Share

Bab 3 Bertubi-tubi

“Aku akan melindungimu sampai akhir Liv.”

Olivia pikir ucapan William waktu itu hanya sebuah bualan atau godaan semata, tetapi ternyata pria itu bersungguh-sungguh pada ucapannya.

Olivia memeluk lututnya dan menatap kosong nisan di hadapannya. Hati dan pikirannya begitu kalut, rasa bersalah, kecewa, amarah dan dendam bergejolak dalam hatinya hingga membuatnya terasa sesak.

“Kak kenapa dia rela mempertaruhkan nyawanya demiku dan harus membuatku semakin merasa bersalah padamu?” isak Olivia dengan lemah.

Olivia meremas kalung dengan liontin bulan yang menggantung di lehernya lalu menyeka air matanya dan beranjak pergi dari tempat itu menuju rumah sakit.

Begitu tiba di sebuah ruang rawat terlihat William yang masih terbaring di atas tempat tidur. Sudah dua minggu matanya sempurna tertutup. Rentetan kejadian mengerikan dua minggu lalu kembali terputar dalam benak Olivia.

Olivia menggenggam tangan William dengan erat, matanya mulai berair menatap suaminya.

“Will, sampai kapan kamu akan tertidur seperti ini…” suara Olivia tersenggal, tangisnya kembali pecah.

Namun tanpa terduga tiba-tiba Olivia merasakan jari-jemari William berkedut perlahan.

Olivia mengerjap lalu menatap tangan William dengan harapan yang semakin membara di dalam hatinya dan benar saja beberapa saat kemudian William akhirnya membuka matanya.

“Will akhirnya kamu siuman,” seru Olivia dengan tangis haru yang membasahi wajahnya.

“Kamu siapa?” celetuk William.

Olivia sontak termangu, kebahagiaan yang baru saja ia rasakan sirna begitu saja.

“Will, ini aku Olivia….”

William tidak menggubris perkataan Olivia dan malah menatap wanita itu dengan penuh tanda tanya.

“Ya Tuhan….” Olivia menangkup wajahnya, tangis harunya seketika berubah menjadi tangis ketakutan hanya dalam beberapa detik saja.

Dengan tunggang langgang Olivia berlari keluar dari ruangan dan memanggil dokter.

“Suami Anda mengalami amnesia….”

Tubuh Olivia melemas, wajahnya memutih, kepalanya mendadak terasa berputar setelah mendengar ucapan dokter beberapa menit yang lalu.

Olivia memukul dadanya yang terasa sakit, meluapkan amarah pada takdir pahit yang harus dihadapinya beturut-turut.

Hal menyakitkan bertubi-tubi harus Olivia terima hanya dalam kurun waktu kurang dari satu bulan. Hidupnya, dunianya benar-benar hancur setelah ini dan bagaimana ia harus melanjutkan semuanya?

“Liv….” Suara Jimmy dari ujung koridor memecah lamunan Olivia.

Seketika Olivia memeluk pria itu dengan erat dan ia tumpahkan seluruh kesedihan yang terpendam dalam hatinya.

Jimmy tersentak tidak menduga bahwa Olivia akan memeluknya, tetapi Jimmy memilih untuk tidak banyak berpikir dan berusaha menenangkan Olivia.

“Jim, bagaimana ini? William tidak mengingat apa pun dia bahkan tidak mengenaliku,” isak Olivia.

“Kita hadapi bersama dan bantu dia pelan-pelan, semuanya akan baik-baik saja Liv,” ujar Jimmy seraya mengelus punggung Olivia dengan lembut.

“Bagaimana kalau dia tidak akan mencintaiku lagi seperti sebelumnya?”

“Itu tidak akan terjadi, kau tahu Will sangat mencintaimu, walaupun dalam benaknya ia tidak mengingatmu aku yakin hatinya akan mengenalimu.”

Olivia terdiam, otaknya terus berputar memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi selanjutnya. Olivia tidak pernah menyangka hal seperti ini akan menimpa hidupnya dan semua ini terjadi karena tragedi sialan itu.

Seandainya Olivia bisa memutar kembali waktu, ia tidak akan membiarkan semua hal menyakitkan ini terjadi.

“Seandainya aku tidak diam saja waktu itu, mungkin semuanya akan baik-baik saja.”

Jimmy menghela napas berat, sudah yang ke sekian kali Olivia menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian malam itu. Melihat Olivia menderita seperti saat ini sungguh membuat Jimmy ikut terluka.

“Tidak, Liv semua ini bukan salahmu, kau juga pasti sangat terkejut waktu itu.”

Olivia mengusap wajahnya lalu menggenggam tangan Jimmy begitu erat. Lagi-lagi Jimmy tersentak dan hendak menarik tangannya tetapi Jimmy mengurungkan niatnya demi memuaskan kerinduannnya pada wanita itu.

“Jim bisakah kamu tidak memberi tahu William tentang hubunganku dan dia?” pinta Olivia secara mengejutkan.

Dahi Jimmy mengerut, matanya yang bulat menatap Olivia penuh tanda tanya. “Kenapa? Bukankah….”

“Aku akan melakukannya dengan caraku, kamu bisa membantuku kan? Hanya itu permintaanku Jimmy.”

“Baiklah,” balas Jimmy ragu. “Aku dengar kamu bertengkar hebat dengan William sebelum penculikan itu, apa….”

“Aku sudah melupakan pertengkaran itu, William mempertaruhkan nyawanya demi melindungiku… aku ingin memaafkannya.”

Setelah obrolan singkat dengan Jimmy, Olivia kembali ke ruang rawat dengan hati yang berat. Dunianya seolah hancur dalam sekejap mata. Hanya William yang Olivia miliki saat ini dalam hidupnya dan ia tidak tahu harus bagaimana lagi jika William tidak mencintainnya.

“Sepertinya kita saling mengenal,” celetuk William memecah lamunan Olivia yang masih berdiri di ambang pintu.

Olivia mengerjap, begitu pandangan mereka bertemu lagi-lagi hanya tatapan asing yang William berikan padanya. Sontak kepedihan kembali memenuhi hati Olivia. Matanya mulai memanas dengan keras Olivia berusaha untuk menguatkan dirinya.

“Aku Olivia, dan kita… berteman,” sahut Olivia getir tanpa menatap wajah William sambil memaksakan seulas senyuman.

William mengernyitkan keningnya, bola matanya menyelidik wajah Olivia seolah sedang memastikan sesuatu.

“Benarkah, sepertinya….”

“Will, ada hal penting yang harus kamu ketahui,” sela Olivia yang kali ini terlihat lebih serius. “Satu-satunya keluarga yang tersisa yang kamu miliki sekarang adalah kakak laki-lakimu. Namanya Daniel Savero, tetapi hubungan kalian tidak terlalu baik. Dia berusaha merebut perusahaan hingga membuatmu seperti ini dia sosok yang sangat berbahaya….”

Perkataan Olivia tiba-tiba terhenti dan air matanya kembali menitik membasahi pipinya.

William sontak terkejut lalu dengan hati-hati ia mendekati Olivia. Ia menatap iba ke arah Olivia lalu mengelus pundak wanita di hadapannya dengan lembut.

“Kenapa kamu menangis? Apa dia menyakitimu?”

Olivia menggeleng, tangisannya semakin kencang, ia pukul dadanya yang terasa sesak lalu ia remas-remas kepalan tangannya seolah sedang menyingkirkan sesuatu,

Melihat tangis Olivia yang semakin histeris tubuh William tiba-tiba tergerak dengan sendirinya menarik wanita itu ke dalam pelukannya.

Dia peluk Olivia dengan erat, lalu ia genggam kedua tangan Olivia agar gerakan wanita itu terhenti. Entah mengapa hati William ikut terasa sakit saat melihat wanita di hadapannya itu menangis.

“Will, maafkan aku…,” pinta Olivia dengan kalimat yang menggantung sambil tersedu-sedu.

“Untuk apa kamu meminta maaf?”

Olivia tidak mampu mengeluarkan kata-katanya padahal pengakuan tentang kejadian itu sudah diujung lidahnya. Tetapi lagi-lagi hanya tangisan yang bisa menyuarkan rasa bersalahnya.

‘Maaafkan aku untuk semua hal yang telah dan akan terjadi,’ batin Olivia.

Di tengah kebingungan William dan kesedihan Olivia William tiba-tiba pintu ruangan kembali terbuka dan seorang pria berwajah angkuh melangkah masuk.

“Lama tidak bertemu Will, Olie,” sapa Daniel dengan keramahannya yang menyeramkan.

Olivia mematung seketika, ketakutan seketika menyeruak dari dalam hatinya.

Melihat kondisi Olivia, William langsung mengangkat sebelah alisnya menebak-nebak siapa yang kini berhadapan dengannya. Sorot matanya yang hangat seketika menajam.

‘Sepertinya dia adalah Daniel yang baru saja Olivia bicarakan,” batin William.

“Kau tidak mungkin datang kemari untuk menjenguk atau beramah tamah padaku kan?” cibir William.

“Tentu saja aku datang untuk melihat kondisi adikku yang baru saja siuman ini. aku sangat khawatir karena mendengar kalau kau mengalami amnesia.”

“Will, jangan terlalu dekat dengannya aku mohon…,” bisik Olivia dengan lirih seraya mencengkram lengan William dengan kuat berusaha mencegah William untuk melangkah dan memangkas jaraknya dengan Daniel yang bisa saja membahayakan keselamatannya lagi.

William memicingkan ujung matanya dan menatap Daniel dengan dingin, bersiap untuk segala kemungkinan yang mungkin akan pria gila itu lakukan. William tidak tahu mengapa ia melakukannya seluruh anggota tubuhnya seolah bergerak sendiri.

Daniel terkekeh, ia tertawa seperti orang gila hingga matanya berair, “Wah apa saja yang telah Jimmy dan Olie katakan padamu sampai kamu bisa dengan mudah berburuk sangka begitu pada kakakmu sendiri?” seru Daniel, “Bagaimana bisa kamu lebih mempercayai dua orang asing ini dibandingkan keluargamu sendiri?”

“Karena mungkin kamu yang membuatnya seperti itu,” balas William dingin.

Daniel menyeka ujung matanya, lalu pandanganya beralih pada Olivia yang kini menduduk takut bahkan sekujur tubuhnya bergetar. Tetapi entah dimana hal lucunya Daniel kembali tertawa geli.

“Apa kau baik-baik saja Olie?” tanya Daniel dengan nada mencibir.

Daniel melangkah mendekati Olivia. Olivia langsung bergerak mundur hingga terjatuh. Ketika Daniel hendak menyentuhnya Olivia sontak menjerit ketakutan dan menangis histeris.

Dengan cepat William segera menarik tangan Daniel agar pria itu menjauh dan langsung memeluk Olivia, membenamkan wajah wanita itu dalam pelukkannya karena jelas sekali Olivia tidak bisa melihat Daniel di dekatnya.

“Olivia tenanglah,” ucap William seraya menepuk-nepuk punggung Olivia untuk menenagkannya.

Menyaksikan pemandangan semacam itu di depan matanya tawa Daniel kembali pecah. “Baiklah permainan sepertinya sudah dimulai,” celetuknya dengan tatapan penuh arti yang ia lemparkan pada Olivia.

‘Permainan apa yang dia bicarakan?’ batin William resah.

Tiba-tiba Daniel mendekati William, memangkas jarak antara keduanya lalu ia membisikkan sesuatu tepat di telinga William, “Aku penasaran dengan hasilnya. Mana yang akan membuatmu lebih tercengang pada akhirnya. Apakah masa lalu yang pernah kau lupakan atau rahasia yang belum sempat kau pecahkan?”

Setelah itu Daniel kembali melirik ke arah Olivia, “Dan Olie… aku selalu menyukaimu….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status