Aku mematut diri di depan cermin. Wajah putih glowing, hidung mancung dan dagu yang sedikit lancip, menambah sempurnanya paras dan bentuk wajah ini. Belum lagi, leher jenjang dan tubuh langsing membuat aku semakin percaya diri. Tapi merawat tubuh hingga seperti ini tidaklah mudah. Aku butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan tubuh seideal ini. Aku bahkan sampai harus jatuh sakit karena menjalani diet ketat. Mungkin jika tak ingat ambisiku untuk bisa langsing, aku tak akan melakukan diet itu.
Dulu, saat aku masih menjadi istri Mas Wijaya, jangankan merawat diri, ingin makan enak saja aku tak pernah bisa. Jika ingin makan enak, aku harus pulang dulu ke rumah ibuku. Itupun harus menempuh perjalanan jauh dari kampung ini. Aku masih ingat jelas, bagaimana menderitanya diriku saat menjadi istri Mas Wijaya.Setiap hari, aku hanya makan lauk pauk seadanya. Sambal terasi dan ikan asin adalah menu andalanku. Meskipun tak pernah makan enak, anehnya, tubuhku semakin bertambah gemuk. Mungkin karena aku sering menumpahkan kekesalanku pada Mas Wijaya lewat makanan.Mas Wijaya sendiri tak memiliki pekerjaan setelah ia terkena PHK dari pabrik tekstil tempat ia berkerja dulu. Karena terlalu lama menganggur, membuat ia semakin malas untuk mencari pekerjaan. Setiap hari, kerjaan Mas Wijaya hanya makan dan tidur. Ia sama sekali tak mau memikirkan kesusahan hidup. Mau tak mau, aku yang bekerja menjadi buruh cuci untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.Upah hasil menjadi buruh cuci yang tak seberapa, membuat aku akhirnya nekad terbang ke luar negeri untuk mengadu nasib menjadi seorang TKW. Mas Wijaya dan Ibu mertua sangat mendukungku. Mereka bilang, menjadi TKW adalah jalan satu-satunya untuk memperbaiki keadaan ekonomi kami.Setelah satu setengah tahun bekerja, Mas Wijaya memintaku mengirimkan uang untuk membangun rumah kami yang memang kondisinya kurang layak. Aku yang percaya padanya akhirnya menuruti keinginan Mas Wijaya. Memang benar, Mas Wijaya menggunakan uang yang aku kirim untuk membangun rumah kami hingga menjadi besar dan juga bagus.Setelah selesai membangun rumah, Mas Wijaya kembali memintaku mengirimkan uang setiap bulan. Mas Wijaya bilang, ia ingin membuka sebuah usaha. Agar setelah aku pulang dari luar negeri nanti, kami memiliki sebuah usaha agar tak perlu lagi capek-capek bekerja.Dan bodohnya, aku percaya sepenuhnya pada omongan Mas Wijaya tanpa memiliki kecurigaan apapun. Aku menuruti setiap keinginannya yang memintaku untuk mengirimkan uang gajiku setiap bulan. Ia selalu merayu dengan kata-kata manis dan bisa membuatku selalu percaya.Tepat saat kepulanganku dari luar negeri tanpa sepengetahuan Mas Wijaya, Tuhan membukakan mataku. Semua kebusukan Mas Wijaya akhirnya terbongkar. Jika mengingat semua itu, hati ini sangat sakit. Luka itu masih menganga lebar dan menimbulkan rasa perih hingga kini. Rasa sakit ini tak akan pernah sembuh jika belum mengambil hak milikku yang diambil Mas Wijaya dengan cara licik.Apalagi jika mengingat perlakuan Ibu mertua dan Kakak iparku, bertambah sakit saja hati ini. Selama beberapa tahun menikah dengan Mas Wijaya, aku belum juga mendapatkan momongan. Ibu mertua dan Kakak iparku Mbak Rosi selalu saja menyalahkan aku. Hinaan dan cacian mereka lontarkan dan sering membuat hati ini sangat sakit. Mereka secara terang-terangan mengataiku mandul tanpa pernah memikirkan perasaanku.Aku menghapus air mata yang tanpa sadar telah menetes dari sudut mata. Aku telah berjanji tak akan menangis lagi. Mungkin tetesan air mata ini adalah air mata tangisan yang menangisi kebodohanku di masa lalu. Aku akan buktikan pada mereka, bahwa aku tak akan menjadi wanita yang lemah seperti dulu. Yang hanya bisa meratap dan menangis.*****"Na, kamu masak sendiri ya? Saya mau buka toko dulu," kataku pada Nana yang sedang sibuk memotong sayuran."Iya, Bu, ini kan memang tugas saya. Nanti kalau saya sudah selesai masak, saya bantu Ibu di depan.""Iya, Na, terima kasih.""Sama-sama, Bu," kata Nana dengan senyuman lebar.Pagi ini, aku berencana untuk membuka toko milikku. Kemarin, aku dan Nana sudah membereskan dan menyusun barang-barang sembako yang telah aku beli kemarin. Semua barang juga sudah tersusun rapi. Aku segera membuka rolling door besi yang terpasang dibagian depan bangunan toko. Barulah cahaya matahari bisa masuk ke dalam toko ini. Suasana dalam toko juga sudah terlihat terang dan tak gelap seperti tadi saat belum di buka."Alma, kamu beneran Alma kan?" tanya Mbak Rahma tetanggaku yang kebetulan lewat depan toko. Ia segera menghampiri ku dengan wajah antusias."Iya, Mbak, aku Alma. Apa kabar Mbak Rahma?" tanyaku sopan."Aku baik, Al. Masya Allah, kamu cantik sekali sekarang, Al? Kamu tinggal di sini sekarang?""Iya, Mbak, aku tinggal di sini sekarang.""Ya Allah, jadi wanita yang kemarin jadi bahan ghibahan warga itu kamu to, Al? Kami semua gak ada yang paham kalau ini kamu. Kami pikir, kamu orang baru yang menempati rumah ini.""Maaf, Mbak, maksudnya bahan ghibahan itu apa ya?" tanyaku tak mengerti."Ituloh, Al, waktu Lastri teriak-teriak kemarin. Pantas saja Lastri cemburu berat sama kamu. Lawong kamu aja makin cantik begini," jelas Mbak Rahma dengan tawa kecil."Hehe, iya, Mbak. Terima kasih. Mbak Rahma terlalu berlebihan memuji.""Berlebihan gimana, Al, orang kamu beneran cantik begini. Oh ya, ngomong-ngomong, yang buka toko ini kamu?""Iya, Mbak, benar. Mbak Rahma tolong kasih tahu warga sekitar ya? Kalau mau belanja bisa ke toko aku.""Siap, Al. Nanti aku infokan ke warga yang lainnya. Oh ya, kok kamu bisa tinggal depan rumah Wijaya sih? Apa kamu gak risih melihat Wijaya dengan Lastri? Kami yang bukan siapa-siapa mereka aja risih.""Panjang ceritanya, Mbak. Maksud Mbak Rahma risih gimana?""Ya risih aja, Al. Tiap hari kerjaannya ribut mulu mereka itu. Meskipun jadi tontonan warga, mereka pada gak malu. Apalagi si Lastri.""Gitu ya, Mbak. Biarkan saja, Mbak, yang penting kita gak ikut campur.""Iya, Al, aku rasa itu karma si Lastri dan Wijaya karena sudah selingkuhin kamu."Aku tersenyum mendengar cerita Mbak Rahma. Ternyata, Tuhan memang tak pernah tidur. Tanpa perlu aku capek-capek merusak hubungan rumah tangga mereka, nyatanya rumah tangga mereka selama ini memang tidak baik-baik saja. Itu artinya, jika mereka sampai berpisah suatu hari nanti, itu bukan kesalahanku sepenuhnya.Hari ini, toko sembako milikku diserbu banyak pembeli. Mungkin karena Mbak Rahma yang telah menginformasikan pada warga sekitar bahwa toko sembako milikku telah buka. Sebab, di kampung ini hanya toko milikku lah yang paling besar dan juga lengkap. Selain karena memang ingin membeli kebutuhan sembako, warga sekitar berbondong-bondong datang ke toko karena penasaran denganku. Mereka semua terlihat antusias dan bertanya mengapa aku bisa berubah secantik ini. Aku malah merasa seperti seorang artis yang sedang diwawancarai secara bergantian.Warga sekitar juga kepo dan tak segan bertanya langsung padaku mengapa aku bisa tinggal di depan rumah Mas Wijaya. Aku hanya menjawab singkat pertanyaan dari mereka. Tak mungkin juga aku jujur pada mereka tentang niatku yang sebenarnya.Tapi aku senang, berkat kekepoan warga sekitar toko milikku sangat ramai pembeli hari ini. Aku benar-benar merasa bersyukur, sebab omset hari ini cukup besar. Aku mendapatkan keuntungan yang cukup besar juga hari ini. Jika barang-barang di toko habis, aku akan kembali berbelanja di toko grosir Mas Wijaya. Dengan begitu, aku bisa meminta diskon kembali padanya. Ia sendiri yang waktu itu menjanjikan akan memberikan diskon besar padaku.Pukul 17.30, aku memutuskan untuk menutup toko. Aku memang tak ingin membuka toko hingga malam. Batas buka toko hanya sampai sebelum magrib tiba. Dengan begitu, aku bisa beribadah dan beristirahat di malam hari.Saat aku sedang menutup rolling door, sebuah mobil memasuki halaman rumah Mas Wijaya. Aku bisa melihat dengan jelas sebab rumah kami saling berhadapan. Ternyata mobil itu adalah mobil Mas Wijaya. Ia turun dari mobilnya dan di sambut oleh istrinya Lastri yang baru saja keluar dari rumah. Tiba-tiba saja, Mas Wijaya menoleh ke arahku tanpa memperdulikan istrinya Lastri yang berada di sampingnya saat ini.Aku sedikit tersentak kaget melihat aksi Mas Wijaya yang malah melambaikan tangannya padaku dan tersenyum lebar. Seolah Mas Wijaya sedang menyapaku.Astaga ... Padahal ada Lastri istrinya yang sedang berdiri tepat di samping Mas Wijaya. Tetapi, masih sempat-sempatnya Mas Wijaya tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Seolah Lastri tak ada harga dirinya di mata Mas Wijaya.******Lastri langsung memukul lengan Mas Wijaya karena aksinya meyapaku. Lalu menarik kasar tangan Mas Wijaya untuk masuk ke dalam rumah. Mereka terlihat adu mulut sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa dengan jelas mendengarnya. Wajar saja, istri mana yang tak marah bila suaminya malah menyapa wanita lain di depan istrinya sendiri. Bahkan, keberadaan Lastri seolah tak dianggap oleh Mas Wijaya.Aku segera menutup rolling door toko dan segera masuk untuk mandi dan membersihkan diri. Aku sedikit bingung dengan hubungan rumah tangga Lastri dan Mas Wijaya. Aku merasa, hubungan mereka memang tak harmonis. Aku pikir, selama ini mereka hidup bahagia. Tapi nyatanya tidak, bisa jadi itu memang sebuah karma yang Tuhan berikan untuk mereka karena pernah mendzolimi aku."Bu Alma, makan malam udah siap," kata Nana yang berpapasan denganku."Iya, Na. Nanti saja kita makan bersama setelah sholat magrib. Aku mau mandi dulu.""Iya, Bu."Aku bergegas masuk ke dal
Aku tersenyum miring melihat layar ponselku yang masih menampilkan nominal uang yang baru saja ditranfer oleh Mas Wijaya. Meskipun nominal uang ini belum sebanding dengan uang yang sudah ia ambil dariku, tapi ini sudah cukup lumayan. Setidaknya, ini awal yang baik. Aku akan pastikan, akan ada uang-uang yang lainnya yang akan aku dapatkan dari Mas Wijaya.Setelah semua uangku yang pernah diambil oleh Mas Wijaya sudah terkumpul semuanya, barulah aku akan pergi meninggalkannya. Aku jadi tak sabar, melihat reaksi Mas Wijaya seandainya ia tahu rencana licikku ini. Agar ia juga merasakan, bagaimana rasa sakit yang pernah aku rasakan dulu.Sebuah notif pesan masuk dalam ponselku. Ternyata pesan itu dari Mas Wijaya.["Al, aku udah kirim uangnya ke nomor rekening kamu.] Isi pesan dari Mas Wijaya. Benar dugaanku, uang masuk itu memang dari Mas Wijaya.["Terima kasih, Mas."] balasku. Aku menutup ponselku kembali dan memasukkannya dalam kecil yang aku bawa.Aku kembali berjalan ke area pasar yang
"Nana, Nana ...!" panggilku berulang kali. Tapi tak ada jawaban dari Nana.Aku berjalan menuju ruang makan, makanan untuk sarapan sudah tersaji di meja makan. Dapur juga sudah terlihat bersih dan rapi. Tak ada tumpukan cucian piring dan bekas perabot untuk memasak. Lantai rumah juga sudah bersih dan juga wangi seperti habis dipel. Lalu, kemana perginya Nana?Aku mendesah kesal, harusnya saat ini aku sudah siap untuk membuka toko. Jika Nana tak ada, siapa yang akan membantuku menurunkan barang belanjaan di mobil yang lumayan banyak? Aku sedikit khawatir dengan kepergian Nana. Entahlah, pikiran-pikiran buruk tiba-tiba membuat hati ini gusar.Aku berjalan menuju kamar Nana, ingin memastikan bahwa Nana tak pergi dari rumah. Sebab itulah yang aku pikirkan saat ini. Aku membuka lemari baju Nana. Semua baju Nana masih tersusun rapi di sana. Aku bernapas lega, ternyata, apa yang aku pikirkan salah. Mungkin saja saat ini Nana hanya keluar rumah sebentar. Sepertinya, pemikiranku terlalu berlebi
Aku menarik handle jendela yang berada di bagian bawah dengan sangat kuat. Hingga jari jemari tangan pria bermasker dan bertopi itu yang menyembul di bagian dalam terjepit di antara sela-sela kayu kusen dan kayu jendela. Pria itu berteriak kesakitan. Meskipun aku merasa sangat ketakutan, aku mencoba memberanikan diri untuk melawan. Untung saja, lampu kamar menyala terang. Sebab aku memang tak bisa tidur dalam keadaan gelap."Nana! Nana! Tolong!" teriakku memanggil Nana. Tanganku masih memegang kuat handle jendela.Pria itu masih berusaha untuk menarik tangannya sambil mengaduh kesakitan. Rasakan! Siapa suruh ia datang ke rumahku dengan cara seperti ini. Aku yakin, pria itu pasti punya niat jahat padaku.Tok! Tok! Tok!Nana mengetuk pintu kamarku. "Bu Alma! Bu Alma! Apa yang terjadi, Bu!" teriak suara Nana dari balik pintu kamarku.Aku baru ingat, pintu kamarku terkunci dari dalam. Hingga Nana tak bisa masuk untuk menolongku.Brak! Brak!Pria itu menggebrak kaca jendela kamarku dengan
Aku mencoba mengenali pria itu dari motornya. Sayangnya, aku belum lama tinggal di kampung ini. Motornya juga terlihat masih baru dan belum terpasang plat nomor polisi. Motor itu melaju duluan, ternyata ia juga sama-sama ingin menyeberangi jalan raya. Segera aku mengikuti motor itu. Siapa tahu, aku akan mendapatkan petunjuk.Untung saja, jalanan pagi ini cukup sepi. Jadi aku bisa dengan mudah mengikuti motor yang dikemudikan pria misterius itu. Setelah sampai di pertigaan, tiba-tiba saja pria itu berbelok arah ke kanan dan memancu motornya dengan kecepatan tinggi. Aku berusaha menambah kecepatan mobilku. Tapi sayangnya, aku kehilangan jejak. Apa mungkin, pria itu tahu aku mengikutinya?Aku semakin yakin bahwa pria itulah yang pernah datang ke rumahku malam itu dan mencoba masuk ke dalam kamarku. Aku mencoba tetap melajukan mobilku untuk menemukan pria itu. Tetapi tetap saja tak berhasil. Sial! Kemana perginya pria itu? Lain kali, aku pasti akan menemukannya. Sebab aku yakin, pria itu t
"Belanjaan kamu udah siap, Al," kata Mas Wijaya yang kini sudah duduk di depan meja kerjanya."Terima kasih, Mas. Jadi totalnya berapa, Mas?""Totalnya delapan juta. Tapi kamu gak usah bayar deh. Aku kasih gratis buat kamu.""Yang benar, Mas? Kamu baik banget deh, Mas. Sering sekali kasih aku gratisan," kataku dengan senyuman mengembang."Ini sih belum seberapa kali, Al. Coba kalau kamu mau jadi istriku lagi, apapun yang kamu mau, pasti aku turuti. Bahkan kalau kamu minta ambilkan bulan sekalipun, aku akan ambilkan untukmu.""Gombal deh kamu, Mas.""Kok gombal? Aku serius, Al. Kamu perlu apa, kasih tahu aku? Pasti aku akan kasih untuk kamu.""Kamu serius, Mas?""Iya, Alma Sayang ... duh, aku harus gimana lagi sih biar kamu percaya?"Mas Wijaya tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Lalu ia duduk di atas meja kerjanya di depanku."Iya deh, Mas, aku percaya kok.""Al, aku sayang banget sama kamu. Kamu mau ya, nikah lagi sama aku?" tanya Mas Wijaya lalu memegang tanganku. Membuat aku se
"Mas, apa kamu yang udah transfer uang ini?" tanyaku pada Mas Wijaya. Mataku masih memandang nominal uang di layar ponsel."Iya, Al. Itu sebagai tanda permintaan maaf aku buat kamu," jawab Mas Wijaya tersenyum."Tapi ini terlalu banyak, Mas.""Ya ampun, Al. Uang segitu gak ada artinya buat aku. Seandainya kamu mau jadi istri aku lagi. Aku akan kasih berapapun yang kamu mau. Kalau perlu, semua uang aku akan jadi milik kamu," kata Mas Wijaya dengan nada bicara terdengar sombong.Mas Wijaya selalu saja meninggi, seolah ia memiliki segalanya. Padahal, apa yang ia miliki saat ini tak lepas dari peranku. Aku yang dulu mati-matian bekerja, tapi ia yang saat ini menikmati hasilnya. Apakah ia tak merasa malu padaku? Atau mungkin, ia sudah amnesia dan melupakan perbuatan dzolimnya padaku.Biarlah, saat ini ia bersikap sombong. Tetapi, aku akan pastikan suatu hari nanti sikap sombongnya akan berubah dengan tangisan. Aku ingin lihat, bagaimana ia jatuh terpuruk hingga hancur sehancur-hancurnya ke
Ting!Sebuah suara notifikasi pesan membuyarkan aku dari lamunan. Ternyata pesan dari Mas Wijaya. Ia mengirim pesan padaku bahwa ia sebentar lagi akan tiba di pusat perbelanjaan tempat kami janjian bertemu. Setelah membalas pesan darinya, aku segera bersiap untuk pergi. Sebelum pergi, tak lupa aku mengunci pintu kamar. Hal ini aku lakukan untuk berjaga-jaga agar barang-barang milikku tak hilang lagi."Na, saya pergi dulu ya?" kataku pada Nana yang sedang duduk di depan televisi sambil melipat pakaian."Oh, iya, Bu, hati-hati di jalan.""Iya, Na. Oh ya, Na, apa sebelumnya kamu pernah membawa masuk teman ke rumah ini? Atau, ada tetangga yang pernah main ke rumah ini?" tanyaku, sebelum pergi."Enggak ada, Bu. Saya kan gak ada teman di sini. Gak ada juga tetangga yang pernah datang ke sini. Yang ada, saya yang suka main ke rumah tetangga. Memang kenapa, Bu?" jawab Nana sekaligus bertanya."Gak papa, Na. Saya cuma tanya aja kok. Ya sudah, saya pergi dulu.""Iya, Bu."Aku segera keluar dari