Empat jam kemudian, anjing itu benar-benar membuka mata, lalu meloncat-loncat dengan lincah sambil memakan sisa makanan yang sudah disiapkan Jelita untuknya.Melihat hal itu, Anggi berkata, "Aku curiga ... bayi yang katanya dicekik oleh Jelita sebenarnya nggak mati."Aska mengangguk. "Setelah dicekik, bagaimana bayi itu ditangani?"Anggi menggeleng. "Aku nggak tahu. Mungkin Dika tahu, nanti setelah keluar akan kutanyakan padanya."Lalu, seolah berbicara pada diri sendiri, dia menambahkan, "Aku dan suamiku nggak pernah berniat mengambil nyawa anak itu.""Mm.""Semoga anak itu beruntung dan panjang umur," ucap Anggi sambil memandang seorang bocah lelaki. Dari hatinya yang paling dalam, dia benar-benar berharap bocah itu masih hidup dan tidak terpengaruh oleh Jelita ataupun Sunaryo. Semoga dia bisa tumbuh sehat, damai, dan bahagia seumur hidup.Tangan satunya tergerak mengusap perutnya dan tatapannya semakin tulus.Aska melihat semuanya. Dia tahu bahwa anak Anggi dan Luis itu sangatlah be
"Iya, warnanya cokelat, Ibu."Anak itu mengangguk dengan yakin. "Si Kuning makan kacang warna cokelat. Huhu ... Kuning nggak gerak lagi. Ibu, dia sudah mati.""Itu Pil Peredam Napas yang kuracik beberapa hari lalu." Jelita menimpali dengan tenang sambil mengelus rambut anaknya. "Nggak apa-apa, empat jam lagi dia akan sadar.""Be ... benarkah?" tanya anak itu dengan penuh harap sambil menyeka air matanya.Jelita tersenyum. "Ya, tentu saja. Kalau nggak percaya, lihat saja empat jam lagi nanti.""Aku percaya. Ibu jago sekali, aku percaya sama ucapan Ibu." Saat berbicara, anak laki-laki itu tertawa hingga mengeluarkan gelembung ingus di hidungnya.Jelita mengeluarkan saputangannya untuk menyeka ingus itu, lalu melanjutkan masak. Anak laki-laki itu menjaga anjing tersebut.Anggi dan Aska bergandengan tangan. Melihat Jelita pergi, mereka berjalan menghampirinya. Anggi menunduk untuk melihat kondisi anjing itu. Anjing itu memang kelihatannya sudah mati.Orang luar memang tidak bisa melihat ta
Keswan pun pergi. Aska yang berambut putih mengeluarkan selembar kertas yang berisi tanggal kelahiran Anggi, lalu dia mengambil tinta merah dan kertas jimat serta menulis tanggal kematian Anggi. Seolah-olah bernyawa, kertas-kertas jimat itu membentuk dinding satu per satu sesuai dengan mantra yang dibacakan Aska.Beberapa hari terakhir, Aska terus melakukan hal yang sama hingga Anggi merasa sedikit lelah melihatnya. Akhirnya, Aska membawa Anggi ke ibu kota. Dia sengaja menghindari kediaman Jenderal Musafir dan membawa Anggi berjalan santai.Aska tahu, Anggi pasti ingin segera kembali. Hanya dia sendiri yang ingin waktu berhenti di sini selamanya. Pemikiran yang berbahaya itu melintas sekejap dalam benaknya.Mereka terus berjalan. Anggi melihat sosok yang familier dan bertanya, "Bukannya itu Jelita?"Aska menoleh dan memang benar. Saat itu, Jelita mengenakan pakaian sederhana. Di sampingnya ada seorang anak laki-laki yang sangat mirip dengan Sunaryo. Mereka berjalan ke pasar dan membeli
Aska menatap tajam pada sosok berambut putih di dalam formasi delapan trigram tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Apa yang kamu lakukan?""Melawan takdir.""Untuk siapa kamu melawan takdir, untuk siapa kamu mengubah nasib?"Anggi menoleh dan memandang Aska yang juga menatapnya, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Tiba-tiba, sosok Aska yang berambut putih dalam formasi delapan trigram itu memuntahkan darah, lalu pingsan."Kamu ... apa yang terjadi?" tanya Anggi.Aska menggenggam tangan Anggi dan berjalan keluar dari Paviliun Cahaya, lalu berkata dengan tenang, "Gagal melawan takdir."Anggi menggerakkan bibirnya. Di antara huruf-huruf yang berkilauan di bawahnya, tertulis jelas tanggal kelahirannya. Apa mungkin Anggi masih belum tahu untuk siapa Aska melawan takdir dan mengubah nasib?Dalam sekejap, Anggi kehabisan kata-kata.Di luar, cuaca sangat cerah."Aku tahu jawabannya sekarang."Aska tersenyum tipis, "Ya.""Kalau begitu, mari kita pulang." kata Anggi."Belum bisa sekarang.""Kenapa?
"Santai saja, nggak ada yang perlu dikhawatirkan." Aska mengulurkan tangannya untuk menyisir rambut Anggi yang berantakan di dahinya, tatapannya penuh dengan kelembutan.Anggi terkejut sejenak. Gerakan Aska tadi jelas terasa sangat intim. Namun, sepertinya Aska tidak mempermasalahkan hal itu. Wajahnya tampak tenang dan santai, "Ada apa?""Ng ... nggak, nggak ada apa-apa."Barulah saat itu Anggi memandang Aska dengan saksama. Dia menyadari, jubah tebal yang dikenakan Aska sebelumnya, kini entah sudah kemana. Sekarang, dia hanya mengenakan jubah putih. Perawakannya terlihat ramping, tetapi terlihat kuat.Mereka duduk berhadapan di atas pusat formasi dan saling tersenyum. Entah mengapa, Anggi merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat. Saat melihat Aska, dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu tidak keluar.Situasi di sekitar mereka mulai meredup. Hanya simbol delapan trigram yang masih memancarkan cahaya dan menyelimuti keduanya. Anggi duduk di antaranya. Dari perasaan ta
Ketiga orang itu saling bertukar pandang. Tiba-tiba, Aska mengangkat tangannya dan menarik Anggi. Namun hanya dengan sekali ayunan tangan, mereka merasakan angin sepoi-sepoi dan mendengar suara pintu tertutup.Saat tersadar, Anggi menyadari bahwa mereka berdua sudah berada di dalam Paviliun Cahaya. Di luar, suara dari Keswan samar-samar terdengar perlahan menghilang. Sungguh luar biasa.Anggi menatap tangan yang dipegang oleh pria yang tampak lemah dan sakit itu. Meski dia terlihat sekarat, kekuatannya begitu besar. Kekuatan ini membuatnya merasa seperti sedang berada dalam dunia fantasi."Ini adalah lantai pertama dari Paviliun Cahaya," kata Aska sambil melepaskan tangan Anggi dan mulai menjelaskan dengan tenang. Dia menunjuk ke arah tangga naik, tetapi itu bukan tangga biasa. Bagian atas Paviliun Cahaya berbentuk berlubang, di depan mereka terlihat beberapa papan nama."Di atas ini adalah tempat jiwa-jiwa para pengawas dunia yang telah meninggal," lanjutnya.Anggi membuka mulut dan t