“Will, aku bawakan makan siang untukmu,” seru Olivia dari balik pintu ruangan seraya mengangkat sebuah tas kecil berisi makan siang dengan antusias.
Wajah William yang sebelumnya terlipat karena lelah membaca dokumen-dokumen pekerjaan di atas meja seketika berseri saat beradu pandang dengan istrinya itu. William pun bangkit dari kursinya, ia langsung menarik Olivia masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu ruangan rapat-rapat. Olivia tersentak untuk sesaat karena tidak menduganya sama sekali tapi sedetik kemudian ia terkekeh sambil memukul dada bidang William. Sudah satu minggu sejak William kembali bekerja. Setelah keluar dari rumah sakit pria itu sudah tidak sabar ingin segera bekerja padahal Olivia berulang kali memintanya untuk beristirahat hingga William pulih sepenuhnya. Tetapi sikap keras kepala pria itu tidak bisa Olivia hentikan sama sekali.“Ayo makan siang bersama,” ujar Olivia.Namun alih-alih menjawab William malah merebut tas kecil berisi makan siang digenggaman Olivia lalu menaruhnya di atas meja dan mendorong tubuh Olivia sampai terpojok ke dinding ruangan. Olivia menatap kotak makan siang itu dan William bergantian. Ia tahu apa tujuan William saat ini. William menatap Olivia lamat-lamat lalu mengelus wajah Olivia dengan lembut, menjalar menuju lehernya hingga menyentuh kalung berliontin bulan sabit yang terkalung di leher Olivia dan menatap kalung itu dengan tatapan yang sulit diartikan.Rasa khawatir sontak menjalari hati Olivia. Olivia tidak ingin William sampai curiga apalagi tahu kebenaran yang ada di balik kalung itu. Dengan cepat Olivia pun merebut liontin dari tangan William perlahan seraya mengulas senyum hangat padanya. “Kau sangat pandai memilih hadiah. Kalung ini adalah hadiah paling cantik dan berharga yang pernah aku miliki.”“Aku harap bisa menemukan gelang pasangannya,” balas William dengan kecewa. Sejak pulang kembali ke rumah William berusaha mencari gelang pasangan dari kalung itu. ia bahkan menyisir ke selurun sudut rumah tetapi tidak bisa menemukannya. “Gelang itu sudah lama hilang karena kamu lupa di mana menyimpannya, jadi sudahlah tidak perlu dipikirkan.”William mengangguk, tetapi sesaat kemudian ia meringis dan memiringkan kepalanya seolah sedang memikirkan sesuatu, “Tapi aku penasaran kenapa aku harus memberimu liontin berbentuk bulan?”Deg!‘Ini gawat aku harus segera mengalihkan pikiran William,’ batin Olivia panik, kemudian sebuah ide brilian terbersit dalam benaknya.Senyuman penuh arti tersungging di bibir merah Olivia. Kemudian tiba-tiba Olivia menarik dasi yang tertaut pada kemeja William hingga membuat tubuh pria itu semakin tertarik ke arah Olivia dan juga memangkas jarak diantara wajah mereka. “Oh ya Tuan William, apakah kamu ingin menu pembuka untuk makan siangmu?” bisik Olivia menggoda.“Tentu saja,” ucap William dengan senang hati.Olivia pun semakin mendekatkan wajahnya dengan William lalu ia kecup bibir pria itu dengan lembut. William balas melumat bibir Olivia dengan penuh gairah seraya menanggalkan dasi di kerah pakaiannya. Olivia bisa merasakan napas William yang memburu dan hangat yang tanpa Olivia sadari cukup untuk membuat wajahnya memerah dan memacu debaran jantungnya. Dalam sekejap saja suhu ruangan terasa lebih panas seolah angin segar dari AC ruangan tidak berfungsi dengan baik. Kali ini William beralih menjamah tengkuk indah Olivia dan berhasil membuat Olivia melepaskan desahannya. Olivia tersentak mendengar desahan dirinya dan langsung menggigit bibirnya. ‘Aku tidak boleh hanyut dalam suasana,’ batin Olivia berusaha mengingatkan dirinya sendiri tentang siapa sesungguhnya pria yang kini sedang bermain dengan tubuhnya itu. Tetapi Olivia tidak bisa menahan diri, seberapa keras ia berusaha tubuhnya tetap berekasi lebih terhadap setiap sentuhan sensual yang William lancarkan padanya.“Will... cukup hentikan...,” pinta Olivia sudah tidak tahan lagi. Jika William tetap meneruskan kegiatan ini hingga lebih jauh Olivia khawatir otaknya tidak akan bisa berfungsi dengan normal lagi. William malah melenggeleng seraya tersenyum jahil.“Will, bagaimana kalau ada orang yang datang?” balas Olivia yang disambung dengan lenguhan dari mulutnya karena tangan William mulai menyentuh area bawah tubuhnya.“Kamu yang memulainya, kamu benar-benar ingin aku berhenti?” goda William dengan jemari yang terus bermain di atas tubuh Olivia, berusaha menemukan area sensitif dari wanita itu.Tubuh Olivia bereaksi semakin aneh, pikirannya mulai melayang larut dalam setiap jengkal sentuhan William, bahkan Olivia sudah tidak bisa lagi mengontrol raut wajah dan suaranya. Entah raut apa yang saat ini tergambar di wajahnya Olivia tidak tahu lagi. William tersengih dan berbisik tepat di telinga Olivia, “Kamu yakin ingin aku berhenti saat tubuhmu mengatakan yang sebaliknya?” “Will....” William kembali mengecup leher Olivia. Aroma citrus yang manis dan segar menyeruak dari tubuh Olivia dan pria itu sangat menyukainya. Saat William hendak melancarkan aksinya yg lain tiba-tiba pintu ruangan diketuk dari arah luar. “Pak 30 menit lagi rapat dengan kantor cabang lain akan segera dimulai,” seru Jimmy dari luar ruangan. William mengembuskan napas berat dan kembali merapikan pakaiannya. Sedangkan Olivia bisa bernapas dengan lega karena terselamatkan oleh Jimmy, kalau Jimmy tidak datang mungkin Olivia sudah hilang akal dan membuat hatinya goyah akan tujuan dirinya yang sebenarnya melakukan semua ini.
Olivia pun bergegas membuka pintu ruangan. Saat pandangan Olivia dengan Jimmy bertemu raut wajah Jimmy seketika berubah. Tatapan mata Jimmy berubah sendu dan raut wajahnya berubah kikuk.
Olivia jelas terbiasa dengan ekspresi itu sudah bertahun-tahun ia melihatnya dan Jimmy tidak pernah berubah. “Will, sedang makan siang.” Jimmy mengalihkan pandangannya ke arah William yang kini tengah menyuap makanan ke dalam mulutnya. “Kalau begitu Pak, saya akan kembali 20 menit lagi.”William hanya mengangguk dari dalam ruangan dan tersenyum ramah pada Jimmy, lalu pria itu berlalu pergi. Sesaat setelah Jimmy pergi notifikasi pesan masuk dari Jimmy muncul di ponsel Olivia. ‘Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,’ pinta Jimmy dalam isi pesannya.Ketakutan sontak terpancar dari kedua manik bening Olivia mengingat sepertinya Olivia tahu apa yang ingin dibicarakan oleh pria itu. “Will, dari mana kamu mendapatkan informasi tentang kalungku? Kamu kan masih di rumah sakit dan baru saja siuman hari itu.”“Aku meminta Jimmy untuk mencarinya tidak aku sangka dia bisa menemukannya dengan cepat,” balas William sambil menikmati makan siangnya. “Memangnya ada apa?”Napas Olivia sontak tersenggal, tetapi dengan keras ia berusaha menyembunyikannya dari William dan hanya mengulas senyum tipis lalu memeluk tubuh William dengan manja.
Tentu saja tidak boleh ada satu pun orang yang mengetahui fakta sebenarnya tentang kalung itu terutama William dan Jimmy. Dan hal itu lah yang Olivia khawatirkan. Untuk sesaat Olivia menyesali keputusannya menggunakan kalung itu. Tetapi semua sudah terjadi dan Olivia tidak bisa memutar kembali waktu untuk mencegah dirinya menggunakan kalung itu.‘Bagaimana kalau Jimmy curiga dan mencari tahu lebih jauh tentang kalung ini?’ batin Olivia resah. Namun sebuah ide lainnya tiba-tiba terbersit dan sepertinya Olivia tahu bagaimana cara memanfaatkan situasi ini agar menjadi kesempatan yang bagus untuknya.Olivia pun kembali merogoh ponselnya dan berdiri menjauhi William agar ia bisa mengirimkan pesannya dengan aman.‘Baiklah ayo kita bertemu jam tujuh malam ini, aku akan kirimkan lokasi pertemuannya dan datanglah ke lokasi itu,’ balas Olivia
“Lalu bagaimana dengan Olivia?” pertanyaan lain yang Jimmy tidak siap untuk mendengar jawabannya. “Dia sedang merencanakan sesuatu untukku.” William tahu apa yang Olivia sedang rencanakan untuknya. Saat mengetahui hal itu William sempat berkali-kali menolak percaya pada kenyataan yang menimpanya. Namun akhirnya William bisa menerimanya. William mengalihkan pandangannya pada Jimmy, pria itu tampak tertekan dengan semua kenyataan yang baru saja ia terima saat ini. Terutama kenyataan tentang Olivia yang itu paasti paling mengusiknya. “Maaf aku memecatmu waktu itu, tapi rasanya itu keputusan yang tepat yang bisa aku lakukan,” ucap William, “Sepertinya kamu jadi sasaran empuk untuk menjebakku atau bisa jadi mereka tidak mau kamu berada di dekatku.” Jimmy memandangin William, “Dengan sendiri Anda bisa menjadi lemah,” imbuh Jimmy yang langsung di balas anggukan oleh William.“Jim, aku butuh bantuamu, karena itu aku menceritakan semua ini. Aku tidak tahu a
Jimmy terdiam dengan kening berkerut. Kalau dipikir-pikir surat elektronik yang Jimmy terima sebelumnya juga dari perusahaan teman dekat William. “Bagaimana kalau kamu tukar pertanyaannya?” celetuk William masih denagn ekspresinya yang datar. “Maksud Anda?” “Seperti.... Apa William benar-benar kehilangan ingatannya?” Jimmy sontak tertegun ia tidak bisa berkata-kata. William tidak perlu menyatakan lebih banyak fakta lebih lanjut tentang ingatannya karena rasanya Jimmy sudah dengan jelas mengetahui jawabannya saat ini. “Aku hanya pura-pura Jimmy,” imbuh William seraya melangkah lebih jauh ke dalam ruko kosong itu. Hening, Jimmy tidak menjawab apa-apa, wajahnya tampak bingung. Namun tentu saja William pasti memiliki alasan mengapa dia melakukan hal itu. “Mengapa Anda melakukannya?” akhirnya Jimmy bisa meluapkan rasa penasarannya. Namun di satu sisi entah mengapa Jimmy merasa takut untuk mendengar jawaban dari William. Seolah William sedan
“Kamera recorder itu bisakah kau menemukannya?” tanya Daniel pada Aldo. “Aku tidak tahu apapun tentang kamera recorder itu, memangnya apa yang penting dengan benda itu mengapa Anda mendadak sangat terusik dengan hal itu?” Daniel tidak menggubris rasa penasaran Aldo, hening untuk sesaat dan jelas sekali ia tengah gusar saat ini. “Cari saja sampai dapat, kau orang yang dekat dengan Selena pikirkanlah di mana wanita itu menyembunyikannya.” Tanpa menunggu jawaban dari Aldo, Daniel langsung memutus panggilannya. Tidak, sebenarnya Daniel tidak butuh jawaban apapun karena seperti sebuah kewajiban Aldo memang di paksa untuk menuruti semua perintahnya. Aldo terdiam di banding dengan penasaran pada kemungkinan lokasi Selena menyembunyikan kamera itu, Aldo lebih ingin tahu mengapa Daniel menginginkannya dan mengapa pria itu harus bertanya padanya? Mengapa Daniel tidak bertanya pada Olivia? Atau entahlah. Yang jelas sepertinya rekaman yang ada dalam video itu bisa mengancam pria kurang ajar it
“Pertanggung jawaban apa di sini yang kamu maksud?” tanya William dengan gugup.Olivia mendengus, “Kenapa kamu pura-pura tidak mengerti? Bukankah sebelumnya kamu menjawab dengan penuh percaya diri?” cibir Olivia, “Mata di bayar mata, nyawa dibayar nyawa, William,” tegas Olivia kemudian. William terdiam, tatapan matanya sulit di artikan setidaknya itu yang dipikirkan Olivia. Namun di satu sisi Olivia merasa bahwa ia juga sangat bodoh karena mengulangi pertanyaan yang bahkan sudah ia tahu jawabannya. Bukankah karena William mengingkari tanggung jawabnya sebagai pelaku yang membuat Olivia jadi harus merencanakan hal gila semacam ini? Di tengah lamunan Olivia tiba-tiba saja William mendekat dan menempatkan sebuah pisau ke dalam genggaman Olivia. Bola mata Olivia membulat menatap wajah William yang kini tampak pilu bahkan senyum getir tersemat di bibir William.“Apa yang—.”“Kalau menghukumku dengan cara seperti itu akan membuatmu hidup lebih damai maka l
Bagai petir di siang bolong begitulah celetukan Olivia menyerang William. Langkah William terhenti, ia berbalik menatap Olivia yang terbaring di atas tempat tidur dengan mata berkaca-kaca.“Kenapa kau melakukannya?!” pekik Olivia tiba-tiba.William tersentak hingga air mata yang tertahan di pelupuknya mengalir jatuh.“Apa yang Selena lakukan? Apa benar kau melakukannya?!!!” Olivia kembali menjerit. Lalu ia tarik kembali lengan William hingga mengikis jarak antara mereka.Olivia yang sudah bangkit dengan kasar mulai memukuli William tanpa terkendali diiringi jerit hatinya mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang menyesakkan hati dan pikirannya.Namun William hanya tergugu membiarkan Olivia memukulinya sampai puas untuk melepas bebas di hatinya. Alih-alih mencegahnya William malah terus berusaha memeluk Olivia dengan raut penyesalan yang tergambar di jelas di wajahnya. Hati William teriris pilu melih
Di tepi danau yang sepi dan hanya bercahayakan lampu temaram pinggir jalan Olivia berdiri sendirian di sana. Menatap kosong ke arah Danau dengan riak air yang tenang. Sudah 15 menit Olivia berada di sana menunggu seseorang yang belum kunjung datang.Olivia melempar sebuah batu ke dalam danau nerusaha mengusir rasa bosannya. Tak lama berselang seorang dengan hodie hitam serta topi dan masker berwarna senada mendekati Olivia.“Kau lama sekali,” celetuk Olivia seolah yakin seseorang yang menghampirinya adalah seseorang yang sedang ia tunggu.“Tidak mudah untuk lepas dari pengawasan Daniel, dia mengasai dari mana pun....”“Kau yang melakukannya, Aldo bukan pria keparat itu.”Aldo terdiam, “Aku tidak bisa mematikan atau melepas senua peretas itu walaupun aku pergi. Daniel akan curiga.”Olivia tidak menggubris ia tidak tertarik, kepalanya sudah penuh sesak dengan semua kejadian yang terjadi sejak kem
“Laba-laba!” jerit Olivia tiba-tiba seraya mengibas angin dengan heboh di sisi wajah William hingga menyenggol tangan William dan menjatuhkan sendok berisi es krim strawberry dari tangannya.Tidak berhenti sampai di situ Olivia juga menyenggol manguk es krim di meja hingga mangkuk itu jatuh ke lantai dan menumpahkan seluruh isinya.Kegaduhan pun tercipta hingga menarik perhatian semua pengunjung restoran juga para pegawai di sana.Tidak bisa, Olivia tidak bisa melakukannya. Perasaan tidak tega masih menjadi pemenang atas perdebatan dengan rasa dendamnya yang ada dalam hatinya.“Maaf aku mengacaukan semuanya.” Olivia menahan air matanya agar tidak tumpah buntut dari ketakutan yang menyelimuti hatinya.Para pelayan pun datang dan membersihkan semua kekacauan, baik William maupun Olivia meminta maaf atas keributan yang terjadi dan William mengganti rugi atas barang-barang yang pecah.Namun set
‘Kau yang mempersulit dirimu sendiri karena tidak mau mengakui perasaanmu....’ begitulah seingat Olivia ucapan William di beranda rumah sakit ini dua tahun lalu. Serupa dengan apa yang dikatakannya hari ini.“Apa yang kamu bicarakan?” tanya Olivia penuh selidik.“Maaf sepertinya aku berlebihan, aku tidak seharusnya berkata begitu padamu,” balas William, raut wajahnya kembali berubah senyumnya pun terukir semula, “Ayo kita makan siang, kamu belum makan dari semalam.”Apa mungkin ia menanggapinya terlalu berlebihan? Ya bisa jadi William hanya asal ucap saja karena kesal dan lelah, tapi tetap saja ucapannya terdengar janggal. Olivia buru-buru membuang pikirannya dan berjalan mengikuti William menuju restoran dekat rumah sakit.Baru saja Olivia tiba di sana tiba-tiba ada panggilan masuk dari Daniel di ponselnya.“Misi pertama. Kau tau kan kalau William alergi strawberry. Aku ingin kau memesan makana
“Sudahlah aku tidak mau membahasnya malah membuatku sakit kepala.”Olivia hendak beranjak namun Adela langsung mencekalnya, wanita itu terlihat kesal karena bagaimana mungkin Olivia bisa begitu bodoh dan menolak William.“Ok mungkin ini terlihat mustahil buatmu bisa bersatu dengan Pak Will, tapi hey!!” Adela menjentik-jentikkan jarinya tepat di depan wajah Olivia agar wanita itu segera sadar dari kebodohannya. “Kamu lupa kalo Pak Will tidak pernah memandang sesroang dari status sosial mereka? Tidak perlu jauh-jauh deh, lihat saja mantan pacarmu si Jimmy itu. Kalau Pak Will mempedulikan soal status sosial dalam pergaulannya, dia tidak akan mau berteman dekat dengan Jimmy sampai akhirnya membantu Jimmy yang hanya sekedar pelayan kafe kecil menjadi asisten pribadinya, bahkan kamu yang menceritakan itu semua Olivia!!!”“Kamu lupa juga saat Pak Will membantu membayar biaya perawatan ayahnya Jimmy saat mereka baru saling menge