Share

Jatah Nafkah

Bab 2) Jatah Nafkah

Fahri seketika bungkam. Lelaki berusia 33 tahun itu terlihat salah tingkah. Sikap yang mengundang kecurigaan di hati Ismah.

"Mana uangnya, Fahri? Jangan kamu pikir Mama tidak tahu kalau kamu baru saja jual gabah. Tuh lihat, gudang di depan rumah sudah kosong. Isinya hanya tinggal beberapa karung!" Ismah tersenyum menyeringai, menatap Hanum yang terlihat merah padam.

Keduanya sesaat berpandangan. Fahri menggenggam tangan Hanum dan istrinya itu hanya mengangguk.

"Sebentar ya, Ma. Aku ke kamar dulu mengambil uangnya," ujar lelaki itu akhirnya berdiri, melenggang pergi dari dapur.

"Ya, Mama tunggu di ruang tamu," sahut Ismah sumringah. Dia membayangkan sebentar lagi akan memegang uang banyak, hasil penjualan gabah milik Fahri untuk tahun ini.

Setelah menaruh sisa makanan di lemari penyimpanan, perempuan tua itu menarik tangan Hanum demi mengikutinya ke ruang tamu. Namun Hanum melepaskan tangannya, saat ia sampai di depan pintu kamarnya.

"Aku ke kamar dulu, Ma," ujar Hanum.

Ismah melengos. Akan tetapi beberapa detik kemudian ia mengangguk tanpa suara, lalu meneruskan langkahnya. 

Hanum masuk ke dalam kamar. Dia melihat Fahri tengah menghitung setumpuk uang.

Melihat kehadiran Hanum, Fahri melambaikan tangan, memberi isyarat untuk menutup pintu kamar.

"Sayang, aku akan memberikan uang 5 juta untuk Mama. Saat ini uang di Mama pasti habis, setelah menyelenggarakan acara haul Abah...."

"Aku tidak pernah menghalangimu untuk memberikan uang kepada Mama, karena selamanya anak lelaki adalah milik ibunya." Hanum mengusap lengan sang suami, seraya mengulas senyum termanis.

"Terima kasih atas perhatian dan kerelaanmu, Sayang." Sebuah kecupan lembut mendarat di kening Hanum. 

Fahri mengambil 5 bundel uang. Setiap bundel berisi 20 lembar uang berwarna biru, kemudian bergegas keluar dari kamar. Sementara Hanum merapikan uang yang tersisa, memasukkannya ke dalam amplop besar berwarna coklat, lantas memasukkannya ke dalam lemari pakaiannya. Mungkin besok atau lusa dia akan membawa uang itu ke bank.

Setelah mengunci pintu lemari, Hanum pun keluar dari kamar, menyusul suaminya. Lamat-lamat ia mendengar percakapan sang suami dengan ibu mertuanya. Seketika itu pula darahnya tersirap.

"Hanya 5 juta? Kemana sisanya, Fahri? Bukankah hasil penjualan gabah tahun ini sebesar 17 juta? 12 jutanya lagi kamu kemanakan?" Ismah mengacungkan bundelan uang tersebut ke atas. 

Fahri mendongak ke atas, menatap nanar lembaran uang yang diacungkan oleh ibunya. "Memang benar, hasil penjualan gabah tahun ini sebesar 17 juta, tetapi uang 12 juta itu untuk Hanum. Dia istriku dan berhak mendapatkan nafkah dariku."

"Hai.... Apakah Mama tidak salah dengar? 12 juta katamu? Itu bukan uang yang sedikit, Fahri? Hanum baru sebulan menjadi istrimu dan sekarang dia sudah kamu kasih uang 12 juta? Ini tidak adil untuk Mama, Fahri!" Ismah menurunkan tangannya, meletakkan bundelan uang yang barusan ia genggam ke meja sofa."

"Tidak adil bagaimana, Ma?" 

"Fahri, Mama adalah orang tuamu satu-satunya yang bertanggung jawab untuk mengatur rumah ini. Sudah seharusnya semua uang penjualan hasil gabah itu untuk Mama dan Mama yang harus mengelolanya, bukan istrimu. Dia itu hanya numpang di rumah ini!" Ismah mencibir. Kenyataan ini membuat ia sungguh terpukul.

Ismah tak pernah menyangka, jika Fahri bisa berubah secepat itu. Baru sebulan ia menikah, tetapi putranya ini sudah berani mengurangi jatah tahunannya. Oh, ini tak boleh di biarkan. Jangan sampai ia kalah pengaruh dengan perempuan yang baru sebulan hidup bersama putranya.

"Jadi Mama menganggapku hanya numpang di rumah ini?" Suara Hanum bergetar. Perempuan muda itu berdiri membeku hanya berjarak sekitar lima langkah dari tempat sepasang ibu dan anak yang tengah berdebat.

"Sayang.... Ini tak seperti yang kamu dengarkan." Fahri seketika berdiri dan buru-buru menghampiri istrinya, mengajaknya duduk di sofa.

"Bagus, kalau kamu sadar. Dengar ya, Hanum. Selamanya menantu itu harus berbakti kepada mertua, karena mertua itu sama dengan orang tua kita sendiri. Dulu Mama juga begitu saat nenek Fahri masih hidup. Kamu berbakti kepada Mama, sama artinya kamu berbakti kepada kedua orang tuamu yang berada di kampung yang jauh di sana!" cerocos Ismah penuh penekanan.

"Tanpa harus Mama menjelaskan panjang lebar, aku juga tahu soal itu," sahut Hanum. Dia memberanikan diri menatap ibu mertuanya

"Kalau kamu sudah mengerti, sekarang buktikan baktimu kepadaku. Mana sisa uang itu? Serahkan kepada Mama." Ismah menadahkan tangan.

"Ma...." Suara Fahri kembali terdengar.

"Diam kamu, Fahri! Istrimu ini harus dinasehati lebih keras supaya dia tidak merasa punya kuasa di rumah ini. Mama tahu, pasti ini ulah Hanum, yang telah mempengaruhimu agar tidak memberikan seluruh uang penjualan gabah tahun ini kepada Mama!" Perempuan tua itu berteriak.

"Aku tidak pernah menghalangi kak Fahri memberikan uangnya kepada Mama, tetapi kalau Mama minta semua penghasilan kak Fahri, itu tidak adil untukku. Aku berhak atas nafkah darinya, karena dia adalah suamiku. Lagi pula....." Ucapan Hanum tertahan oleh suara Ismah yang kembali menggelegar.

"Soal jatah nafkah dari Fahri, Mama yang akan atur. Kamu jangan khawatirkan soal itu. Mama pun juga seorang wanita dan pernah menjadi seorang istri. Mama tahu, berapa nafkah yang pantas untukmu.  Cepat, serahkan uang itu kepada Mama!" Perempuan tua itu kembali mendesak.

"Maaf, Ma, tetapi itu adalah hakku. Lagi pula aku memang tidak bermaksud untuk memakai uang itu, karena aku juga memiliki penghasilan sendiri," sahut Hanum hati-hati. Jangan sampai Ibu mertuanya berpikiran kalau ia bermaksud untuk menguasai uang hasil penjualan gabah tahun ini.

"Penghasilan sendiri? Kamu dapat uang dari mana? Bukankah kamu tidak kerja?" Ucapan Ismah bernada meremehkan.

"Ma, ketahuilah, sebelum menikah denganku, Hanum memiliki sebuah toko yang sampai sekarang dikelola oleh ayahnya. Jadi Hanum bukan anak orang miskin seperti yang Mama sangka sebelumnya." Fahri angkat bicara.

Spontan saja Ismah tertawa keras. Suara tertawanya bahkan terdengar menggelegar, memenuhi kisi-kisi ruang tamu. 

"Mama tidak percaya. Masa iya Hanum memiliki toko? Dia menghayal kali? Bukankah kamu sendiri sudah membuktikan saat melihat Hanum pertama kali di rumahnya yang kecil itu, bagaimana penampilannya, bahkan acara pernikahan kalian pun digelar sangat sederhana? Ketahuan sekali, kan, jika keluarganya bukan orang kaya?" sembur Ismah.

Hanum buru-buru mengucapkan istighfar. "Orang tua ini, ya Allah...." Dia mengeluh dalam hati. Ibu mertuanya terlalu memandang seseorang hanya dari penampilannya saja.

Hanum mengakui, pertemuan pertama dan akad nikah dengan Fahri waktu itu memang sengaja di adakan di rumah tetangga, di sebelah rumahnya. Hanum bahkan melepas seluruh perhiasan yang biasa ia kenakan. Bukan karena ia ingin menyamar, berpura-pura miskin seperti cerita di novel-novel, tetapi untuk lebih mendidik hati keluarga calon suaminya agar dalam memandang seorang wanita yang akan dijadikan sebagai istri dan menantu, haruslah berdasarkan keimanannya bukan kekayaannya.

Ide tersebut berasal dari ayahnya dan di amini oleh keluarga besarnya. Saat akad nikah Hanum dan Fahri, seluruh keluarganya kompak mengenakan pakaian sederhana.

Hanum melempar pandangan ke arah sang suami. Pembicaraan mereka malam ini sudah melebar ke mana-mana. Ini sudah tidak benar. Hanum tidak menyangka ternyata Ismah masih saja mengungkit-ungkit soal acara akad nikah sederhana yang mereka selenggarakan sebulan yang lalu, padahal Ismah tahu, jika Hanum adalah anak tunggal.

Bukankah setiap orang tua akan berani menghabiskan dana sekian banyak untuk pesta pernikahan anak perempuan satu-satunya? Terkecuali jika orang tua tersebut tidak memiliki uang! Begitulah pikiran picik Ismah.

"Ma, tolong jangan berprasangka buruk kepadaku. Aku menerima uang dari Kak Fahri, karena aku adalah istrinya dan uang itu akan kami gunakan untuk hal-hal yang lebih penting. Anak Mama tidak cuma kak Fahri, tetapi ada Kak Faiz, Diana, Mila dan Kak Zainab. Mereka semua adalah orang berada, kecuali Mila yang masih sekolah. Sedangkan kami masih memerlukan dana yang besar untuk membangun rumah tangga kami. Aku berencana untuk menabungkan uang itu, Ma. Jadi uang itu tidak semata untuk keperluan pribadiku." Hanum kembali mengangkat wajahnya menatap sang ibu mertua dengan berani.

"Terus kalau bukan untuk keperluan pribadimu, lalu untuk apa?"

"Kami sedang menabung untuk membangun rumah," jawab Fahri tegas.

"Apa? Membangun rumah?" Ismah kembali berteriak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status