MasukIrene berdiri, tatapan yang awalnya mengiba kini berganti dengan tatapan yang dingin. Tak ada lagi keramah tamahan, meski sebenarnya di sudut kecil hatinya ia menyukai sosok Bima. Tapi harga dirinya tidak mengizinkan itu.
"Cih! Kamu pikir kamu siapa, mudah bagiku melunasi hutang ini! Tapi hal yang kamu harus lakukan untukku sekarang, antar aku kembali kepada orangtuaku!" Bima melipat tangannya di dada dan menatap Irene, wanita itu berubah total setelah lepas dari racun. Sedikit ada perasaan kesal di dadanya kini. Tapi Bima memaklumi itu, bukankah wanita memiliki sifat tidak mau salah? "Aku tidak mau!" "A-apa?! Kamu tidak mau mengantarku? Bukankah kamu ingin dibayar?" "Itu hutangmu padaku, aku bisa menagihnya kapan pun aku mau. Aku tidak suka caramu meminta tolong." Bima berdiri, memperlihatkan separuh tubuhnya yang terbuka. Saat ini ia hanya mengenakan celana panjang lusuh yang tidak layak dilihat. Tapi pemandangan otot yang menjadi bukti dari latihan beribu-ribu kali itu membuatnya tetap terlihat mempesona di mata Irene. "Haish!" Irene menggeleng cepat sementara Bima mengambil sepotong roti, begitu Bima berdiri Irene baru sadar kalau pria itu begitu tinggi dan besar. "Aku akan membayarmu 3 kali lipat dari yang kamu mau," ujar Irene, kali ini ia menatap Bima dengan tatapan mengiba. Bima menyeringai, meski ia jarang bertemu dengan wanita, setidaknya ia tahu kalau Irene ingin memanfaatkannya. "Bukankah kedua orangtuamu berhutang lima milyar dari preman-preman tadi?" "Itu tidak benar! Ini hanya alasan mereka menculikku, kedua orangtuaku bukan orang sembarangan! Kami adalah salah satu lima keluarga konglomerat di kota Verox." Bima mengangguk, mulutnya mengunyah makanan tanpa berniat sedikit pun menawarkannya kepada Irene, begitu ia minum, sedikit air membasahi dada bidangnya. Hal ini membuat Irene kembali merona, teringat malam panas itu. "Jadi ... apa kamu mau mengantarku pulang? Aku jamin kedua orangtuaku akan membayarmu mahal." Bima menatap Irene, dengan langkah pasti ia mendekat dan berjongkok di depan gadis itu. Irene mengerjapkan matanya melihat wajah Bima yang begitu dekat. "Jarak kota Verox dari sini seberapa jauh?" Irene terlihat berpikir sejenak, "Jika kita menggunakan mobil, kita akan sampai setidaknya 2 hari. Tapi akan lebih cepat jika naik pesawat." Bima tersenyum, "seperti yang kamu tahu, aku tidak punya uang." Irene tak percaya, zaman sekarang ada pemuda seperti Bima yang tidak punya uang? Yang benar saja! "Lalu bagaimana aku kembali?" bahu Irene mulai bergetar ketakutan. "Apalagi? Kita harus mencari uang terlebih dahulu, dan aku memiliki cara untuk itu." Bima tersenyum tetapi mengedarkan tatapan matanya kepada tubuh Irene. Sontak wanita itu menyilangkan tangannya di dada. "Apa yang kamu pikirkan?!" "Aku akan menjual herbal dan kamu akan menarik pelanggan dengan tubuhmu." ~~~~ "Jadi ini maksudmu aku menarik pelanggan dengan tubuhku?!" ujar Irene kesal begitu mengetahui apa yang terjadi padanya kini. Bima memintanya untuk berteriak dan memanggil siapa saja yang lewat. Awalnya Irene merasa malu, harga dirinya seperti diinjak-injak. Tapi, Bima bilang kalau ia tidak melakukan itu, maka mereka tidak akan mendapatkan uang perjalanan. Jadi Irene mulai memberanikan diri menawarkan kepada siapa saja yang lewat, untuk membeli herbal yang Bima jual. "Apa benda-benda aneh itu bisa dijual?" tanya Irene dengan tatapan menjijikan. "Tentu saja, hanya mata emas yang bisa melihat benda-benda ini berharga." Irene memasang wajah kesal, "jadi maksudmu mataku recehan?!" "Aku tidak mengatakannya, kamu berprasangka seorang diri." Irene mengepalkan tangannya, baru kali ini ia bertemu dengan pria kurang ajar seperti Bima, yang tidak terpesona pada kecantikannya. Biasanya di saat seperti ini para lelaki akan merasa kasihan dan berusaha melindunginya, tapi Bima. Ia bersikap angkuh setelah pukulan tadi pagi. 'Apa harga dirinya jadi terluka karena aku melakukan itu?' batin Irene, tapi dengan cepat ia menggeleng kepalanya. Sementara itu saat ini beberapa anak buah Kevin sedang menelusuri pelabuhan, beberapa nelayan ditanya apakah mereka melihat kapal dengan beberapa ciri yang disebutkan. "Ada apa kalian mencari kapal itu?" yang bicara adalah Paman yang mengangkut kapal biasanya. "Jawab saja, apa kamu pernah melihatnya?" tanya anak buah Joni. Paman itu menyipitkan matanya, "jika aku melihatnya, apa yang akan aku dapatkan?" tanya Paman itu. "Kamu tentu akan mendapatkan kebaikan dariku," sahut Kevin yang ternyata turut mencari keberadaan kapal-lebih tepatnya sang pemilik kapal. "Aku mengangkutnya, karena pemuda itu tidak bisa membayar parkir kapal." "Lalu kemana pemuda itu?" tanya Joni terlihat tidak sabar. "Aku menginginkan kebaikan yang kamu maksud jika ingin jawaban selanjut-!" Bug! Satu pukulan telak menghantam perut Paman itu, membuatnya tercekat dan terhuyung ke belakang. "Jangan uji kesabaranku, mumpung aku masih memberimu kebaikan hati." 'Sialan! Aku berurusan dengan orang yang salah!' batin Paman itu. Plak! Kali ini satu tamparan menyadarkan Paman itu, "cepat katakan!" desak Joni, ia membuat Paman itu berlutut dan menarik rambutnya agar mendongak ke arah Kevin. "A-aku tidak tahu ia kemana, yang jelas aku melihatnya ke arah kota. Karena penampilannya unik, jadi aku memperhatikannya." "Seperti apa penampilannya?" tanya Kevin lagi. "Se-seperti pengemis, ia memakai pakaian yang sudah usang dan sepertinya-!" Bug!! Kali ini Kevin yang melayangkan tendangan ke arah Paman itu, membuat pria tua itu meringis kesakitan. "Cukup! Jika ada yang bertanya tentangnya, kamu harus mengatakan tidak tahu. Apa kamu mengerti?" Paman itu dengan cepat mengangguk, Kevin kemudian memberi isyarat agar Joni melepasnya. Kevin kemudiam berjongkok dan memberikan amplop tebal kepadanya. "Aku ingin kamu membereskan kapal itu, hingga tak bersisa," ujarnya. Paman itu menatap amplop itu dengan perasaan riang sekaligus takut. "Tu-tuan, aku akan melakukannya." Kevin menyeringai dan menepuk pipi Paman itu, "bagus! Lakukan tugasmu dengan baik, karena mudah bagiku menghancurkan kecoak sepertimu." "Ba-baik Tuan!!" Setelah itu Kevin mengibaskan tangannya, mengusir. Paman itu merangkak menjauh, berdiri dan berlari sebelum Kevin merubah keputusannya. "Bos, ciri-ciri yang tadi disebut?" Kevin tersenyum, ia menyelipkan sebatang rokok di bibir, Joni dengan sigap menyalakan pemantik, menunduk sedikit saat api menyala untuk Bosnya itu. Whuuuuh .... Begitu menghembuskan asap rokok dari bibirnya, Kevin tersenyum puas. "Apa kamu sepemikiran denganku, kalau anak muda yang semalam melawan kita adalah murid Tabib Badar?" tanya Kevin. Joni menatap Kevin penuh keyakinan, "dari caranya bertarung, aku yakin dia murid Tabib Badar. Tapi ... kemana kita akan mencarinya Bos?" "Kemana lagi? Tentu saja ke tempat wanita itu berada, melihat sikapnya. Aku yakin dia akan mengantarkan Irene kembali. Sebaiknya kita bergegas, sebelum tim lain menemukannya lebih dulu." "Baik Bos! Aku akan pimpin orang mencari mereka." "Joni lakukan secara diam-diam, jangan menarik perhatian organisasi lain."Irene menggoncang tangan Bima, memberi pemuda itu tatapan tajam, agar ia tidak menuruti kehendak Joni dan anak buahnya. Bima tersenyum, menunduk sebentar. "Kamu bisa mengendarai mobil Irene?" Irene tercengang, entah mengapa ia sepertinya bisa membaca isi hati Bima. Jadi Irene mengangguk pelan. "Apa yang kalian bisikkan?" tanya Joni, ia menyipitkan mata curiga sembari memberi beberapa lembar uang kepada Bima. "Tidak perlu tau," sahut Bima, ia mengambil uang dan meraih tangan Irene turun dari bus. Begitu mereka semua keluar, para penumpang bisa bernapas lega. Tak ada yang tidak tahu. geng Black Panther cabang kota Pandaran, semua anak buahnya memiliki ciri khas dengan tato cakar di tubuh. Semua yang pernah melihat keganasan mereka, tak ada yang berani mencari masalah. Bahkan sekedar menatap mata geng tersebut. "Malang sekali mereka," ujar salah satu penhmpang begitu melihat Bima dan Irene sudah di luar bus. "Entah apa yang mereka perbuat hingga dicari oleh geng ga
Mereka bergegas menuju terminal. Dengan uang tersisa, mereka membeli dua tiket bus dan sedikit bekal untuk perjalanan dua hari. Bus jurusan Pandaran-Verox sudah hampir penuh ketika mereka naik. Bima dan Irene mendapat kursi di barisan tengah, dekat jendela. "Akhirnya aku bisa pulang," Irene menghela napas lega sambil bersandar di kursi. Bima hanya mengangguk, matanya menatap keluar jendela. Kota Pandaran mulai gelap, lampu-lampu jalanan mulai menyala satu per satu. Bus mulai bergerak, meninggalkan terminal menuju jalan raya. Irene perlahan tertidur di sebelah Bima, kelelahan setelah seharian berjualan. Bima tetap terjaga, pikirannya melayang. Kota Verox, salah satu kota terbesar di negara ini. Di sana pasti banyak informasi yang bisa dia gali tentang organisasi kriminal yang membunuh ibunya. Tanpa Irene ketahui, kota Verox memang sejak awal menjadi tujuan Bima. Mengantar wanita itu pulang hanya kebetulan yang menguntungkan. Bus melaju di jalan raya yang sepi. Sudah hampi
Kerumunan orang seketika mengikuti perintahnya. Ada aura lain yang menguar dari tubuh Bima saat ini, aura yang membuat siapa pun merinding. Bima menusuk jarinya, bukan darah segar yang keluar, melainkan darah hitam pekat, namun tidak memiliki amis darah pada umumnya. Bukan! Darah Bima tidak memiliki bau sama sekali. Bima menekan dan hendak meneteskan darahnya. "Apa yang kamu lakukan?" tahan pria paruh baya itu. "Waktu berjalan, Paman yakin ingin menghalangiku?" Pria paruh baya itu terlihat takut, apa pilihannya tepat mempercayai Bima? Hingga akhirnya mengangguk, dan Bima kembali meneteskan darahnya ke mulut si kakek. Sekitar 3 tetes darah saja. Tubuh kakek itu mulai bergetar. Urat-urat di lehernya menegang, wajahnya yang tadinya pucat mulai berubah kemerahan. "Apa yang telah kamu lakukan?!" anak kakek itu hendak maju lagi, tapi Irene menahannya. "Jangan ganggu dia!" bentak Irene. Entah kenapa, meski Irene sendiri tidak mengerti, tapi instingnya mengatakan kalau Bima
"Siapa saja, tolong!!" Teriakan itu kembali memecah keramaian pasar sore. Seorang pria paruh baya nampak tergopoh-gopoh sembari menyangga tubuh seorang kakek yang hampir terjatuh. Bima yang baru saja memasukkan uang hasil jualannya ke saku celana, menoleh. Irene yang sudah bersiap untuk pergi juga ikut berhenti. "Bima, kita harus per-" "Tunggu sebentar," potong Bima, matanya tajam menatap kakek yang tersangga itu. Ada yang aneh dengan raut wajah pria tua itu. Kerumunan mulai terbentuk. Beberapa orang berbisik-bisik, tapi tak ada yang berani mendekat. "Tolong! Ayahku tiba-tiba tidak sadarkan diri! Apa ada dokter di sini?!" pria paruh baya itu menatap sekeliling dengan panik. Bodoh sekali ia mengikuti perintah ayahnya untuk pergi berdua saja, ayahnya terlalu keras kepala, mencari murid Tabib Badar di tempat seperti ini, tanpa pengawasan, benar-benar ceroboh. Bahkan mereka meminta supir untuk menjauh tadi. Saat itu Bima melangkah maju. Irene seketika menarik lengan baju
Irene menatap langit sore dengan napas panjang. Sudah berjam-jam mereka berdiri di pinggir jalan ramai, tapi tak satu pun orang yang tertarik dengan dagangan Bima. "Bagaimana ini? Kita bahkan belum menjual satu pun herbal anehmu itu!" cibir Irene, saat ini wanita itu duduk berselonjor di bawah pohon. "Tenanglah, memang tidak mudah menjual barang langka seperti ini." Bima masih berdiri tegak di depan gerobak sederhana yang ia buat dari kardus bekas. Di atasnya tersusun rapi berbagai jenis akar, daun kering, dan jamur yang bentuknya memang tidak menarik. Bahkan sebagian orang yang sering pergi ke hutan untuk mencari herbal, maka barang yang Bima jual ini bisa dianggap sangat beracun. "Hei bocah! Apa yang kamu jual di sana?" seorang pria paruh baya mendekat sambil menyipitkan mata. "Herbal langka Paman, untuk kesehatan dan pengobatan." "Herbal langka?" pria itu tertawa mengejek. "Ini jelas sampah! Lihat saja bentuknya yang menjijikkan." Beberapa orang lain mulai berkumpu
Irene berdiri, tatapan yang awalnya mengiba kini berganti dengan tatapan yang dingin. Tak ada lagi keramah tamahan, meski sebenarnya di sudut kecil hatinya ia menyukai sosok Bima. Tapi harga dirinya tidak mengizinkan itu. "Cih! Kamu pikir kamu siapa, mudah bagiku melunasi hutang ini! Tapi hal yang kamu harus lakukan untukku sekarang, antar aku kembali kepada orangtuaku!" Bima melipat tangannya di dada dan menatap Irene, wanita itu berubah total setelah lepas dari racun. Sedikit ada perasaan kesal di dadanya kini. Tapi Bima memaklumi itu, bukankah wanita memiliki sifat tidak mau salah? "Aku tidak mau!" "A-apa?! Kamu tidak mau mengantarku? Bukankah kamu ingin dibayar?" "Itu hutangmu padaku, aku bisa menagihnya kapan pun aku mau. Aku tidak suka caramu meminta tolong." Bima berdiri, memperlihatkan separuh tubuhnya yang terbuka. Saat ini ia hanya mengenakan celana panjang lusuh yang tidak layak dilihat. Tapi pemandangan otot yang menjadi bukti dari latihan beribu-ribu kali itu







