Ben tertawa sinis mendapati bahwa ia tanpa sengaja kembali ke daerah pinggiran kota Patah. Rupanya ia benar-benar telah berlari terlalu jauh hingga menempuh jarak yang biasanya hanya ditempuh dengan mobil.
“Sepertinya aku memang harus kembali.”
Bertahun-tahun tinggal di sana membuat Ben hafal setiap belokan yang harus dilaluinya. Dengan pikiran kosong pun ia akan tetap sampai ke rumah kecilnya yang semakin hari semakin menyerupai gubuk.
Namun, sebelum itu, ia mengambil jalan lain menuju pantai. Beberapa orang yang terlihat masih berkumpul di sana membuatnya mengerutkan kening.
“Kenapa kalian masih di sini? Bukankah seharusnya penjualan sudah selesai sebelum matahari terbit?” tanya Ben sambil melihat ke arah baskom-baskom besar berwarna biru
Suara berderak pelan terus terdengar dari sebuah pintu tua. Seorang pemuda yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya dengan sarung kotak-kotak coklat tengah membungkuk di depan pintu itu, tangannya bergerak lincah memasukkan sesuatu ke lubang kunci. Pencahayaan lampu teras yang tidak terlalu baik membuatnya sedikit merasa aman, hanya sesekali kepalanya menengadah, memastikan bahwa tidak ada orang yang tengah menyaksikan aksinya.Setelah terdengar kunci pintu terbuka, pemuda itu menarik napas dalam sambil menyingkirkan kain yang sempat menutupi hidung dan mulutnya. Dengan senyum di bibir, ia melangkah masuk ke rumah yang baru saja ia bobol itu.“Hah … mudah sekali. Kenapa dia repot-repot ganti kunci kalau kualitasnya sama saja?” Ia bicara sendiri sambil memainkan tindik di bawah bibirnya dengan lidah. Kedua mata abu-abu kebiruan yang sangat ko
“Hmm?” Ben mengangkat salah satu alisnya penuh tanya. “Menyedihkan. Kamu tidak punya alasan yang lebih bagus?” Ia menghela napas sebelum bersiap untuk mengayunkan tinjunya.Denver hampir gila rasanya. Sekilas, ia dapat melihat seluruh hidupnya terbersit di pikirannya, seolah-olah otaknya tengah meninjau kembali seluruh waktu yang telah ia habiskan dengan sia-sia. Pemuda itu lantas mengumpat. Ia sama sekali belum mau mati. Meskipun kehidupan ini bersikap kejam kepadanya, ia masih memiliki tujuan yang akan ia capai meski harus menjungkirbalikkan dunia.Sebagai pertahanan terakhir, akhirnya Denver mengambil gantungan baju yang ada di dekatnya. Menghunuskan bagian ujungnya yang melengkung tetapi berujung runcing kepada Ben dengan sekuat tenaga. Refleks Ben yang bagus membuatnya menghindar tepat waktu, dan Denver memanfaatkan saat itu untuk b
“Saran? Apa saranmu?” Ben bertanya kepada Denver dengan tidak sabar.“Sewa detektif swasta,” jawab Denver penuh percaya diri. “Seperti aku, misalnya.”Ben dan Sander mendesah kecewa bersamaan. Keduanya lantas berbalik dan mengibaskan tangan kepada Denver. “Sudah cukup, anak kecil. Sekarang, pulanglah!” perintah Sander yang pergi ke arah berlawanan dari arah yang dituju Ben.“Tunggu dulu!” Terburu-buru Denver berteriak. “Baiklah! Kalau kalian tidak percaya padaku, tidak apa-apa! Tapi libatkan aku dalam penyelidikan kasus ini!”Ben yang muak mendengarkan omong kosong Denver kembali menghadap sang pemuda. Kedua tangannya menyilang di depan dada, sementara ekspresinya tidak terlihat jelas di tengah malam yang sudah semakin larut. “Dengar, anak muda. Aku tahu kamu serius dalam hal ini, tapi justru itu yang membuat aku yakin bahwa kamu seharusnya menjauh dari kasus ini. Aku akan menyelesaikannya dengan caraku, jadi kamu urus urusanmu sendiri.”
“Aku benar-benar serius soal ini.” Ben memberi penekanan pada setiap kata yang ia ucapkan. Kedua mata rubahnya menatap tajam. Gurat kemarahan terlihat jelas di wajahnya. “Seseorang telah membunuh anakku. Sebaiknya kalian melakukan penyelidikan kembali.”Seorang polisi yang sedang cukup baik untuk mendengarkan keluhan Ben sedari tadi lantas menarik napas dalam. Ujung lintingan kertas yang terjepit di antara bibirnya sedikit menyala dan terbakar. Ia mengembuskan napasnya tepat di depan wajah Ben. “Kamu pikir hanya kamu, ayah yang kehilangan anaknya di kota ini? Berhenti membuang-buang waktu kami dan tuntaskan kesedihanmu sendiri. Jangan sembarangan mengarang cerita atau hidupmu akan jauh lebih buruk dari ini.”“Hanya satu kali lagi saja! Pastikan semuanya lewat kamera pengawas, satu kali lagi.” Di titik ini, Ben tidak lagi mementingkan harga dirinya lagi. Ia akan memohon dan berlutut jika diperlukan. “Jika kalian benar-benar tidak menemukan apa pun yang mencurigakan,
“Kenapa dia belum datang? Sudah jam berapa ini?” Seorang pria bertubuh tinggi dan besar bertanya dengan mulut penuh makanan. Tangan kirinya memegang sebuah ayam goreng tepung sementara tangan kanannya mencengkeram roti lapis daging. Ia terus melahap keduanya dengan rakus seolah-olah tengah dikejar waktu untuk menghabiskan seluruh tumpukan makanan yang ada di atas meja di hadapannya. “Aku sampai melewatkan jam makan malam hanya karena menunggu bocah tengik itu. Sampai kapan aku harus memakan semua camilan ringan ini?”“Ma-maafkan kami, Bos. Sebentar lagi dia pasti datang. Sepertinya dia harus mengambil jalan memutar karena polisi belakangan ini sering patroli di sekitar sini,” jawab seorang pria lainnya yang memiliki tubuh jauh lebih pendek. Sosoknya terlihat mungil saat ia menunduk sambil bergetar ketakutan di hadapan sang bos yang masih saja mengunyah.“Bilang padanya kita tidak punya banyak waktu. Kalau sampai 5 menit ke depan dia belum juga membawa barang itu ke
“Berani bayar berapa?” tanya seorang gadis dengan rambut pirang menjuntai hingga hampir mencapai pinggangnya. Riasannya di wajahnya sangat tebal, tetapi begitu cocok dengan kulitnya yang putih bersih. Bibirnya terlihat semakin berisi dan merekah oleh lipstik merah cerah yang digunakannya. “Kamu tidak terlihat seperti orang yang berdompet tebal.”Mata rubah Ben menatap gadis itu tajam. Tubuhnya yang tinggi berdiri tegap tepat di hadapan sang gadis. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga Ben harus berbicara sambil sedikit menunduk. “Lakukan saja tugasmu. Jangan khawatir soal uang. Aku bukan pria yang memanfaatkan perempuan dengan tidak bertanggung jawab.”“Apa kau dengar kata-katamu sendiri? Biar bagaimanapun, memanfaatkan seseorang bukanlah tindakan seorang pria sejati,” ucap gadis itu sambil mengedipkan satu mata. Suaranya juga terdengar lebih serak dan menggoda.“Ini darurat. Aku tidak bisa melakukannya sendirian.” Ben sama sekali tidak terlihat terpengaruh oleh sikap gadis itu.
“Jangan bunuh mereka! Kita bawa saja para pria itu ke markas bersama gadis ini! Tony pasti akan sangat senang mendapat lebih banyak samsak tinju untuknya bermain-main!”Susah payah Ben mempertahankan fokusnya untuk mendengar semua suara di sekitar. Posisinya yang tengah terikat kuat, serta kepalanya yang ditutup dengan karung membuatnya sedikit kesulitan bahkan untuk sekadar menarik napas, tetapi ia harus tetap menangkap sebanyak mungkin informasi yang diperlukan.Jeritan Candice tidak lagi terdengar, mungkin gadis itu telah jatuh pingsan, sama halnya dengan Sander dan Abrar yang sepertinya mulai kehilangan kesadaran setelah dipukuli oleh para penyerang. Ben sendiri merasakan sakit di sekujur tubuh. Namun, tekad kuat membuatnya masih bisa berdiri dengan tegak.Ia tidak tahu siapa yang baru saja mencegah
“Itu dia. Dia pasti bosnya,” gumam Ben sebelum akhirnya ia berteriak. “Hei, kau! Bakpao goreng! Berhenti di sana!”Dengan percaya diri Ben bersiap untuk berlari menghampiri pria gendut yang ia duga sebagai pemimpin dari para penjahat di tempat ini. Sepenuhnya lupa bahwa dirinya sedang dikepung oleh banyak pria yang memegang berbagai senjata. Sebagian pria yang berada di depannya langsung menghadang, masing-masing membentangkan tangannya hingga hampir tidak ada celah untuk Ben lewat. Hal ini justru membuat Ben semakin menyeringai.“Kalau kalian bertingkah seperti ini, berarti benar, pria jelek itu adalah Tony, bos kalian.” Ben mengusap kepalanya sendiri sambil menarik napas panjang. Sementara itu, Tony yang berdiri beberapa meter di depannya tampak berusaha untuk terlihat percaya diri dengan menegakkan tubuh. Sayangnya, kedua