Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 1) Ikan Goreng Setengah Matang"Ya ampun, Hanum! Menggoreng ikan baru setengah matang kayak gitu sudah kamu angkat dari penggorengan? Kamu bisa menggoreng ikan nggak sih?" teriak Ismah, ibu mertua Hanum. Perempuan tua itu terbelalak melihat potongan ikan berwarna kuning keemasan sudah berada piring saji berukuran besar."Setengah matang?" Hanum mengerutkan kening. "Ini sudah matang, Ma. Lihatlah warnanya yang kuning keemasan.""Ini baru setengah matang, Hanum...." Suara Ismah masih tinggi. "Kalau ikan yang sudah matang itu berwarna coklat. Di sini kami terbiasa makan ikan yang digoreng kering sehingga bisa dimakan seperti kerupuk kriuk-kriuk gitu."Mata tajam Ismah seolah menguliti Hanum hidup-hidup, membuat nyalinya langsung menciut."Oh, maaf, Ma. Ya sudah, kalau begitu aku goreng ulang saja ikannya," lirihnya. Hanum bermaksud mengambil kembali ikan-ikan yang sudah berada di atas piring saji. Namun secepat kilat, Ismah merebut piring itu dan membawanya menjauh dari hadapan Hanum
Bab 2) Jatah NafkahFahri seketika bungkam. Lelaki berusia 33 tahun itu terlihat salah tingkah. Sikap yang mengundang kecurigaan di hati Ismah."Mana uangnya, Fahri? Jangan kamu pikir Mama tidak tahu kalau kamu baru saja jual gabah. Tuh lihat, gudang di depan rumah sudah kosong. Isinya hanya tinggal beberapa karung!" Ismah tersenyum menyeringai, menatap Hanum yang terlihat merah padam.Keduanya sesaat berpandangan. Fahri menggenggam tangan Hanum dan istrinya itu hanya mengangguk."Sebentar ya, Ma. Aku ke kamar dulu mengambil uangnya," ujar lelaki itu akhirnya berdiri, melenggang pergi dari dapur."Ya, Mama tunggu di ruang tamu," sahut Ismah sumringah. Dia membayangkan sebentar lagi akan memegang uang banyak, hasil penjualan gabah milik Fahri untuk tahun ini.Setelah menaruh sisa makanan di lemari penyimpanan, perempuan tua itu menarik tangan Hanum demi mengikutinya ke ruang tamu. Namun Hanum melepaskan tangannya, saat ia sampai di depan pintu kamarnya."Aku ke kamar dulu, Ma," ujar Ha
Bab 3) Surga Untuk Anak-anakkuHanum mengangguk, tak bisa menyembunyikan rasa heran. Hanya karena ucapan Fahri barusan, Ismah terlihat layaknya orang kebakaran jenggot. Apa salahnya jika sepasang suami istri baru berniat untuk membangun rumah dan hidup mandiri? Bukankah sudah seharusnya begitu?Hanum memandang suaminya, tapi sang suami hanya mengulurkan tangan, menggenggam tangannya erat."Untuk apa kalian membangun rumah? Rumah ini cukup besar dan penghuninya hanya ada Mama dan Mila selain kalian." Perempuan itu terlihat shock. Tak pernah terpikir di benaknya jika Fahri, putra kesayangannya ini akan tinggal terpisah darinya."Tidak apa-apa, Ma. Bukankah sudah seharusnya setiap orang yang berumah tangga itu harus mempunyai rumah sendiri?" ujar Hanum hati-hati."Benar, Ma," timpal Fahri."Fahri, kamu mau meninggalkan Mama ya?" bentak Ismah."Meninggalkan Mama?" Hanum tergagap. Mereka tidak pernah membahas soal itu. Mereka hanya berencana akan membangun rumah di atas sebidang tanah yang
Bab 4) Sarapan Pagi"Lihat nih, menantu kesayangan Mama! Sudah bangun terlambat, ujung-ujungnya aku juga yang harus mencuci semua peralatan kotor di dapur. Dasar pemalas!" cerca Mila."Apakah benar yang dikatakan oleh Mila itu, Hanum?" Ismah menatap tajam perempuan itu."Maaf, Ma. Aku bangun agak terlambat, jadi....""Jadi kamu membiarkan Mila mencuci semua perabotan kotor di dapur ini, begitu? Sudah numpang, pemalas pula!" Tangan Ismah melayang, mencubit keras lengan Hanum."Menyesal aku mengabulkan permintaan Fahri untuk memperistrimu. Rugi aku sudah mengeluarkan mahar yang mahal untukmu kalau ternyata kamu sama sekali tidak bisa diandalkan. Andaikan tahu begini, lebih baik aku memaksa Fahri untuk menerima tawaran haji Alwi untuk di jodohkan dengan keponakannya, putri haji Faisal yang bos batubara itu!" Wanita tua itu menghentakkan kakinya ke lantai."Benar-benar sial punya menantu seperti kamu. Sudah miskin, plus tidak bisa memasak. Haduuh....""Sekarang panaskan semua lauk yang ad
Bab 5) Mempertahankan Hak"Maaf, bukan begitu maksudku, Ma." Suara Hanum terbata-bata. Pandangannya tertuju ke bawah, menatap sepasang kakinya yang gemetar. Wibawa Ismah memang membuat nyalinya ciut. Aura yang keluar dari tubuh dan suaranya penuh penekanan. Namun jika wanita tua itu akan merampas haknya, bukankah sudah seharusnya ia mempertahankan?Hanum masih tetap berdiri di depan lemari, melindungi lemari pakaian miliknya. Sementara kaki Ismah terus melangkah mendekat sehingga akhirnya tubuh mereka berdempetan."Apa yang ingin Mama lakukan?" Hanum berusaha menahan tubuh sekuatnya saat tangan wanita itu mendorong bahunya memaksanya untuk menjauh dari lemari."Sekali lagi Mama minta, serahkan uang itu! Kalau tidak, Mama akan memaksa mengambilnya. Kamu menyimpannya di dalam lemari ini, kan?""Ma, kalau Mama memaksa ingin mengambil uang itu, maka aku akan berteriak sekarang!" gertak Hanum."Oh, ya? Kalau begitu lakukan saja! Kamu pikir orang-orang di sekitar ini lebih percaya sama kam
Bab 6) Meminta Uang Saku"Aku tidak mengadu, Ma. Aku hanya meminta saran Mama Filza," ralat Hanum. "Tapi yang Mama dengar justru sebaliknya," pancing Ismah sembari terus memotong sayuran berupa kacang panjang dan labu kuning. "Dan Mama tidak suka itu. Ingat, jangan pernah kamu mengadukan apa yang terjadi di sini.""Aku tidak mengadu. Aku hanya meminta saran, supaya aku punya kegiatan di sini. Selama ini aku hanya membantu Mama di rumah dan tidak melakukan apapun selain itu....""Melakukan tugasmu di rumah saja kamu tidak becus, apalagi melakukan hal yang lain." Perempuan tua itu mencibir. "Kalau kamu memang merasa bosan di rumah ini, kamu bisa ikut ke sawah bersama Fahri. Dulu sewaktu masih muda seumuran kamu, Mama juga pergi ke sawah membantu Ayah Fahri.""Tapi seumur hidupku tidak pernah bekerja di sawah, Ma. Aku tidak yakin.""Itu hanya karena kamu tidak terbiasa," tekan Ismah. "Dengar ya, Hanum. Istri itu harus ikut pekerjaan suami. Semua wanita di kampung ini juga begitu. Kamu
Bab 7) Merasa Seperti Diteror"Maaf Ma," lirih Hanum."Kalau kamu memang benar-benar minta maaf sama Mama, ayo buktikan! Berikan uang yang diminta oleh Mama," desak Mila. Gadis itu mengacungkan lembaran uang berwarna biru itu ke atas."Benar kata Mila. Untuk apa kamu menyimpan uang yang seharusnya menjadi milik kami?" timpal Ismah.Wanita tua itu menghampiri Hanum, lalu mendorong tubuh itu. Hanum tak kalah gesit. Dia semgaja menangkap tangan Ismah, memegang kuat tangan itu, sehingga tubuhnya tetap tegak berdiri.Hanum menghela nafas. Berpuluh detik kemudian ia melepaskan pegangan tangannya pada Ismah. Tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Percuma saja melayani orang seperti mereka. Mereka sudah terlanjur menganggapnya sebagai istri yang serakah. Namun tidakkah lantas menyadari jikalau mereka sendiri yang serakah? Bukankah serakah namanya, jika menginginkan sesuatu yang sudah menjadi milik orang lain? Mereka menuntut hak-hak mereka sebagai ibu dan saudara di tunaikan, tapi ma