"Kamu lagi ngapain, Mas? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Lastri."Aku lagi chatan sama teman," jawabku singkat."Hmm ... ini, Mas, mienya. Katanya laper," kata Lastri memberikan semangkuk mie padaku."Kok cuma satu, kamu gak makan?""Enggak, Mas, aku udah makan tadi. Oh ya, Mas, besok aku minta uang lagi dong," kata Lastri dengan nada manja. Aku yang sedang menikmati mie buatannya seketika menoleh."Uang lagi? Untuk apa?""Ya buat perawatan lagi lah, Mas. Aku pengen gemukin badan. Biar kamu tambah sayang sama aku, Mas," jawab Lastri."Enggak perlu lah, Las. Kamu udah cantik kok. Ngapain pakai gemukin badan?""Kan biar lebih gemoy, Mas. Biar gak kalah saing sama si Alma.""Duh, udah deh, Las. Percuma kamu mau nyaingin si Alma. Mau kamu gemuk juga tetap cantikan Alma," kataku."Kok kamu gitu sih, Mas! Aku udah perawatan maksimal gini malah kamu banding-bandingin sama Alma!""Lah, bukannya kamu sendiri tadi yang mau saingan sama Alma?""Tau ah! Kamu benar-benar suami yang gak punya per
["Mas, mana uangnya? Kok belum ditransfer?"] Sebuah pesan masuk dari Lastri.Aku hanya membaca pesan dari Lastri tanpa ada niat untuk membalasnya. Aku sendiri sedang pusing memikirkan keuanganku yang mulai menipis, tetapi Lastri tahunya hanya minta uang saja. Aku heran dengannya, jika dihitung-hitung, setiap bulan aku selalu memberikan uang sebesar lima belas hingga dua puluh jutaan lebih setiap bulannya. Tetapi, Lastri seolah tak pernah cukup dengan uang yang aku beri.Mulai sekarang, aku tak ingin lagi memanjakan uang untuk Lastri. Aku harus benar-benar memperhitungkan jumlah uang yang aku berikan padanya. Agar aku bisa mengontrol pengeluaranku. Dering ponsel membuyarkan aku dari lamunan. Terlihat panggilan telepon dari Lastri. Aku berusaha mengabaikan telepon dari Lastri, tapi sepertinya Lastri tak menyerah untuk terus menghubungiku. Mau tak mau, aku mengangkat panggilan telepon darinya.["Mas, kok kamu cuma baca pesan dari aku sih? Mana uangnya? Kenapa belum kamu transfer?"] oceh
Setelah sampai di parkiran rumah sakit, aku bergegas menuju ruangan tempat Mbak Rosi dirawat. Setelah sampai, ake segera masuk dan menemui Ibu dan Mbak Rosi. Aku merasa terkejut ketika melihat keadaan Mbak Rosi. Terlihat banyak memar dan lebam di wajahnya. Di keningnya juga tertempel perban kecil menandakan bahwa keningnya terluka.Di dalam ruangan, hanya ada Ibu seorang diri. Tak kulihat ada Mas Adit ataupun Vira anak mereka. Melihat kehadiranku, Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan Mbak Rosi sama sekali tak menoleh. Ia terlihat diam, sambil matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Jujur saja, hatiku langsung sesak melihat kondisi Mbak Rossi."A-apa yang terjadi, Bu? Di mana Mas Adit?" tanyaku pada Ibu. Aku saat ini telah berada di samping Ibu.Ibu hanya diam tak mau menjawab pertanyaan dariku. Justru, Ibu malah terlihat menangis terisak. Aku jadi makin bingung. Melihat luka Mbak Rosi, aku yakin ini bukan luka kecelakaan. Melainkan luka pukulan ataupun peng
"Mbak, kenapa kamu jadi menyalahkan aku? Mbak Rosi gak ingat, bukankah dulu, Mbak Rosi juga ikut mendukung perselingkuhanku dengan Lastri? Apa Mbak Rosi sudah lupa?" tanyaku penuh penekanan.Aku tak terima jika Mbak Rosi hanya menyalahkan aku semata. Seolah hanya aku saja yang bersalah. Padahal jelas, ia dan Ibu juga terlibat dalam perselingkuhanku. Bahkan, Ibu dan Mbak Rosi yang menyuruhku untuk menceraikan Alma. Padahal sebenarnya, meskipun aku dulu selingkuh dengan Lastri, aku tak ada niat untuk menceraikan Alma.Karena Ibu dan Mbak Rosi selalu mengompor-ngomporiku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengusir dan menceraikan Alma. Meskipun penampilan Alma buruk rupa, tetapi aku masih memiliki perasaan padanya. Aku sebenarnya tak tega, sebab berkat Alma lah aku bisa sukses seperti sekarang ini.Jika membicarakan tentang karma, itu juga bukan sepenuhnya kesalahanku. Bisa jadi, karma itu datang karena ulah Mbak Rosi sendiri. Sebagai sesama wanita, harusnya Mbak Rossi tahu bagaimana
"Apa Ibu tahu Adit sial*n itu sekarang ada di mana?""Ibu gak tahu, tadi warga sekitar rumah kita sempat mengamankan dia. Ibu hanya fokus membawa Rossi ke rumah sakit karena kamu bisa lihat sendiri bagaimana kondisi Rossi saat ini," jelas Ibu."Ya sudah, Bu, kalau begitu aku mau pulang sekarang. Aku mau cari si Adit sampai dapat!" kataku kesal."Iya, Wijaya. Tapi sebelum kamu pulang, tolong kamu bayar dulu biaya administrasi rumah sakit. Ibu gak ada uang banyak," kata Ibu."Iya, Bu. Ya sudah, nanti aku mampir dulu ke kasir. Ibu bisa kan jagain Mbak Rossi sendirian? Kalau ada apa-apa, Ibu langsung hubungi aku saja," kataku."Iya, Ibu bisa kok.""Ya sudah, aku pulang dulu, Bu.""Iya, kamu hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setelah pamit pada Ibu, aku segera berjalan ke kasir untuk membayar biaya administrasi perawatan Mbak Rossi. Setelah selesai, aku segera menuju parkiran rumah sakit untuk pulang ke rumah.Isi kepala ini rasanya begitu panas, belum puas rasanya jika belum memberi pelajara
"Kamu yakin mau kembali ke sana lagi, Nduk?" Ibu bertanya dengan ragu.Aku menutup mataku, mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskan secara perlahan. Kembali membuka mata dan menatap wajah Ibu. Kami berdua saat ini sedang duduk di gubuk pinggir sawah, menikmati makan siang yang sengaja aku bawa untuk Ibu."Yakinlah, Bu. Masa lalu itu terbayang-bayang terus. Rasanya belum lega dan ikhlas kalau belum bisa memberikan pembalasan pada mereka semua," jawabku penuh keyakinan.Ibu mendesah panjang. "Ibu udah gak bisa lagi mencegah kamu. Ibu harap, kamu gak melakukan sesuatu yang ujungnya bisa membahayakan diri kamu sendiri, Nduk. Ibu takut, kamu malah yang nantinya bisa dalam bahaya kalau mereka sadar dengan niat buruk kamu.""Ibu tenang saja, aku gak mungkin bertindak gegabah. Aku sudah siapkan banyak rencana. Semua sudah aku susun dengan rapi dan cantik. Jadi, Ibu gak perlu khawatir. Aku bisa jaga diri, Bu.""Iya, Nduk. Ibu hanya bisa mendoakan kamu. Semoga, Allah melindungi setiap lang
"Kok kamu malah jadi marahin aku sih, Mas!" Lastri bicara dengan nada tinggi. Wajahnya merah, mungkin ia merasa malu sekaligus marah.Wanita mana yang tak malu diperlakukan kasar seperti itu oleh suaminya sendiri? Dan yang lebih menyakitkan, di depan mantan istri suaminya yaitu diriku. Aku tetap berusaha setenang mungkin menyaksikan drama ini."Lastri! Kamu ini apa-apaan sih? Sama suami kok gak ada sopan-sopannya. Ngomong pakai teriak-teriak. Gak malu kamu!" Kini giliran mantan Ibu mertua yang memarahi Lastri. Bertambah merah padam saja wajah Lastri saat ini. Apalagi, mantan Ibu mertua bicara dengan nada ketus."Kok Ibu malah jadi ikut-ikutan Mas Wijaya sih? Ibu gak ingat, bukankah, Ibu dulu sangat membenci Alma?!""Jaga mulut kamu ya, Lastri! Jadi perempuan kok bawel banget. Suka-suka Ibu dong. Sana masuk!" Ibu berkata dengan marah dan malah mengusir Lastri untuk masuk ke dalam rumah."Keterlaluan! Kenapa kalian jadi bersikap begini hanya gara-gara kedatangan wanita tak tahu malu ini
"Assalamualaikum ...."Terdengar suara salam dari depan rumahku. Aku yang baru selesai mandi dan berganti pakaian segera bergegas menuju ke depan. Aku menoleh ke arah jam dinding besar yang terpasang di ruang tengah rumahku. Waktu masih menunjukkan pukul 06.30 pagi. Aku bingung, siapa orang yang bertamu ke rumahku sepagi ini?Jika dipikir, aku juga baru menempati rumah ini malam tadi. Aku juga belum sempat bertemu dengan tetangga sekitar rumah, kecuali keluarga Mas Wijaya."Waalaikumsalam ...," jawabku, setelah pintu ruang tamu terbuka.Aku sedikit tersentak dan terkejut, sebab yang datang bertamu sepagi ini adalah Mas Wijaya. Aku tak menyangka, pria yang berstatus mantan suamiku itu datang ke rumahku sepagi ini. Jujur saja, aku sedikit merasa takut. Sebab, aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini. Suasana pagi ini juga tampak sepi. Tak kulihat ada orang yang berlalu-lalang di depan rumah.Mas Wijaya berulang kali memandangku dari atas hingga bawah. Membuat aku merasa sangat risih