Share

Pembalasan Berkelas Istri Tak Sempurna
Pembalasan Berkelas Istri Tak Sempurna
Penulis: Jannah Zein

Ikan Goreng Setengah Matang

Bab 1) Ikan Goreng Setengah Matang

"Ya ampun, Hanum! Menggoreng ikan baru setengah matang kayak gitu sudah kamu angkat dari penggorengan? Kamu bisa menggoreng ikan nggak sih?" teriak Ismah, ibu mertua Hanum. Perempuan tua itu terbelalak melihat potongan ikan berwarna kuning keemasan sudah berada piring saji berukuran besar.

"Setengah matang?" Hanum mengerutkan kening. "Ini sudah matang, Ma. Lihatlah warnanya yang kuning keemasan."

"Ini baru setengah matang, Hanum...." Suara Ismah masih tinggi. "Kalau ikan yang sudah matang itu berwarna coklat. Di sini kami terbiasa makan ikan yang digoreng kering sehingga bisa dimakan seperti kerupuk kriuk-kriuk gitu."

Mata tajam Ismah seolah menguliti Hanum hidup-hidup, membuat nyalinya langsung menciut.

"Oh, maaf, Ma. Ya sudah, kalau begitu aku goreng ulang saja ikannya," lirihnya. Hanum bermaksud mengambil kembali ikan-ikan yang sudah berada di atas piring saji. Namun secepat kilat, Ismah merebut piring itu dan membawanya menjauh dari hadapan Hanum.

"Tidak usah. Kamu cuci piring saja sana. Awas ya, kalau ada yang pecah. Heran benar, punya menantu tidak bisa mengerjakan segala sesuatunya di dapur. Lalu apa gunanya?!" Sembari terus menggerutu, Ismah menaruh ikan goreng hasil karya Hanum ke lemari makanan.

"Nanti biar kamu saja yang makan ikan goreng ini. Orang-orang sini mana suka dengan ikan goreng setengah matang," sembur Ismah lagi.

Setelah menutup pintu lemari, perempuan tua itu memberi isyarat kepada Husna, seorang menantunya yang lain, istri Faiz untuk melanjutkan menggoreng ikan.

Hanum bergerak menuju tempat pencucian piring. Hatinya nelangsa. Dia merasa sangat malu telah ditegur dengan keras di hadapan beberapa orang wanita tetangga mereka yang ikut membantu memasak di dapur saat ini.

Hari menjelang siang. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Hanum menyabuni piring, gelas dan peralatan makan bekas pakai satu persatu. Dia melakukannya dengan sangat berhati-hati, takut memecahkan barang pecah belah itu. Hanum tak mau ibu mertuanya akan kembali berteriak dan menegurnya.

Nanti malam akan ada acara peringatan setahun meninggalnya ayah mertuanya, haji Muhammad Yahya Mansyur. Itulah kenapa sejak pagi-pagi sekali, semua anggota keluarga yang perempuan berkumpul. Zainab, Husna, Hanum bahkan Mila, adik bungsu suaminya pun sampai bolos sekolah lantaran merasa sangat antusias dengan acara di rumahnya. Itupun masih dibantu oleh beberapa orang tetangga. Mereka dengan cekatan menyiangi ikan dan ayam lalu membersihkannya, merebus telur, memotong sayuran dan membuat bumbu.

Hanum hanya kebagian tugas mencuci piring atau memotong sayuran. Itu pun sesekali masih ditegur dengan keras oleh ibu mertuanya. Perempuan tua itu sama sekali tidak peduli dengan perasaan Hanum yang sangat malu, lantaran ia memang tidak terbiasa melakukan pekerjaan di dapur.

Hanum dan Fahri baru menikah sebulan yang lalu. Hanum adalah anak tunggal yang sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya, meskipun dalam beberapa hal, orang tuanya menerapkan disiplin ketat, sehingga hasilnya jadilah Hanum seperti yang sekarang.

"Kacang panjangnya dipotong kecil-kecil, Hanum, karena kita akan membuat urap. Kalau yang di potong panjang-panjang itu buat sayur bayam. Ngerti nggak sih?!" Mata Ismah kembali melotot.

"Ngerti, Ma." Hanum mengangguk. Dia segera memotong ulang kacang panjang dengan ukuran yang lebih kecil.

Rencananya mereka akan membuat nasi tumpeng untuk acara nanti malam. Isi tumpeng adalah nasi kuning, sambal goreng hati, urap, mie goreng dan telur balado. Itu baru untuk tumpeng. Sedangkan untuk jamaah yang akan diundang, mereka akan memasak ayam sambal habang khas Banjar.

"Nah, begitu dong! Kamu harus banyak belajar, Hanum. Memangnya kamu tidak pernah diajari Mama kamu masak?" usik Zainab, kakak sulung Fahri.

"Tidak, Kak." Hanum menggeleng.

"Kok bisa begitu? Mau jadi apa anak perempuan kalau tidak diajari masak?" celetuk bu Ida, tetangga dekat rumah mereka.

"Iya nih, aneh benar orang tua yang seperti itu. Seperti ini nih hasilnya. Pas di rumah mertua, malah tidak bisa apa-apa. Bikin malu saja," sahut Zainab.

"Mereka juga punya alasan, kenapa tidak mementingkan mengajariku memasak. Mungkin keluarga disini belum bisa memahami," sahut Hanum mencoba membela diri.

"Tidak bisa seperti itu, Hanum. Kakak cuma menyayangkan saja. Andaikan Kakak punya anak perempuan, pasti Kakak akan mengajarkan anak perempuan kakak untuk memasak sedari kecil. Tidak apa-apa dia tidak berpendidikan tinggi, yang penting tidak bikin malu nanti kalau sudah berumah tangga dan tinggal sama mertuanya. Amit-amit! Mertua tidak akan tanya kamu tamat sekolah apa, tapi akan tanya, kamu bisa masak apa nggak?" Cerocos Zainab seperti air bah yang memukul ulu hati Hanum.

Hanum tertunduk, berusaha menyembunyikan tetes air matanya. Sebenarnya dia tidak apa-apa dihina, dianggap tidak bisa memasak, karena dia memang tidak bisa memasak. Masalahnya, orang-orang itu menyalahkan pola asuh yang di terapkan oleh orang tuanya. Bukankah setiap keluarga memiliki pola asuh yang berbeda?

Ingin rasanya Hanum bicara kepada mereka, jika sesungguhnya kedua orang tuanya adalah orang tua terbaik, tapi lidahnya terasa kelu. Sekali lagi, ia tidak mau berdebat dengan anggota keluarga suaminya.

Kegiatan masak-masak baru berhenti saat mereka makan siang bersama. Setelah makan siang, Hanum kembali mencuci piring, kemudian beranjak menuju kamar untuk melaksanakan shalat zuhur. Sementara Zainab, Husna, Mila dan yang lainnya tetap mengerjakan pekerjaannya di dapur.

*****

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 malam. Waktu isya sudah berlalu dan tak ada seorangpun yang berada di ruang tamu. Hanum mengangkat piring-piring kotor dan lainnya menuju tempat pencucian piring.  Sementara ibu mertuanya mulai membagi-bagikan makanan sisa kepada para tetangga yang sudah membantu memasak tadi siang.

Ismah nampak sumringah dengan pujian beberapa tetangga yang memuji hasil masakannya. Namun ia melengos melihat sosok Hanum yang bolak-balik mengangkat piring kotor dari ruang tamu ke dapur terus menuju ke tempat pencucian piring.

"Kamu dengar kata-kata orang-orang tadi, Hanum?" tegur Ismah saat semua tamu undangan sudah pulang.

Kini yang tertinggal hanya mereka berempat. Hanum dan Fahri, Ismah dan Mila. Bahkan Mila pun sudah masuk ke dalam kamarnya sejak acara selesai tadi.

"Kata-kata yang mana, Ma?" tanya Hanum mengerutkan kening. Dia memang tidak fokus mendengar semua celotehan para tetangga.

"Mereka memuji masakan Mama. Kamu dengar sendiri, kan?" ujar Ismah membusungkan dadanya.

Hanum mengangguk. "Iya benar. Masakan Mama memang enak. Aku harus mengakui itu."

"Justru itu. Hanum, di kampung ini semua perempuan harus bisa memasak. Ingat itu, Hanum! Kalau kamu sekarang tidak bisa memasak, berarti kamu harus belajar keras. Kamu masih ingat, kan, kata-kata Zainab tadi siang?"

"Ingat, Ma."

"Bagus. Mama beri waktu satu atau dua bulan lagi. Kamu harus sudah mahir memasak, karena Mama mau, kamu lah yang memasak di rumah ini, menggantikan Mama. Mama sudah tua dan sudah tidak layak lagi mengerjakan hal-hal seperti ini. Kamu ini menantu Mama dan harus berbakti kepada Mama. Jadilah menantu yang baik. Jangan pemalas...." Ocehan Ismah seketika terhenti saat melihat Fahri masuk ke dapur.

Lelaki itu bermaksud mengambil air minum. Namun langkahnya terhenti seketika mendengar percakapan antara istri dan ibunya.

"Ada apa, Ma? Kok Mama terlihat serius sekali?" tegur Fahri.

Ismah menggelengkan kepala. "Mama hanya menasehati istrimu agar ia mau belajar keras untuk memasak. Jangan seperti tadi, bikin malu aja. Orang-orang semuanya memuji kepintaran Mama dalam hal memasak. Tiba-tiba punya menantu sama sekali tidak tahu urusan dapur. Apa tidak bikin malu?" ketus Ismah.

"Sudahlah, Ma. Tidak usah lagi diperpanjang. Aku dan Hanum, kan baru sebulan menikah, masih pengantin baru. Semuanya masih berproses," hibur Fahri. Akhirnya ia duduk di depan ibunya, berdampingan dengan istrinya.

"Ya, sudah!" Ismah bermaksud kembali melontarkan kata-kata tajamnya untuk Hanum. Namun mendadak di kepalanya terlintas sesuatu.

"Oh, ya, Fahri. Mampung Mama baru ingat nih. Beberapa hari yang lalu, kamu baru saja jual gabah. Terus, mana uangnya?!" tagih Ismah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Hanum Anindya
ceritanya bagus, kak.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status