Share

Bab 4

Penulis: Ummi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-14 11:50:15

Irene berdiri, tatapan yang awalnya mengiba kini berganti dengan tatapan yang dingin. Tak ada lagi keramah tamahan, meski sebenarnya di sudut kecil hatinya ia menyukai sosok Bima. Tapi harga dirinya tidak mengizinkan itu.

"Cih! Kamu pikir kamu siapa, mudah bagiku melunasi hutang ini! Tapi hal yang kamu harus lakukan untukku sekarang, antar aku kembali kepada orangtuaku!"

Bima melipat tangannya di dada dan menatap Irene, wanita itu berubah total setelah lepas dari racun. Sedikit ada perasaan kesal di dadanya kini. Tapi Bima memaklumi itu, bukankah wanita memiliki sifat tidak mau salah?

"Aku tidak mau!"

"A-apa?! Kamu tidak mau mengantarku? Bukankah kamu ingin dibayar?"

"Itu hutangmu padaku, aku bisa menagihnya kapan pun aku mau. Aku tidak suka caramu meminta tolong."

Bima berdiri, memperlihatkan separuh tubuhnya yang terbuka. Saat ini ia hanya mengenakan celana panjang lusuh yang tidak layak dilihat. Tapi pemandangan otot yang menjadi bukti dari latihan beribu-ribu kali itu membuatnya tetap terlihat mempesona di mata Irene.

"Haish!" Irene menggeleng cepat sementara Bima mengambil sepotong roti, begitu Bima berdiri Irene baru sadar kalau pria itu begitu tinggi dan besar.

"Aku akan membayarmu 3 kali lipat dari yang kamu mau," ujar Irene, kali ini ia menatap Bima dengan tatapan mengiba.

Bima menyeringai, meski ia jarang bertemu dengan wanita, setidaknya ia tahu kalau Irene ingin memanfaatkannya.

"Bukankah kedua orangtuamu berhutang lima milyar dari preman-preman tadi?"

"Itu tidak benar! Ini hanya alasan mereka menculikku, kedua orangtuaku bukan orang sembarangan! Kami adalah salah satu lima keluarga konglomerat di kota Verox."

Bima mengangguk, mulutnya mengunyah makanan tanpa berniat sedikit pun menawarkannya kepada Irene, begitu ia minum, sedikit air membasahi dada bidangnya. Hal ini membuat Irene kembali merona, teringat malam panas itu.

"Jadi ... apa kamu mau mengantarku pulang? Aku jamin kedua orangtuaku akan membayarmu mahal."

Bima menatap Irene, dengan langkah pasti ia mendekat dan berjongkok di depan gadis itu. Irene mengerjapkan matanya melihat wajah Bima yang begitu dekat.

"Jarak kota Verox dari sini seberapa jauh?"

Irene terlihat berpikir sejenak, "Jika kita menggunakan mobil, kita akan sampai setidaknya 2 hari. Tapi akan lebih cepat jika naik pesawat."

Bima tersenyum, "seperti yang kamu tahu, aku tidak punya uang."

Irene tak percaya, zaman sekarang ada pemuda seperti Bima yang tidak punya uang? Yang benar saja!

"Lalu bagaimana aku kembali?" bahu Irene mulai bergetar ketakutan.

"Apalagi? Kita harus mencari uang terlebih dahulu, dan aku memiliki cara untuk itu." Bima tersenyum tetapi mengedarkan tatapan matanya kepada tubuh Irene.

Sontak wanita itu menyilangkan tangannya di dada. "Apa yang kamu pikirkan?!"

"Aku akan menjual herbal dan kamu akan menarik pelanggan dengan tubuhmu."

~~~~

"Jadi ini maksudmu aku menarik pelanggan dengan tubuhku?!" ujar Irene kesal begitu mengetahui apa yang terjadi padanya kini.

Bima memintanya untuk berteriak dan memanggil siapa saja yang lewat. Awalnya Irene merasa malu, harga dirinya seperti diinjak-injak. Tapi, Bima bilang kalau ia tidak melakukan itu, maka mereka tidak akan mendapatkan uang perjalanan. Jadi Irene mulai memberanikan diri menawarkan kepada siapa saja yang lewat, untuk membeli herbal yang Bima jual.

"Apa benda-benda aneh itu bisa dijual?" tanya Irene dengan tatapan menjijikan.

"Tentu saja, hanya mata emas yang bisa melihat benda-benda ini berharga."

Irene memasang wajah kesal, "jadi maksudmu mataku recehan?!"

"Aku tidak mengatakannya, kamu berprasangka seorang diri."

Irene mengepalkan tangannya, baru kali ini ia bertemu dengan pria kurang ajar seperti Bima, yang tidak terpesona pada kecantikannya.

Biasanya di saat seperti ini para lelaki akan merasa kasihan dan berusaha melindunginya, tapi Bima. Ia bersikap angkuh setelah pukulan tadi pagi.

'Apa harga dirinya jadi terluka karena aku melakukan itu?' batin Irene, tapi dengan cepat ia menggeleng kepalanya.

Sementara itu saat ini beberapa anak buah Kevin sedang menelusuri pelabuhan, beberapa nelayan ditanya apakah mereka melihat kapal dengan beberapa ciri yang disebutkan.

"Ada apa kalian mencari kapal itu?" yang bicara adalah Paman yang mengangkut kapal biasanya.

"Jawab saja, apa kamu pernah melihatnya?" tanya anak buah Joni.

Paman itu menyipitkan matanya, "jika aku melihatnya, apa yang akan aku dapatkan?" tanya Paman itu.

"Kamu tentu akan mendapatkan kebaikan dariku," sahut Kevin yang ternyata turut mencari keberadaan kapal-lebih tepatnya sang pemilik kapal.

"Aku mengangkutnya, karena pemuda itu tidak bisa membayar parkir kapal."

"Lalu kemana pemuda itu?" tanya Joni terlihat tidak sabar.

"Aku menginginkan kebaikan yang kamu maksud jika ingin jawaban selanjut-!"

Bug!

Satu pukulan telak menghantam perut Paman itu, membuatnya tercekat dan terhuyung ke belakang.

"Jangan uji kesabaranku, mumpung aku masih memberimu kebaikan hati."

'Sialan! Aku berurusan dengan orang yang salah!' batin Paman itu.

Plak!

Kali ini satu tamparan menyadarkan Paman itu, "cepat katakan!" desak Joni, ia membuat Paman itu berlutut dan menarik rambutnya agar mendongak ke arah Kevin.

"A-aku tidak tahu ia kemana, yang jelas aku melihatnya ke arah kota. Karena penampilannya unik, jadi aku memperhatikannya."

"Seperti apa penampilannya?" tanya Kevin lagi.

"Se-seperti pengemis, ia memakai pakaian yang sudah usang dan sepertinya-!"

Bug!!

Kali ini Kevin yang melayangkan tendangan ke arah Paman itu, membuat pria tua itu meringis kesakitan.

"Cukup! Jika ada yang bertanya tentangnya, kamu harus mengatakan tidak tahu. Apa kamu mengerti?"

Paman itu dengan cepat mengangguk, Kevin kemudian memberi isyarat agar Joni melepasnya. Kevin kemudiam berjongkok dan memberikan amplop tebal kepadanya.

"Aku ingin kamu membereskan kapal itu, hingga tak bersisa," ujarnya.

Paman itu menatap amplop itu dengan perasaan riang sekaligus takut. "Tu-tuan, aku akan melakukannya."

Kevin menyeringai dan menepuk pipi Paman itu, "bagus! Lakukan tugasmu dengan baik, karena mudah bagiku menghancurkan kecoak sepertimu."

"Ba-baik Tuan!!"

Setelah itu Kevin mengibaskan tangannya, mengusir. Paman itu merangkak menjauh, berdiri dan berlari sebelum Kevin merubah keputusannya.

"Bos, ciri-ciri yang tadi disebut?"

Kevin tersenyum, ia menyelipkan sebatang rokok di bibir, Joni dengan sigap menyalakan pemantik, menunduk sedikit saat api menyala untuk Bosnya itu.

Whuuuuh ....

Begitu menghembuskan asap rokok dari bibirnya, Kevin tersenyum puas. "Apa kamu sepemikiran denganku, kalau anak muda yang semalam melawan kita adalah murid Tabib Badar?" tanya Kevin.

Joni menatap Kevin penuh keyakinan, "dari caranya bertarung, aku yakin dia murid Tabib Badar. Tapi ... kemana kita akan mencarinya Bos?"

"Kemana lagi? Tentu saja ke tempat wanita itu berada, melihat sikapnya. Aku yakin dia akan mengantarkan Irene kembali. Sebaiknya kita bergegas, sebelum tim lain menemukannya lebih dulu."

"Baik Bos! Aku akan pimpin orang mencari mereka."

"Joni lakukan secara diam-diam, jangan menarik perhatian organisasi lain."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 87

    Malam itu, Bima tidak bisa tidur dengan tenang. Ancaman dari Master Feng terus bergema di kepalanya. Dia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan pikiran yang kacau. 'Assassin dari Shadow Blade, insiden di Babak ketiga, dan Lin Mei yang ternyata adalah anggota Bulan Sabit,' pikirnya sambil mengepalkan tangan. 'Semua ini terlalu rumit. Apa mau mereka sebenarnya?' Tok tok tok. Ketukan pelan terdengar di pintu. Bima bangkit dan membuka pintu. Irene berdiri di sana dengan wajah khawatir, membawa bantal kecil. "Aku tidak bisa tidur," ujarnya pelan. "Boleh aku di sini? Aku akan tidur di sofa." Bima tersenyum tipis dan membukakan pintu lebih lebar. "Masuk, mana mungkin aku membiarkanmu tidur di sofa." Irene tersenyum kemudian mengikuti Bima masuk dan meletakkan bantalnya di kasur. Tapi sebelum dia berbaring, dia melihat ekspresi Bima yang terlihat lelah dan khawatir. "Bima, ada apa? Kamu terlihat sangat khawatir," tanya Irene sambil mendekatinya. Bima terdiam

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 86

    Bima terdiam. Lin Mei menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "15 tahun yang lalu, Nenek Badar menyelamatkan hidupku dari Bulan Sabit. Aku saat itu masih anak kecil berusia 11 tahun. Orangtuaku dibunuh oleh organisasi karena menolak bergabung dengan mereka." Bima mendengarkan dengan seksama. "Nenek Badar menemukanku di jalanan, hampir mati kedinginan dan kelaparan. Dia merawatku, memberi makan, dan yang paling penting... dia melatihku," lanjut Lin Mei. "Dia mengajariku Teknik Delapan Dewa Obat, teknik Mana Healing, dan semua pengetahuan tentang racun." "Hmmm, kalau begitu kenapa kini kamu menjadi bagian dari kelompok Bulan Sabit?" tanya Bima tanpa ekspresi. "Karena itu syarat Nenek Badar agar aku bisa hidup," jawab Lin Mei dengan suara parau. "Bulan Sabit tidak akan berhenti memburu keluargaku. Satu-satunya cara untuk menghentikan mereka adalah... aku menyusup ke organisasi sebagai agen ganda." Bima menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Agen ganda?" Lin Mei mengangguk.

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 85

    Waktu terus berjalan. BZZZZTT! "Waktunya habis!" teriak MC. Semua peserta harus berhenti bekerja. Beberapa peserta terlihat putus asa, mereka tidak sempat menyelesaikan antidot. Panitia mulai mengumpulkan hasil dan menghitung score. 30 menit kemudian, hasil final diumumkan. TOP 10 BABAK KEDUA 1. Lin Mei (Cyina) - 95 poin 2. Kenji (Zepang) - 92 poin 3. Dr. Zhang Wei (Cyina) - 91 poin 4. Bima (Nusantara) - 90 poin 5. Dr. Priya Sharma (Vrindia) - 88 poin 6. Nakamura Hiro (Zepang) - 85 poin 7. Chen Wei (Cyina) - 82 poin 8. Rajesh Kumar (Vrindia) - 80 poin 9. Sean (Nusantara) - 75 poin 10. Dr. Yuki Tanaka (Zepang) - 75 poin MC mengumumkan. "Selamat juga untuk 70 peserta yang lolos ke Babak ketiga! Kalian akan melanjutkan besok pagi dengan Live Treatment di hadapan audience!" Tepuk tangan meriah. Peserta yang tidak lolos keluar dengan wajah kecewa. 80 orang harus menghadapi penalti 5 tahun. Bima berdiri dan bersiap keluar, tapi tiba-tiba Sean menghada

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 84

    Bima mulai mencari bahan. Untuk menetralkan Racun Phantom Vine, dia butuh kombinasi Ginseng Merah, Akar Licorice, dan Reishi Mushroom-ketiga bahan ini punya energi yang bisa memecah sumbatan detoksifikasi. Untuk menetralkan Arsenik, dia butuh Mung Bean (kacang hijau), Honeysuckle Flower, dan Activated Charcoal-kombinasi ini bisa mengikat logam berat dan mengeluarkannya dari tubuh. Untuk menetralkan Aconite, dia butuh Honey, Ginger, dan Licorice Root-kombinasi ini bisa menghangatkan tubuh dan melawan energi Dingin Aconite. Bima mulai bekerja dengan cepat tapi teliti. Pertama, Bima menumbuk Ginseng Merah, Akar Licorice, dan Reishi Mushroom dengan mortar dan pestle, lalu merebusnya dengan air khusus yang sudah dimurnikan dengan energi Mana. Kedua, dia menumbuk Mung Bean hingga halus, mencampurnya dengan Honeysuckle Flower yang sudah direbus, lalu menambahkan Activated Charcoal. Ketiga, dia membuat pasta dari Honey, Ginger parut, dan Licorice Root bubuk. Setelah semua baha

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 83

    150 peserta bergerak menuju area kerja yang sangat luas. Di sana, ada 150 meja kerja yang sudah dilengkapi dengan peralatan lengkap, kompor portable, mortar dan pestle, gelas ukur, tabung reaksi, timbangan digital, dan berbagai peralatan lainnya. Di tengah setiap meja, ada rak besar berisi ratusan jenis bahan herbal dalam botol-botol kaca kecil, ginseng, licorice root, goji berry, dan banyak lagi. Semua diberi label jelas. Bima menuju meja nomor 127. Di atas mejanya, sudah ada satu botol kaca kecil berisi cairan biru gelap, racunnya. Dia menatap botol itu dengan waspada. 'Ini dia. Racun yang Sean siapkan untukku.' Di sebelah mejanya, Lin Mei di meja 89 juga sudah siap. Dia melambaikan tangan dengan senyum ramah. Bima membalas dengan anggukan. Kenji di meja 45 sudah duduk dengan tenang, mata tertutup, bermeditasi. Sean di meja 200 menatap Bima dengan senyum sinis, lalu membuat gerakan menggorok leher—ancaman yang jelas. Bima mengabaikannya dan fokus pada mejanya. MC m

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 82

    Pagi hari tiba dengan cepat. Bima terbangun pukul 5.30 pagi, lebih awal dari biasanya. Dia hampir tidak bisa tidur semalaman, pikiran tentang Nenek Badar, ancaman Bulan Sabit, dan sabotase Sean terus menghantuinya. Dia duduk bersila, melakukan meditasi pagi untuk menenangkan pikiran dan menstabilkan energi Mana. Tapi konsentrasinya terus terganggu. '48 jam tersisa,' pikirnya sambil menatap keluar jendela. 'Aku harus menang hari ini. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Meski nenek Badar sangat ahli, tetap saja dia terlalu tua dan membuatku khawatir.' (Bocah kurang ajar!! Beraninya menyebutku tua, kamu bosan hidup heh?!) Glek!! Bima seolah bisa merasakan amarah nenek Badar, mengingat gurunya yang pemarah dan tidak sabaran itu membuat Bima tersenyum dan sedikit lebih tenang. Setelah mandi dan berpakaian, dia turun ke lobby hotel untuk sarapan. Irene sudah menunggu di sana dengan senyum cerah, meski Bima tahu dia juga khawatir. "Selamat pagi," sapa Irene sambil menyodorkan secang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status