Share

BAB 6| ABRAHAM AND THREE CRAZY RULES

Angin berembus lembut saat Flora berjalan melewati jendela-jendela yang dibiarkan terbuka, memberikan secuil kesejukan dalam tempat itu. Heels-nya yang beradu dengan lantai menimbulkan bunyi ketukan yang seirama. Sesekali Flora tersenyum sopan dan sedikit menundukkan kepalanya ketika berpapasan dengan orang lain. Matanya menjelahi setiap kesibukan di sana, lantas senyum tipis terbit di wajahnya yang terlihat berseri pagi ini.

Resmi sudah Flora diterima sebagai sekretaris di Gane Brown Corporation. Sebulan lebih dia mencari cara untuk masuk ke perusahaan ini, bahkan sempat berniat untuk melamar sebagai petugas kebersihan. Namun akhirnya kesempatan emas itu datang, posisi untuk sekretaris CEO kosong.

Hanya karena Flora memiliki pengalaman sebagai sekretaris eksekutif di perusahaan lamanya, tidak lantas membuatnya langsung diterima. Ada serangkaian tes yang terasa amat panjang, Flora harus bersaing dengan ribuan pelamar. Keinginan balas dendam yang membara, membuat Flora berhasil memuncaki penilaian keseluruhan. Kerja keras, tekad, melatih diri siang-malam, akhirnya membuahkan hasil.

Langkah Flora terhenti di depan pintu kayu kualitas wahid yang tampak angkuh. Sejenak dia merapikan rambutnya dan memeriksa blouse dan celana panjang yang dia kenakan, sebelum akhirnya tangannya terulur untuk mengetuk pintu. Hanya dua kali ketukan hingga sebuah suara yang terkesan dingin dari dalam sana terdengar, menyuruhnya masuk. Flora mengembuskan napas panjang, menyemangati diri sendiri, lantas mendorong pintu.

Ruangan seluas sembilan kali sembilan meter segera menyambut Flora begitu pintu terbuka perlahan. Flora sudah menampilkan senyum terbaiknya, melangkah anggun mendekati seseorang yang tampak sibuk dengan dokumen-dokumen di kursi kebesarannya.

“Selamat pagi, Pak.”

Tidak ada jawaban. Pria di depan Flora tampak tidak mengindahkan kedatangan Flora di ruangannya. Dia masih sibuk membolak-balikkan dokumen, berpindah ke layar komputer, kemudian mengambil dokumen baru.

Berdiri terabaikan di sana, Flora menahan diri agar emosinya tidak terpancing. Sebelumnya dia sudah beberapa kali bertemu dengan pria yang berposisi sebagai CEO itu, mempelajari ini-itu dari sekretaris lama yang resmi resign kemarin. Flora masih memasang sikap sopan, menunggu dengan sabar hingga fokus sang CEO sedikit teralihkan padanya, meski dalam hati sudah memaki.

Dalam keheningan yang terasa membekukan itu, mata Flora tertuju pada papan nama di depan meja yang terbuat dari kaca. Di sana tertulis jabatan dan nama sang CEO, Abraham Ganendra. Flora menghela napas samar. Kalau dilihat-lihat nama itu cocok sekali dengan wajahnya. Rahang yang kokoh, garis hidung yang tajam, sorot mata tanpa keraguan—

Deg!

Flora sedikit terperanjat di tempatnya berdiri ketika Abraham tiba-tiba mengangkat wajah, melemparkan tatapan tajam kepadanya. Oksigen seperti menghilang ketika mata mereka bertemu dan segala semangat dan kepercayaan diri yang telah dibangun Flora luruh seketika.

“Sedang apa kamu, Flora Ilona? Saya mempekerjakanmu bukan untuk berdiri tidak berguna di sana.”

Sial, bahkan suaranya pun cocok sekali dengan namanya. Dan apa-apaan nada seolah dia manusia paling bekerja keras di dunia itu, Flora menjadi kesal karenanya.

“Maaf, Pak.”

Abraham mengesah, menyugar rambutnya yang tertata rapi. “Ada tiga poin dasar yang harus kau pahami dan patuhi selama menjadi sekretaris saya.” Kini tatapan Abraham sedikit melunak, suaranya yang tegas memenuhi ruangan itu. “Pertama, saya tidak suka skinship, apa pun keadaannya. Saya hanya melakukan jabat tangan di acara resmi atau meeting. Jika kamu melihat seseorang mencoba menyentuh saya, kamu memiliki kewajiban mencegah hal itu terjadi.”

Mata Flora mengerjap seiring keheningan yang menyelimuti ruangan karena Abraham menghentikan ucapannya sejenak. Dalam kepalanya terlintas satu hal: bosnya pasti punya alergi terhadap manusia. Dan sialnya, hal itu kemungkinan akan menyulitkan rencana Flora.

“Kedua, saya tidak akan menoleransi pekerjaan yang berantakan dan tidak sesuai dengan perintah saya atau kebijakan perusahaan. Meskipun kamu sudah menikah, tidak ada pengecualian dalam pekerjaan. Semua harus dilakukan dengan sempurna.”

Dari sekali lihat saja, semua orang pasti sudah bisa menduga bahwa Abraham adalah makhluk perfeksionis. Ya, untuk yang satu ini Flora menganggapnya wajar. Semua perusahaan pasti menginginkan karyawannya bersikap profe—

“Sekali pekerjaan tidak benar, kamu harus menambah satu jam waktu kerja. Tanpa bonus lembur, tentu saja.”

Flora tersedak udara yang dihirupnya. Tanpa sadar dia menatap Abraham seolah memastikan bahwa hal itu hanyalah omong kosong belaka. Namun yang terjadi justru ekspresi Abraham bahkan tidak berubah, menjawab dengan suara tajamnya, “Seseorang yang berani mengambil sebuah pekerjaan, dia harus mempertanggungjawabkannya sampai akhir.”

Tentu saja Flora tidak bisa membalas perkataan bosnya. Meskipun kesal sekali, dia tidak bisa menampik bahwa apa yang dikatakan Abraham benar adanya. Mungkin itulah resepnya hingga dia bisa membawa perusahaan ini menuju titik tertinggi sejak didirikan.

“Poin ketiga.”

Entah mengapa Flora merasa jantungnya berdegup terlalu kencang, merasa hal yang jauh lebih buruk akan segera dia dengar.

“Ini mungkin terdengar keterlaluan, tapi dengan kamu bersedia menjadi sekretaris saya, maka saya anggap kamu menempatkan posisi saya di atas keluargamu. Dua puluh empat jam kamu harus bersedia saya panggil, bahkan untuk mengerjakan hal-hal kecil seperti print out dokumen atau mencarikan kunci mobil saya yang terselip.”

Rahang Flora seperti ingin menggelinding mendengar poin terakhir itu. Tiba-tiba saja ia merasa dirinya telah mengambil keputusan yang amat salah dengan menjadi sekretaris Abraham. Belum benar-benar bekerja saja kepalanya sudah pening. Ah, lihat wajah menyebalkan itu, Flora bersumpah akan menimpuknya dengan heels lima sentinya suatu hari nanti.

Entahlah apa yang akan terjadi nanti, namun satu hal yang Flora yakini: rencana yang sudah disusunnya dengan sempurna bisa jadi akan gagal akibat makhluk bernama Abraham Ganendra.

***

Flora memijat keningnya seiring suara ketukan sepatunya yang mengisi lorong panjang. Meskipun di hari pertama kerjanya, Flora cukup bisa sedikit bersantai karena hari ini Abraham tidak memiliki jadwal rapat, namun tetap saja dia masih harus mempelajari beberapa aturan kerja, pun penyesuaian dengan lingkungan kerja yang masih terasa asing. Bos prefeksionis itu kini sedang sibuk memeriksa laporan keuangan yang memiliki indikasi terjadi kesalahan interpretasi angka, sehingga Flora memutuskan untuk membuat teh hijau di pantry.

 “Tidak diragukan lagi. Luna yang terbaik!”

Suara penuh keceriaan itu samar-samar terdengar, sehingga membuat Flora mempercepat langkahnya menuju pantry. Dari jendela kecil yang terbuka, Flora dapat melihat empat orang—dua pria dan dua wanita—yang tengah tertawa. Mata Flora langsung tertuju pada seorang wanita yang sedang menyerahkan cup minuman kepada tiga orang di sana.

Luna.

“Aduh, Pak Andre pandai sekali memuji. Saya tidak sebaik itu, Pak.” Luna mengibaskan tangannya sembari tertawa kecil.

“Apanya yang tidak. Kamu ini karyawan paling perhatian dan manis di sini. Alangkah beruntungnya pria yang menjadi suamimu nantinya.”

Spontan Flora tertawa kering mendengarnya. Sepertinya di perusahaan ini Luna membangun citra wanita baik-baik dan sempurna. Seperti kucing yang mengubur kotorannya, Luna menyembunyikan rahasia kelamnya melalui sikap anggun dan penampilan bak bidadari. Tinggal menunggu waktu hingga dunia mengetahui wujud aslinya. Flora tidak yakin dia akan menjadi kesayangan semua orang lagi jika bom itu telah dijatuhkan.

“Selamat siang.”

Begitu Flora menyapa dengan ramah di ambang pintu, seluruh pusat perhatian di ruangan itu langsung teralihkan padanya. Adalah Andre yang terlebih dahulu membalas sapaan, “Ah, sekretaris baru Pak Abra! Kalau tidak salah Flora ya namanya? Jangan sungkan, mari masuk.”

Dengan senyum lebar masih terpatri di wajahnya, Flora melangkah masuk ke pantry. Dia menyapa satu persatu orang di sana sembari berkenalan. Dan ketika tiba saatnya pada Luna, Flora bisa melihat dengan jelas bahwa wanita itu tengah gugup. Meskipun samar, Flora bisa mendengar napasnya yang tersengal dan raut wajah yang berubah kaku.

“Luna, ya? Karyawan paling populer tahun lalu, bukan? Saya sudah banyak mendengar tentangmu.” Flora tersenyum lembut.

“A-ah, ya. Salam kenal, Flora.” Sedikit tergagap, Luna balas tersenyum, kaku dan terlihat tertekan. Siapa pula yang tidak gelisah ketika berhadapan langsung dengan istri pacarnya. Tentunya orang normal yang mengedepankan citra macam Luna akan merasa sangat khawatir jika hubungan gelapnya ketahuan.

“Eh—” Flora pura-pura melebarkan matanya ketika melihat sesuatu di leher Luna. “Hei, kita punya kalung yang sama. Lihat ini.” Tangan Flora bergerak mengeluarkan kalung berhiaskan batu ruby yang awalnya tertutup blouse-nya. “Kebetulan sekali.”

“Wah, benarkah?” Wanita lain di ruangan itu yang tadi memperkenalkan diri sebagai Angela tertarik mendekat, memperhatikan kalung yang dipakai Flora dan Luna secara bergantian. “God, benar-benar sama persis. Apa kalung ini sedang menjadi tren sekarang?”

Flora menyeringai samar ketika melihat wajah Luna semakin pucat. Dia seperti kehilangan daya untuk bergerak atau mengucapkan sepatah kata.

“Saya pikir itu tidak mungkin. Kalung ini suami saya yang membelikan sebagai hadiah ulang tahun, dipesan khusus dengan desain yang dia buat sendiri. Kata dia waktu itu, di hari yang istimewa, tentu kadonya juga harus istimewa.” Pandangan Flora beralih dari Angela ke Luna. “Makanya saya bingung Luna bisa mengenakan kalung yang sama dengan saya.”

Tahu apa yang lebih menyenangkan dibanding menonton film atau bermain golf? Melihat dengan mata kepala sendiri ketika lawan mati kutu, tersudut, dan kehilangan akal untuk keluar dari kungkungan perangkap. Selama beberapa saat, ruangan itu kehilangan suara-suara untuk merobek keheningan. Seluruh atensi hanya tertuju pada Luna yang berdiri membeku.

“Saya ... kalung ini ....” Hanya ada kegelisahan yang tergambar di wajah Luna. “Saya pernah melihatnya dipajang di etalase toko. Saya bertanya pada penjaga toko, katanya kalung ini desain khusus yang telah dipesan seseorang. Karena amat menyukai desainnya, saya meminta untuk dibuatkan yang sama.”

Ketegangan di pantry mencair seketika. Kali ini, Luna akhirnya bisa lolos dari maut.

“Ah, begitu rupanya. Saya hampir saja berpikir ada hubungan khusus antara kamu dan suami saya.”

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
keren flora.....
goodnovel comment avatar
flow_kaar
Suka sama cara flora mempermalukan luna. Gak murahan sama sekali. Ayo buat dia dibenci semua orang flo..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status