“Aku akan melindungimu sampai akhir Liv.”
Olivia pikir ucapan William waktu itu hanya sebuah bualan atau godaan semata, tetapi ternyata pria itu bersungguh-sungguh pada ucapannya.
Olivia memeluk lututnya dan menatap kosong nisan di hadapannya. Hati dan pikirannya begitu kalut, rasa bersalah, kecewa, amarah dan dendam bergejolak dalam hatinya hingga membuatnya terasa sesak.
“Kak kenapa dia rela mempertaruhkan nyawanya demiku dan harus membuatku semakin merasa bersalah padamu?” isak Olivia dengan lemah.
Olivia meremas kalung dengan liontin bulan yang menggantung di lehernya lalu menyeka air matanya dan beranjak pergi dari tempat itu menuju rumah sakit.
Begitu tiba di sebuah ruang rawat terlihat William yang masih terbaring di atas tempat tidur. Sudah dua minggu matanya sempurna tertutup. Rentetan kejadian mengerikan dua minggu lalu kembali terputar dalam benak Olivia.
Olivia menggenggam tangan William dengan erat, matanya mulai berair menatap suaminya.
“Will, sampai kapan kamu akan tertidur seperti ini…” suara Olivia tersenggal, tangisnya kembali pecah.
Namun tanpa terduga tiba-tiba Olivia merasakan jari-jemari William berkedut perlahan.
Olivia mengerjap lalu menatap tangan William dengan harapan yang semakin membara di dalam hatinya dan benar saja beberapa saat kemudian William akhirnya membuka matanya.
“Will akhirnya kamu siuman,” seru Olivia dengan tangis haru yang membasahi wajahnya.
“Kamu siapa?” celetuk William.
Olivia sontak termangu, kebahagiaan yang baru saja ia rasakan sirna begitu saja.
“Will, ini aku Olivia….”
William tidak menggubris perkataan Olivia dan malah menatap wanita itu dengan penuh tanda tanya.
“Ya Tuhan….” Olivia menangkup wajahnya, tangis harunya seketika berubah menjadi tangis ketakutan hanya dalam beberapa detik saja.
Dengan tunggang langgang Olivia berlari keluar dari ruangan dan memanggil dokter.
“Suami Anda mengalami amnesia….”
Tubuh Olivia melemas, wajahnya memutih, kepalanya mendadak terasa berputar setelah mendengar ucapan dokter beberapa menit yang lalu.
Olivia memukul dadanya yang terasa sakit, meluapkan amarah pada takdir pahit yang harus dihadapinya beturut-turut.
Hal menyakitkan bertubi-tubi harus Olivia terima hanya dalam kurun waktu kurang dari satu bulan. Hidupnya, dunianya benar-benar hancur setelah ini dan bagaimana ia harus melanjutkan semuanya?
“Liv….” Suara Jimmy dari ujung koridor memecah lamunan Olivia.
Seketika Olivia memeluk pria itu dengan erat dan ia tumpahkan seluruh kesedihan yang terpendam dalam hatinya.
Jimmy tersentak tidak menduga bahwa Olivia akan memeluknya, tetapi Jimmy memilih untuk tidak banyak berpikir dan berusaha menenangkan Olivia.
“Jim, bagaimana ini? William tidak mengingat apa pun dia bahkan tidak mengenaliku,” isak Olivia.
“Kita hadapi bersama dan bantu dia pelan-pelan, semuanya akan baik-baik saja Liv,” ujar Jimmy seraya mengelus punggung Olivia dengan lembut.
“Bagaimana kalau dia tidak akan mencintaiku lagi seperti sebelumnya?”
“Itu tidak akan terjadi, kau tahu Will sangat mencintaimu, walaupun dalam benaknya ia tidak mengingatmu aku yakin hatinya akan mengenalimu.”
Olivia terdiam, otaknya terus berputar memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi selanjutnya. Olivia tidak pernah menyangka hal seperti ini akan menimpa hidupnya dan semua ini terjadi karena tragedi sialan itu.
Seandainya Olivia bisa memutar kembali waktu, ia tidak akan membiarkan semua hal menyakitkan ini terjadi.
“Seandainya aku tidak diam saja waktu itu, mungkin semuanya akan baik-baik saja.”
Jimmy menghela napas berat, sudah yang ke sekian kali Olivia menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian malam itu. Melihat Olivia menderita seperti saat ini sungguh membuat Jimmy ikut terluka.
“Tidak, Liv semua ini bukan salahmu, kau juga pasti sangat terkejut waktu itu.”
Olivia mengusap wajahnya lalu menggenggam tangan Jimmy begitu erat. Lagi-lagi Jimmy tersentak dan hendak menarik tangannya tetapi Jimmy mengurungkan niatnya demi memuaskan kerinduannnya pada wanita itu.
“Jim bisakah kamu tidak memberi tahu William tentang hubunganku dan dia?” pinta Olivia secara mengejutkan.
Dahi Jimmy mengerut, matanya yang bulat menatap Olivia penuh tanda tanya. “Kenapa? Bukankah….”
“Aku akan melakukannya dengan caraku, kamu bisa membantuku kan? Hanya itu permintaanku Jimmy.”
“Baiklah,” balas Jimmy ragu. “Aku dengar kamu bertengkar hebat dengan William sebelum penculikan itu, apa….”
“Aku sudah melupakan pertengkaran itu, William mempertaruhkan nyawanya demi melindungiku… aku ingin memaafkannya.”
Setelah obrolan singkat dengan Jimmy, Olivia kembali ke ruang rawat dengan hati yang berat. Dunianya seolah hancur dalam sekejap mata. Hanya William yang Olivia miliki saat ini dalam hidupnya dan ia tidak tahu harus bagaimana lagi jika William tidak mencintainnya.
“Sepertinya kita saling mengenal,” celetuk William memecah lamunan Olivia yang masih berdiri di ambang pintu.
Olivia mengerjap, begitu pandangan mereka bertemu lagi-lagi hanya tatapan asing yang William berikan padanya. Sontak kepedihan kembali memenuhi hati Olivia. Matanya mulai memanas dengan keras Olivia berusaha untuk menguatkan dirinya.
“Aku Olivia, dan kita… berteman,” sahut Olivia getir tanpa menatap wajah William sambil memaksakan seulas senyuman.
William mengernyitkan keningnya, bola matanya menyelidik wajah Olivia seolah sedang memastikan sesuatu.
“Benarkah, sepertinya….”
“Will, ada hal penting yang harus kamu ketahui,” sela Olivia yang kali ini terlihat lebih serius. “Satu-satunya keluarga yang tersisa yang kamu miliki sekarang adalah kakak laki-lakimu. Namanya Daniel Savero, tetapi hubungan kalian tidak terlalu baik. Dia berusaha merebut perusahaan hingga membuatmu seperti ini dia sosok yang sangat berbahaya….”
Perkataan Olivia tiba-tiba terhenti dan air matanya kembali menitik membasahi pipinya.
William sontak terkejut lalu dengan hati-hati ia mendekati Olivia. Ia menatap iba ke arah Olivia lalu mengelus pundak wanita di hadapannya dengan lembut.
“Kenapa kamu menangis? Apa dia menyakitimu?”
Olivia menggeleng, tangisannya semakin kencang, ia pukul dadanya yang terasa sesak lalu ia remas-remas kepalan tangannya seolah sedang menyingkirkan sesuatu,
Melihat tangis Olivia yang semakin histeris tubuh William tiba-tiba tergerak dengan sendirinya menarik wanita itu ke dalam pelukannya.
Dia peluk Olivia dengan erat, lalu ia genggam kedua tangan Olivia agar gerakan wanita itu terhenti. Entah mengapa hati William ikut terasa sakit saat melihat wanita di hadapannya itu menangis.
“Will, maafkan aku…,” pinta Olivia dengan kalimat yang menggantung sambil tersedu-sedu.
“Untuk apa kamu meminta maaf?”
Olivia tidak mampu mengeluarkan kata-katanya padahal pengakuan tentang kejadian itu sudah diujung lidahnya. Tetapi lagi-lagi hanya tangisan yang bisa menyuarkan rasa bersalahnya.
‘Maaafkan aku untuk semua hal yang telah dan akan terjadi,’ batin Olivia.
Di tengah kebingungan William dan kesedihan Olivia William tiba-tiba pintu ruangan kembali terbuka dan seorang pria berwajah angkuh melangkah masuk.
“Lama tidak bertemu Will, Olie,” sapa Daniel dengan keramahannya yang menyeramkan.
Olivia mematung seketika, ketakutan seketika menyeruak dari dalam hatinya.
Melihat kondisi Olivia, William langsung mengangkat sebelah alisnya menebak-nebak siapa yang kini berhadapan dengannya. Sorot matanya yang hangat seketika menajam.
‘Sepertinya dia adalah Daniel yang baru saja Olivia bicarakan,” batin William.
“Kau tidak mungkin datang kemari untuk menjenguk atau beramah tamah padaku kan?” cibir William.
“Tentu saja aku datang untuk melihat kondisi adikku yang baru saja siuman ini. aku sangat khawatir karena mendengar kalau kau mengalami amnesia.”
“Will, jangan terlalu dekat dengannya aku mohon…,” bisik Olivia dengan lirih seraya mencengkram lengan William dengan kuat berusaha mencegah William untuk melangkah dan memangkas jaraknya dengan Daniel yang bisa saja membahayakan keselamatannya lagi.
William memicingkan ujung matanya dan menatap Daniel dengan dingin, bersiap untuk segala kemungkinan yang mungkin akan pria gila itu lakukan. William tidak tahu mengapa ia melakukannya seluruh anggota tubuhnya seolah bergerak sendiri.
Daniel terkekeh, ia tertawa seperti orang gila hingga matanya berair, “Wah apa saja yang telah Jimmy dan Olie katakan padamu sampai kamu bisa dengan mudah berburuk sangka begitu pada kakakmu sendiri?” seru Daniel, “Bagaimana bisa kamu lebih mempercayai dua orang asing ini dibandingkan keluargamu sendiri?”
“Karena mungkin kamu yang membuatnya seperti itu,” balas William dingin.
Daniel menyeka ujung matanya, lalu pandanganya beralih pada Olivia yang kini menduduk takut bahkan sekujur tubuhnya bergetar. Tetapi entah dimana hal lucunya Daniel kembali tertawa geli.
“Apa kau baik-baik saja Olie?” tanya Daniel dengan nada mencibir.
Daniel melangkah mendekati Olivia. Olivia langsung bergerak mundur hingga terjatuh. Ketika Daniel hendak menyentuhnya Olivia sontak menjerit ketakutan dan menangis histeris.
Dengan cepat William segera menarik tangan Daniel agar pria itu menjauh dan langsung memeluk Olivia, membenamkan wajah wanita itu dalam pelukkannya karena jelas sekali Olivia tidak bisa melihat Daniel di dekatnya.
“Olivia tenanglah,” ucap William seraya menepuk-nepuk punggung Olivia untuk menenagkannya.
Menyaksikan pemandangan semacam itu di depan matanya tawa Daniel kembali pecah. “Baiklah permainan sepertinya sudah dimulai,” celetuknya dengan tatapan penuh arti yang ia lemparkan pada Olivia.
‘Permainan apa yang dia bicarakan?’ batin William resah.
Tiba-tiba Daniel mendekati William, memangkas jarak antara keduanya lalu ia membisikkan sesuatu tepat di telinga William, “Aku penasaran dengan hasilnya. Mana yang akan membuatmu lebih tercengang pada akhirnya. Apakah masa lalu yang pernah kau lupakan atau rahasia yang belum sempat kau pecahkan?”
Setelah itu Daniel kembali melirik ke arah Olivia, “Dan Olie… aku selalu menyukaimu….”
“Lalu bagaimana dengan Olivia?” pertanyaan lain yang Jimmy tidak siap untuk mendengar jawabannya. “Dia sedang merencanakan sesuatu untukku.” William tahu apa yang Olivia sedang rencanakan untuknya. Saat mengetahui hal itu William sempat berkali-kali menolak percaya pada kenyataan yang menimpanya. Namun akhirnya William bisa menerimanya. William mengalihkan pandangannya pada Jimmy, pria itu tampak tertekan dengan semua kenyataan yang baru saja ia terima saat ini. Terutama kenyataan tentang Olivia yang itu paasti paling mengusiknya. “Maaf aku memecatmu waktu itu, tapi rasanya itu keputusan yang tepat yang bisa aku lakukan,” ucap William, “Sepertinya kamu jadi sasaran empuk untuk menjebakku atau bisa jadi mereka tidak mau kamu berada di dekatku.” Jimmy memandangin William, “Dengan sendiri Anda bisa menjadi lemah,” imbuh Jimmy yang langsung di balas anggukan oleh William.“Jim, aku butuh bantuamu, karena itu aku menceritakan semua ini. Aku tidak tahu a
Jimmy terdiam dengan kening berkerut. Kalau dipikir-pikir surat elektronik yang Jimmy terima sebelumnya juga dari perusahaan teman dekat William. “Bagaimana kalau kamu tukar pertanyaannya?” celetuk William masih denagn ekspresinya yang datar. “Maksud Anda?” “Seperti.... Apa William benar-benar kehilangan ingatannya?” Jimmy sontak tertegun ia tidak bisa berkata-kata. William tidak perlu menyatakan lebih banyak fakta lebih lanjut tentang ingatannya karena rasanya Jimmy sudah dengan jelas mengetahui jawabannya saat ini. “Aku hanya pura-pura Jimmy,” imbuh William seraya melangkah lebih jauh ke dalam ruko kosong itu. Hening, Jimmy tidak menjawab apa-apa, wajahnya tampak bingung. Namun tentu saja William pasti memiliki alasan mengapa dia melakukan hal itu. “Mengapa Anda melakukannya?” akhirnya Jimmy bisa meluapkan rasa penasarannya. Namun di satu sisi entah mengapa Jimmy merasa takut untuk mendengar jawaban dari William. Seolah William sedan
“Kamera recorder itu bisakah kau menemukannya?” tanya Daniel pada Aldo. “Aku tidak tahu apapun tentang kamera recorder itu, memangnya apa yang penting dengan benda itu mengapa Anda mendadak sangat terusik dengan hal itu?” Daniel tidak menggubris rasa penasaran Aldo, hening untuk sesaat dan jelas sekali ia tengah gusar saat ini. “Cari saja sampai dapat, kau orang yang dekat dengan Selena pikirkanlah di mana wanita itu menyembunyikannya.” Tanpa menunggu jawaban dari Aldo, Daniel langsung memutus panggilannya. Tidak, sebenarnya Daniel tidak butuh jawaban apapun karena seperti sebuah kewajiban Aldo memang di paksa untuk menuruti semua perintahnya. Aldo terdiam di banding dengan penasaran pada kemungkinan lokasi Selena menyembunyikan kamera itu, Aldo lebih ingin tahu mengapa Daniel menginginkannya dan mengapa pria itu harus bertanya padanya? Mengapa Daniel tidak bertanya pada Olivia? Atau entahlah. Yang jelas sepertinya rekaman yang ada dalam video itu bisa mengancam pria kurang ajar it
“Pertanggung jawaban apa di sini yang kamu maksud?” tanya William dengan gugup.Olivia mendengus, “Kenapa kamu pura-pura tidak mengerti? Bukankah sebelumnya kamu menjawab dengan penuh percaya diri?” cibir Olivia, “Mata di bayar mata, nyawa dibayar nyawa, William,” tegas Olivia kemudian. William terdiam, tatapan matanya sulit di artikan setidaknya itu yang dipikirkan Olivia. Namun di satu sisi Olivia merasa bahwa ia juga sangat bodoh karena mengulangi pertanyaan yang bahkan sudah ia tahu jawabannya. Bukankah karena William mengingkari tanggung jawabnya sebagai pelaku yang membuat Olivia jadi harus merencanakan hal gila semacam ini? Di tengah lamunan Olivia tiba-tiba saja William mendekat dan menempatkan sebuah pisau ke dalam genggaman Olivia. Bola mata Olivia membulat menatap wajah William yang kini tampak pilu bahkan senyum getir tersemat di bibir William.“Apa yang—.”“Kalau menghukumku dengan cara seperti itu akan membuatmu hidup lebih damai maka l
Bagai petir di siang bolong begitulah celetukan Olivia menyerang William. Langkah William terhenti, ia berbalik menatap Olivia yang terbaring di atas tempat tidur dengan mata berkaca-kaca.“Kenapa kau melakukannya?!” pekik Olivia tiba-tiba.William tersentak hingga air mata yang tertahan di pelupuknya mengalir jatuh.“Apa yang Selena lakukan? Apa benar kau melakukannya?!!!” Olivia kembali menjerit. Lalu ia tarik kembali lengan William hingga mengikis jarak antara mereka.Olivia yang sudah bangkit dengan kasar mulai memukuli William tanpa terkendali diiringi jerit hatinya mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang menyesakkan hati dan pikirannya.Namun William hanya tergugu membiarkan Olivia memukulinya sampai puas untuk melepas bebas di hatinya. Alih-alih mencegahnya William malah terus berusaha memeluk Olivia dengan raut penyesalan yang tergambar di jelas di wajahnya. Hati William teriris pilu melih
Di tepi danau yang sepi dan hanya bercahayakan lampu temaram pinggir jalan Olivia berdiri sendirian di sana. Menatap kosong ke arah Danau dengan riak air yang tenang. Sudah 15 menit Olivia berada di sana menunggu seseorang yang belum kunjung datang.Olivia melempar sebuah batu ke dalam danau nerusaha mengusir rasa bosannya. Tak lama berselang seorang dengan hodie hitam serta topi dan masker berwarna senada mendekati Olivia.“Kau lama sekali,” celetuk Olivia seolah yakin seseorang yang menghampirinya adalah seseorang yang sedang ia tunggu.“Tidak mudah untuk lepas dari pengawasan Daniel, dia mengasai dari mana pun....”“Kau yang melakukannya, Aldo bukan pria keparat itu.”Aldo terdiam, “Aku tidak bisa mematikan atau melepas senua peretas itu walaupun aku pergi. Daniel akan curiga.”Olivia tidak menggubris ia tidak tertarik, kepalanya sudah penuh sesak dengan semua kejadian yang terjadi sejak kem