Mohon maaf teman-teman. Hari ini satu bab saja ya. Emak lagi pusing dan mual 😭🙏
Bab 40) Perkara Amplop "Ustadzah Hanum...." Hanum menyalami ibu Murni yang menyambut kedatangannya di teras rumah, lalu mencium punggung tangan perempuan setengah tua itu. "Silahkan masuk, Ustadzah, Bu Ismah," ajaknya seraya menggandeng tangan Hanum masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan para wanita berkerudung. "Loh, ini ada acara apa, Bu Murni?" tanya Ismah. Dia kaget tatkala melihat sebuah bantal di letakkan di depan menghadap kerumunan ibu-ibu. "Memang ada sedikit tambahan acara, Bu. Hari ini yasinan dan pembacaan manaqib Sayyidah Khadijah Al Kubra. Kebetulan saya ada nazar. Ustadzah Hanum yang mengisi acaranya," jawabnya. "Hanum?" Langkah Ismah seketika tertahan. Dia menatap Hanum yang tersenyum samar balas menatapnya, tetapi hanya sekilas. Hanum kembali meneruskan langkah menuju depan dan duduk di tempat yang sudah disediakan di samping bunda Nia. "Bunda saja yang memimpin membaca surah Yasin. Aku kebagian membaca manaqib saja ya," tawar Hanum saat perempuan tua
Bab 41) Tak Ada Kebencian Abadi "Bagaimana tadi acaranya, Sayang?" sapa Fahri saat sang istri mendekat. "Menyenangkan, tentu saja," sahut Hanum sembari merengkuh tangan kokoh itu, menciumnya dengan takzim. "Aku hanya merasa sedikit gugup dan aku berharap ini akan menjadi hal yang pertama dan terakhir. Aku tidak berbakat menjadi Ustadzah, Kak." Hanum tersenyum kecut. "Kita lihat saja nanti, Sayang. Jikalau nanti ada undangan lagi, masih bersedia, kan?" rayu Fahri. Dia menarik tubuh itu, mendudukkan di pangkuannya, walaupun saat ini ia tengah duduk di atas sajadah. "Aku tidak tahu, Kak. Yang jelas aku lebih suka berdagang, ketimbang mengajar." Hanum mencoba tertawa, apalagi saat mengingat kejadian di dapur, dimana ibu mertua dan adik iparnya barusan berebut amplop dan nasi berkat. "Posisi kita hanya sekedar membantu mengabulkan keinginan orang lain, bukan murni keinginan dari kita sendiri," balas Fahri tak mau kalah. Dia menarik jilbab yang dikenakan istrinya, kemudian mencium he
bab 42) Morning sickness?Fahri memekik keras seraya menghambur masuk ke dalam tanpa sempat menutup pintu kamarnya terlebih dulu. Sepasang tangannya seketika terjulur meraih tubuh istrinya yang ambruk di dekat pembaringan. Dia menggendong wanita itu, membaringkannya di atas kasur."Kamu kenapa, Sayang? Kamu sedang sakit?" Lagi-lagi ia terkejut melihat wajah Hanum yang pucat pasi."Mual sekali perutku, Kak." jawabnya lemah. Hanum memejamkan mata. Namun perutnya terus bergejolak. Sebelah tangannya mengusap perutnya di bagian atas, memijatnya perlahan, kemudian mengetuknya. Fahri memberikan minyak angin kepada istrinya."Apa perlu kita periksa ke seberang?" Suara laki-laki itu terdengar cemas. Seberang yang dimaksud olah Fahri adalah sebuah puskesmas, satu-satunya fasilitas kesehatan di kecamatan ini yang lokasinya berada tepat di seberang sungai."Mungkin hanya masuk angin biasa, Kak. Semoga segera mendingan," sahut Hanum. Gerakan tangannya lemah, mendekatkan botol minyak angin ke hidun
Bab 43) Kehidupan KecilWanita muda itu mulai mengingat-ingat kapan terakhir kali ia haid. Benar, ia sudah terlambat lebih dari satu bulan. Hanum tersenyum senang. Ada secerah harapan di hatinya. Dia kembali mengelus perutnya. Ah, mungkinkah ada kehidupan kecil di dalam rahimnya kini?Tak ingin terus diliputi berbagai pertanyaan dan prasangka, Hanum berdiri dan dengan langkah tertatih ia menuju lemarinya. Wanita itu mengambil sebuah tespek yang sebenarnya sudah ia sediakan sejak beberapa bulan yang lalu, sebagai persediaan seandainya ia terlambat kedatangan tamu bulanannya. Namun agaknya karena kesibukannya selama ini, membuat Hanum tak menyadari jika ia sudah terlambat datang bulan. Hanum melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi dan menampung air seninya. Dia mencelupkan benda itu sebentar."Garis dua!" Hanum nyaris memekik saking bahagianya. Wanita itu segera keluar dari kamar mandi, kemudian melangkah menuju pintu, keluar dari kamar sembari tetap memegang benda kecil berukuran se
Bab 44) Kunjungan Mbak FatmaHari masih pagi. Setelah membereskan bekas sarapan orang seisi rumah, Hanum segera mencuci pakaian. Pakaian yang dicucinya kali ini cukup banyak. Padahal di rumah ibu mertuanya ini tidak ada mesin cuci, sehingga Hanum benar-benar harus mencuci dengan tangannya sendiri.Keringat membasahi wajahnya saat wanita itu membawa baskom besar berisi penuh pakaian yang sudah selesai dicuci ke halaman menuju tempat penjemuran pakaian."Loh Mbak Hanum, kok bawa cucian sebanyak itu? Berat lo, Mbak," tegur seorang wanita diiringi dengan sebuah motor yang masuk dan berhenti di halaman rumah, tak berapa jauh dari tempat Hanum berdiri sekarang.Dia wanita yang sudah Hanum tunggu kedatangannya. Fatma, seorang bidan yang merupakan istri dari sahabat Fahri.Hanum mempercayakan urusan kehamilannya dengan Fatma, karena Hanum tidak kuat jika harus antri lama di puskesmas."Tidak apa-apa, Mbak Fatma. Saya kuat kok. Tuh, kan tidak apa-apa." Hanum meletakkan baskom besar berisi cuci
Bab 45) Minum Susu"Tolong jangan membuat masalah lagi denganku, Ma...."Dadanya turun naik. Ditatapnya Ismah dan Zainab bergantian. Dua orang wanita yang selalu saja memojokkannya. Apa yang dia lakukan tidak pernah benar di mata Ismah dan Zainab."Coba Mama ingat-ingat, apakah pernah selama ini aku merugikan Mama? Apakah aku pernah meminta uang Mama? Kalaupun Kak Fahri memberi uang kepadaku, itu memang seharusnya aku terima, karena aku adalah istrinya yang memiliki hak mendapatkan nafkah.""Kamu akan tetap mendapatkan nafkah dari suamimu melalui Mama, seandainya kamu memberikan uang yang diberikan oleh Fahri itu," sela Ismah. Wanita itu masih saja mengungkit-ungkit uang 12 juta tempo hari yang diberikan Fahri kepada Hanum.Hanum hanya tersenyum tipis. Fix, wanita tua ini benar-benar memang tidak bisa diberi hati. Setiap hari Mila selalu minta uang saku kepadanya, bahkan Ismah pun selalu minta uang ketika ia pulang dari berjualan. Apakah itu masih belum cukup?"Keluarga ini tidak bisa
Bab 46) Kamu Ingin Makan Apa, Sayang? Hanum tertegun sejenak saat kembali ke dapur. Keadaan tempat itu masih sama seperti saat ia tinggalkan berjam-jam yang lalu. Rupanya ibu mertuanya juga tidak membersihkan sisa pecahan gelas di lantai, padahal itu di sebabkan karena ulahnya. Namun Hanum tidak peduli. Dia pun tidak berniat untuk membersihkan area itu. Biarlah nanti saat suaminya datang, lelaki itu tahu kejadian apa yang menimpanya barusan. Hanum juga ingin tahu seperti apa reaksi suaminya. Apa hak Ismah melarangnya mendatangkan bidan Fatma ke rumah ini? Bukankah seharusnya ia memberikan yang terbaik untuk dirinya dan calon buah hatinya? Toh, ia membayar bidan Fatma dengan uang sendiri, bukan uang suami apalagi uang mertua! Hanum sama sekali tidak numpang di rumah ini. Dia hidup tidak merugikan siapapun, bahkan semua keperluannya menggunakan uangnya sendiri. Apa hak orang-orang rumah ini menekannya, memaksanya untuk bergaya hidup seperti yang mereka inginkan? Dia punya standar s
Bab 47) Jatah NafkahHanum menolak segala jenis masakan bersantan, padahal masakan bersantan adalah favorit orang serumah. Bahkan sering tidak mau makan nasi, karena tak tahan mencium aroma nasi hangat."Makanan yang kira-kira nggak bikin perut mual dong." Hanum tertawa kecil. "Kakak nggak usah khawatir. Nanti aku makan kok," ujar Hanum seraya menunjuk bungkusan kresek yang tergantung di paku. "Sementara aku makan roti dulu ya.""Duh, roti lagi," keluh Fahri prihatin. Lelaki itu beranjak mengambil bungkusan roti. Dia mengeluarkan selembar roti tawar dan sebotol selai nenas."Yang penting makan, Kak. Baru setelah ini makan obat dan vitamin dari Mbak Fatma.""Ohh... Jadi tadi Mbak Fatma udah kemari?" tanya Fahri."Iya. Tuh, sekalian dia juga bawa itu," tunjuk Hanum pada empat dus susu ibu hamil berukuran 400 gram yang salah satu dusnya sudah ia buka."Baguslah. Terus, apa kata mbak Fatma?" "Katanya janinnya sehat dan kuat. Nggak ada yang perlu di khawatirkan," jawab Hanum."Syukurlah.