Bus yang di tumpangi Saka turun di terminal Kota Kabupaten. Pria itu lalu melanjutkan langkahnya dengan menaiki angkot yang akan menuju desa tempatnya tinggal bersama Ibu dan adiknya. Saka menghela nafas sebal saat mengingat Sekar yang sampai sekarang masih kabur.Sesampainya angkot di depan rumah Bu Jarmi, Saka menundukan kepalanya saat turun dari angkot. Para tetangga masih ramai beraktivitas di sore hari. Saka berjalan menuju jalan setapak di samping rumahnya. Ia lalu memegang handel pintu belakang yang tidak terkunci.“Ibu aku pulang." Ujar Saka dengan suara yang cukup pelan agar tidak terdengar oleh para tetangga. Namun, sama sekali tidak ada tanda-tanda kehadiran Bu Jarmi di rumah ini. Bahkan Saka juga tidak melihat Dini dan Rasya.Langit yang berwarna jingga perlahan mulai berubah saat matahari kembali ke peraduannya. Bu Jarmi tidak kunjung pulang. Saka menunggu di dalam kamarnya dan Sekar. Ia berusaha menghubungi nomor sang Ibu. Tapi, tidak aktif. Jari Saka menggulir layar pon
Nafas Saka terengah-engah setelah ia berhasil kabur menuju bagian dalam kebun yang luas. Ia mengintip dari balik pohon jati yang tinggi. Para warga terus berlari menyusuri jalan setapak. Mereka tidak melihat keberadaan Saka. Pria itu menghembuskan nafas lega lalu berjalan melewati kebun salah satu warga.Saka kembali memakai hoodie dan maskernya untuk menutup wajah. Ia berlari menuju rumah Ibunya. Bu Jarmi yang sedang berada di dapur terlonjak kaget saat Saka menutup pintu dengan keras.“Kamu kenapa ketakutan seperti itu Ka?”“Ssstt….” Saka menempelkan jarinya ke bibir Bu Jarmi. Matanya melihat keluar dari balik jendela dapur. Lengang. Tidak ada orang yang mengejarnya.“Kenapa kamu di kejar warga sampai ngos-ngosan seperti itu?”Saka masih diam karena ia kini tengah menghabiskan satu gelas air untuk melepaskan dahaganya. Bu Jarmi ikut duduk di hadapan Saka.“Aku ketahuan Bu. Waktu aku datang ke rumah Bu Lasmi, Mutia lagi nggak ada di rumah. Ya udah aku sandra aja Ibunya biar Mutia mem
“Anak saya sudah menikah. Jadi, anda bisa pergi ke rumah Ibu mertuanya untuk menagih hutang. Karena dia dan suami tinggal bersama Ibu mertuanya itu.”Kedua pria itu saling berpandangan. Mereka menganggukan kepala pada Ibu Sekar. “Baik. Kami pergi ke rumah ini karena dalam KTP Bu Sekar, alamat rumah yang tertera adalah alamat rumah ini. Kalau boleh tahu, dimana alamat rumah suami Bu Sekar?”Ibu Sekar yang bernama Bu Win, menunjukkan jalan yang harus di lalui kedua pria itu. Wanita paruh baya itu menghela nafas lega saat ia menutup pintu rumah. Setidaknya dia bisa melemparkan tanggung jawab pada Bu Jarmi.“Aku sudah repot mengurus Dini dan Rasya. Tidak perlu lagi di repotkan dengan hutang Sekar.” Ujar Bu Win menatap kesal pada kedua cucunya yang berada di dalam kamar. Dini tampak sibuk bermain hp. Gadis kecil itu bahkan mengabaikan adiknya yang tengah menangis. “Kalau Rasya nangis, di tenangin dong Din.” Ujar Bu Win sebal. Dini hanya melirik sekilas pada Neneknya lalu kembali fokus pad
Hari ini sidang kedua perceraian Saka dan Mutia berjalan dengan lancar. Karena Saka kemarin berhasil untuk kabur dari penjara, pria itu di masukan ke dalam sel isolasi. Jadi, Saka tidak menghadiri sidang kedua perceraian ini.Setelah sidang berakhir, Mutia menjabat tangan Pak Dito. “Terima kasih telah mendampingi saya Pak. Saya sudah memutuskan untuk mengikhlaskan uang yang di gunakan oleh Mas Saka dan keluarganya.”“Tidak masalah Mbak Mutia. Saya juga minta maaf tidak bisa memperjuangkan uang hasil kerja keras Mbak Mutia. Sebenarnya jika Mbak Mutia pakai cara di luar hukum, bisa lo dapat uang itu lagi.” Bisik Pak Dito sambil mengajaknya berjalan dari ruang sidang.Mutia hanya tertawa mendengar saran Pak Dito. Ia jadi bingung bagaimana seorang pengacara bisa menyarankan hal seperti itu padanya. “Kok Pak Dito punya ide seperti itu sih?” Tanya Mutia penasaran.“Bukan saya yang punya ide. Tapi, beberapa klien saya yang melakukan cara di luar hukum untuk mendapatkan harta mereka kembali.
Bu Jarmi yang merasa kesal dengan Mutia diam-diam menguntit aktiivitas menantu pertamanya itu. Setelah bekerja sebagai buruh tani, maka Bu Jarmi akan mengikuti Mutia dengan menggunakan sepeda motor butut peninggalan mendiang suaminya.“Huh, palingan juga kerjaan rendahan. Makanya dia sampai kerja ke luar negeri." Umpat Bu Jarmi dengan pekerjaan Mutia. Meskipun ia sudah tahu dari para tetangga jika Mutia membuka usaha jasa make up pengantin dan wisuda serta jasa sewa gaun pengantin, tapi Bu Jarmi yakin penghasilan Mutia tidaklah banyak.Sepeda motor yang ia kendarai berhenti di depan sebuah rumah dengan tenda hajatan yang terpasang indah. Tanda jika rumah itu mengadakan acara pernikahan. Jarak rumah itu tidak terlalu jauh dari rumah Bu Jarmi. Tampak Mutia yang memarkirkan motornya. Di susul dengan mobil berwarna putih yang berhenti di samping motor Mutia.“Bu Sundari.” Gumam Bu Jarmi melihat wanita paruh baya yang secara usia lebih tua darinya.Mutia bersalaman dengan Bu Sundari dan du
Bu Surti punya tanah yang cukup luas peninggalan Bapak Mutia. Tapi, hanya di bangun rumah sederhana di atas tanah itu. Selain rumah dan tanah yang di tempati, Bu Surti juga punya sawah dan kebun yang cukup luas. Tapi, akhirnya di jual sedikit demi sedikit untuk menambah biaya hidup yang semakin mahal. Orang tua Mutia juga ingin anak-anaknya minimal lulus SMA. Akhirnya hanya tinggal sawah sepetak yang di miliki oleh keluarga Mutia.“Ibu dan Zaki sudah bicara jika rumah ini akan di berikan padamu nduk?” Gerakan tangan Mutia yang sedang menjahit baju seketika terhenti.“Loh, bukannya kebalik ya Bu? Zaki itu kan anak laki-laki. Dia harus dapat bagian yang lebih banyak.” Mutia menggelengkan kepalanya tidak setuju.“Nggak masalah mbak. Lagipula aku sudah beli tanah kita dulu dengan nama Ibu. Bahkan luas tanahnya jadi semakin besar.” Mata Mutia membulat kaget. Zaki yang baru saja keluar dari kamarnya duduk di sofa baru berwarna abu-abu.“Yang benar?” “Iya lah. Masa aku bohong.” Zaki dan Bu
“Ada apa mbak?” Tanya Zaki yang saat ini sedang ada di rumah. Mutia menunjuk benda yang keluar dari dalam kotak tadi. Mata Zaki membulat saat melihat bangkai tikus yang tertutup dengan sebuah foto. Zaki berlari ke belakang untuk mengambil plastik. Mutia yang sudah lebih tenang, turun dari kursi lalu mengambil kotak yang di gunakan sebagai tempat bangkai tikus itu. Ada logo sebuah toko di kotak itu.“Ini fotonya Mbak Mutia. Bukannya foto ini yang kemarin di unggah di face*** ya?” Zaki menunjukkan foto yang sudah berlumuran dengan darah bangkai tikus itu. Sebuah foto yang Mutia upload saat memakai gaun pengantin jahitannya sendiri. Untuk mempromosikan usaha jasa rias dan sewa gaun pengantin miliknya.Meskipun masih takut, tapi Mutia mengambil foto yang di pegang oleh Zaki. Kotak kado yang di pegangnya juga sudah berpindah ke tangan adik laki-laki Mutia itu. “Ini memang fotoku. Aku nggak bisa melacak siapa yang menerorku cuma dari facebook aja.” Ujar Mutia lesu.“Aku tahu kotak kado ini
Saka menghela nafasnya lebih dulu. Raut wajahnya terlihat penuh penyesalan. Tapi, Mutia tidak mau percaya begitu saja pada Bapak dari anaknya itu. Apalagi kalau pembahasannya sudah terkait dengan harta.“Aku benar-benar minta maaf padamu dan Tiara. Aku bisa maklum kalau kamu tidak mengajak Tiara untuk datang menjengukku.”“Baguslah kalau kamu sudah sadar mas. Aku tidak tahu kapan Tiara bisa siap untuk bertemu dengan kamu. Karena saat in Tiara sudah menjalani proses terapi untuk trauma yang kalian berikan untuk anak kita.” Saka menundukan kepalanya. Suara Mutia terdengar sangat datar, tapi menusuk.“Kamu tenang aja. Aku nggak akan menghalangi kamu untuk bertemu dengan Tiara. Asal dengan syarat jika kamu sudah benar-benar berubah dan kejiwaan Tiara juga sudah membaik. Sejahat apapun perlakuan kalian pada anakku dulu, aku tidak mau Tiara hidup dalam dendam. Biarlah hatinya beku saat bertemu denganmu. Asal bukan dendam yang ada dalam hatinya.”“Terima kasih Tia. Aku benar-benar sangat ber