“Flora! Astaga, aku menghubungimu puluhan kali.”
Raut cemas Sakha menjadi pemandangan pertama Flora ketika pria itu menginjakkan kaki di rumah, masih dengan pakaian kerja. Dia buru-buru berjalan mendekat hingga tampak jelas wajah kusutnya.Flora menyunggingkan senyum tipis, sebelum berucap, “Maaf membuatmu khawatir. Aku tadi kurang enak badan sehingga pergi ke klinik terdekat.”“Eh, sekarang bagaimana? Masih sakit?”“Tidak, aku tidak apa-apa sekarang.” Flora menutup mulutnya dengan punggung tangan. Dia tiba-tiba merasa mual. Tingkah Sakha, wajahnya, pun aroma parfumnya membuat Flora muak setengah mati. “Kamu kelihatan lelah, Mas. Ayo biar aku buatkan kopi.”“Ide bagus!”Melangkah menuju dapur, Flora menyembunyikan tangannya yang bergetar. Begitu pun saat dia mengambil gelas, menuangkan kopi, Flora mati-matian menjaga agar tangannya terlihat stabil sembari melemparkan pertanyaan, “Ah, Ayah bagaimana?”“Tidak parah. Dokter bilang dua-tiga hari lagi sudah boleh pulang.” Sakha memejamkan mata, menyandarkan punggungnya ke sofa, melepas penat sejenak.Flora mengangguk singkat bertepatan dengan dia yang meletakkan secangkir kopi di depan Sakha. Flora lantas merogoh sesuatu di kantong celananya. “Aku menemukan cincin ini di saku jasmu kemarin.”Sakha tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat cincin bertahtakan ametis yang disodorkan Flora. Dia diam-diam meneguk saliva, jantungnya seakan lepas dari tempatnya untuk beberapa saat. Sekuat tenaga Sakha mencoba menarik bibirnya ke atas namun malah membentuk sebuah senyuman aneh.“Y-ya?” Sakha berdeham sekali, mati-matian Sakha mencoba menguasai dirinya, sebelum akhirnya berucap, “Itu cincin untukmu, Flo. Aku ingin memberikan kejutan tapi kamu malah sudah tahu lebih dulu, haha ....”Flora tersenyum tipis, menikmati kegugupan suaminya. “Tapi setelah kucoba, cincin ini terlalu kecil. Sepertinya kamu kebanyakan melihat jemari orang lain sehingga melupakan ukuran jariku, Mas.” Perkataan Flora berhasil membuat Sakha tersedak kopi yang tengah diseruputnya. “Kamu, ‘kan, banyak menghabiskan waktu di kantor daripada di rumah, tentu kamu lebih sering bertemu karyawan dan klien daripada aku.”Sakha tertawa hambar setelah mengusap bibirnya yang basah oleh air kopi. “Ah, bodoh sekali aku. Kurasa aku masih memakai ukuran cincin pernikahan kita. Aku janji akan membelikan yang baru besok.”“Tidak perlu. Aku tidak butuh cincin atau yang lainnya.” Flora mengibaskan tangannya santai. “Em ... sepertinya aku perlu menurunkan berat badan, bukan? Berat badanku naik cukup banyak setelah menikah. Aku khawatir kamu tidak mengenali tanganku dan malah menggenggam tangan wanita lain, Mas.”***Bising musik atraktif yang diputar terlalu kencang membuat Flora meringis terganggu beberapa kali seiring langkahnya yang menerobos puluhan orang yang melompat-lompat mengikuti irama musik. Bau minuman tercium pekat, lampu sorot yang berpendar-pendar semakin membuat Flora membenci tempat itu. Kalau saja tidak mendesak, dia tidak akan sudi menginjakkan kaki di sebuah kelab malam. Semua yang ada di sana sama sekali tidak menghiburnya, justru membuat perutnya bergejolak mual.Senyum miring Flora terbit ketika akhirnya dia menemukan orang yang dicari tengah duduk di sofa pojok ruangan, mengangkat botol sampanye, lantas tertawa karena celotehan salah satu temannya. Flora mengamati situasi dari counter, menggeleng sopan ketika bartender menanyakan ingin memesan apa.Sepuluh menit mencoba berteman dengan musik kelab malam yang amat berisik, seseorang yang diperhatikan Flora beranjak berdiri menuju dance floor, bergabung dengan puluhan orang yang bersenang-senang. Ini dia kesempatan emasnya. Flora siap melemparkan jaring, menangkap ikan besar.
Dengan langkah pasti, Flora menuju tempat yang baru ditinggalkan seseorang itu. Dan ketika melewati dua orang wanita yang duduk di sofa pojok ruangan, Flora berhenti. Keningnya mengernyit dalam, sedikit menundukkan kepalanya seperti tengah mengamati salah satu dari dua wanita itu, lantas berseru, “Hei, Sarah?”Wanita yang mengenakan off shoulder dress mengangkat wajah dengan raut bingung, sebelum akhirnya mengangkat tangan di depan dada. “Eh, bukan. Anda salah orang.”“Aduh, maaf. Saya pikir Anda teman saya. Wajah kecil dan riasan natural Anda benar-benar mirip teman saya. Ah, tidak mungkin juga primadona kampus yang alim itu berada di tempat seperti ini. Saya minta maaf sekali lagi.” Flora sedikit membungkukkan badannya.Mendengar dirinya disamakan dengan “primadona kampus”, wanita itu bersemu, kepercayaan dirinya meningkat. Dia memasang seulas senyum lebar sebelum kembali berkata, “Anda sudah ada janji dengan seseorang di sini?”“Tidak, saya tidak punya teman untuk mengobrol sama sekali. Ah, malang sekali nasib saya. Semua teman entah lari ke mana ketika sedang dibutuhkan.” Flora menggelengkan kepalanya dramatis sembari menghela napas.“Ah, bergabung saja dengan kami!” seru wanita itu antusias.“Eh? Baiklah kalau kalian tidak keberatan.” Wajah Flora terlihat ragu sebelum dia duduk di samping wanita yang berbalut tube dress. “Nama kalian siapa?”“Aku Jihan, dan ...” Jihan menunjuk wanita di samping Flora. “Dia Tara. Eh, tidak apa-apa, ‘kan, bicara santai? Sepertinya kita seumuran.”Flora menggangguk dengan cepat, tertawa. “Tentu saja. Aku juga lebih nyaman bicara santai.” Setelah memperkenalkan dirinya sebagai “Bona”, dengan cepat wajah Flora berubah muram ketika melihat pakaian yang dikenakan Jihan dan Tara. “Ah, aku terlihat seperti orang aneh di sini. Aku iri sekali dengan kalian yang memiliki tubuh langsing semampai, cocok memakai apa pun. Aduh, aku seperti tengah berbicara dengan model kenamaan.”Pujian terang-terangan Flora berhasil membuat mereka berdua tertawa lebar, melambaikan tangan malu-malu.“Kalau begitu haruskah kita memberi tanda tangan secara percuma, Han?” Ucapan Tara berhasil membuat meja itu kembali dipenuhi gelak tawa.“Omong-omong, kalian hanya berdua di sini?” Setelah tawa reda, Flora melemparkan pertanyaan yang terdengar basa-basi, namun sebenarnya menjadi prolog untuk rencana tersembunyinya.Jihan menggeleng, menunjuk seorang wanita yang tengah asyik berdansa dengan seorang pria. “Kami bertiga. Dia namanya Luna.”Luna. Flora menyeringai samar, menyebut nama itu dalam hati. Dia sudah melangkah ke anak tangga kedua setelah sebelumnya mengetahui jadwal Sakha dan wanita itu berkencan: setiap hari Kamis.Sejak siang Flora sudah mengintai di depan perusahaan Sakha, namun tidak ada pergerakan mencurigakan sepanjang siang. Hingga ketika jam kantor berakhir, hadiah besar itu baru muncul. Luna datang ke perusahaan Sakha, lantas mereka pergi ke sebuah restoran-bar. Dua jam berada di sana, mereka berpisah. Flora memilih untuk mengikuti Luna dan dia berakhir di kelab malam, berbincang dengan dua teman Luna.“Wah, dia cantik sekali. Pasti di setiap tempat dia menjadi pusat perhatian, semua pria mencoba mengambil hatinya,” komentar Flora sembari berdecak kagum. Namun Jihan dan Tara malah terbahak mendengar ucapan Flora. “Eh, kenapa?”“Yah, Luna memang cantik, tapi sayang kisah cintanya tak semulus wajahnya. One-sided love, cinta tak sampai karena langit yang ingin dia gapai terlampau jauh.” Tara berucap ringan seolah hal itu bukanlah apa-apa.“Dia? Cinta bertepuk sebelah tangan?” Flora melebarkan matanya tidak percaya, namun dalam hati dia berseru senang, merasa sepertinya akan mendapat ikan besar.“Ya, sudah setahun dia menyukai CEO perusahaan tempat dia bekerja. Sayang, CEO super tampan itu bahkan tidak peduli kalau Luna mati detik ini juga.”Ha! Flora benar-benar mendapat jackpot!***Nadine berada di mejanya, sedang fokus pada layar komputer ketika Flora mendorong cepat pintu studio. Mata perempuan itu terbelalak seiring ia yang spontan bangkit berdiri dengan punggung menegak. Gesturnya menjadi waspada.“Kairo—di mana dia?” Flora langsung bertanya, keadaan saat ini mendesak, ia tidak punya waktu untuk berbasa-basi.“Eh, saya akan menanyakan dulu—”“Aku akan ke atas.” Tanpa menunggu persetujuan Nadine terlebih dahulu, Flora berderap ke arah tangga lantai dua.“Tidak bisa begitu!” Nadine nyaris melompat untuk menghentikan. Ia tergopoh berlari untuk menghalangi, merentangkan tangannya di depan Flora.Flora baru ingin membuka mulut ketika suara dari belakang sana menghentikannya, juga membuat Nadine menoleh.“Biarkan dia, Nadine.” Kairo berdiri di anak tangga paling bawah, memakai pakaian santai, dan melemparkan tatapan tajam pada Flora. “Kamu boleh pulang. Aku akan selesaikan sisanya.”Dari air muka Nadine, bisa Flora pastikan perempuan itu agak kurang setuju. Ia men
Sudah nyaris lima belas menit Flora bergeming di meja kerjanya dengan pandangan yang nanar dan menerawang. Deretan tulisan di layar komputer menjadi terasa jauh sekali, seolah-olah kisah yang tertulis di sana milik seseorang dari antah-berantah yang tidak ia kenal.‘Istri Rowan Ganendra Ditemukan Meninggal di Halaman Belakang Rumah, Diduga Melompat dari Lantai Empat.’Itu adalah artikel ketujuh yang Flora baca mengenai dugaan bunuh diri ibu Abraham, membacanya berkali-kali dengan harapan apa yang dibacanya tidak benar. Namun, segala yang tertulis dalam artikel-artikel itu nyaris semuanya sama: Elsie Ganendra melakukan bunuh diri dengan melompat dari lantai empat rumahnya pada tengah malam, dua puluh tahun silam.Punggung Flora yang menegang, perlahan mengendur saat ia bersandar pada kursi dan mengembuskan napas panjang. Ia melirik ke arah ruangan Abraham yang terlihat melalui kaca, menemukan pria itu yang sedang melakukan pembicaraan dengan salah satu kepala departemen. Flora memandan
‘Aku akan pulang terlambat, Flo.’Flora menyandarkan punggungnya ke kursi sembari menghirup uap cokelat hangat ketika ia membaca pesan itu, dari Sakha. Ia segera menutup pesan tanpa membalas, lantas kembali menyesap cokelatnya.“Aduh, manis sekali.” Flora melemparkan tatapan tenang pada langit senja. “Tentu saja kamu harus menghibur pacarmu yang sedang sedih.”Seluruh kejadian di kantor kembali berputar di kepala Flora, lalu sebentuk seringaian terbit di bibirnya. Hari ini ia berhasil membuat topeng samaran Luna perlahan retak. Itu yang ingin ia tunjukkan pada rekan-rekan kerja wanita itu. Perlahan-lahan, dan dengan cara yang menyakitkan.Telepon semalam yang berisi kemesraan Flora dengan Sakha hanya alat untuk membuat emosi Luna menjadi tidak stabil. Ketika seseorang dalam kondisi seperti ini, cukup beri sedikit saja tekanan, maka ia akan kehilangan kendali dengan mudah. Sisi Luna yang temperamental telah Flora pertontonkan kepada rekan-rekan kerjanya, memperkecil kemungkinan ia akan
“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana