Satu minggu telah berlalu. Pernikahan Lyra dan Max akan dilangsungkan hari ini. Sementara itu, John tak menghubungi Lyra lagi sejak hari itu.
Bagai ditelan bumi, John tak tampak di mana pun juga. Bahkan, ketika makan malam bersama dengan kedua keluarga, pria itu tak tampak batang hidungnya. Keluarga Foster tak begitu memedulikan keberadaan anak bungsunya. Lyra juga tak mungkin tiba-tiba menanyakan John Foster dan merusak suasana. Lyra sempat menghubungi John beberapa kali. Akan tetapi, nomor John tak bisa dihubungi dan di luar jangkauan. Awalnya, Lyra berpikir bahwa John sedang mempersiapkan rencana untuk membatalkan pernikahan dirinya dan Max. Sekarang, Lyra justru berpikir sebaliknya. ‘Apakah John membatalkan kerjasama sepihak tanpa memberi tahu aku lebih dulu?’ “Silakan berputar, Nona.” Suara pelayan menyadarkan Lyra. Degupan dalam dada Lyra menggema begitu kencang tatkala dua orang pelayan membantu dirinya mengenakan gaun pengantin. Tinggal beberapa menit lagi, dirinya akan resmi menjadi istri sah Max Foster, dan Lyra tidak mau itu terjadi! Sekali lagi, Lyra menenangkan pikiran dengan mengingat kata-kata John sebelumnya. ‘Mungkin, John akan membuat kejutan besar sebelum acara pernikahan dimulai,’ harap Lyra dalam hati. “Apa kau siap, Lyra Bell?” Lyra tersentak mendengar suara parau Thomas dan tangan yang menyentuh bahunya. Dia memutar kepala menghadap ke belakang, mendapati sang ayah dengan wajah terharu sambil tersenyum padanya. “Mari kita berangkat sekarang ….” Lyra hanya bisa membalas sang ayah dengan senyuman paksa. Berjalan berdampingan dengan sang ayah, Lyra sengaja memperlambat langkah kakinya. Perjalanan dari kediaman Bell ke gedung pernikahan berjarak setengah jam lamanya. Meskipun sedikit, Lyra masih berusaha menunda pernikahan itu sebelum John muncul. Limosin yang terparkir di halaman kediaman Bell telah menunggu mereka sejak tadi. Max sengaja menyiapkan fasilitas terbaik untuk menjemput Lyra dan calon ayah mertuanya. “Kau tidak perlu gugup, Lyra. Hanya ada keluarga kita semua yang datang.” Thomas menepuk punggung tangan Lyra untuk memberi ketenangan, sesaat setelah mereka duduk di dalam mobil. Lyra meremas gaun putihnya yang berhiaskan manik-manik untuk mengusir kegugupan. Dia tak menjawab, pun tak dapat memprotes ketika sopir mengemudikan mobil dengan cepat. Hingga tanpa terasa, gedung pernikahan akhirnya terlihat lebih cepat dari dugaan. Kedatangan mereka disambut oleh senyuman orang-orang. Manik kecoklatan Lyra sontak mengitari seisi ruangan pernikahan. Namun, yang dia cari tak ada di setiap sudut ruangan. “Kau mencari seseorang?” Suara pria familier itu menarik perhatian Lyra. Max tersenyum menawan sambil mengulurkan tangan. Lyra sempat ragu. Namun, dia tetap menerima uluran tangan Max Foster. Seiring dengan langkah kaki mereka yang semakin mendekati altar, jantung Lyra berdetak kian kencang. Berharap jika John akan menghentikan langkah mereka dan menarik dirinya menjauh dari Max. Namun, harapan itu tak kunjung terjadi …. Langkah Lyra dan Max akhirnya berhenti. “Setelah ini, kau akan menjadi wanita yang paling bahagia di dunia,” bisik Max Foster. Lyra menatap ekspresi pria itu. Dia sontak menelan ludah susah payah melihat tatapan dan senyuman sinis Max seperti yang sebelumnya, berbanding terbalik dengan suara lembut yang menjanjikan sebuah kebahagiaan. Benar dugaannya … Max tak mungkin berubah secepat itu! “Kau–” Suara Lyra teredam oleh suara keras pintu depan yang dibuka dengan kencang. Sambil tersenyum lebar, Lyra berpaling ke belakang, menduga bahwa John akan menepati kesepakatan mereka. Namun, senyuman itu lenyap dalam sekejap. Bukan John Foster yang datang, melainkan Sasha, kekasih gelap Max Foster! Wanita cantik berperawakan tinggi bak model itu mengundang perhatian orang-orang dengan kedatangannya yang mengejutkan. “Ah, maaf, aku terburu-buru … kupikir aku datang terlambat.” Setelah wanita itu duduk, perhatian tamu undangan kembali kepada kedua mempelai. Max tersenyum kepada Lyra seolah tak terjadi apa pun. “Aku mengundang beberapa karyawan perusahaan. Kau tidak perlu memedulikannya,” bisik Max Foster acuh tak acuh. Mata pria itu melengkung licik. Seringainya pun membuat Lyra bergidik. Lyra menatap calon suaminya penuh amarah. Bibirnya bergetar hendak mengucap sesuatu. Namun, Max lebih dulu melanjutkan bicara. “Kau sepertinya sedang menanti seseorang, Lyra Bell ….” Suara dingin Max seolah membekukan seluruh saraf di tubuh Lyra. “John tidak akan sempat datang hari ini … kau tidak perlu menunggunya.” “Tidak akan ada orang yang dapat menggagalkan pernikahan kita, Lyra Bell.” Kata-kata Max Foster begitu tegas dan penuh keyakinan.“Kak, aku ingin menyusul mama. Tapi, aku nanti akan menunggu sendirian di kantor.” Justin Foster merengek pada Jolie dengan mata berkaca-kaca akan menangis. Dia tiba-tiba merindukan ibunya dan ingin pergi ke alun-alun bersama orang tuanya dan Jolie. Seperti yang sudah-sudah, Jolie selalu memilih untuk menuruti keinginan sepupunya. Dia tak lagi bimbang dengan banyaknya pilihan yang menggiurkan. Justin akan selalu menjadi prioritas utama. “Aku akan menemanimu ke tempat kerja Bibi Selene, tapi kita harus minta izin dulu kepada mama dan papaku.” Jolie lantas memperhatikan ketiga lelaki yang lebih tua darinya. “Kalian bermain bertiga dulu, ya … aku akan pergi dengan adikku.” Setiap kali menemani Justin, Jolie tak mau mengajak mereka. Pernah satu kali, ketiga lelaki yang ingin lebih dekat dengan Jolie itu ikut mengantar Justin, namun mereka berakhir dimarahi Max Foster tanpa sebab yang jelas. Max tampaknya masih tak suka pada semua yang berhubungan dengan Asher dan Billy. Dia pun sel
Suara anak perempuan berusia lima tahun terdengar di halaman belakang kediaman John Foster. Mata Jolie tertutup kain hitam, kedua tangannya bergerak tak tentu arah seperti sedang mencari pegangan, mulutnya tak bisa menutup saat memamerkan tawa yang tak kunjung menghilang. “Di mana kalian?!” seru Jolie. Saat ini, Jolie yang telah berusia lima tahun itu sedang berusaha menangkap teman-temannya. Dua anak kembar lelaki Asher Smith, putra angkat Billy Volker, serta bocah lelaki yang berumur satu tahun lebih muda darinya dan tak lain adalah sepupunya, putra pertama Max Foster. Jolie terlihat sangat bahagia. Sejak satu minggu yang lalu, keempat temannya menginap di kediaman. Dia jadi tidak kesepian dengan hadirnya bocah-bocah lelaki itu. Namun, kesenangan Jolie tak sejalan dari gerutuan ibunya. Lyra pusing melihat anak-anak itu tak mau berhenti bermain, bahkan Jolie pernah membantahnya hanya agar bisa terus bermain. “Rumah kita jadi seperti penampungan anak, Sayang. Maksudku, aku tidak
John telah berada di kota lain untuk melakukan operasi. Lyra tak bisa ikut menemani John karena tak bisa meninggalkan Jolie, serta ikut membantu persiapan pernikahan kakak iparnya.Penggabungan perusahaan Bell dan Foster pun sudah terlaksana atas bantuan Peter dan Thomas. Mereka akan menggantikan tugas John selama John masih memulihkan diri. Max masih ikut membantu di perusahaan, tetapi lebih sering meliburkan diri untuk menemani calon istrinya membeli perlengkapan hidup baru mereka. Perusahaan di gedung tingkat empat milik Max pun telah resmi dibuka, sehingga waktu berkumpul keluarga sangat sulit dilakukan dengan semua anggota keluarga yang lengkap.“Mama, John akan pulang hari ini. Di mana Dom? Dia harus menjemput suamiku.”Tanpa terasa, satu setengah bulan berlalu. John telah mengabari jika proses pemulihan luka bakarnya hampir berakhir, meski belum kembali sempurna seperti sediakala. Namun, John harus pulang hari ini, karena akan ada hari spesial keesokan paginya.“Dom sedang mem
“Kau tidak perlu melihat istriku waktu mengatakan rencanamu itu. Lyra tidak akan sedih mendengar kau akan menikah.” John menangkap gelagat aneh kakaknya, namun sebenarnya hanya pikirannya sendiri.“Aku melihat semua orang dan kau menatapku waktu bola mataku berhenti searah dengan Lyra!” sanggah Max, tak mau dituduh karena memang itulah kenyataannya. Dia bukan sengaja ingin memandangi Lyra.Lyra menegur John dengan tepukan halus di lengan suaminya itu. Namun, tampaknya John masih teringat kejadian di taman yang membuatnya cemburu buta.“Apa kau mengharapkan pelukan istriku untuk memberimu selamat?”Max berdiri dengan mulut sedikit terbuka. Amarahnya terpancing karena John membahas masalah yang sama berulang kali.Benar, tak hanya sekali John mengungkit masalah itu. Max hanya diam mendengar kata-kata sinis adiknya, namun tidak untuk sekarang, di saat dia ingin membahas rencana pernikahannya.“Kau masih membicarakan itu, hah? Lalu kenapa kalau aku memeluk istrimu? Dia adik iparku! Pikira
Jasad Ivanna baru berhasil diidentifikasi seluruhnya tiga hari lalu. Namun, karena masih perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, Alaric Parker tak bisa menguburkan jasad putrinya begitu saja.Satu minggu berlalu setelah kebakaran yang diakibatkan oleh Ivanna Parker. Saat ini, kediaman Parker sangat ramai oleh orang-orang yang hadir untuk berkabung.Selain para pengusaha, rekan-rekan bisnis Alaric maupun Ivanna, banyak pula wartawan yang meliput proses pemakaman Ivanna Parker. Namun, hanya sedikit awak media yang datang untuk berduka, sebab telah ditemukan bukti kuat yang menunjukkan bahwa Ivanna adalah pelaku kebakaran tersebut.Dari layar televisi berukuran besar, Lyra dan keluarganya sedang menyaksikan proses pemakaman Ivanna. Kamera lebih sering menyorot Sasha Parker yang saat ini sedang naik daun di dunia bisnis.“Wanita sialan itu pasti sedang berakting, aku sangat yakin itu!” geram Max saat melihat Sasha Parker sedang bicara di depan para wartawan sambil berlinang air mata, m
Lyra merasakan hangat di punggungnya. Udara dingin dari penyejuk ruangan mendadak tertutup oleh sesuatu. Namun, dia tetap terlelap dan tak menyadari keberadaan orang di belakangnya yang menghangatkan tubuhnya dengan dekapan penuh kerinduan.Pada dini hari, John baru sampai di kediaman. Dia langsung masuk ke kamar tanpa menimbulkan suara agar Lyra tak terbangun. Setelah membersihkan diri dengan cepat, dia ikut berbaring di dekat Lyra yang tidur meringkuk, tanpa melepaskan masker yang menutup sebagian wajahnya. Dari informasi para pengawal di kediaman, John akhirnya tahu jika Lyra tak pergi ke mana pun. Dia lega karena pikiran buruknya tak pernah terjadi. Awalnya John ingin langsung kembali ke rumah sakit, tetapi dia begitu merindukan pelukan hangat istrinya dan berniat mampir sebentar selagi Lyra tidur.“Aku sangat merindukanmu, Sayang,” bisik John.John terlalu nyaman mendekap Lyra hingga jatuh ketiduran dan lupa harus segera pergi sebelum Lyra bangun ….“Ugh …,” erang Lyra, merasak