Share

Bab 7

last update Last Updated: 2024-02-06 21:49:14

Aku mematut diri di depan cermin. Wajah putih glowing, hidung mancung dan dagu yang sedikit lancip, menambah sempurnanya paras dan bentuk wajah ini. Belum lagi, leher jenjang dan tubuh langsing membuat aku semakin percaya diri. Tapi merawat tubuh hingga seperti ini tidaklah mudah. Aku butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan tubuh seideal ini. Aku bahkan sampai harus jatuh sakit karena menjalani diet ketat. Mungkin jika tak ingat ambisiku untuk bisa langsing, aku tak akan melakukan diet itu.

Dulu, saat aku masih menjadi istri Mas Wijaya, jangankan merawat diri, ingin makan enak saja aku tak pernah bisa. Jika ingin makan enak, aku harus pulang dulu ke rumah ibuku. Itupun harus menempuh perjalanan jauh dari kampung ini. Aku masih ingat jelas, bagaimana menderitanya diriku saat menjadi istri Mas Wijaya.

Setiap hari, aku hanya makan lauk pauk seadanya. Sambal terasi dan ikan asin adalah menu andalanku. Meskipun tak pernah makan enak, anehnya, tubuhku semakin bertambah gemuk. Mungkin karena aku sering menumpahkan kekesalanku pada Mas Wijaya lewat makanan.

Mas Wijaya sendiri tak memiliki pekerjaan setelah ia terkena PHK dari pabrik tekstil tempat ia berkerja dulu. Karena terlalu lama menganggur, membuat ia semakin malas untuk mencari pekerjaan. Setiap hari, kerjaan Mas Wijaya hanya makan dan tidur. Ia sama sekali tak mau memikirkan kesusahan hidup. Mau tak mau, aku yang bekerja menjadi buruh cuci untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.

Upah hasil menjadi buruh cuci yang tak seberapa, membuat aku akhirnya nekad terbang ke luar negeri untuk mengadu nasib menjadi seorang TKW. Mas Wijaya dan Ibu mertua sangat mendukungku. Mereka bilang, menjadi TKW adalah jalan satu-satunya untuk memperbaiki keadaan ekonomi kami.

Setelah satu setengah tahun bekerja, Mas Wijaya memintaku mengirimkan uang untuk membangun rumah kami yang memang kondisinya kurang layak. Aku yang percaya padanya akhirnya menuruti keinginan Mas Wijaya. Memang benar, Mas Wijaya menggunakan uang yang aku kirim untuk membangun rumah kami hingga menjadi besar dan juga bagus.

Setelah selesai membangun rumah, Mas Wijaya kembali memintaku mengirimkan uang setiap bulan. Mas Wijaya bilang, ia ingin membuka sebuah usaha. Agar setelah aku pulang dari luar negeri nanti, kami memiliki sebuah usaha agar tak perlu lagi capek-capek bekerja.

Dan bodohnya, aku percaya sepenuhnya pada omongan Mas Wijaya tanpa memiliki kecurigaan apapun. Aku menuruti setiap keinginannya yang memintaku untuk mengirimkan uang gajiku setiap bulan. Ia selalu merayu dengan kata-kata manis dan bisa membuatku selalu percaya.

Tepat saat kepulanganku dari luar negeri tanpa sepengetahuan Mas Wijaya, Tuhan membukakan mataku. Semua kebusukan Mas Wijaya akhirnya terbongkar. Jika mengingat semua itu, hati ini sangat sakit. Luka itu masih menganga lebar dan menimbulkan rasa perih hingga kini. Rasa sakit ini tak akan pernah sembuh jika belum mengambil hak milikku yang diambil Mas Wijaya dengan cara licik.

Apalagi jika mengingat perlakuan Ibu mertua dan Kakak iparku, bertambah sakit saja hati ini. Selama beberapa tahun menikah dengan Mas Wijaya, aku belum juga mendapatkan momongan. Ibu mertua dan Kakak iparku Mbak Rosi selalu saja menyalahkan aku. Hinaan dan cacian mereka lontarkan dan sering membuat hati ini sangat sakit. Mereka secara terang-terangan mengataiku mandul tanpa pernah memikirkan perasaanku.

Aku menghapus air mata yang tanpa sadar telah menetes dari sudut mata. Aku telah berjanji tak akan menangis lagi. Mungkin tetesan air mata ini adalah air mata tangisan yang menangisi kebodohanku di masa lalu. Aku akan buktikan pada mereka, bahwa aku tak akan menjadi wanita yang lemah seperti dulu. Yang hanya bisa meratap dan menangis.

*****

"Na, kamu masak sendiri ya? Saya mau buka toko dulu," kataku pada Nana yang sedang sibuk memotong sayuran.

"Iya, Bu, ini kan memang tugas saya. Nanti kalau saya sudah selesai masak, saya bantu Ibu di depan."

"Iya, Na, terima kasih."

"Sama-sama, Bu," kata Nana dengan senyuman lebar.

Pagi ini, aku berencana untuk membuka toko milikku. Kemarin, aku dan Nana sudah membereskan dan menyusun barang-barang sembako yang telah aku beli kemarin. Semua barang juga sudah tersusun rapi. Aku segera membuka rolling door besi yang terpasang dibagian depan bangunan toko. Barulah cahaya matahari bisa masuk ke dalam toko ini. Suasana dalam toko juga sudah terlihat terang dan tak gelap seperti tadi saat belum di buka.

"Alma, kamu beneran Alma kan?" tanya Mbak Rahma tetanggaku yang kebetulan lewat depan toko. Ia segera menghampiri ku dengan wajah antusias.

"Iya, Mbak, aku Alma. Apa kabar Mbak Rahma?" tanyaku sopan.

"Aku baik, Al. Masya Allah, kamu cantik sekali sekarang, Al? Kamu tinggal di sini sekarang?"

"Iya, Mbak, aku tinggal di sini sekarang."

"Ya Allah, jadi wanita yang kemarin jadi bahan ghibahan warga itu kamu to, Al? Kami semua gak ada yang paham kalau ini kamu. Kami pikir, kamu orang baru yang menempati rumah ini."

"Maaf, Mbak, maksudnya bahan ghibahan itu apa ya?" tanyaku tak mengerti.

"Ituloh, Al, waktu Lastri teriak-teriak kemarin. Pantas saja Lastri cemburu berat sama kamu. Lawong kamu aja makin cantik begini," jelas Mbak Rahma dengan tawa kecil.

"Hehe, iya, Mbak. Terima kasih. Mbak Rahma terlalu berlebihan memuji."

"Berlebihan gimana, Al, orang kamu beneran cantik begini. Oh ya, ngomong-ngomong, yang buka toko ini kamu?"

"Iya, Mbak, benar. Mbak Rahma tolong kasih tahu warga sekitar ya? Kalau mau belanja bisa ke toko aku."

"Siap, Al. Nanti aku infokan ke warga yang lainnya. Oh ya, kok kamu bisa tinggal depan rumah Wijaya sih? Apa kamu gak risih melihat Wijaya dengan Lastri? Kami yang bukan siapa-siapa mereka aja risih."

"Panjang ceritanya, Mbak. Maksud Mbak Rahma risih gimana?"

"Ya risih aja, Al. Tiap hari kerjaannya ribut mulu mereka itu. Meskipun jadi tontonan warga, mereka pada gak malu. Apalagi si Lastri."

"Gitu ya, Mbak. Biarkan saja, Mbak, yang penting kita gak ikut campur."

"Iya, Al, aku rasa itu karma si Lastri dan Wijaya karena sudah selingkuhin kamu."

Aku tersenyum mendengar cerita Mbak Rahma. Ternyata, Tuhan memang tak pernah tidur. Tanpa perlu aku capek-capek merusak hubungan rumah tangga mereka, nyatanya rumah tangga mereka selama ini memang tidak baik-baik saja. Itu artinya, jika mereka sampai berpisah suatu hari nanti, itu bukan kesalahanku sepenuhnya.

Hari ini, toko sembako milikku diserbu banyak pembeli. Mungkin karena Mbak Rahma yang telah menginformasikan pada warga sekitar bahwa toko sembako milikku telah buka. Sebab, di kampung ini hanya toko milikku lah yang paling besar dan juga lengkap. Selain karena memang ingin membeli kebutuhan sembako, warga sekitar berbondong-bondong datang ke toko karena penasaran denganku. Mereka semua terlihat antusias dan bertanya mengapa aku bisa berubah secantik ini. Aku malah merasa seperti seorang artis yang sedang diwawancarai secara bergantian.

Warga sekitar juga kepo dan tak segan bertanya langsung padaku mengapa aku bisa tinggal di depan rumah Mas Wijaya. Aku hanya menjawab singkat pertanyaan dari mereka. Tak mungkin juga aku jujur pada mereka tentang niatku yang sebenarnya.

Tapi aku senang, berkat kekepoan warga sekitar toko milikku sangat ramai pembeli hari ini. Aku benar-benar merasa bersyukur, sebab omset hari ini cukup besar. Aku mendapatkan keuntungan yang cukup besar juga hari ini. Jika barang-barang di toko habis, aku akan kembali berbelanja di toko grosir Mas Wijaya. Dengan begitu, aku bisa meminta diskon kembali padanya. Ia sendiri yang waktu itu menjanjikan akan memberikan diskon besar padaku.

Pukul 17.30, aku memutuskan untuk menutup toko. Aku memang tak ingin membuka toko hingga malam. Batas buka toko hanya sampai sebelum magrib tiba. Dengan begitu, aku bisa beribadah dan beristirahat di malam hari.

Saat aku sedang menutup rolling door, sebuah mobil memasuki halaman rumah Mas Wijaya. Aku bisa melihat dengan jelas sebab rumah kami saling berhadapan. Ternyata mobil itu adalah mobil Mas Wijaya. Ia turun dari mobilnya dan di sambut oleh istrinya Lastri yang baru saja keluar dari rumah. Tiba-tiba saja, Mas Wijaya menoleh ke arahku tanpa memperdulikan istrinya Lastri yang berada di sampingnya saat ini.

Aku sedikit tersentak kaget melihat aksi Mas Wijaya yang malah melambaikan tangannya padaku dan tersenyum lebar. Seolah Mas Wijaya sedang menyapaku.

Astaga ... Padahal ada Lastri istrinya yang sedang berdiri tepat di samping Mas Wijaya. Tetapi, masih sempat-sempatnya Mas Wijaya tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Seolah Lastri tak ada harga dirinya di mata Mas Wijaya.

******

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 47

    "Permisi, Mas, maaf numpang tanya," kataku pada seorang pria yang baru turun dari motor yang ia kendarai. Pria itu memarkirkan motornya di depan kost-kostan ini."Iya, Mas, tanya apa ya?""Apa Mas tinggal di kostan ini?""Iya, Mas, saya tinggal di sini," jawabnya."Saya mau tanya, siapa yang menghuni kost-an lantai dua yang pintunya nomor empat itu?" tunjukku ke atas."Oh, nomor 4 ya? Kamar itu sih dihuni sama Ferdy, Mas. Kebetulan dia teman kuliah saya," jawabnya."Teman kuliah?""Iya, Mas, dia kuliah bareng saya. Tapi beda jurusan. Mas ada urusan apa sama Ferdy?" tanyanya seolah penasaran."Gak ada, Mas. Kebetulan dia mirip saudara saya. Namanya juga sama. Kalau boleh tahu, dia tinggal sama siapa ya, Mas?" jawabku beralasan dan bertanya."Dia tinggal sendiri kok. Tapi ... sekarang dia lagi sama pacarnya, Mas," jawabnya sambil menggaruk kepala yang sepertinya tak gatal."Pacar?""Iya, Mas. Jadi kalau nanti Mas ketemu Ferdy jangan kaget. Ya udah ya, Mas, saya mau masuk dulu. Masih ada

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 46

    Aku masih memperhatikan Lastri dan pria yang naik motor bersamanya. Terlihat mereka begitu akrab. Seperti orang yang sudah kenal sangat lama. Anak kami Zea juga sepertinya begitu mengenal pria itu. Terlihat saat ini Zea berganti posisi dari duduk lalu berdiri dan berpegangan pada pundak pria itu. Sedangkan Lastri memegangi tubuh Zea. Jika dipikir, tak mungkin juga pria itu saudara Lastri. Sebab, aku tak pernah melihat pria itu sebelumnya.Ketika lampu hijau mulai menyala, semua kendaraan mulai melaju ke arah lurus. Begitu juga motor yang dikendarai oleh Lastri dan pria asing itu. Aku sendiri langsung tancap gas untuk mengikuti mereka. Aku tak ingin kehilangan jejak mereka. Apa lagi, mereka pergi membawa anakku Zea. Aku ingin tahu, siapa pria itu sebenarnya. Berbagai pikiran buruk langsung melintas di kepalaku.Untung saja, pria itu mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang. Dengan begitu, aku bisa mengikuti mereka dengan mudah. Apa lagi, melihat arus lalu lintas yang cukup padat s

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 45

    Pagi ini, aku terbangun dengan kepala sedikit berat. Sebab, aku hampir tak bisa tidur semalaman. Mbak Rossi semalam kembali mengamuk. Hingga membuat aku dan Ibu tak bisa beristirahat dengan tenang. Setelah Mbak Rossi diberi obat penenang, ia akhirnya tertidur. Tetapi setelah Mbak Rossi tertidur, justru malah Ibu yang tak tidur karena menangis semalaman. Berulangkali aku mencoba menenangkan Ibu, tapi Ibu tetap saja menangis.Aku merasa keadaan Mbak Rossi benar-benar sudah parah. Jiwa Mbak Rossi benar-benar sudah terguncang. Semalam, Mbak Rossi berteriak-teriak menyebut nama Adit. Seolah Mbak Rossi ingin Adit ada di sini bersamanya. Jujur saja, aku sangat muak ketika mendengar Mbak Rossi menyebut Nama Adit. Entah apa lagi yang Mbak Rossi harapkan dari pria brengsek itu.Ketika aku telah selesai mandi dan berganti pakaian, aku mendapatkan sebuah pesan dari Alma. Pucuk dicinta, tanpa perlu aku mendekati Alma, ia malah lebih dulu mengirim pesan padaku. Tetapi, aku sedikit terkejut ketika m

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 44

    POV WijayaAku mencoba menghubungi nomor Lastri. Tapi sialnya, nomor ponsel Lastri tak aktif dan tak bisa dihubungi. Entah kemana perginya istri tak berguna itu. Aku benar-benar sangat kesal padanya. Lihat saja, jika sampai ia pulang nanti, aku akan memberinya pelajaran. Selama ini, aku terlalu memberikan kebebasan untuk Lastri. Hingga ia bisa bertingkah sesuka hatinya. Dan kini, aku tak akan membiarkan Lastri bersikap semaunya sendiri. Sudah cukup rasa sabarku padanya! Lihat saja, jika aku bertemu dengannya nanti, aku akan memarahinya habis-habisan. Bila perlu, aku akan menceraikannya secara langsung. Agar ia sadar, hidupnya tak akan ada artinya tanpa diriku. Jika dipikir, memiliki seorang istri seperti Lastri tak ada untungnya untukku. Yang ada, uangku semakin habis terkuras untuk memenuhi keinginannya yang entah untuk apa. Rasanya, aku benar-benar menyesal menikah dengannya."Bu, Aminah. Saya minta tolong sama Ibu. Saya titip keponakan saya —Vira di rumah Ibu dulu. Soalnya, di rum

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 43

    Aku segera berjalan menuju mobilku. Aku harus segera pulang. Aku harus mencari bukti lain tentang Nana dan Mas Adit. Aku yakin, Mas Adit dan Alma memiliki niat terselubung padaku. Apa lagi mengingat kejadian saat ia mencoba masuk ke dalam kamarku.Aku merasa diriku begitu bodoh karena terlalu percaya pada Nana. Bahkan pernah ada niat untuk menganggap Nana sebagai anakku sendiri. Tapi nyatanya, aku malah memasukkan orang yang salah ke dalam rumahku. Mungkin, aku harus meminta pertanggungjawaban pada Rumi, sebab ia lah yang awalnya membawa Nana masuk ke rumahku.Ting!Sebuah pesan masuk ketika aku baru mulai menghidupkan mesin mobil. Aku segera meraih tas kecil yang berada di dasbor mobil untuk mengambil ponsel. Ternyata, ada sebuah pesan masuk dari Mas Wijaya.["Al, uangnya sudah aku transfer barusan.] Isi pesan dari Mas Wijaya.Aku langsung membuka aplikasi m-banking milikku untuk mengecek saldo rekening. Ternyata benar, uang seratus juta rupiah yang aku minta pada Mas Wijaya telah me

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 42

    Setelah ibunya Nana cukup tenang, polisi menyuruh mereka semua untuk duduk. Sepertinya, polisi akan mengintrogasi mereka. Aku tak melihat ada tanda-tanda kehadiran keluarga Mas Adit. Mungkin, mereka sedang sibuk mengurus Mbak Rossi di rumah sakit. Setelah kami memberikan bukti yang cukup, aku bersama Bu RT dan Pak RT memutuskan untuk pulang ke rumah. Polisi bilang, kami akan dipanggil kembali untuk dijadikan saksi dalam kasus ini jika sudah tiba waktunya. Sebenarnya, aku ingin berbicara dengan orang tua Nana sebentar. Tetapi, melihat situasi dan kondisi sepertinya tak memungkinkan.Sebelumnya, polisi memberikan pilihan pada kami untuk melanjutkan kasus ini atau diselesaikan secara damai dan kekeluargaan. Tetapi, aku dan Pak RT tetap bersikukuh untuk melanjutkan kasus ini. Aku tak rela jika Mas Adit bisa berkeliaran dengan bebas. Setelah ini, aku juga akan mencari bukti-bukti lainnya untuk memberatkan hukuman Mas Adit. Setelah sampai di rumah nanti, aku akan masuk ke dalam kamar Nana.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status