Share

3. Melarikan diri dari masalah

“Zaara … ini tak seperti apa yang kamu lihat,” seru Ray panik. Dia langsung mendorong gadis itu hingga terjatuh karena reflek dan langsung menyambar celana boxer untuk segera dipakai olehnya. 

Rupanya Zaara memergoki Ray yang tengah bercinta dengan sekretaris pribadinya. 

Ray merasa heran kenapa pandangan Zaara tak fokus padanya. Lalu mengapa Zaara membawa tongkat?

“Ray, kamu jahat banget. Brengsek kamu Ray! Siapa gadis yang sekarang bersamamu?” cecar Zaara pada Ray yang masih kaget atas kedatangannya.

“Ray, aku ke sini hanya ingin mengadu padamu kalau aku sekarang buta Ray. Aku kecelakaan. Tapi apa yang aku temukan saat ini Ray. Kamu jahat sekali …” 

Zaara melepas tongkatnya lalu berjalan ke arah Ray dan memukul-mukul dada bidang Ray. 

“Zaara … apa kamu bisa melihatku?” 

Ray mencoba mengetes Zaara dengan melambaikan tangannya ke depan wajahnya. Lalu seringai tipis mencuat di wajahnya. 

“Kamu hanya mendengar film dewasa barusan Zaara. Kamu bahkan tidak melihat apa yang aku kerjakan saat ini. Ya, ini memang terdengar konyol tetapi gara-gara kamu tak bisa memenuhi keinginanku jadi aku begini. Aku selalu berfantasi tentang kita,” 

Ray terkekeh tanpa dosa. “Aku sudah matikan filmnya,” 

Dengan mengibaskan tangannya, Ray memberi kode pada sekretaris pribadinya untuk keluar kamarnya.

Tentu, sekretaris itu mengikuti perintah Ray setelah memberikan kecupan jarak jauh pada Ray. Secepat kilat dia memakai dress seksinya dengan menjinjing stileto merah, berjalan mengendap-endap bagai maling yang ketahuan sedang merampok. 

Plak! 

Tanpa diduga seorang lelaki dewasa masuk, berjalan di belakang Zaara dan langsung mengayunkan tangannya tepat pada wajah Ray dengan keras hingga membuat sudut bibir Ray meneteskan darah. Jemari lelaki dewasa itu sampai berdenyut sebab tamparannya cukup keras disertai emosi. 

Baik Zaara maupun Ray terlonjak kaget. 

“Papa!” seru Ray mendapati sang ayah yang baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya. Dia memegangi pipinya yang kebas dan terasa sakit. 

“Dasar anak tidak tahu diri, tega-teganya kamu melakukan hal menjijikan di rumah ini! Kamu tega berbuat dosa di rumah yang kubangun dengan jerih payah! Kamu juga tega melukai seorang gadis yang sudah kamu lamar. Di mana nurani dan perasaanmu?” sembur ayahanda Ray dengan meluap-luap. 

Mendengar pertengkaran hebat yang terjadi di antara ayah dan anak itu membuat Zaara sedih.

Zaara Nadira memilih keluar dari rumah itu tanpa sepengetahuan mereka. Ray dan ayahnya tengah beradu mulut. Zaara memilih pulang ke rumah pamannya ditemani supir tadi yang menunggunya. Di dalam mobil tua yang sudah sakit-sakitan itu Zaara Nadira tak henti-hentinya menangis. 

‘Apa salahku ya Allah? Aku dihukum seperti ini,’ batin Zaara. 

Keping demi keping peristiwa pun muncul. Dulu Zaara seorang anak yang manja dan arogan sebab anak tunggal. Dia tidak hanya seorang pelukis muda yang berbakat tetapi dia seorang gadis cantik yang dibesarkan penuh kasih sayang dan semua keinginannya selalu dikabulkan. Mungkin Tuhan mengambil semua yang dia miliki untuk menyadarkannya tentang arti hidup sesungguhnya. 

“Mbak Zaara, sudah jangan nangis dong! Ada baiknya Allah perlihatkan itu cowok sekarang ketahuan belangnya. Jika sudah nikah belangnya baru ketahuan ‘kan berabe lah cerai lah …” ucap supir itu menoleh pada Zaara yang masih terisak di kursi belakang. Zaara tak menyahut. Dia benar-benar merasa frustrasi. Dia mengira jika kekasihnya akan setia. Bukankah mereka sudah merencanakan waktu pernikahan? Ternyata, semua itu hanyalah angan semata. Mimpi belaka.

Setiba di rumah pamannya, Zaara langsung pergi ke kamarnya dan mengurung diri lagi hingga dia mendengar pertengkaran yang terjadi di antara Alfian dan Eva karena dirinya. Dia sudah tidak tahan mendengar percekcokan yang terjadi pada mereka. Otaknya hampir meledak. 

Diam-diam, saat malam beranjak dan semua orang terdampar di alam mimpi, Zaara Nadira memutuskan untuk keluar dari rumah mereka. Dia keluar malam hari tanpa arah dan tujuan yang jelas. Dia menyusuri sepanjang jalan kota hujan yang telah menghujaninya dengan banyak kisah. Tibalah dia di sebuah jembatan merah, jembatan yang konon terkenal karena aroma mistis di dalamnya. Ada banyak pemuda atau pemudi mengakhiri hidupnya di jembatan anker itu. 

Zaara sudah berada di tepi jembatan itu. Hujan turun dengan begitu derasnya disertai guntur dan halilintar bersahutan, menambah suasana semakin mencekam. Namun baginya tak ada lagi yang lebih mencekam selain penderitaannya yang datang bertubi-tubi. Sebuah bisikan terdengar dalam otaknya untuk mengakhiri segala penderitaannya. 

“Melompatlah! Kamu tidak akan bersedih hati lagi! Kamu akan bertemu dengan Papa dan Mama,”

Begitulah yang terdengar oleh Zaara dalam batinnya yang tipis iman.

Tekadnya sudah bulat simetris, dia akan meloncat dari jembatan itu, mengakhiri segalanya.

Satu menit, dua menit, tiga menit 

Dengan langkah ringan, Zaara menyeret kakinya dan menyunggingkan senyum pahit lalu dia melempar tongkat yang selama ini menemani kesehariannya ke sembarang arah. Dia menengadah dengan merentangkan ke dua tangannya. 

Tanpa ragu Zaara meloncat dari jembatan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status