma ini dan menyentuh tubuhnya yang hangat mungkin Laiba akan merasa gelisah. Suara-suara serangga di luar terdengar jelas menemani malam mereka yang sunyi, karena menempel pada dada Makky perempuan itu juga mendengar dengan jelas detak jantungnya itu semua membuatnya merasa nyaman dan aman. Makky menyalakan lampu di sampingnya kemudian menopang dirinya dengan satu sikunya hingga wajahnya berada di atas perempuan itu, Makky menatap Laiba yang sedang berusaha beradaptasi de
Makky membuang puntung rokok untuk yang kesekian kalinya pandangannya tidak lepas dari dua perempuan yang telah bicara cukup lama, laki-laki yang berdiri di sampingnya juga tidak berani membuka mulutnya lagi melihat bagaimana wajah Makky yang suram seperti gerhana. Meskipun wanita itu bisa mendatangi Laiba karena seijinnya namun tetap saja ada perasaan tidak rela juga cemburu melihat orang lain berinteraksi begitu dekat dengan wanitanya.Makky terus memantau dua wanita yang terus bicara itu salah satu dari mereka menoleh ke arahnya membuat Makky dengan cepat menyembunyikan rokoknya yang membuat laki-laki di sampingnya mengangkat alisnya akan tindakan itu, ternyata seekor serigala yang terkenal tidak bisa ditaklukan ternyata masih akan tunduk pada pasangannya. Perempuan itu tersenyum pada Makky kemudian dibalasnya dengan senyuman yang indah hingga laki-laki yang disamping Makky terkejut melihat pemandangan ini. "Ternyata dia bisa tersenyum juga," ujarnya dalam hati karena telah mengen
Cuaca hari ini lebih hangat, Makky berani membawa Laiba keluar rumah duduk di halaman. Halaman itu didominasi banyak pasir dan bebatuan karena bunga batu hidup menyukai media tanam seperti itu. Makky mengambil alas yang mereka gunakan untuk duduk di atas tanah duduk diantara bunga-bunga yang ditanamnya sendiri dengan pemandangan gunung yang indah. Laiba sedang belajar menulis diantara kaki pria itu, hingga pihak lain bisa memeluknya dari belakang dengan selimut yang masih menghangatkan tubuh mereka. Makky tidak melakukan apapun hanya memperhatikan tangan yang masih kaku itu kembali memulihkan kemampuannya menulis dan sesekali mencium rambut perempuan itu. "Cukup untuk hari ini," ujar Makky sambil meraih buku dari tangan Laiba. "Semakin hari tulisanmu sudah bisa lebih rapi." Perempuan itu hanya tersenyum tipis mendengar setiap pujian Makky, Laiba yang lelah menempelkan punggungnya pada dada pihak lain dan pria itu menyambutnya dengan pelukan hangat. "Aku punya sebuah cerita," ujar