“Bagaimana, Flo? Kamu suka pekerjaan baru kamu?”
Gerakan tangan Flora yang hendak menuangkan air putih ke gelas sedikit tersendat karena pertanyaan Sakha. Bayangan tentang pekerjaannya hari ini kembali hinggap di pikirannya, membawanya kembali mengumpat dalam hati kepada Abraham yang telah membuat peraturan konyol tidak berperikemanusiaan itu. Tidak ada yang menarik di perusahaan selain fasilitas mewah dan tentu saja raut pucat Luna ketika Flora sengaja mempermainkannya.
“Suka sekali, Mas. Aku menemukan kesenangan baru di sana.” Tidak ada gunanya bagi Flora untuk berkata jujur. Susah payah dia mendapatkan izin dari Sakha untuk kembali bekerja setelah hampir tiga tahun mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga secara penuh.
“Syukurlah ....” Air muka Sakha tampak sedikit berubah ketika meraih cangkir kopinya. Dia mencuri pandang Flora beberapa kali sebelum bertanya dengan suara sedikit serak, “CEO di sana ... bagaimana? Apa dia memang sehebat yang dibicarakan orang-orang?”
Sejenak, Flora mengamati perubahan ekspresi suaminya yang kentara. Dari suaranya, Flora tahu Sakha mencoba mengontrol suaranya agar terdengar normal. Apa Sakha cemburu, khawatir jika Flora tertarik dengan Abraham? Cicak yang sedang melahap nyamuk pun tahu, bukan itu yang tengah Sakha rasakan. Ada hal lain yang mengusik pria itu.
“Ya, dia memang hebat. Taktis dalam bekerja dan insting bisnisnya luar biasa.” Mata Flora tidak lepas menganalisis raut wajah Sakha, mencoba membaca yang tersembunyi di sana.
Sakha mengangguk beberapa kali, tatapannya masih tertuju pada air kopi di cangkirnya. “Apa kamu ... kamu bisa membantuku, Flo?”
Suara penuh keraguan itu membuat Flora semakin tertarik. Dia mendekat, duduk di samping Sakha untuk mendengar penjelasan berikutnya.
“Aku mungkin belum menceritakan padamu selama ini, takut membuatmu khawatir. Sudah enam bulan ini perusahaanku mengalami defisit yang cukup tajam. Resesi tahun lalu yang menjadi dalang utamanya. Kami mungkin hanya bisa bertahan setengah tahun lagi sebelum semuanya habis. Apa kamu bisa membantuku bertemu dengan CEO perusahaanmu, Flo? Gane Brown adalah perusahan puncak untuk food and beverage. Aku mempertimbangkan untuk menjadi anak perusahaannya. Akuisisi.”
Butuh beberapa saat untuk Flora mencerna perkataan Sakha. Defisit? Di ujung tanduk? Ah, Flora bisa melihat segalanya dengan jelas sekarang. Tentang alasan Sakha memperbolehkannya bekerja di Gane Brown Corporation dan juga sikap murungnya akhir-akhir ini. Abraham Ganendra, pria itulah alasan utamanya.
“Apa benar-benar tidak ada jalan keluar lain untuk menyelamatkan perusahaanmu, Mas?” Flora bertanya memastikan.
Sakha membalasnya dengan gelengan lemah. Akuisisi untuk mendapatkan suntikan dana dan nama besar Gane Brown adalah jalan satu-satunya.
Kebetulan? Tentu saja Flora akan menyebutnya sebagai nasib baik. Entahlah apa yang sedang diperbuat takdir. Setelah menghantamnya begitu keras ke bebatuan terjal, dia kini seolah mencoba berdamai dengannya. Flora tersenyum miring seraya menyentuh bahu Sakha, berbisik lembut.
“Tenang saja, Mas. Aku pasti akan membantumu.”
***
Flora menutup buku catatannya seiring pembicaraan di meja itu menjadi lebih rileks. Abraham sesekali mengangguk menanggapi perkataan pria tujuh puluh tahunan di seberang meja yang tengah mengenang masa lalu.
“Aku ingat sekali dulu kamu masih setinggi ini.” Pria itu menggerakkan tangannya sedikit lebih rendah dari meja. “Lalu berlari-lari memintaku untuk menemanimu bermain lego. Astaga, siapa yang bisa mengira bahwa bocah sekecil itu tumbuh begitu menakjubkan, bahkan menjadi CEO paling gemilang?” Kekehan pria itu terdengar amat tulus, mata tuanya menatap takjub pada Abraham.
Meskipun tidak begitu paham dengan masa lalu kedua orang itu, Flora ikut manggut-manggut. Setelah melakukan notula meeting siang ini bersama Djaya Pramana, seorang produser film kenamaan untuk membicarakan proyek kerja sama dalam sebuah mega film, Flora jadi menganggur. Mau nimbrung pembicaraan mereka juga sama sekali bukan ide yang bagus. Jadilah dia seperti bobblehead mobil yang hanya bisa menganggukkan kepalanya.
“Alangkah bagusnya jika Stella juga bisa sepertimu, Abra. Dewasa, brilian, dan juga—” Perkataan Djaya terhenti kala pintu di ruang rapat berdebum terbuka setelah mendapat dorongan yang keras dari luar. Tak lama setelah itu muncul seorang perempuan berbalut dress selutut di ambang pintu, wajahnya tertekuk.
“Kakek, katanya kita mau ma—Abra?” Mata perempuan di depan sana membulat sempurna ketika melihat Abraham yang duduk di salah satu kursi.
“Nah, baru juga dibicarakan. Cucuku sepertinya lebih berbakat menjadi cenayang dibandingkan model.” Djaya bergumam, menggelengkan kepalanya pelan.
Dalam sepersekian detik, wajah Stella—cucu Djaya—berubah sumringah, melangkah cepat ke arah Abraham duduk.
Flora berhitung cepat. Gestur Stella seperti ingin melemparkan dirinya kepada Abraham, memeluknya. Entah dari mana datangnya, Flora seperti bisa mendengar suara Abraham yang tengah mengucapkan poin pertama yang harus ia patuhi.
“Jika kamu melihat seseorang mencoba menyentuh saya, kamu memiliki kewajiban mencegah hal itu terjadi.”
Flora mengumpat dalam hati seiring Stella yang semakin dekat. Dia bergegas bangkit dari duduknya dan merentangkan tangan lebar-lebar tepat sebelum Stella meraih lengan Abraham. “Maaf, Nona.”
Gerakan tangan Stella terhenti. Ruangan itu berubah sunyi ketika Stella melemparkan tatapan tajam kepada Flora, untuk kemudian dia bertanya dengan nada suara geram, “Who the hell are you?”
Sebelum Flora sempat menjawab atau menurunkan tangannya, terdengar tawa renyah Djaya. Dia bertepuk tangan pelan. “Sepertinya aku tahu apa yang terjadi. Kamu sama sekali belum berubah, Abra. Dan siapa tadi namamu? Flora, bukan? Aku suka sekretarismu, Abra.”
Flora menoleh dengan mata mengerjap dalam tempo lambat. Bukan, bukan karena ucapan Djaya yang terdengar seperti pujian itu, melainkan karena lengkungan kecil yang tercetak di bibir Abraham.
Ah, ternyata bos perfeksionisnya itu tahu juga caranya tersenyum.
***
“Hentikan helaan napasmu itu, Flora. Kamu menganggu makan siang saya.”Suara yang lebih terdengar seperti menghardik itu membuat Flora melipat bibirnya seketika. Ia diam-diam melirik sinis Abraham yang tengah menikmati steiknya. Ah, lihat itu. Setelah mempermalukannya, bisa-bisanya Abraham makan dengan damai, sementara Flora harus merasa khawatir tentang masa depannya.Bertepatan dengan pelayan yang selesai menyajikan dessert, Flora meletakkan sendoknya. Bulat sudah tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban Abraham. Dia sudah terlanjur terjerembab ke kubangan lumpur, maka Flora memutuskan sekalian mandi di sana.“Maaf jika saya lancang mengatakan ini, Pak. Tapi untuk selanjutnya, mohon sekali Bapak memberikan instruksi yang jelas dan lengkap sehingga kejadian seperti hari ini tidak terjadi di masa depan.” Flora mencoba menekan kekesalan yang sudah mengendap di hatinya sejak hari pertama menjadi sekretaris Abraham, sehingga suaranya menjadi sedikit bergetar. Kalau menuruti kata hatinya
Akhir pekan. Terasa seperti surga bagi Flora setelah hari-harinya dipenuhi dengan omelan dan tingkah semena-mena Abraham. Malam ini, keriuhan memenuhi telinga Flora, banyak orang berpakaian formal hilir-mudik, musik romantis mengalun sejak acara dimulai. Sembari memeluk lengan suaminya, Flora banyak tertawa, mengobrol ringan dengan kenalan. Mereka kini tengah menghadiri pesta pernikahan sahabat baik Sakha, bergabung dengan para tamu undangan. “Akhir-akhir ini Flora tampak cantik sekali, bukan? Badannya semakin bagus. Kamu melakukan diet, Flo?” Salah satu teman Sakha, Arina, bertanya ringan. Flora membalasnya dengan tawa kecil yang sedikit hambar. Ya, berat badannya memang sedikit turun, namun bukan karena melakukan diet, olahraga, atau semacamnya. Pengkhianatan, kehilangan, dendam kesumat, membuatnya kehilangan selera untuk menyantap makanan. Ditambah seminggu terakhir, menjadi sekretaris Abraham benar-benar menguras tenaganya dan pikirannya penuh dengan segala hal yang membuat stres
Diiringi dengan kilatan petir di belakang sana, Abraham sedikit tersentak ketika membuka pintu rumahnya. Demi Tuhan, dibandingkan manusia, sekretarisnya lebih tampak seperti hantu wanita yang mati karena depresi. Rambut acak-acakan, maskara yang luntur ke bawah mata, ekspresi tanpa nyawa. Dan apa-apaan dress formal yang Flora kenakan, sama sekali tidak cocok dengan kondisi wajahnya saat ini.“Apa kamu baik-baik saja, Flora? Kamu baru saja menjadi korban tabrak lari?” Abraham bertanya setelah mencoba menenangkan jantungnya.“Saya tidak apa-apa, Pak. Abaikan penampilan saya.” Flora menimpali dengan nada suara dan wajah tak beriak. “Apa yang harus saya kerjakan sekarang?”Abraham mendadak bingung, ragu membiarkan Flora masuk ke rumahnya dengan keadaan menyedihkan macam itu. Tambahkan aura horor wanita itu yang entah mengapa membuat Abraham merasakan tengkuknya meremang.Dua detik, tangan Abraham menggapai handle pintu, bersiap untuk menutupnya. Dia tidak mau ambil risiko jika nanti tiba-
Tetes hujan yang jatuh memercik membasahi bagian depan heels milik Flora. Dia kini sedang duduk di lantai depan minimarket sambil menatap rintik hujan yang tak kunjung usai. Celotehan beberapa orang yang beradu dengan suara hujan, juga kendaraan yang lewat di jalan raya, menjadi penghibur Flora malam ini.Flora duduk memeluk lutut, tatapannya menerawang menembus jutaan air yang turun serentak. Suasana yang tercipta membuat Flora kembali terlempar pada kenangan-kenangan bahagia, lompat pada saat dia menemukan lingerie merah, lompat lagi saat dia kehilangan peri kecilnya. Rasa kehilangan itu masih basah, Flora masih bisa merasakan perutnya yang nyeri, warna dan aroma darah yang mengalir di kakinya.“Es krimnya mencair, Flora.”Lamunan Flora terpotong kala sebuah suara yang mulai familiar menelusup telinganya. Pelan, namun seakan bisa menyaingi gemuruh hujan. Pandangan Flora beralih pada es krim stroberi berbentuk cone di tangannya, segera menyuapkan lelehan es krim ke mulutnya.“Ah ...
Malam telah menurunkan tirainya, membungkus kota dalam hamparan langit gelap. Gemerlap lampu tempat hiburan malam mulai unjuk gigi, berlomba menjadi yang paling bersinar, paling megah, untuk menarik orang-orang masuk ke dalamnya. Dari tempatnya berdiri sekarang, Flora dapat melihat hamparan cahaya bagai kunang-kunang terbang. Kendaraan merayap, gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, pun kesibukan yang menjadi akar julukan ‘kota yang tak pernah tidur’. Flora seakan dikembalikan pada kejadian saat dia ingin mengakhiri hidupnya. Dia tersenyum, teringat pada Kairo. Entah bagaimana dia akan bertemu pria itu lagi. “Cokelat?” Suara yang datang dari samping kanannya, membuat Flora menoleh. Luna telah berdiri di sampingnya, tersenyum lebar sembari mengulurkan cangkir berisi cokelat dengan uap mengepul. “Terima kasih.” Flora balas tersenyum, menerimanya. “Aku sengaja datang ke sini. Beberapa kali aku melihatmu berdiri di sini selepas pulang kerja.” Luna meminum cokelat panasnya,
“Oh, kenapa tiba-tiba melihat album kelulusanku?” Sakha yang baru saja mandi, handuk masih tersampir di rambutnya, mengernyit saat menemukan Flora yang sibuk melihat-lihat album kelulusan SMA-nya. “Aku hanya suka fotomu di sini, Mas. Kau terlihat manis sekali dengan potongan rambut seperti ini.” Flora mengangkat album, memperlihatkan foto Sakha dengan gaya rambut emo sembari tertawa geli. “Kamu pasti bercita-cita menjadi penyanyi rock saat itu.” Sakha menyampirkan handuk di kursi, melipat tangan di depan dada dengan wajah tertekuk. “Sepertinya tidak ada yang lebih menyenangkan bagimu selain mentertawakan aibku, ya, Flo. Lihat saja, besok akan kubakar album itu!” Derai tawa Flora semakin santer terdengar. Ia tertawa keras hingga matanya menyipit dan badannya meliuk ke belakang. Sementara Sakha pura-pura semakin kesal karena tingkah istrinya. “Jangan begitu. Cobalah sekali lagi gaya seperti ini. Mau kubelikan ripped jeans dan tank top. Kamu pasti akan cocok sekali memakainya.” Flora
“Mia?” Wanita yang tengah mengenakan kardigan hitam longgar dengan rambut panjang tergerai yang menutupi sebagian wajahnya itu, menoleh saat Flora memanggil pelan namanya. Kakinya bergerak sedikit memutar, bersamaan dengan pandangannya yang beralih ke samping. Kantong plastik putih yang berada di tangan wanita itu bergemerisik terkena embusan angin malam. Dalam temaram karena pencahayaan yang kurang memadai, Flora bisa melihat Mia mengerutkan kening, seperti sedang mengingat-ingat apa pernah bertemu dengannya sebelumnya. Flora menegakkan punggung yang awalnya bersandar pada dinding bangunan, melangkah mendekat sembari tersenyum tipis. “Benar Mia Amarita?” tanya Flora sekali lagi, tepat setelah berdiri berhadapan dengan wanita itu. Dari jarak sedekat ini, Flora bisa melihat dengan jelas suram yang membayang di wajah Mia, juga sepasang mata yang menatapnya bingung dan sangsi. Gurat wajahnya sudah berbeda dari foto yang Flora lihat di album kelulusan, menjadi jauh lebih dewasa, namun
Debar jantung Luna semakin tidak keruan. Bergeming di ambang pintu menjadi satu-satunya pilihan yang terlintas di benaknya. Tumpukan laporan yang dia bawa sedikit miring, sebagai akibat dari tangannya yang mendadak goyah.Tatapan itu ... Luna baru pertama kali mendapatkannya dari orang-orang kantor. Seolah dia adalah pendosa yang pantas dihakimi, seolah dia tak ubahnya manusia rendahan. Orang-orang itu terdiam dengan cara yang memuakkan di mata Luna, seakan hidup mereka tidak memiliki cela dan lebih baik dari orang lain.Tidak ingin membiarkan keheningan janggal terus membelenggunya, Luna memaksakan senyumnya kembali, sebelum melangkah mendekat.“Hei, ada apa ini? Ada sesuatu yang aku lewatkan?” Mati-matian Luna menjaga intonasi suaranya tetap normal dan ceria, sementara tangannya meletakkan laporan ke meja.Para karyawan kembali saling tatap, terlihat ragu dan canggung. Jelas ada sesuatu yang mereka sembunyikan dan tidak tahu bagaimana cara mengatakannya pada Luna.“Itu ... eh, aku m