“Kenapa kamu berbohong padaku?” tanya William dengan tatapan intimidasinya yang tajam.
“Apa maksudmu, aku tidak mengerti?” balas Olivia dengan suara bergetar.
William mendengus, “Aku mencari tahu informasi tentang kalung ini. Kalung ini adalah edisi terbatas, hanya ada satu set dengan gelangnya dan dibeli atas namaku delapan tahun yang lalu. Jelas aku melihatmu memakainya, tapi kamu masih mengelak. Kenapa? Apa ada yang kamu sembunyikan?”
Olivia menggigit bibirnya, semuanya sudah terlambat. Padahal belum 24 jam ia menjalankan rencananya tetapi William sudah menangkap basahnya.
Tidak ada yang bisa disembunyikan lagi. Olivia pun menunduk lesu, dan kembali menangis dengan pilu.
“Aku minta maaf Will, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana menghadapimu dengan kondisimu yang seperti ini. Aku hanya takut kamu tidak akan bisa mencintaiku seperti sebelumnya karena kamu tidak memiliki ingatan apa pun tentangku.”
William pun melunak, ia menurunkan kedua tangannya dan kembali menatap Olivia dengan lebih lembut, karena pada nyatanya hatinya malah kembali berdenyut nyeri saat melihat Olivia lagi-lagi menangis di hadapannya.
“Aku berpikir untuk memulainya dari awal seperti saat kita pertama berkenalan dulu, lalu perlahan-lahan kembali jatuh cinta. Aku pikir mungkin cara itu akan lebih mudah, dan jika pada akhirnya kamu tetap tidak mencintaiku aku sudah terbiasa dengan semuanya dan akan lebih mudah bagiku untuk menceraikanmu….”
Dahi William malah berkerut, “Woah tunggu…,” sela William sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. “Sebenarnya aku hanya ingin tahu kenapa kamu berbohong kalau kamu bukan pemilik kalung ini. Lagi pula benda couple ini tidak hanya bisa digunakan oleh sepasang kekasih atau suami istri kan. Tapi ternyata kamu malah mengungkapkan lebih dan menyataka kebenaran tentang hubungan kita,” imbuhnya seraya tesenyum senang
Olivia sontak termangu, kali ini ia terjebak bahkan Olivia tidak menyadari sama sekali maksud desakkan William padanya.
“Kau membodohiku,” gumam Olivia getir.
“Aku tidak membodohimu, kamu yang tidak mengerti dengan jelas maksud ucapanku.” William terkekeh lalu mengelus rambut Olivia, “Jadi sebenarnya kau istriku kan?”
Olivia mengangguk dengan lesu, tidak ada gunanya mengelak lagi.
“Kamu bodoh, seharusnya kamu mengatakannya dari awal dan berusaha untuk terus berada di sampingku, kalau tiba-tiba menggugat cerai… bukankah semuanya akan membuatku bingung?”
Olivia tahu, tetapi semuanya terlalu membingungkan dan tiba-tiba, semua kejadian pahit itu terus menghantamnya bahkan tidak memberi sedikit pun waktu baginya untuk bisa berpikir.
William pun menarik Olivia ke dalam pelukkannya. Sudah cukup lama sejak terakhir kali Olivia merasakan dekapan pria itu yang hangat. Pelukkan William selalu berhasil membuatnya merasa lebih tenang dalam situasi apa pun.
Olivia memeluk tubuh William lebih erat, membenamkan dirinya dalam kehangatan pria itu. Elusan lembut Olivia rasakan dari pucuk kepalanya.
“Sepertinya kamu tidak berubah Will….”
“Benarkah? Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Sentuhanmu tetap sama….”
***
“Apa dia benar-benar kehilangan ingatannya?” celetuk Antony dengan antusias pada Daniel yang kini duduk di hadapannya.
“Ya setidaknya itu yang dikatakan dokter tentang kondisinya,” balas Daniel acuh seraya menatap bidak-bidak catur di hadapannya dengan resah.
“Kalau begitu semuanya akan lebih mudah….”
Brak!
Daniel memukul meja dengan cukup keras hingga Antony terperanjat dan langsung membungkam mulutnya.
“Kau masih mau meremehkan bosmu itu? Kau lupa seberapa cerdasnya manusia itu?” rutuk Daniel.
“Aku hanya bicara,” bisik Antony takut-takut.
Bagi Daniel seburuk apa pun kondisi William tidak ada yang membuat semua rencananya berjalan dengan mudah. Daniel amat tahu kemampuan adiknya itu, butuh dari sekedar usaha dan keberuntungan bagi Daniel untuk mengalahkan William bahkan sejak mereka masih kecil.
Daniel harus berusaha tiga kali lipat lebih keras untuk menggeser posisi William dalam berbagai aspek dalam kehidupannya. Bukan tanpa alasan, tetapi karena William sangat cerdas dan selalu ditudungi oleh payung keberuntungan yang entah bagaimana pria itu bisa mendapatkannya. Bahkan seperti saat ini William masih bisa selamat dari maut.
‘Sialan!’ batin Daniel.
“Ya sudah lebih baik kita mulai sekarang, kau bilang adikmu itu cerdaskan kalau begitu kita harus bergerak lebih cepat menyusun rencana berikutnya,” celetuk Antony lagi.
Seringai tiba-tiba tersungging di sudut bibir Daniel, “Kita masih harus menunggu mastermind kita,” balas Daniel seraya mengacungkan bidak ratu.
Antony menyipitkan matanya, belum sempat ia memproses ucapan Daniel tanpa terduga seorang wanita yang amat ia kenali memasuki ruangan. Antony sontak terbelalak melihat sosok itu muncul di markas pertemuan rahasia ini.
“Tunggu… kau kenapa kau ada di sini?” Antony mengerjap-ngerjapkan matanya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Lain hal dengan Daniel yang merekahkan senyumnya begitu lebar dan menyambut wanita itu dengan gembira.
“Dia yang akan menjadi mastermind kita untuk melancarkan serangan pada William kali ini,” ujar Daniel seraya menatap wanita di hadapannya dengan penuh arti, ‘Bidak Ratu dalam permainan ini.’ batinnya kemudian.
“Kau benar-benar sudah gila Olivia…,” sahut Antony yang masih tidak habis pikir.
Lagi pula bagaimana bisa istri dari bosnya itu akan menjadi otak besar dibalik rencana penghancuran suaminya sendiri.
Tetapi Olivia juga memiliki alasan mengapa dia melakukan semua ini, yaitu demi membalaskan kematian Selena dan kehancuran hidupnya setelah kematian kakak sulungnya itu.
“Aktingmu luar biasa, lihatlah matamu sampai sembab karena harus terus-menerus menangis,” puji Daniel saat teringat begitu luar biasanya akting Olivia di rumah sakit kemarin siang.
Olivia tersenyum dingin, “Tapi rencana awalku gagal, Will sudah mengetahui hubungan kami yang sebenarnya….”
“Tidak,” sela Daniel antusias, “Aku pikir kau harus terus dekat dengannya kembali seperti dulu. Dengan begitu….”
“Aku akan selalu mendapat kepercayaannya,” tukas Olivia.
Daniel menjentikkan jarinya. Olivia hanya menatapnya dingin, ia tidak tertarik dengan apa pun tujuan Daniel yang Olivia butuhkah hanyalah memanfaatkan pria itu agar rencananya berjalan lebih mudah.
“Baru melangkah kau sudah dihempas balik,” cibir Antony, “Sudahlah aku tidak perlu tahu gagalnya rencanamu, lanjut saja ke rencana berikutnya, apa yang akan kita lakukan?”
Olivia mengangkat wajahnya dan menatap sinis Antony, “Sepertinya kau sangat bersemangat,” balas Olivia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Daniel, “Apa tidak masalah memasukkan dia dalam tim ini? Aku pikir luapan semangatnya hanya akan menurunkan potensi keberhasilan rencana kita.”
Mendengar cibiran itu tentu saja membuat emosi Antony tersulut, ia berdiri dari tempat duduknya dan menarik kerah pakaian Olivia dengan penuh amarah.
“Kau meremehkanku!”
“Berhati-hatilah kau tidak mau aku menyingkirkanmu sebelum bisa melangkah bukan?” Olivia mengarahkan jarinya pada kacamata yang ia gunakan.
Seketika Antony melepaskan cengkramannya dan kembali duduk di tempatnya. ‘Sial, dia lebih mengerikan dari Daniel.’
Olivia mengembuskan napas berat, lalu merapikan pakaiannya yang kini kusut dengan dingin. “Baiklah, rencana awal kita adalah menyingkirkan salah satu kekuatan yang William miliki, tangan kanannya. Dia cukup berbahaya untuk keberhasilan rencana kita.”
“Aku pikir Jimmy cukup memihakmu,” balas Daniel.
“Hubungannya dengan William saat ini lebih dekat dibanding denganku, karena itu keberpihakkannya pada William lebih besar. Kau juga tau Jimmy sangat skeptis, walaupun dia mengangguk saja tapi dalam benaknya diam-diam dia menyimpan banyak pemikiran dan kecurigaan. Kita tidak boleh lengah.”
Antony menedengus, “Sepertinya kau sangat mengenal Jimmy, tidak mungkin kau mengenalnya sedalam ini hanya karena hubungan asisten dan atasan antara suamimu dengan pria itu. Bukankah begitu?” sindir Antony.
“Lalu bagaimana dengan Olivia?” pertanyaan lain yang Jimmy tidak siap untuk mendengar jawabannya. “Dia sedang merencanakan sesuatu untukku.” William tahu apa yang Olivia sedang rencanakan untuknya. Saat mengetahui hal itu William sempat berkali-kali menolak percaya pada kenyataan yang menimpanya. Namun akhirnya William bisa menerimanya. William mengalihkan pandangannya pada Jimmy, pria itu tampak tertekan dengan semua kenyataan yang baru saja ia terima saat ini. Terutama kenyataan tentang Olivia yang itu paasti paling mengusiknya. “Maaf aku memecatmu waktu itu, tapi rasanya itu keputusan yang tepat yang bisa aku lakukan,” ucap William, “Sepertinya kamu jadi sasaran empuk untuk menjebakku atau bisa jadi mereka tidak mau kamu berada di dekatku.” Jimmy memandangin William, “Dengan sendiri Anda bisa menjadi lemah,” imbuh Jimmy yang langsung di balas anggukan oleh William.“Jim, aku butuh bantuamu, karena itu aku menceritakan semua ini. Aku tidak tahu a
Jimmy terdiam dengan kening berkerut. Kalau dipikir-pikir surat elektronik yang Jimmy terima sebelumnya juga dari perusahaan teman dekat William. “Bagaimana kalau kamu tukar pertanyaannya?” celetuk William masih denagn ekspresinya yang datar. “Maksud Anda?” “Seperti.... Apa William benar-benar kehilangan ingatannya?” Jimmy sontak tertegun ia tidak bisa berkata-kata. William tidak perlu menyatakan lebih banyak fakta lebih lanjut tentang ingatannya karena rasanya Jimmy sudah dengan jelas mengetahui jawabannya saat ini. “Aku hanya pura-pura Jimmy,” imbuh William seraya melangkah lebih jauh ke dalam ruko kosong itu. Hening, Jimmy tidak menjawab apa-apa, wajahnya tampak bingung. Namun tentu saja William pasti memiliki alasan mengapa dia melakukan hal itu. “Mengapa Anda melakukannya?” akhirnya Jimmy bisa meluapkan rasa penasarannya. Namun di satu sisi entah mengapa Jimmy merasa takut untuk mendengar jawaban dari William. Seolah William sedan
“Kamera recorder itu bisakah kau menemukannya?” tanya Daniel pada Aldo. “Aku tidak tahu apapun tentang kamera recorder itu, memangnya apa yang penting dengan benda itu mengapa Anda mendadak sangat terusik dengan hal itu?” Daniel tidak menggubris rasa penasaran Aldo, hening untuk sesaat dan jelas sekali ia tengah gusar saat ini. “Cari saja sampai dapat, kau orang yang dekat dengan Selena pikirkanlah di mana wanita itu menyembunyikannya.” Tanpa menunggu jawaban dari Aldo, Daniel langsung memutus panggilannya. Tidak, sebenarnya Daniel tidak butuh jawaban apapun karena seperti sebuah kewajiban Aldo memang di paksa untuk menuruti semua perintahnya. Aldo terdiam di banding dengan penasaran pada kemungkinan lokasi Selena menyembunyikan kamera itu, Aldo lebih ingin tahu mengapa Daniel menginginkannya dan mengapa pria itu harus bertanya padanya? Mengapa Daniel tidak bertanya pada Olivia? Atau entahlah. Yang jelas sepertinya rekaman yang ada dalam video itu bisa mengancam pria kurang ajar it
“Pertanggung jawaban apa di sini yang kamu maksud?” tanya William dengan gugup.Olivia mendengus, “Kenapa kamu pura-pura tidak mengerti? Bukankah sebelumnya kamu menjawab dengan penuh percaya diri?” cibir Olivia, “Mata di bayar mata, nyawa dibayar nyawa, William,” tegas Olivia kemudian. William terdiam, tatapan matanya sulit di artikan setidaknya itu yang dipikirkan Olivia. Namun di satu sisi Olivia merasa bahwa ia juga sangat bodoh karena mengulangi pertanyaan yang bahkan sudah ia tahu jawabannya. Bukankah karena William mengingkari tanggung jawabnya sebagai pelaku yang membuat Olivia jadi harus merencanakan hal gila semacam ini? Di tengah lamunan Olivia tiba-tiba saja William mendekat dan menempatkan sebuah pisau ke dalam genggaman Olivia. Bola mata Olivia membulat menatap wajah William yang kini tampak pilu bahkan senyum getir tersemat di bibir William.“Apa yang—.”“Kalau menghukumku dengan cara seperti itu akan membuatmu hidup lebih damai maka l
Bagai petir di siang bolong begitulah celetukan Olivia menyerang William. Langkah William terhenti, ia berbalik menatap Olivia yang terbaring di atas tempat tidur dengan mata berkaca-kaca.“Kenapa kau melakukannya?!” pekik Olivia tiba-tiba.William tersentak hingga air mata yang tertahan di pelupuknya mengalir jatuh.“Apa yang Selena lakukan? Apa benar kau melakukannya?!!!” Olivia kembali menjerit. Lalu ia tarik kembali lengan William hingga mengikis jarak antara mereka.Olivia yang sudah bangkit dengan kasar mulai memukuli William tanpa terkendali diiringi jerit hatinya mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang menyesakkan hati dan pikirannya.Namun William hanya tergugu membiarkan Olivia memukulinya sampai puas untuk melepas bebas di hatinya. Alih-alih mencegahnya William malah terus berusaha memeluk Olivia dengan raut penyesalan yang tergambar di jelas di wajahnya. Hati William teriris pilu melih
Di tepi danau yang sepi dan hanya bercahayakan lampu temaram pinggir jalan Olivia berdiri sendirian di sana. Menatap kosong ke arah Danau dengan riak air yang tenang. Sudah 15 menit Olivia berada di sana menunggu seseorang yang belum kunjung datang.Olivia melempar sebuah batu ke dalam danau nerusaha mengusir rasa bosannya. Tak lama berselang seorang dengan hodie hitam serta topi dan masker berwarna senada mendekati Olivia.“Kau lama sekali,” celetuk Olivia seolah yakin seseorang yang menghampirinya adalah seseorang yang sedang ia tunggu.“Tidak mudah untuk lepas dari pengawasan Daniel, dia mengasai dari mana pun....”“Kau yang melakukannya, Aldo bukan pria keparat itu.”Aldo terdiam, “Aku tidak bisa mematikan atau melepas senua peretas itu walaupun aku pergi. Daniel akan curiga.”Olivia tidak menggubris ia tidak tertarik, kepalanya sudah penuh sesak dengan semua kejadian yang terjadi sejak kem