공유

Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati
Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati
작가: Emilia Sebastian

Bab 1

작가: Emilia Sebastian
“Kak, makan dong! Kenapa kamu nggak makan?”

Di ruang bawah tanah yang remang-remang, Syakia Angkola yang tubuhnya dipenuhi luka tergeletak di lantai dalam keadaan sekarat. Leher dan anggota tubuhnya diikat dengan rantai besi hingga dia tidak bisa melarikan diri.

Di hadapan Syakia, seorang gadis yang mengenakan gaun kuning sedang memegang semangkuk makanan anjing dan menggodanya seperti menggoda seekor anjing. Gadis yang tersenyum cantik ini adalah adiknya, Ayu Angkola.

Ayu berkata kepada dayang di belakangnya dengan tidak senang, “Lihat, kakakku benar-benar nggak berguna. Dia bahkan nggak bisa jadi seekor anjing yang patuh. Aku sudah menyuapinya sendiri, tapi dia malah berani menolak makan?”

Dayang itu segera melangkah maju dan menendang Syakia. Syakia pun meringis kesakitan.

Kemudian, dayang itu menyanjung Ayu, “Nona, jangan hiraukan dia. Anjing ini mungkin masih mengira dirinya adalah putri sah Keluarga Angkola.”

Ayu mencibir, “Syakia itu putri sah dari keluarga mana? Bahkan Ayah dan kakak-kakak sekalian juga nggak mengakuinya lagi. Dia seharusnya merasa terhormat karena aku membiarkannya jadi anjingku. Sayangnya, dia malah nggak tahu bersyukur.”

Seusai melontarkan kata-kata dingin itu, Ayu langsung menginjak tangan Syakia dan menggeseknya dengan kuat hingga terdengar suara kretek yang nyaring. Syakia pun berteriak kesakitan.

“Syakia, aku kasih kamu satu kesempatan terakhir. Serahkan giok itu padaku!”

“He ... hehe ....” Begitu mendengar ucapan Ayu, Syakia yang hampir kehilangan kesadarannya akhirnya menunjukkan sedikit reaksi. Dia tertawa lemah dan berkata, “Ayu, jangan mimpi ....”

Giok itu adalah satu-satunya barang yang ditinggalkan ibu Syakia untuk Syakia. Meskipun mati, dia tidak akan menyerahkannya kepada Ayu.

“Dasar wanita jalang! Mau mati kamu!” seru Ayu dengan marah.

Tepat pada saat ini, pintu ruang bawah tanah dibuka oleh seseorang. Kemudian, terlihat beberapa sosok yang melangkah masuk.

Setelah melihat siapa yang datang, Ayu segera memberikan makanan anjing di tangannya kepada dayangnya untuk disembunyikan. Dia juga langsung mengubah ekspresinya menjadi gadis polos dan imut seperti biasa, lalu menghampiri orang-orang itu dengan gembira.

“Ayah! Kak Abista! Kak Kama! Kak Kahar! Kak Ranjana! Buat apa kalian datang kemari?”

Kelima orang itu adalah Adipati Pelindung Dinasti Minggana beserta keempat putranya.

Sebagai orang yang berjasa dalam mempertahankan keamanan kerajaan, Damar Angkola memiliki perawakan yang tinggi dan paras yang menonjol. Keempat putranya juga mewarisi gennya. Mereka semua berperawakan tinggi, tampan, dan memiliki aura mengesankan. Selain itu, mereka juga memiliki beberapa karakteristik seorang Adipati Pelindung Kerajaan, yaitu memiliki ekspresi dingin atau garang.

Namun, yang tak bisa dipungkiri adalah, orang-orang yang terlihat dingin dan tidak berperasaan ini akan menunjukkan ekspresi lembut begitu Ayu memanggil mereka dengan nada manja dan lembut.

Kama Angkola, kakak kedua Syakia itu melirik Syakia dengan ekspresi mengejek dan bertanya, “Ayu, gimana? Apa dia sudah serahkan giok yang dicurinya darimu?”

Syakia tidak mencuri apa pun! Giok itu pada dasarnya adalah miliknya.

“Haih, belum.” Ayu berkata dengan nada yang sangat sedih, “Kak Syakia jelas-jelas tahu itu barang paling penting bagiku, juga satu-satunya barang peninggalan ibuku untukku. Tapi, nggak peduli gimana aku mohon padanya, dia tetap nggak bersedia kembalikan giok itu padaku. Aku benar-benar nggak tahu harus gimana lagi.”

Saat berbicara sampai akhir, suara Ayu terdengar agak bergetar seperti hendak menangis. Setelah mendengarnya, Kama pun merasa sangat sedih.

“Syakia, aku benar-benar kecewa sama kamu!” seru Kama dengan marah.

Kahar Angkola, kakak ketiga Syakia yang berdiri di depan pintu langsung menunjukkan ekspresi dingin dan mengeluarkan sebilah pedang yang tajam.

“Berhubung dia begitu keras kepala, potong saja tangannya sambil suruh dia untuk ngaku. Kalau dia tetap nggak mau ngomong, potong semua kaki dan tangannya. Aku mau tahu dia sehebat apa sampai berani curi barang Ayu!”

“Nggak usah potong tangannya.” Tepat pada saat ini, Abista Angkola, kakak sulung Syakia berkata, “Ada yang lihat Syakia buru-buru menelan sesuatu sebelum ditangkap.”

Syakia sontak kaget dan panik setelah mendengarnya. Begitu melihat reaksinya, Kama dan orang lainnya langsung mengerti apa yang sudah terjadi.

Kama pun berseru marah, “Syakia, kamu sudah gila! Kamu rela menelan giok itu daripada mengembalikannya pada Ayu?”

Syakia pun bersikap layaknya orang gila. Berhubung sudah ketahuan, tidak ada lagi yang perlu disembunyikannya. “Haha .... Benar, aku memang sudah gila! Ayu sudah celakai aku sampai begini, juga mau rebut barang peninggalan terakhir Ibu kepadaku. Mana mungkin aku nggak gila?”

Syakia menarik beberapa rantai besi yang membelenggunya dengan marah. Suaranya dan suara gemerincing besi menggema di dalam ruang bawah tanah ini. “Gimana? Sekarang, kalian cuma punya 2 pilihan. Mau menyerah atau belah perutku?”

Ekspresi Kama dan orang lainnya sangat muram, termasuk Ranjana Angkola, kakak keempat Syakia yang dari tadi menyaksikan semua ini dalam diam. Mereka melirik ke arah Damar secara reflek. Pada saat ini, hanya Damar seorang yang dapat membuat keputusan.

Ada secercah kekelaman yang melintasi mata Ayu. Dia menggigit bibirnya dan hanya melontarkan sebuah kalimat. “Ayah, aku rindu sama Ibu.”

Begitu mendengar ucapan itu, Syakia dapat melihat sedikit perubahan ekspresi di wajah Damar. Pada detik itu, dia tahu bahwa dirinya sudah kalah.

Damar menghela napas dan berujar, “Syakia, jangan salahkan kakak-kakakmu. Salahkan saja aku. Kalau kamu masih terlahir sebagai putri Keluarga Angkola di kehidupan berikutnya, Keluarga Angkola akan menebus semua kerugianmu dengan baik.”

Syakia tertawa histeris, tetapi matanya malah meneteskan air mata. “Nggak, aku nggak mau jadi putri Keluarga Angkola lagi di kehidupan selanjutnya!”

Ketika pedang yang dingin dan tajam membelah perut Syakia, dia pun mengembuskan napas terakhir di dalam ruang bawah tanah ini. Sementara itu, giok yang sudah bersatu dengan tubuhnya tiba-tiba memancarkan sinar yang menyilaukan mata.

...

Awal musim panas tahun ke-76 Dinasti Minggana. Di Kediaman Adipati.

Hari ini, suasana di Kediaman Adipati sangat ramai. Semua penduduk ibu kota tahu bahwa kedua putri Adipati Pelindung Kerajaan akan melangsungkan upacara kedewasaan hari ini.

Pada saat ini, di sebuah kamar dalam Kediaman Adipati ....

“Jangan ... jangan ....”

Di atas ranjang, seorang gadis berusia 15 tahun tidak berhenti menggumamkan sesuatu dengan suara gemetar, seolah-olah sedang mimpi buruk. Pada detik selanjutnya, dia tiba-tiba membuka kedua matanya sambil berseru ketakutan. Dia tiba-tiba duduk di ranjang dan mengulurkan tangannya secara refleks untuk menutupi diri.

“Ah!”

Namun, rasa sakit yang seharusnya timbul dari pembelahan perut tidak kunjung datang. Setelah sesaat, Syakia baru berani membuka matanya dengan ketakutan dan hati-hati.

Begitu melihat jelas lingkungan di sekitarnya, Syakia baru menyadari bahwa dirinya bukan sedang berada di ruang bawah tanah itu. Dia juga tidak melihat ayah maupun saudara-saudaranya. Ruangan ini sangat tenang dan perabot yang berada dalam ruangan ini terlihat familier.

Setelah berpikir sejenak, Syakia yang benaknya dipenuhi dengan ketakutan baru mengingat di mana dirinya. “Bukannya ini kamarku sebelumnya?”

Ini merupakan kamar yang ditempati Syakia ketika dia masih disayangi oleh ayah dan saudara-saudaranya.

“Tunggu! Kenapa aku ada di sini?” Syakia akhirnya menyadari ada yang tidak beres dan buru-buru bangkit dari ranjang dengan terkejut. Namun, karena gerakannya terlalu mendadak, dia pun jatuh ke lantai.

“Kenapa bisa begini? Kenapa aku bisa kembali kemari!” seru Syakia dengan terkejut. Dia harus segera meninggalkan tempat ini sebelum ditangkap oleh ayah dan kakak-kakaknya. Jika tidak, dia pasti akan mati!

Namun, sebelum Syakia sempat berlari menuju pintu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.

“Tok! Tok!”

“Nona Syakia, kamu mau tidur sampai kapan? Hari ini adalah upacara kedewasaanmu dan Nona Ayu. Kalau terlambat, jangan salahkan aku nggak membangunkanmu.”

Terdengar suara seorang dayang yang tidak sopan. Syakia yang baru hendak membuka pintu buru-buru menarik kembali tangannya dengan ketakutan. Namun, ucapan dayang itu membuatnya terpaku di tempat.

“Upacara ... kedewasaan?”
이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (2)
goodnovel comment avatar
Hajumaini
ngak bisa buka bab 2
goodnovel comment avatar
PNsalsyabila
Baca nam a karakter ya aja sudH males lanjut baca
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 394

    “Kamu masih berani melawan!”Saat berbicara, Damar mengangkat tangannya lagi dan hampir menampar Kahar untuk yang ketiga kalinya. Namun, Abista segera mengulurkan tangan untuk menghentikannya. “Cukup, Ayah.”Abista mendorong Kahar ke samping, lalu melirik Damar dan berkata dengan acuh tak acuh, “Mau gimana pun kamu berpura-pura, reputasi Kediaman Adipati Pelindung Kerajaan memang sudah sebusuk seperti kotoran di tangga ini.”Seusai berbicara, Abista pun melangkah melewati kotoran-kotoran itu dan naik ke kereta kuda dengan ekspresi datar.Kahar tidak menyangka Abista berani mengucapkan kata-kata seperti itu. Ucapan itu jauh lebih keterlaluan daripada dalihannya tadi. Saat ini, ekspresi ayah mereka sudah sangat kelam.Pada akhirnya, Damar juga berjalan keluar seperti Abista dan tetap menghadiri rapat istana meskipun tercium aroma samar kotoran dari tubuhnya. Mengenai Kahar dan Ranjana, Damar mengurung mereka di rumah untuk sementara. Setelah pulang nanti, dia akan lanjut memberi pelajara

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 393

    Di pagi-pagi buta sebelum Kahar dan Ranjana bangun, Damar sudah menyeret mereka turun dari tempat tidur.“Ada apa, Ayah?”“Hk! Dingin sekali! Ayah, kamu biarkan dulu aku pakai bajuku!”“Pakai baju? Mau pakai baju apa lagi kamu? Kalian sudah permalukan seluruh Kediaman Adipati Pelindung Kerajaan!”Damar mendorong Kahar dan Ranjana keluar. Ketika tiba di depan gerbang kediaman, mereka terlebih dahulu melihat Abista yang berdiri di depan pintu.“Kak, kenapa kamu juga ada di sini? Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” tanya Kahar yang masih tidak tahu apa yang terjadi.Abista melirik Kahar dan Ranjana, lalu berkata dengan acuh tak acuh, “Sebaiknya kalian keluar sendiri dan melihatnya.”Ketika Abista berbicara, Kahar dan Ranjana samar-samar mencium semacam aroma busuk.“Aroma apa ini?”Kahar berjalan keluar sambil menutupi hidungnya. Begitu mendongak, matanya langsung membelalak dan dipenuhi dengan amarah.“Ini ulah siapa! Siapa yang sudah bosan hidup hingga berani menyiram kediaman kita deng

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 392

    “Ranjana, getah akar pohon mati yang kamu berikan benar-benar bisa hancurkan ladang Syakia sampai dia nggak bisa lagi menanam apa pun di sana?”“Tentu saja.” Ranjana mendongak dan berkata dengan bangga, “Getah itu kutemukan dari kitab racun Raja Racun Tabib Hantu. Nggak ada banyak orang yang tahu soal itu. Selain Raja Racun Tabib Hantu yang turun tangan sendiri, nggak akan ada orang yang bisa selamatkan ladang obat Syakia.”Setelah mendengar hal itu, Kahar seketika merasa tenang.“Baguslah kalau begitu. Ini akan jadi pelajaran yang baik bagi Syakia. Kali ini, yang kita racuni itu ladang obatnya, bukan dia. Meski dia bisa tebak itu perbuatan kita, dia juga nggak akan bisa lakukan apa-apa terhadap kita. Lagian, meski hal ini tersebar, kita tetap bisa kendalikan dampaknya,” ujar Kahar sambil tersenyum penuh peremehan.Ranjana juga tersenyum tipis. “Dia nggak akan berani ngapa-ngapain. Dia bahkan mungkin datang memohon pada kita demi selamatkan ladang obatnya di Paviliun Awana itu. Nanti,

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 391

    Yanto adalah mantan kepala Keluarga Kuncoro. Dia tentu saja sangat peka dalam beberapa hal dan menyadari apa kira-kira yang dipikirkan Syakia. Pada hari Syakia hendak kembali ke Kuil Bulani, dia menyerahkan sesuatu pada Syakia.“Nona, aku lahir dan dibesarkan di Keluarga Kuncoro. Meski harus mati, aku juga mau mati demi keturunan Keluarga Kuncoro. Jadi, aku harap Nona terima barang ini. Berikanlah aku sebuah kesempatan dan biarkanlah aku mati demi Nona.”Yanto memang sudah tua. Namun, memangnya kenapa meskipun begitu? Dia masih bisa memberikan kesempatan bagi dirinya untuk hidup sekali lagi demi Keluarga Kuncoro dan juga Syakia.Syakia melihat surat perjanjian penjualan diri yang disodorkan Yanto kepadanya, lalu bertanya, “Paman, kamu sudah berpikir dengan jelas?”Yanto menoleh untuk melihat Paviliun Awana dan kerinduan pun muncul di sepasang matanya. Kemudian, dia kembali memandang Syakia dengan tatapan yang digunakannya untuk memandang kakeknya Syakia dulu.Yanto menjawab dengan seri

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 390

    Syakia sudah berjanji untuk memberikan semua obat herbal yang ditanam di Paviliun Awana kepada Adika. Obat herbal ini awalnya akan dibagikan kepada Pasukan Bendera Hitam yang terluka atau cacat karena berperang demi Dinasti Minggana selama bertahun-tahun. Sekarang, sebagian besar tanaman yang sudah ditanam selama sebulan malah dihancurkan oleh sekelompok orang ini. Mereka bahkan juga meracuni ladangnya. Mana mungkin Syakia diam saja dalam menghadapi kekejaman seperti ini?Syakia tidak akan mengampuni dalang di balik insiden ini maupun sekelompok penjahat di depannya.“Paman Yanto, layanilah mereka dengan ‘baik’.”Yanto tidak menyangka Syakia memiliki sisi seperti ini. Dia awalnya mengira Syakia yang selama ini terlihat lembut dan baik hati sangat mirip dengan Anggreni. Tak disangka, di balik kelembutan Syakia, tersembunyi juga sisi yang tegas dan kejam seperti ini. Dia sangat mirip dengan kakeknya dulu!Sepasang mata Yanto langsung berbinar. Dia menatap Syakia dengan tatapan membara,

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 389

    “Kalau begitu, Paman Yanto tolong aturkan orang-orang untuk melakukan semua itu mulai besok. Maaf harus merepotkan Paman selama beberapa hari ke depan.”“Nggak repot kok. Ini cuma hal sepele. Hanya saja, orang-orang yang menaruh racun masih belum tertangkap. Kalau kita sudah selesaikan masalah ini, orang-orang itu mungkin akan datang lagi.”Syakia tentu saja mengetahui hal ini. Dia pun tersenyum tipis dan menjawab, “Paman Yanto nggak usah khawatir. Paman aturkan saja orang-orang untuk memulihkan tanah ini besok. Malam ini, orang-orang itu akan tertangkap.”...Malam ini.Pada malam yang larut, sekelompok orang yang masing-masing membawa sebuah ember kayu menghindari orang-orang yang sedang berpatroli dan diam-diam menyelinap ke Paviliun Awana.“Kak Eka, kemarin, kita sudah siram ladang sisi barat. Yang sisi selatan juga sudah ada beberapa yang kita siram. Apa malam ini kita perlu ganti tempat dan pergi ke sisi barat atau utara?”“Boleh juga. Kalau begitu, kita pergi dulu ke sisi barat.

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 388

    “Apa orang-orang itu sudah tertangkap?”“Beberapa orang yang datang di hari pertama sudah tertangkap. Tapi, beberapa hari kemudian, muncul lagi sekelompok orang yang baru. Selain itu, mereka juga makin hati-hati dan sangat licik. Yang meracuni ladang obat itu mereka.”Syakia bertanya, “Ada orang yang kena dampaknya?”Yanto menggeleng. “Mereka sepertinya cuma menargeti ladang obat kita. Jadi, nggak ada dampak besar bagi orang-orang.”Syakia mencibir, “Kalau ada orang yang keracunan, masalah ini nggak akan sesederhana itu.”Setelah memahami situasinya, Syakia memberi perintah, “Maaf merepotkan Paman Yanto. Berhubung ini masih pagi, aku mau pergi lihat keadaan di Paviliun Awana.”Shanti kebetulan juga ada di tempat. Setelah mendengar ucapan Syakia, dia pun berkata, “Aku akan ikut bersama kalian.”“Aku juga! Aku juga mau ikut!” seru Eira sambil buru-buru mengangkat tangannya.Setelah keluar dari Kuil Bulani, terdapat sebuah kereta kuda sederhana yang sudah menunggu. Ini adalah pesan Syakia

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 387

    Adika tidak menyangka Syakia masih mengingat hal ini, juga sudah memisahkan ladang obat itu untuknya. Dia sangat terharu. Mana mungkin dia tidak jatuh cinta pada Syakia yang begitu baik? Hanya saja, apa yang dikatakan Laras juga benar. Kalau ada orang yang mengetahui pikiran Adika yang seperti ini, itu bisa merusak praktik biksuni dan reputasi Syakia. Hal ini sangatlah tidak bermoral. Jadi, Adika hanya bisa menyembunyikan perasaan ini dengan hati-hati.Tanpa Laras, rombongan ini sama sekali tidak terpengaruh. Tidak lama kemudian, mereka pun mulai melanjutkan perjalanan.Dua hari kemudian, rombongan yang pergi ke Lukati pun kembali ke ibu kota. Kepulangan mereka kali ini berbeda dari sebelumnya. Kali ini, Kaisar yang memimpin para pejabat untuk menunggu di tembok kota demi menyambut mereka. Pasukannya begitu besar hingga Syakia merasa terkejut.Setelahnya, Syakia baru tahu bahwa kabar dari Lukati sudah tersebar hingga ke ibu kota. Setelah berhasil memohon hujan untuk mengakhiri kekeri

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 386

    Keadaan di dalam hutan menjadi hening untuk sejenak. Kemudian, baru terdengar tawa mengejek yang rendah.“Yang kamu bilang benar. Aku memang nggak layak.” Adika memasang tampang dingin dan melanjutkan, “Tapi, kamu lebih nggak layak lagi. Kamu mau pakai informasi orang itu untuk paksa aku? Sayangnya, aku nggak akan masuk jebakanmu.”Seusai berbicara, Adika langsung mengangkat tangannya. Beberapa prajurit Pasukan Bendera Hitam pun segera muncul dan mengepung Laras.Laras sontak merasa terkejut. Firasat buruk juga mulai menyelimuti hatinya. “Mau apa kamu?”Adika menjawab dengan dingin, “Kamu seharusnya berterima kasih dengan baik pada Sahana. Kalau bukan demi dia, aku sudah penggal kepalamu dari awal.”Seusai berbicara, Adika berbalik dan memberi perintah, “Bawa dia pergi, lalu ikat dia dengan baik sebelum serahkan dia pada Bupati Nugraha. Suruh Bupati Nugraha awasi dia dengan baik. Selama dia nggak mati, terserah bagaimana Bupati Nugraha mau menghukumnya. Tapi, kalau orangnya sampai kabu

좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status