Keesokan paginya di kediaman Keluarga Bell … Lyra mendapat kejutan kecil dari pria yang masih berstatus menjadi calon suaminya.
Sebuah ketukan samar di pintu kamar menyadarkan Lyra. Dia gegas membuka pintu dan kemudian disambut oleh para pelayan yang masing-masing membawa satu kotak hadiah merah muda di tangan mereka. “Nona, Tuan Max Foster baru saja mengirim semua hadiah ini untuk Anda,” tutur salah satu pelayan dengan sopan. Lyra mengangkat satu alis keheranan. Kendati demikian, dia tak menolak ketika para pelayan memasukkan banyak hadiah dari pria yang sebentar lagi mungkin saja akan berstatus sebagai mantan tunangan. Benar. Meski Lyra ingin menghindari perdebatan dengan keluarga karena keputusan egoisnya, dia tetap akan menerima perjanjian dengan John Foster untuk menikah dengannya. Oleh karena itu, Lyra akan segera mengatakan rencana pembatalan pernikahan dengan Max Foster kepada orang tuanya. Setelah para pelayan keluar dari kamar, Lyra segera bersiap menemui Thomas, Ayahnya. Akan tetapi, ketika langkah kakinya telah sampai di depan ruang keluarga, Lyra kembali meragu. Melihat ayah dan ibunya sibuk memilih undangan pernikahan sambil membicarakan dirinya dan Max, Lyra menjadi sedikit takut membuat kedua orang tuanya kecewa. “Oh, Lyra! Kebetulan sekali! Cepat kemari dan pilih undangan pernikahanmu dengan Max!” seru Beth antusias. Lyra melangkah ragu masuk ke dalam. Dia bahkan tak begitu mendengar ucapan Beth, melainkan justru sibuk merancang kalimat-kalimat yang akan dia katakan untuk menjelaskan kepada orang tuanya tentang pembatalan pernikahan dengan Max. Namun, sebelum Lyra membuka mulutnya, dirinya lebih dulu dikejutkan oleh ucapan Thomas, “Aku bertemu dengan Peter pagi tadi, Lyra. Kami sepakat untuk menyelenggarakan pernikahanmu dengan Max lebih cepat.” Kelopak mata Lyra terbuka lebar. Dia hampir saja berteriak keras, tetapi hanya suara lemah yang keluar dari mulutnya, “A-apa …?” “Benar. Kau dan Max akan menikah minggu depan,” imbuh Beth sekaligus menambah debaran kencang di dada Lyra. Lyra akhirnya tak bisa mengungkap keinginannya untuk membatalkan rencana pernikahan dengan Max. Melihat Thomas dan Beth menangis haru oleh kebahagiaan, Lyra tak sanggup untuk mengatakan keinginannya. Lyra perlu bicara dengan John Foster untuk mencari solusi bersama sesegera mungkin. Setelah berbincang dengan orang tuanya tentang masalah pernikahan, Lyra meninggalkan ruangan itu dan segera menghubungi John. “Aku perlu bantuanmu, John. Bisakah kau menemuiku sebentar?” Ada jeda beberapa detik sebelum John menjawab Lyra. ‘Tunggu di sana.’ Satu jawaban singkat John mengakhiri panggilan telepon. John bahkan tak menanyakan keberadaan Lyra. Dan tak berselang lama, pria itu mengirim pesan agar Lyra keluar di depan gerbang rumah untuk menunggu kedatangannya. Sebuah mobil sedan merah mengilat terlihat dari kejauhan. Untuk kesekian kali, Lyra dikejutkan oleh sosok John Foster yang tak sesuai seperti yang dikatakan orang-orang. ‘Siapa sebenarnya orang itu, yang bersedia membantu wanita lemah sepertiku?’ “Kau menunggu lama?” Suara dingin John membuat Lyra tersentak. Sejak kapan pria menawan itu berdiri tepat di hadapannya? “Sepertinya aku akan terbiasa menunggu orang yang sering terlambat sepertimu.” Lyra menunjukkan jam di ponselnya. John pun menjawab hal yang serupa seperti sebelumnya ketika mereka bertemu di kafe, sambil menunjukan jam tangan mewah di pergelangan tangan kirinya. John tak mengindahkan perkataan Lyra. Ada satu hal yang jauh lebih penting sekarang dibanding mengomentari cara bicara Lyra yang tak menyenangkan untuk didengar. “Kau sudah dengar dari keluargamu? Mereka memutuskan tanggal pernikahanku dan Max lebih cepat. Aku juga tidak bisa mengatakan pada orang tuaku.” Lyra menatap lekat manik hijau tua yang tengah memperhatikan bibirnya bergerak ketika sedang bicara. “Apa yang harus aku lakukan?” John menyunggingkan senyum tipisnya, kemudian menunduk, mensejajarkan tingginya dengan Lyra yang saat ini ada di hadapannya. “Tidak perlu khawatir. Aku yang akan mengurus segalanya.” Berkat kata-kata yang diucapkan John Foster, Lyra dapat bernapas dengan lega. Namun, Lyra merasa perlu tahu apa saja yang John akan lakukan untuk membatalkan pernikahan dirinya dan Max. “Bisakah kau mengatakan rencanamu?” John tersenyum samar. “Kau hanya perlu melakukan apa pun yang diperintahkan keluargamu. Aku akan mengurus sisanya.” Setelah mengatakan itu, John tak membuang waktu untuk mendengar lawan bicaranya. Pria itu pergi dengan meninggalkan pertanyaan kecil dalam benak Lyra. Meski penasaran, Lyra telah memercayakan urusan itu kepada John. Lagi pula, John juga membutuhkan dirinya untuk mendapatkan tujuan besarnya. Tak mungkin John akan mengkhianati dirinya, bukan? Namun, hari pun berlalu dengan cepat … John tak kunjung membawa kabar baik untuk Lyra Bell ….“Kak, aku ingin menyusul mama. Tapi, aku nanti akan menunggu sendirian di kantor.” Justin Foster merengek pada Jolie dengan mata berkaca-kaca akan menangis. Dia tiba-tiba merindukan ibunya dan ingin pergi ke alun-alun bersama orang tuanya dan Jolie. Seperti yang sudah-sudah, Jolie selalu memilih untuk menuruti keinginan sepupunya. Dia tak lagi bimbang dengan banyaknya pilihan yang menggiurkan. Justin akan selalu menjadi prioritas utama. “Aku akan menemanimu ke tempat kerja Bibi Selene, tapi kita harus minta izin dulu kepada mama dan papaku.” Jolie lantas memperhatikan ketiga lelaki yang lebih tua darinya. “Kalian bermain bertiga dulu, ya … aku akan pergi dengan adikku.” Setiap kali menemani Justin, Jolie tak mau mengajak mereka. Pernah satu kali, ketiga lelaki yang ingin lebih dekat dengan Jolie itu ikut mengantar Justin, namun mereka berakhir dimarahi Max Foster tanpa sebab yang jelas. Max tampaknya masih tak suka pada semua yang berhubungan dengan Asher dan Billy. Dia pun sel
Suara anak perempuan berusia lima tahun terdengar di halaman belakang kediaman John Foster. Mata Jolie tertutup kain hitam, kedua tangannya bergerak tak tentu arah seperti sedang mencari pegangan, mulutnya tak bisa menutup saat memamerkan tawa yang tak kunjung menghilang. “Di mana kalian?!” seru Jolie. Saat ini, Jolie yang telah berusia lima tahun itu sedang berusaha menangkap teman-temannya. Dua anak kembar lelaki Asher Smith, putra angkat Billy Volker, serta bocah lelaki yang berumur satu tahun lebih muda darinya dan tak lain adalah sepupunya, putra pertama Max Foster. Jolie terlihat sangat bahagia. Sejak satu minggu yang lalu, keempat temannya menginap di kediaman. Dia jadi tidak kesepian dengan hadirnya bocah-bocah lelaki itu. Namun, kesenangan Jolie tak sejalan dari gerutuan ibunya. Lyra pusing melihat anak-anak itu tak mau berhenti bermain, bahkan Jolie pernah membantahnya hanya agar bisa terus bermain. “Rumah kita jadi seperti penampungan anak, Sayang. Maksudku, aku tidak
John telah berada di kota lain untuk melakukan operasi. Lyra tak bisa ikut menemani John karena tak bisa meninggalkan Jolie, serta ikut membantu persiapan pernikahan kakak iparnya.Penggabungan perusahaan Bell dan Foster pun sudah terlaksana atas bantuan Peter dan Thomas. Mereka akan menggantikan tugas John selama John masih memulihkan diri. Max masih ikut membantu di perusahaan, tetapi lebih sering meliburkan diri untuk menemani calon istrinya membeli perlengkapan hidup baru mereka. Perusahaan di gedung tingkat empat milik Max pun telah resmi dibuka, sehingga waktu berkumpul keluarga sangat sulit dilakukan dengan semua anggota keluarga yang lengkap.“Mama, John akan pulang hari ini. Di mana Dom? Dia harus menjemput suamiku.”Tanpa terasa, satu setengah bulan berlalu. John telah mengabari jika proses pemulihan luka bakarnya hampir berakhir, meski belum kembali sempurna seperti sediakala. Namun, John harus pulang hari ini, karena akan ada hari spesial keesokan paginya.“Dom sedang mem
“Kau tidak perlu melihat istriku waktu mengatakan rencanamu itu. Lyra tidak akan sedih mendengar kau akan menikah.” John menangkap gelagat aneh kakaknya, namun sebenarnya hanya pikirannya sendiri.“Aku melihat semua orang dan kau menatapku waktu bola mataku berhenti searah dengan Lyra!” sanggah Max, tak mau dituduh karena memang itulah kenyataannya. Dia bukan sengaja ingin memandangi Lyra.Lyra menegur John dengan tepukan halus di lengan suaminya itu. Namun, tampaknya John masih teringat kejadian di taman yang membuatnya cemburu buta.“Apa kau mengharapkan pelukan istriku untuk memberimu selamat?”Max berdiri dengan mulut sedikit terbuka. Amarahnya terpancing karena John membahas masalah yang sama berulang kali.Benar, tak hanya sekali John mengungkit masalah itu. Max hanya diam mendengar kata-kata sinis adiknya, namun tidak untuk sekarang, di saat dia ingin membahas rencana pernikahannya.“Kau masih membicarakan itu, hah? Lalu kenapa kalau aku memeluk istrimu? Dia adik iparku! Pikira
Jasad Ivanna baru berhasil diidentifikasi seluruhnya tiga hari lalu. Namun, karena masih perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, Alaric Parker tak bisa menguburkan jasad putrinya begitu saja.Satu minggu berlalu setelah kebakaran yang diakibatkan oleh Ivanna Parker. Saat ini, kediaman Parker sangat ramai oleh orang-orang yang hadir untuk berkabung.Selain para pengusaha, rekan-rekan bisnis Alaric maupun Ivanna, banyak pula wartawan yang meliput proses pemakaman Ivanna Parker. Namun, hanya sedikit awak media yang datang untuk berduka, sebab telah ditemukan bukti kuat yang menunjukkan bahwa Ivanna adalah pelaku kebakaran tersebut.Dari layar televisi berukuran besar, Lyra dan keluarganya sedang menyaksikan proses pemakaman Ivanna. Kamera lebih sering menyorot Sasha Parker yang saat ini sedang naik daun di dunia bisnis.“Wanita sialan itu pasti sedang berakting, aku sangat yakin itu!” geram Max saat melihat Sasha Parker sedang bicara di depan para wartawan sambil berlinang air mata, m
Lyra merasakan hangat di punggungnya. Udara dingin dari penyejuk ruangan mendadak tertutup oleh sesuatu. Namun, dia tetap terlelap dan tak menyadari keberadaan orang di belakangnya yang menghangatkan tubuhnya dengan dekapan penuh kerinduan.Pada dini hari, John baru sampai di kediaman. Dia langsung masuk ke kamar tanpa menimbulkan suara agar Lyra tak terbangun. Setelah membersihkan diri dengan cepat, dia ikut berbaring di dekat Lyra yang tidur meringkuk, tanpa melepaskan masker yang menutup sebagian wajahnya. Dari informasi para pengawal di kediaman, John akhirnya tahu jika Lyra tak pergi ke mana pun. Dia lega karena pikiran buruknya tak pernah terjadi. Awalnya John ingin langsung kembali ke rumah sakit, tetapi dia begitu merindukan pelukan hangat istrinya dan berniat mampir sebentar selagi Lyra tidur.“Aku sangat merindukanmu, Sayang,” bisik John.John terlalu nyaman mendekap Lyra hingga jatuh ketiduran dan lupa harus segera pergi sebelum Lyra bangun ….“Ugh …,” erang Lyra, merasak