Share

BAB 5| KAIL PERTAMA

“Flora! Astaga, aku menghubungimu puluhan kali.”

Raut cemas Sakha menjadi pemandangan pertama Flora ketika pria itu menginjakkan kaki di rumah, masih dengan pakaian kerja. Dia buru-buru berjalan mendekat hingga tampak jelas wajah kusutnya.

Flora menyunggingkan senyum tipis, sebelum berucap, “Maaf membuatmu khawatir. Aku tadi kurang enak badan sehingga pergi ke klinik terdekat.”

“Eh, sekarang bagaimana? Masih sakit?”

“Tidak, aku tidak apa-apa sekarang.” Flora menutup mulutnya dengan punggung tangan. Dia tiba-tiba merasa mual. Tingkah Sakha, wajahnya, pun aroma parfumnya membuat Flora muak setengah mati. “Kamu kelihatan lelah, Mas. Ayo biar aku buatkan kopi.”

“Ide bagus!”

Melangkah menuju dapur, Flora menyembunyikan tangannya yang bergetar. Begitu pun saat dia mengambil gelas, menuangkan kopi, Flora mati-matian menjaga agar tangannya terlihat stabil sembari melemparkan pertanyaan, “Ah, Ayah bagaimana?”

“Tidak parah. Dokter bilang dua-tiga hari lagi sudah boleh pulang.” Sakha memejamkan mata, menyandarkan punggungnya ke sofa, melepas penat sejenak.

Flora mengangguk singkat bertepatan dengan dia yang meletakkan secangkir kopi di depan Sakha. Flora lantas merogoh sesuatu di kantong celananya. “Aku menemukan cincin ini di saku jasmu kemarin.”

Sakha tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat cincin bertahtakan ametis yang disodorkan Flora. Dia diam-diam meneguk saliva, jantungnya seakan lepas dari tempatnya untuk beberapa saat. Sekuat tenaga Sakha mencoba menarik bibirnya ke atas namun malah membentuk sebuah senyuman aneh.

“Y-ya?” Sakha berdeham sekali, mati-matian Sakha mencoba menguasai dirinya, sebelum akhirnya berucap, “Itu cincin untukmu, Flo. Aku ingin memberikan kejutan tapi kamu malah sudah tahu lebih dulu, haha ....”

Flora tersenyum tipis, menikmati kegugupan suaminya. “Tapi setelah kucoba, cincin ini terlalu kecil. Sepertinya kamu kebanyakan melihat jemari orang lain sehingga melupakan ukuran jariku, Mas.” Perkataan Flora berhasil membuat Sakha tersedak kopi yang tengah diseruputnya. “Kamu, ‘kan, banyak menghabiskan waktu di kantor daripada di rumah, tentu kamu lebih sering bertemu karyawan dan klien daripada aku.”

Sakha tertawa hambar setelah mengusap bibirnya yang basah oleh air kopi. “Ah, bodoh sekali aku. Kurasa aku masih memakai ukuran cincin pernikahan kita. Aku janji akan membelikan yang baru besok.”

“Tidak perlu. Aku tidak butuh cincin atau yang lainnya.” Flora mengibaskan tangannya santai. “Em ... sepertinya aku perlu menurunkan berat badan, bukan? Berat badanku naik cukup banyak setelah menikah. Aku khawatir kamu tidak mengenali tanganku dan malah menggenggam tangan wanita lain, Mas.”

***

Bising musik atraktif yang diputar terlalu kencang membuat Flora meringis terganggu beberapa kali seiring langkahnya yang menerobos puluhan orang yang melompat-lompat mengikuti irama musik. Bau minuman tercium pekat, lampu sorot yang berpendar-pendar semakin membuat Flora membenci tempat itu. Kalau saja tidak mendesak, dia tidak akan sudi menginjakkan kaki di sebuah kelab malam. Semua yang ada di sana sama sekali tidak menghiburnya, justru membuat perutnya bergejolak mual.

Senyum miring Flora terbit ketika akhirnya dia menemukan orang yang dicari tengah duduk di sofa pojok ruangan, mengangkat botol sampanye, lantas tertawa karena celotehan salah satu temannya. Flora mengamati situasi dari counter, menggeleng sopan ketika bartender menanyakan ingin memesan apa.

Sepuluh menit mencoba berteman dengan musik kelab malam yang amat berisik, seseorang yang diperhatikan Flora beranjak berdiri menuju dance floor, bergabung dengan puluhan orang yang bersenang-senang. Ini dia kesempatan emasnya. Flora siap melemparkan jaring, menangkap ikan besar.

Dengan langkah pasti, Flora menuju tempat yang baru ditinggalkan seseorang itu. Dan ketika melewati dua orang wanita yang duduk di sofa pojok ruangan, Flora berhenti. Keningnya mengernyit dalam, sedikit menundukkan kepalanya seperti tengah mengamati salah satu dari dua wanita itu, lantas berseru, “Hei, Sarah?”

Wanita yang mengenakan off shoulder dress mengangkat wajah dengan raut bingung, sebelum akhirnya mengangkat tangan di depan dada. “Eh, bukan. Anda salah orang.”

“Aduh, maaf. Saya pikir Anda teman saya. Wajah kecil dan riasan natural Anda benar-benar mirip teman saya. Ah, tidak mungkin juga primadona kampus yang alim itu berada di tempat seperti ini. Saya minta maaf sekali lagi.” Flora sedikit membungkukkan badannya.

Mendengar dirinya disamakan dengan “primadona kampus”, wanita itu bersemu, kepercayaan dirinya meningkat. Dia memasang seulas senyum lebar sebelum kembali berkata, “Anda sudah ada janji dengan seseorang di sini?”

“Tidak, saya tidak punya teman untuk mengobrol sama sekali. Ah, malang sekali nasib saya. Semua teman entah lari ke mana ketika sedang dibutuhkan.” Flora menggelengkan kepalanya dramatis sembari menghela napas.

“Ah, bergabung saja dengan kami!” seru wanita itu antusias.

“Eh? Baiklah kalau kalian tidak keberatan.” Wajah Flora terlihat ragu sebelum dia duduk di samping wanita yang berbalut tube dress. “Nama kalian siapa?”

“Aku Jihan, dan ...” Jihan menunjuk wanita di samping Flora. “Dia Tara. Eh, tidak apa-apa, ‘kan, bicara santai? Sepertinya kita seumuran.”

Flora menggangguk dengan cepat, tertawa. “Tentu saja. Aku juga lebih nyaman bicara santai.” Setelah memperkenalkan dirinya sebagai “Bona”, dengan cepat wajah Flora berubah muram ketika melihat pakaian yang dikenakan Jihan dan Tara. “Ah, aku terlihat seperti orang aneh di sini. Aku iri sekali dengan kalian yang memiliki tubuh langsing semampai, cocok memakai apa pun. Aduh, aku seperti tengah berbicara dengan model kenamaan.”

Pujian terang-terangan Flora berhasil membuat mereka berdua tertawa lebar, melambaikan tangan malu-malu.

“Kalau begitu haruskah kita memberi tanda tangan secara percuma, Han?” Ucapan Tara berhasil membuat meja itu kembali dipenuhi gelak tawa.

“Omong-omong, kalian hanya berdua di sini?” Setelah tawa reda, Flora melemparkan pertanyaan yang terdengar basa-basi, namun sebenarnya menjadi prolog untuk rencana tersembunyinya.

Jihan menggeleng, menunjuk seorang wanita yang tengah asyik berdansa dengan seorang pria. “Kami bertiga. Dia namanya Luna.”

Luna. Flora menyeringai samar, menyebut nama itu dalam hati. Dia sudah melangkah ke anak tangga kedua setelah sebelumnya mengetahui jadwal Sakha dan wanita itu berkencan: setiap hari Kamis.

Sejak siang Flora sudah mengintai di depan perusahaan Sakha, namun tidak ada pergerakan mencurigakan sepanjang siang. Hingga ketika jam kantor berakhir, hadiah besar itu baru muncul. Luna datang ke perusahaan Sakha, lantas mereka pergi ke sebuah restoran-bar. Dua jam berada di sana, mereka berpisah. Flora memilih untuk mengikuti Luna dan dia berakhir di kelab malam, berbincang dengan dua teman Luna.

“Wah, dia cantik sekali. Pasti di setiap tempat dia menjadi pusat perhatian, semua pria mencoba mengambil hatinya,” komentar Flora sembari berdecak kagum. Namun Jihan dan Tara malah terbahak mendengar ucapan Flora. “Eh, kenapa?”

“Yah, Luna memang cantik, tapi sayang kisah cintanya tak semulus wajahnya. One-sided love, cinta tak sampai karena langit yang ingin dia gapai terlampau jauh.” Tara berucap ringan seolah hal itu bukanlah apa-apa.

“Dia? Cinta bertepuk sebelah tangan?” Flora melebarkan matanya tidak percaya, namun dalam hati dia berseru senang, merasa sepertinya akan mendapat ikan besar.

“Ya, sudah setahun dia menyukai CEO perusahaan tempat dia bekerja. Sayang, CEO super tampan itu bahkan tidak peduli kalau Luna mati detik ini juga.”

Ha! Flora benar-benar mendapat jackpot!

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
flow_kaar
Ayo semangat balas dendam flora. Buat sakha dan luna nangis darah..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status