“Zaara … ini tak seperti apa yang kamu lihat,” seru Ray panik. Dia langsung mendorong gadis itu hingga terjatuh karena reflek dan langsung menyambar celana boxer untuk segera dipakai olehnya.
Rupanya Zaara memergoki Ray yang tengah bercinta dengan sekretaris pribadinya.
Ray merasa heran kenapa pandangan Zaara tak fokus padanya. Lalu mengapa Zaara membawa tongkat?
“Ray, kamu jahat banget. Brengsek kamu Ray! Siapa gadis yang sekarang bersamamu?” cecar Zaara pada Ray yang masih kaget atas kedatangannya.
“Ray, aku ke sini hanya ingin mengadu padamu kalau aku sekarang buta Ray. Aku kecelakaan. Tapi apa yang aku temukan saat ini Ray. Kamu jahat sekali …”
Zaara melepas tongkatnya lalu berjalan ke arah Ray dan memukul-mukul dada bidang Ray.
“Zaara … apa kamu bisa melihatku?”
Ray mencoba mengetes Zaara dengan melambaikan tangannya ke depan wajahnya. Lalu seringai tipis mencuat di wajahnya.
“Kamu hanya mendengar film dewasa barusan Zaara. Kamu bahkan tidak melihat apa yang aku kerjakan saat ini. Ya, ini memang terdengar konyol tetapi gara-gara kamu tak bisa memenuhi keinginanku jadi aku begini. Aku selalu berfantasi tentang kita,”
Ray terkekeh tanpa dosa. “Aku sudah matikan filmnya,”
Dengan mengibaskan tangannya, Ray memberi kode pada sekretaris pribadinya untuk keluar kamarnya.
Tentu, sekretaris itu mengikuti perintah Ray setelah memberikan kecupan jarak jauh pada Ray. Secepat kilat dia memakai dress seksinya dengan menjinjing stileto merah, berjalan mengendap-endap bagai maling yang ketahuan sedang merampok.
Plak!
Tanpa diduga seorang lelaki dewasa masuk, berjalan di belakang Zaara dan langsung mengayunkan tangannya tepat pada wajah Ray dengan keras hingga membuat sudut bibir Ray meneteskan darah. Jemari lelaki dewasa itu sampai berdenyut sebab tamparannya cukup keras disertai emosi.
Baik Zaara maupun Ray terlonjak kaget.
“Papa!” seru Ray mendapati sang ayah yang baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya. Dia memegangi pipinya yang kebas dan terasa sakit.
“Dasar anak tidak tahu diri, tega-teganya kamu melakukan hal menjijikan di rumah ini! Kamu tega berbuat dosa di rumah yang kubangun dengan jerih payah! Kamu juga tega melukai seorang gadis yang sudah kamu lamar. Di mana nurani dan perasaanmu?” sembur ayahanda Ray dengan meluap-luap.
Mendengar pertengkaran hebat yang terjadi di antara ayah dan anak itu membuat Zaara sedih.
Zaara Nadira memilih keluar dari rumah itu tanpa sepengetahuan mereka. Ray dan ayahnya tengah beradu mulut. Zaara memilih pulang ke rumah pamannya ditemani supir tadi yang menunggunya. Di dalam mobil tua yang sudah sakit-sakitan itu Zaara Nadira tak henti-hentinya menangis.
‘Apa salahku ya Allah? Aku dihukum seperti ini,’ batin Zaara.
Keping demi keping peristiwa pun muncul. Dulu Zaara seorang anak yang manja dan arogan sebab anak tunggal. Dia tidak hanya seorang pelukis muda yang berbakat tetapi dia seorang gadis cantik yang dibesarkan penuh kasih sayang dan semua keinginannya selalu dikabulkan. Mungkin Tuhan mengambil semua yang dia miliki untuk menyadarkannya tentang arti hidup sesungguhnya.
“Mbak Zaara, sudah jangan nangis dong! Ada baiknya Allah perlihatkan itu cowok sekarang ketahuan belangnya. Jika sudah nikah belangnya baru ketahuan ‘kan berabe lah cerai lah …” ucap supir itu menoleh pada Zaara yang masih terisak di kursi belakang. Zaara tak menyahut. Dia benar-benar merasa frustrasi. Dia mengira jika kekasihnya akan setia. Bukankah mereka sudah merencanakan waktu pernikahan? Ternyata, semua itu hanyalah angan semata. Mimpi belaka.
Setiba di rumah pamannya, Zaara langsung pergi ke kamarnya dan mengurung diri lagi hingga dia mendengar pertengkaran yang terjadi di antara Alfian dan Eva karena dirinya. Dia sudah tidak tahan mendengar percekcokan yang terjadi pada mereka. Otaknya hampir meledak.
Diam-diam, saat malam beranjak dan semua orang terdampar di alam mimpi, Zaara Nadira memutuskan untuk keluar dari rumah mereka. Dia keluar malam hari tanpa arah dan tujuan yang jelas. Dia menyusuri sepanjang jalan kota hujan yang telah menghujaninya dengan banyak kisah. Tibalah dia di sebuah jembatan merah, jembatan yang konon terkenal karena aroma mistis di dalamnya. Ada banyak pemuda atau pemudi mengakhiri hidupnya di jembatan anker itu.
Zaara sudah berada di tepi jembatan itu. Hujan turun dengan begitu derasnya disertai guntur dan halilintar bersahutan, menambah suasana semakin mencekam. Namun baginya tak ada lagi yang lebih mencekam selain penderitaannya yang datang bertubi-tubi. Sebuah bisikan terdengar dalam otaknya untuk mengakhiri segala penderitaannya.
“Melompatlah! Kamu tidak akan bersedih hati lagi! Kamu akan bertemu dengan Papa dan Mama,”
Begitulah yang terdengar oleh Zaara dalam batinnya yang tipis iman.
Tekadnya sudah bulat simetris, dia akan meloncat dari jembatan itu, mengakhiri segalanya.
Satu menit, dua menit, tiga menit
Dengan langkah ringan, Zaara menyeret kakinya dan menyunggingkan senyum pahit lalu dia melempar tongkat yang selama ini menemani kesehariannya ke sembarang arah. Dia menengadah dengan merentangkan ke dua tangannya.
Tanpa ragu Zaara meloncat dari jembatan itu.
Tanpa ragu Zaara meloncat dari jembatan itu tetapi seseorang menahannya, berusaha menyelamatkannya. Hap! Sepasang tangan kekar menahannya. “Jangan! Aku ingin mati saja,” pekik Zaara dalam isak yang begitu keras. Namun kerasnya suara isak tangis tentu tak terdengar karena hujan begitu lebat. Air matanya meruah, mengaliri pipinya menyatu dengan tetesan hujan. Lelaki itu tidak berbicara satu patah kata pun. Dia menarik Zaara ke atas. Karena kedinginan Zaara Nadira pingsan. Lelaki tua itu membawanya ke rumah. Di sana lah awal mula kehidupan Zaara pasca mengalami kebutaan. ****Setahun kemudian ***** “Di mana Ibu?” tanya Zaara dengan menyunggingkan senyum hangatnya yang sempat terkubur lama. “Ibu sedang memasak bubur,” jawab lelaki tua bersurai keperak-perakan. Dia meraih gagang cangkir untuk meneguk teh tawar yang baru dibuat sang istri. “Bapak, aku sudah tahu, aku bisa menghirup aroma bubur dari sini. Aku bisa menajamkan indera penciuman dan pendengaranku sekarang,” sahut Z
Dengan berjalan sedikit tersaruk-saruk Zaara mencari sumber suara seorang lelaki yang tengah meringis kesakitan. “Aa … tolong!” serunya lagi. Dia merintih kesakitan. Saking kesakitan dan mengeluarkan banyak darah dia mengalami pusing luar biasa sehingga membuat netranya kabur, tak bisa melihat jelas penampakkan Zaara yang berjalan ke arahnya. Dengan nafas yang tersengal-sengal dia memilih menunduk untuk menghindari banyak pergerakan. Sepertinya ujung pisau itu masih menancap di bagian entah mana perutnya. Atau mungkin pisau itu kotor saat melukai perutnya hingga menyebabkannya infeksi dan pendarahan. Zaara menurunkan bobot tubuhnya, setengah berjongkok sebab merasa ada orang yang terluka dan membutuhkan pertolongannya di bawah, di jalan yang dia lewati. Tepat ujung kakinya yang tertutup pump shoes menyentuh kakinya yang setengah ditekuk. “Apa kamu terluka?” tanya Zaara dengan suara yang terpantul merdu. Merdu yang tak dibuat-buat sebab suaranya terlahir begitu. Lelaki itu terseny
Perlahan secercah cahaya tampak berpendar melalui retina matanya. Entah mengapa hanya sekedar membuka mata dia seolah mengeluarkan energi besar. Alasannya karena pengaruh obat bius seusai operasi. Lampu LED dengan intensitas rendah masih saja tampak menyilaukan sehingga membuat matanya kembali ingin tenggelam sebelum suara dengungan dari wanita yang duduk di sampingnya terdengar. Lelaki itu berpura-pura tidur kembali, tak sudi mendengar ceramah ibunya saat itu. Apalagi dalam kondisi tubuhnya yang remuk redam dan perut terasa dililit ular piton. “Bangun! Pura-pura tidur!” cibir sang ibu bahkan tanpa menatap lawan bicaranya. Dia seolah memiliki indera keenam untuk mengetahui gelagat anaknya yang menyebalkan. Dia tengah melakukan video call dengan teman sosialitanya. “Di mana gadis itu Mom?”Lelaki itu berusaha bangun dan duduk dengan kasar. “Haikal, diam dulu! Jangan banyak gerak, kamu baru habis dioperasi.”Ibunya berkomentar dan langsung membantunya kembali tidur.“Mom, mana gadis
Zaara pasrah tidak bisa membesuk pemuda yang ditolongnya. Hanya mendengar kabar baik bahwa keluarganya sudah datang setidaknya membuat Zaara merasa lega. Apalagi mendengar pemuda itu sudah ditangani dan operasinya berjalan lancar. Dia sudah tidak memiliki urusan ataupun kepentingan dengan pemuda itu.Namun tatkala kaki jenjangnya mengayun di langkah ke empat, Zaara teringat sesuatu. Dia sudah kadung membawa sebuket bunga untuk pemuda tersebut. Oleh karena itu, Zaara memutuskan kembali menyambangi resepsionis tadi untuk menitipkan bunga tersebut sebagai penyemangat.“Ada apa lagi Mbak?” tanya resepsionis lelaki dengan ketus.“Ah, aku lupa, aku hanya ingin memberinya bunga. Bisakah Mbak eh Mas memberikan ini!”Zaara menyodorkan sebuket bunga mawar putih yang masih segar. Aromanya bisa terhidu langsung, segar dan membuat semangat yang melihatnya.“Baiklah, ada lagi? Um, ada lagi yang mau disampaikan?”“Enggak cukup, Mas. Oh, ya, sampaikan saja, semoga cepat sembuh,”Lagi, Zaara tidak men
Sementara itu Zaara marah dan merutuki dirinya sendiri saat dia mengingat pemuda yang dia tolong. Dia begitu mengkhawatirkannya tetapi pemuda tersebut malah menghina fisiknya yang difabel. Dia merasa harga dirinya jatuh sejatuhnya sebab diinjak-injak oleh lelaki tersebut.“Lelaki sialan! Pemuda brengsek! Aku kira pemuda jalanan yang berambut gondrong hatinya baik. Um, cuma penampilannya saja yang urakan. Ternyata sama saja!Semua lelaki yang mengaku punya banyak uang mau dia berpenampilan gaul atau rapi metroseksual kayak si Ray sama saja! Lelaki brengsek!”Zaara tak henti-hentinya merutuk. Lalu dia duduk di sebuah bangku kosong dekat gerobak bakso untuk istirahat.“Neng mau makan bakso?” tanya tukang bakso yang memang sudah mengenal Zaara sejak kedatangannya ke rumah Hamid dan Fatimah. Zaara dikenalkan oleh mereka sebagai anak angkatnya pada semua orang.“Iya, Mang! Bakso dengan level terpedas,” jawab Zaara dengan sedikit ketus. Dia memijit pangkal hidungnya berkali-kali. Lalu merang
Di sebuah mansion mewah berkonsep klasik-kontemporer, para pelayan cantik yang mengenakan seragam khusus menyambut kedatangan majikan mereka. Seorang butler langsung menyambut Elia Mariyam dan membawakan barang bawaannya sedangkan pelayan yang lain langsung meraih jaket wol yang dikenakan olehnya dan langsung menaruhnya dengan menggantungnya pada gantungan besi etnik.Pelayan yang lain juga segera menyambut kedatangan tuan majikannya yang tak lain Haikal sang putra semata wayang yang berjalan di belakang sang ibu. Beberapa pelayan muda seringkali berlomba agar bisa bertemu, bercengkerama dan melayani tuan muda mereka yang terlihat sangat tampan berwajah khas timur tengah. Namun Haikal tidak suka diperlakuan semacam itu.Apalagi rambut Haikal yang gondrong sedikit ikal tampak menampakkan sisi maskulin seorang lelaki macho, membuat para gadis menjerit melihatnya. Padahal Haikal tak pernah berniat menggoda para hawa dengan penampilannya yang paripurna, terkesan cowok badboy dengan setela
Haikal terlihat menarik nafas dalam.“Ya …” ucap Haikal singkat.Elia dan Edi saling menoleh kaget melihat respon Haikal. Tak percaya, Elia masih merekam memori beberapa tahun silam saat Haikal ditawari mengurus perusahaan tetapi Haikal memilih meninggalkan rumah dan berbuat sesuka hati.Haikal lantas meninggalkan meja makan tanpa suara. Dia langsung keluar mansion dan menyisir kendaraan miliknya, sebuah motor ninja yang sudah dimodifikasi. Dia pergi mengunjungi kekasihnya yang sedang marah saat ini.Di depan sebuah kantor agency model, Haikal menyesap sebatang rokok seraya menunggu kekasihnya keluar. Dia ingin memberi kejutan padanya. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Lalu Haikal memutuskan masuk ke kantor tersebut.Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Apa yang dilakukan seorang badboy rupawan di kantor tersebut?“Siapa dia?” tanya salah satu model.“Dia … bukankah dia Haikal Mahardika? Anak pengusaha tambang itu loh,”“Serius?”“Mau ngapain di sini?”Begitulah perca
Zaara dicegat oleh dua orang pemuda asing.“Apa mau kalian?” pekik Zaara panik saat menyadari kehadiran mereka.“Kamu sudah berbuat tak sopan pada ibu kami. Kamu siapa? Um, dasar gadis buta. Dengar, ibu kami warga sini sedangkan kamu hanya orang asing. Kamu jangan sok-sokan ngatur warga sini? Berani main labrak,”Salah satu pemuda itu menarik tongkat yang dipegang Zaara hingga membuat Zaara kaget.“Hei, jangan kurang ajar!”“Bagaimana Bang, kita lihat apa gadis itu bisa berjalan tanpa tongkat? Kasihan, gadis cantik tapi …”“Buta dan yatim piatu,”“Benar Bang, malang kali nasibnya,”“Diam? Atau ..”“Atau apa?” salah satu pemuda itu menjawil dagu Zaara.“Jangan kurang ajar? Atau aku akan berteriak?””“Teriak saja, memang kami takut,”“Sialan,”Zaara tidak tinggal diam, dia melepas salah satu sepatunya lalu menudingkan ke arah pemuda tadi lalu memukul-mukul asal ke berbagai arah yang akhirnya salah satu wajah pemuda itu tertimpuk cukup keras mengenai pangkal hidungnya.Lalu terdengar Zaa