Share

Bab 7

Aku mematut diri di depan cermin. Wajah putih glowing, hidung mancung dan dagu yang sedikit lancip, menambah sempurnanya paras dan bentuk wajah ini. Belum lagi, leher jenjang dan tubuh langsing membuat aku semakin percaya diri. Tapi merawat tubuh hingga seperti ini tidaklah mudah. Aku butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan tubuh seideal ini. Aku bahkan sampai harus jatuh sakit karena menjalani diet ketat. Mungkin jika tak ingat ambisiku untuk bisa langsing, aku tak akan melakukan diet itu.

Dulu, saat aku masih menjadi istri Mas Wijaya, jangankan merawat diri, ingin makan enak saja aku tak pernah bisa. Jika ingin makan enak, aku harus pulang dulu ke rumah ibuku. Itupun harus menempuh perjalanan jauh dari kampung ini. Aku masih ingat jelas, bagaimana menderitanya diriku saat menjadi istri Mas Wijaya.

Setiap hari, aku hanya makan lauk pauk seadanya. Sambal terasi dan ikan asin adalah menu andalanku. Meskipun tak pernah makan enak, anehnya, tubuhku semakin bertambah gemuk. Mungkin karena aku sering menumpahkan kekesalanku pada Mas Wijaya lewat makanan.

Mas Wijaya sendiri tak memiliki pekerjaan setelah ia terkena PHK dari pabrik tekstil tempat ia berkerja dulu. Karena terlalu lama menganggur, membuat ia semakin malas untuk mencari pekerjaan. Setiap hari, kerjaan Mas Wijaya hanya makan dan tidur. Ia sama sekali tak mau memikirkan kesusahan hidup. Mau tak mau, aku yang bekerja menjadi buruh cuci untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.

Upah hasil menjadi buruh cuci yang tak seberapa, membuat aku akhirnya nekad terbang ke luar negeri untuk mengadu nasib menjadi seorang TKW. Mas Wijaya dan Ibu mertua sangat mendukungku. Mereka bilang, menjadi TKW adalah jalan satu-satunya untuk memperbaiki keadaan ekonomi kami.

Setelah satu setengah tahun bekerja, Mas Wijaya memintaku mengirimkan uang untuk membangun rumah kami yang memang kondisinya kurang layak. Aku yang percaya padanya akhirnya menuruti keinginan Mas Wijaya. Memang benar, Mas Wijaya menggunakan uang yang aku kirim untuk membangun rumah kami hingga menjadi besar dan juga bagus.

Setelah selesai membangun rumah, Mas Wijaya kembali memintaku mengirimkan uang setiap bulan. Mas Wijaya bilang, ia ingin membuka sebuah usaha. Agar setelah aku pulang dari luar negeri nanti, kami memiliki sebuah usaha agar tak perlu lagi capek-capek bekerja.

Dan bodohnya, aku percaya sepenuhnya pada omongan Mas Wijaya tanpa memiliki kecurigaan apapun. Aku menuruti setiap keinginannya yang memintaku untuk mengirimkan uang gajiku setiap bulan. Ia selalu merayu dengan kata-kata manis dan bisa membuatku selalu percaya.

Tepat saat kepulanganku dari luar negeri tanpa sepengetahuan Mas Wijaya, Tuhan membukakan mataku. Semua kebusukan Mas Wijaya akhirnya terbongkar. Jika mengingat semua itu, hati ini sangat sakit. Luka itu masih menganga lebar dan menimbulkan rasa perih hingga kini. Rasa sakit ini tak akan pernah sembuh jika belum mengambil hak milikku yang diambil Mas Wijaya dengan cara licik.

Apalagi jika mengingat perlakuan Ibu mertua dan Kakak iparku, bertambah sakit saja hati ini. Selama beberapa tahun menikah dengan Mas Wijaya, aku belum juga mendapatkan momongan. Ibu mertua dan Kakak iparku Mbak Rosi selalu saja menyalahkan aku. Hinaan dan cacian mereka lontarkan dan sering membuat hati ini sangat sakit. Mereka secara terang-terangan mengataiku mandul tanpa pernah memikirkan perasaanku.

Aku menghapus air mata yang tanpa sadar telah menetes dari sudut mata. Aku telah berjanji tak akan menangis lagi. Mungkin tetesan air mata ini adalah air mata tangisan yang menangisi kebodohanku di masa lalu. Aku akan buktikan pada mereka, bahwa aku tak akan menjadi wanita yang lemah seperti dulu. Yang hanya bisa meratap dan menangis.

*****

"Na, kamu masak sendiri ya? Saya mau buka toko dulu," kataku pada Nana yang sedang sibuk memotong sayuran.

"Iya, Bu, ini kan memang tugas saya. Nanti kalau saya sudah selesai masak, saya bantu Ibu di depan."

"Iya, Na, terima kasih."

"Sama-sama, Bu," kata Nana dengan senyuman lebar.

Pagi ini, aku berencana untuk membuka toko milikku. Kemarin, aku dan Nana sudah membereskan dan menyusun barang-barang sembako yang telah aku beli kemarin. Semua barang juga sudah tersusun rapi. Aku segera membuka rolling door besi yang terpasang dibagian depan bangunan toko. Barulah cahaya matahari bisa masuk ke dalam toko ini. Suasana dalam toko juga sudah terlihat terang dan tak gelap seperti tadi saat belum di buka.

"Alma, kamu beneran Alma kan?" tanya Mbak Rahma tetanggaku yang kebetulan lewat depan toko. Ia segera menghampiri ku dengan wajah antusias.

"Iya, Mbak, aku Alma. Apa kabar Mbak Rahma?" tanyaku sopan.

"Aku baik, Al. Masya Allah, kamu cantik sekali sekarang, Al? Kamu tinggal di sini sekarang?"

"Iya, Mbak, aku tinggal di sini sekarang."

"Ya Allah, jadi wanita yang kemarin jadi bahan ghibahan warga itu kamu to, Al? Kami semua gak ada yang paham kalau ini kamu. Kami pikir, kamu orang baru yang menempati rumah ini."

"Maaf, Mbak, maksudnya bahan ghibahan itu apa ya?" tanyaku tak mengerti.

"Ituloh, Al, waktu Lastri teriak-teriak kemarin. Pantas saja Lastri cemburu berat sama kamu. Lawong kamu aja makin cantik begini," jelas Mbak Rahma dengan tawa kecil.

"Hehe, iya, Mbak. Terima kasih. Mbak Rahma terlalu berlebihan memuji."

"Berlebihan gimana, Al, orang kamu beneran cantik begini. Oh ya, ngomong-ngomong, yang buka toko ini kamu?"

"Iya, Mbak, benar. Mbak Rahma tolong kasih tahu warga sekitar ya? Kalau mau belanja bisa ke toko aku."

"Siap, Al. Nanti aku infokan ke warga yang lainnya. Oh ya, kok kamu bisa tinggal depan rumah Wijaya sih? Apa kamu gak risih melihat Wijaya dengan Lastri? Kami yang bukan siapa-siapa mereka aja risih."

"Panjang ceritanya, Mbak. Maksud Mbak Rahma risih gimana?"

"Ya risih aja, Al. Tiap hari kerjaannya ribut mulu mereka itu. Meskipun jadi tontonan warga, mereka pada gak malu. Apalagi si Lastri."

"Gitu ya, Mbak. Biarkan saja, Mbak, yang penting kita gak ikut campur."

"Iya, Al, aku rasa itu karma si Lastri dan Wijaya karena sudah selingkuhin kamu."

Aku tersenyum mendengar cerita Mbak Rahma. Ternyata, Tuhan memang tak pernah tidur. Tanpa perlu aku capek-capek merusak hubungan rumah tangga mereka, nyatanya rumah tangga mereka selama ini memang tidak baik-baik saja. Itu artinya, jika mereka sampai berpisah suatu hari nanti, itu bukan kesalahanku sepenuhnya.

Hari ini, toko sembako milikku diserbu banyak pembeli. Mungkin karena Mbak Rahma yang telah menginformasikan pada warga sekitar bahwa toko sembako milikku telah buka. Sebab, di kampung ini hanya toko milikku lah yang paling besar dan juga lengkap. Selain karena memang ingin membeli kebutuhan sembako, warga sekitar berbondong-bondong datang ke toko karena penasaran denganku. Mereka semua terlihat antusias dan bertanya mengapa aku bisa berubah secantik ini. Aku malah merasa seperti seorang artis yang sedang diwawancarai secara bergantian.

Warga sekitar juga kepo dan tak segan bertanya langsung padaku mengapa aku bisa tinggal di depan rumah Mas Wijaya. Aku hanya menjawab singkat pertanyaan dari mereka. Tak mungkin juga aku jujur pada mereka tentang niatku yang sebenarnya.

Tapi aku senang, berkat kekepoan warga sekitar toko milikku sangat ramai pembeli hari ini. Aku benar-benar merasa bersyukur, sebab omset hari ini cukup besar. Aku mendapatkan keuntungan yang cukup besar juga hari ini. Jika barang-barang di toko habis, aku akan kembali berbelanja di toko grosir Mas Wijaya. Dengan begitu, aku bisa meminta diskon kembali padanya. Ia sendiri yang waktu itu menjanjikan akan memberikan diskon besar padaku.

Pukul 17.30, aku memutuskan untuk menutup toko. Aku memang tak ingin membuka toko hingga malam. Batas buka toko hanya sampai sebelum magrib tiba. Dengan begitu, aku bisa beribadah dan beristirahat di malam hari.

Saat aku sedang menutup rolling door, sebuah mobil memasuki halaman rumah Mas Wijaya. Aku bisa melihat dengan jelas sebab rumah kami saling berhadapan. Ternyata mobil itu adalah mobil Mas Wijaya. Ia turun dari mobilnya dan di sambut oleh istrinya Lastri yang baru saja keluar dari rumah. Tiba-tiba saja, Mas Wijaya menoleh ke arahku tanpa memperdulikan istrinya Lastri yang berada di sampingnya saat ini.

Aku sedikit tersentak kaget melihat aksi Mas Wijaya yang malah melambaikan tangannya padaku dan tersenyum lebar. Seolah Mas Wijaya sedang menyapaku.

Astaga ... Padahal ada Lastri istrinya yang sedang berdiri tepat di samping Mas Wijaya. Tetapi, masih sempat-sempatnya Mas Wijaya tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Seolah Lastri tak ada harga dirinya di mata Mas Wijaya.

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status