Share

Bab 10

Penulis: Emilia Sebastian
“Yang kalian bilang benar. Aku bukan adikku. Aku nggak sebaik dia. Jadi, aku pasti akan balas dendam pada semua orang yang pernah menindas dan mempermalukanku!” ucap Syakia dengan dingin. Kemudian, dia menatap Panji dan mengucapkan kata-kata yang tidak diucapkannya di depan umum pada kehidupan lalu dan merasa menyesal setelahnya.

“Panji, bukannya kamu mau batalkan pernikahan kita? Oke, aku setuju tanpa syarat apa pun. Hanya saja, mulai sekarang, aku nggak punya hubungan apa pun lagi dengan keluarga kalian!”

Begitu Syakia selesai berbicara, seluruh lokasi langsung hening. Bahkan Panji juga melongo karena Syakia menyetujui hal ini dengan semudah itu.

Awalnya, Panji mengira dirinya tidak akan bisa membatalkan pernikahan ini dengan lancar. Dia mengira Syakia akan menolak, lalu tidak berhenti menangis dan merengek. Sebelum datang, dia sudah memikirkan segala kemungkinan. Satu-satunya hal yang tidak diduganya adalah Syakia menyetujui hal ini dengan semudah itu.

Tidak, Syakia tidak termasuk menyetujui hal ini dengan mudah. Syakia juga menamparnya. Begitu memikirkan hal ini, Panji langsung merasa malu dan menunjukkan ekspresi muram. Dia menyentuh pipinya yang terasa perih, lalu melirik Syakia dengan dingin.

“Berhubung kamu masih tahu diri, aku nggak akan permasalahkan kamu yang menamparku. Tapi, ingat baik-baik. Kalau kamu berani menggangguku kelak atau berani pakai trik kotor untuk celakai Ayu, aku nggak akan ampuni kamu!”

“Brak!” Damar menggebrak meja dengan kuat, lalu bangkit secara perlahan dan melirik kedua orang itu tanpa ekspresi. “Sudah selesai bicaranya?”

Syakia menunduk dan menjawab dengan acuh tak acuh, “Aku sudah selesai bicara. Terserah Ayah mau buat keputusan apa.”

Syakia tahu bahwa setelah keributan hari ini, tidak peduli seberapa suka pun Damar pada Panji, Damar juga tidak akan mengakhiri insiden hari ini dengan begitu saja.

Sesuai dugaan, Damar berkata, “Berhubung kamu sudah berpikir jelas, kita akhiri saja pertunangan ini sampai di sini. Besok, kedua belah pihak keluarga akan kembalikan barang yang menyimbolkan ikatan pernikahan ini.”

Begitu mendengar ucapan Damar, Panji dan Ike pun terlihat gembira.

“Hanya saja ....” Damar lanjut berbicara sambil menatap Panji dengan penuh intimidasi, “Kamu boleh batalkan pernikahan, tapi aku nggak akan setujui lamaranmu.”

“Paman!” Panji pun merasa panik. “Tapi, aku dan Ayu saling mencintai. Kamu nggak boleh ....”

“Omong kosong! Tutup mulutmu! Jangan fitnah Ayu!”

Jika Panji mengatakan bahwa dirinya dan Ayu saling mencintai di saat-saat seperti ini, bukankah itu setara dengan mengakui Ayu merayu calon kakak iparnya?

Kama terlebih dahulu bereaksi dan segera berseru dengan lantang untuk menyela ucapan Panji. Bahkan Ayu juga diam-diam memaki dalam hati, ‘Dasar bodoh!’

Setelah menyadari dirinya sudah keceplosan, Panji buru-buru menutup mulutnya. Namun, jika tidak berusaha untuk mendapat restu dari Damar, bagaimana dia bisa menikahi Ayu? Panji mau tak mau menatap ibunya untuk meminta bantuan.

Ike sangat menyayangi putranya. Dia pun berujar dengan hati-hati, “Kak, kamu juga tahu aku sebenarnya selalu menyukai Ayu. Gimana kalau ....”

Sebelum Ike selesai berbicara, tatapan Damar langsung membuatnya diam.

“Ayu memang nggak salah. Tapi, gimana dengan Panji?”

Tidak peduli sebodoh atau sekejam apa pun putrinya, Damar juga tidak akan membiarkan Panji mempermalukannya di depan umum. Hari ini, Panji memang terlihat seperti hanya memaki Syakia. Namun, itu tidak ada bedanya dengan menantang wibawa Kediaman Adipati.

Hari ini, Panji memang hanya mempermalukan Syakia. Besok, mungkin saja Panji akan menginjak-injak Damar. Selain itu, Panji juga dengan seenaknya membatalkan pernikahan dengan Syakia dan melamar Ayu. Memangnya Keluarga Angkola itu taman bermainnya?

Damar berujar dengan dingin, “Demi hormati Kediaman Pangeran Darsuki, aku nggak akan permasalahkan insiden hari ini untuk sementara.”

Begitu mendengar ucapan itu, Ike tidak lagi berani berbicara. Hanya saja, sebagai nyonya rumah Kediaman Pangeran Darsuki, dia tetap merasa agak kesal karena dipermalukan kakaknya di depan umum.

Ike tidak berani melawan kakaknya, juga tidak ingin menyalahkan putranya. Bagaimanapun juga, putranya hanya tidak ingin menikahi seorang wanita berhati kejam. Apa salahnya? Orang yang bersalah adalah Syakia! Semua ini salah wanita jalang itu! Syakia sama menyebalkannya dengan ibunya!

“Ya sudah, mari kita mulai pestanya.”

Meskipun terjadi hal seperti ini, siapa yang berani menertawakan Keluarga Angkola di hadapan Adipati Pembela Kerajaan? Berhubung Damar masih bisa melanjutkan upacara kedewasaan ini dengan sikap yang tenang, para tamu pun duduk di tempat masing-masing dengan segan.

Namun, suasananya tetap terasa tegang. Setelah pesta berakhir dan semua tamu pulang, Damar bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Datanglah ke ruang baca.”

Damar tidak menyebutkan nama. Namun, tidak ada orang yang berani menolak untuk pergi. Beberapa menit kemudian, semua anak-anaknya berdiri rapi di dalam ruang baca.

Melihat Damar yang menuliskan kata “tenang” di kertas, tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Suasana di ruang baca pun menjadi sangat hening.

“Syakia.”

Syakia sama sekali tidak merasa terkejut karena namanya yang paling pertama dipanggil. Dia melangkah maju dengan ekspresi acuh tak acuh dan menyapa, “Ayah.”

“Kamu tahu salahmu?”

Damar melempar kuasnya ke meja sehingga tinta hitam yang tersisa di kuas memercik ke kata “tenang” itu.

Lagi-lagi pertanyaan seperti ini. Hati Syakia terasa dingin. Dia menunduk dan menjawab dengan dingin, “Aku tahu.”

Damar bukanlah Abista. Orang yang sudah menjadi Adipati Pelindung Kerajaan selama bertahun-tahun ini tidak peduli pada alasan apa pun. Tidak peduli siapa pun yang berani mempermalukan Keluarga Angkola, dia setara dengan berbuat salah. Oh, tidak, selain Ayu, anak kesayangannya.

Di kehidupan sebelumnya, tidak peduli seberapa besar masalah yang ditimbulkan Ayu, Damar akan membantunya menyelesaikan masalah itu. Damar bahkan rela membungkuk, lalu menghibur Ayu dengan nada lembut yang tidak pernah didengar Syakia.

“Kamu itu putriku. Nggak ada yang boleh menindasmu!”

Ketika mendengar ucapan itu, ada beberapa kali Syakia ingin memberi tahu Damar bahwa dirinya juga adalah putrinya. Kenapa Damar tidak peduli saat dia ditindas? Memangnya putrinya hanya Ayu seorang?

Saat mengingat kenangan lama, Syakia memejamkan matanya, lalu mengepalkan tangannya erat-erat. Dia ingin menggunakan rasa sakit untuk membuat dirinya sadar.

“Hari ini, karena pernikahanku dibatalkan di depan umum, aku sudah buat Keluarga Angkola malu. Aku juga nggak tahu diri dan menampar putra mahkota Kediaman Pangeran Darsuki. Karena hal itu, hubungan kedua keluarga mungkin terpengaruh.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Syakia berlutut tanpa ragu dan lanjut berbicara dengan ekspresi dingin, “Jadi, Ayah nggak perlu merasa serbasalah. Aku bersedia terima dicambuk lima puluh kali sesuai aturan keluarga untuk menebus kesalahanku. Harap Ayah kabulkan permintaanku.”

Setelah mendengar ucapan Syakia, semua orang di ruang baca pun tercengang.

Sementara itu, Kama yang dari tadi tidak berani berbicara berseru kaget, “Lima puluh kali? Syakia, kamu mau mati?”
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Nanang Wijaya
cerita nya kok tanggung ya
goodnovel comment avatar
Chantiqa Chiqa
kesal lihat syakianya, terlalu tunduk
goodnovel comment avatar
Arni Widarti
katanya bisa dibuka dengan iklan tapi iklannya gak bisa dibuka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 430

    Kama menyimpan kembali baju dan kantong uang tersebut, lalu meninggalkan hutan dengan cepat.Setelah itu, Adika baru berjalan keluar secara perlahan. Gading melangkah keluar dari belakangnya, lalu mencabut pedang yang awalnya digunakan untuk mengadang pisau terbang sebelumnya.“Pangeran, kenapa kita nggak langsung jatuhkan beberapa pengawal rahasia itu? Mereka kelihatannya sangat lemah. Seharusnya nggak ada satu pun dari mereka yang bisa menandingi kita,” ujar Gading dengan bangga.Adika hanya meliriknya dengan dingin. Tatapan penuh ejekan itu sontak membuat Gading terdiam. ‘Baiklah, Pangeran pasti diam-diam merasa aku cuma kuat, tapi bodoh. Huh! Jangan kira aku nggak tahu!’ gumam Gading dalam hati.Adika malas mengatai Gading. Dia hanya meraba-raba dagunya sambil berpikir. Sepertinya, rencana Syakia kali ini berjalan lumayan lancar. Saat ini, Kama seharusnya sudah sepenuhnya putus hubungan dengan Damar. Dia juga seharusnya melakukan sesuatu sehingga Damar mengutus pengawal rahasiany

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 429

    Selain itu, andai saja dirinya bisa lebih cerdas setelah menemukan buku keuangan itu semalam. Kama tidak seharusnya menaruh kembali buku keuangan itu secara refleks, melainkan langsung mengambilnya.Meskipun berpikir begitu, Kama sebenarnya masih belum tahu bagaimana cara menangani masalah buku keuangan tersebut. Yang tersembunyi dalam buku keuangan tersebut adalah rahasia ayahnya dengan Keluarga Kuncoro.Dari informasi Yanto, Kama sudah mengetahui bahwa ayahnya hanya berpangku tangan ketika musibah tersebut menimpa Keluarga Kuncoro. Namun, setelah melihat buku keuangan tersebut, dia pun curiga bahwa ayahnya mungkin saja bukan hanya berpangku tangan, tetapi juga melakukan sesuatu dan buku keuangan itu adalah salah satu buktinya.Oleh karena itu, Kama baru kembali ke ruang baca Damar. Dia berniat untuk diam-diam mencuri buku keuangan itu. Sayangnya, dia gagal. Hal yang patut disyukuri adalah, setidaknya Abista sudah membantunya menutupi hal ini.Hanya saja, apa yang harus dilakukannya s

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 428

    Abista akhirnya tidak bertanya. Setelah apa yang terjadi selama ini, dia sebenarnya sudah mengetahui jawabannya. Hanya saja, dia selalu menghindar dari jawaban itu. Sekarang, dia sudah tidak bisa menghindar lagi.“Baik. Aku mengerti.”Pada akhirnya, Abista berjalan meninggalkan ruang baca dengan beberapa luka cambuk di punggung. Setelah dia kembali ke area tempat tinggalnya, Anton yang melihat tubuhnya berdarah pun terkejut.“Tuan Abista, Tuan kenapa? Cepat berbaring. Aku akan panggilkan tabib kemari!”Seusai berbicara, Anton hendak langsung pergi.“Nggak usah panggilkan tabib.” Abista menghentikan Anton, lalu berkata dengan ekspresi tenang, “Ini cuma sedikit luka cambuk. Nggak usah khawatir. Ambilkan kotak obatnya kemari dan bantu aku oleskan obatnya.”Bagi Abista, keadaannya ini memang tidak perlu diperiksa tabib. Bagaimanapun juga, dibandingkan dengan 50 cambukan yang diberikannya kepada Syakia malam itu, beberapa cambukan ini benar-benar bukan apa-apa.Namun, bagi Anton, ini sama s

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 427

    “Emm. Setelah mengantar adikmu pergi, kamu datang untuk menerima hukuman. Hubungan saudara kalian benar-benar mendalam.”Damar mengambil cambuk dari mejanya, lalu berjalan mendekati Abista selangkah demi selangkah. Pada akhirnya, dia berdiri di belakang Abista sambil memandangnya.“Ini semua berkat ajaran Ayah yang baik.”Abista tidak mendongak. Dia sudah tahu apa yang akan dihadapinya, tetapi sama sekali tidak mengeluh. Setidaknya, dia sudah mengantar Kama pergi. Setelahnya, biar saja dirinya seorang yang dimaki ataupun dipukul.Baru saja Abista selesai berbicara, dia langsung merasakan rasa sakit yang membakar di tubuhnya.“Plak!”Damar mencambuk Abista tanpa belas kasihan. Dia menatap putra sulung yang mengecewakannya itu dengan ekspresi datar sambil berkata dengan dingin, “Tapi, aku juga pernah mengajarimu bagaimana cara mendidik adik-adikmu. Itu tanggung jawabmu sebagai kakak sulung.”“Tapi, lihat saja bagaimana situasinya sekarang. Satu per satu dari mereka sudah merasa diri mere

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 426

    “Sudah dengar?” Damar berkata dengan dingin, “Sekarang, adikmu ini sudah dewasa dan hebat. Dia cuma mau hidup bebas di luar sana. Buat apa kamu membelanya lagi?”“Tapi ....”Abista masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi Kama segera menariknya.“Kak Abista, cukup!” Kama berbicara sambil menggertakkan gigi, “Aku tahu kamu nggak berharap aku pergi. Tapi, aku benar-benar nggak tahan lagi.”Ketika mengucapkan kalimat terakhir, kekecewaan dan rasa sakit yang terpancar dari mata Kama benar-benar menyayat hati Abista. Dalam sekejap, Abista merasa dirinya bagaikan sudah kehilangan seluruh tenaga. Dia menunduk dengan pasrah dan memejamkan matanya.“Baik .... Pergilah, pergilah ...,” ujar Abista secara perlahan. Suaranya juga terdengar agak tercekat.Abista merasa dirinya yang sudah memaksakan kehendaknya. Bahkan dia sendiri juga merasa sangat kecewa pada keluarga ini, apalagi Kama yang sudah terlebih dahulu sadar. Mungkin saja Kama merasa tinggal di luar jauh lebih baik daripada tinggal di rumah

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 425

    “Bukannya itu gara-gara Ayah? Waktu aku tinggalkan kediaman ini, aku nggak punya apa-apa. Awalnya, aku mengira Ayah yang begitu pelit mana mungkin benar-benar setuju sama syarat Syakia?” ejek Kama.Ucapan itu sontak membuat Damar marah. “Lancang!”Damar menggebrak meja dan menatap Kama dengan marah. “Kama, apa begini sikap yang seharusnya kamu tunjukkan pada ayahmu?”Kama hanya tersenyum dingin dan balik bertanya, “Kalau nggak, Ayah mau aku pakai sikap seperti apa dalam menghadapimu?”“Kamu ....”Ucapan Kama sudah sepenuhnya membuat Damar murka hingga dia tidak lagi lanjut mempertanyakan keaslian ucapan Kama.“Bagus! Bernyali juga kamu! Berhubung begitu, kamu juga seharusnya dihukum karena sudah melakukan kesalahan.” Damar sudah malas berbicara omong kosong dengan putra pembangkangnya itu dan segera memberi perintah, “Bawa kemari cambukku. Aku mau hukum dia dengan aturan keluarga sekarang juga!”Siapa sangka, baru saja Damar selesai memberi perintah, Kama lagi-lagi melawannya.“Aturan

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 424

    Siapa sangka, Kama yang baru saja bersuara malah kembali bungkam. Dia memalingkan wajahnya dan menunjukkan ekspresi “kamu jangan tanya lagi, aku nggak akan jawab”.Abista lagi-lagi memelototi adiknya, lalu berujar, “Baiklah. Kalau kamu nggak mau kasih tahu aku, nggak usah ngomong. Tapi mulai sekarang, kamu harus patuhi kata-kata Kakak. Kakak suruh kamu ngomong apa, kamu ngomong apa. Jangan bantah kata-kata Ayah lagi.”Baru saja Kama hendak mengucapkan sesuatu, Abista sudah langsung menjewer telinganya hingga dia kesakitan.“Kamu mau patuhi kata-kataku atau nggak?”“Iya, iya, iya!” Kama buru-buru menyetujuinya dengan kesakitan. “Aku akan patuhi kata-kata Kakak. Jadi, Kakak sudah boleh lepaskan telingaku, ‘kan?”“Kalau kamu nggak dikasih sedikit pelajaran, kamu mana mungkin takut sama kakakmu ini.”Abista tidak langsung melepaskan telinga Kama. Dia mendengus dingin, lalu diam-diam membisikkan sesuatu pada Kama.Tidak lama kemudian, terdengar suara tamparan dari sudut itu. Selanjutnya, ka

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 423

    “Prang!”Baru saja Abista menginjakkan kakinya ke ruang baca, dia langsung mendengar suara cangkir teh yang dibanting ke lantai dan hancur berkeping-keping. Dia buru-buru berjalan masuk, lalu melihat adiknya yang setuju untuk menunggu di dalam kamarnya dengan patuh pagi ini sedang berlutut di hadapan ayah mereka.Di samping lutut Kama, terlihat cipratan teh. Dinilai dari serpihan cangkir yang ada di sana, sepertinya sudah ada beberapa cangkir teh yang dihancurkan ayah mereka.Damar duduk di kursinya dan menatap Kama dengan mata memicing. Nadanya terdengar penuh amarah. “Kama, kutanya kamu untuk yang terakhir kalinya. Apa sebenarnya yang mau kamu cari di ruang bacaku?”Kama hanya menunduk tanpa menjawab. Dari awal dia tertangkap sampai sekarang, masih belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Tidak peduli bagaimana Damar bertanya, dia tetap hanya menunjukkan ekspresi datar dan bungkam.Damar pun makin marah dan berseru, “Baik. Berhubung kamu bisa melakukan hal keji seperti i

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 422

    “Kama? Ada apa ini? Kamu kenapa?”Abista buru-buru membawa Kama ke kamarnya, lalu menaruh adiknya ke atas ranjangnya. Namun, setelah mencoba untuk membangunkan Kama beberapa kali dan Kama masih belum sadar, dia sontak merasa sangat khawatir.Ada apa ini sebenarnya? Abista tahu bahwa Kama memang dibawa pulang. Namun, dia juga mendapat kabar bahwa Kama sudah pergi di pagi-pagi buta. Jadi, dia sama sekali tidak bertemu dengan Kama.Awalnya, Abista mengira Kama sudah kembali ke rumah gubuknya di kaki Gunung Selatan. Tak disangka, Kama ternyata masih berada dalam kediaman ini. Selain itu, Kama juga berada dalam keadaan pingsan di luar kamarnya. Apa ayah mereka telah melakukan sesuatu pada Kama? Ini adalah pemikiran Abista yang sudah tidak dapat percaya pada Damar lagi.Namun, Abista memutuskan untuk tidak berpikir terlalu jauh. Jika dinilai dari keadaan Kama, Kama seharusnya hanya pingsan. Setelah Kama bangun, dia akan bertanya dengan jelas kepada Kama.Setelah itu, Abista pun tidur di dip

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status