"Aula Keabadian? Tempat apa itu?" tanya Ayu dengan bingung.Kahar menggeleng dan menjawab, "Aku juga nggak tahu spesifiknya, tapi teman seangkatanku bilang, mereka menjual pil keabadian yang konon dapat menghidupkan kembali orang mati. Obat itu sangat luar biasa, tapi harganya juga sangat mahal dan sulit didapatkan meski ingin membelinya.""Kalau kita memang mau beli, apa mungkin kita nggak bisa mendapatkannya?"Ayu tidak setuju dengan ucapan "sulit didapatkan meski ingin membelinya". Bagaimanapun juga, dia adalah putri keenam Adipati Pelindung Kerajaan, sedangkan Kahar adalah putra ketiga Adipati Pelindung Kerajaan. Dengan status mereka, apa yang tidak bisa mereka beli di ibu kota?"Katanya, karena obat itu sangat langka dan dilarang diedarkan di luar, siapa pun yang mau beli harus menunggu. Berhubung obat itu begitu luar biasa, aku rasa kita boleh coba beli sebutir untuk Kak Abista. Kalau memang manjur dan bisa menawarkan racun di tubuh Kak Abista, Ayah pasti nggak akan marah lagi."
Namun, kegembiraan ini tidak berlangsung lama. Setengah jam kemudian, efek pil keabadian berakhir dan kegilaan di mata Bima dengan cepat menghilang. Dia mengangkat kepalanya dan menarik napas dalam-dalam. Pada detik berikutnya, dia menutup mulut dan hidungnya dengan jijik."Bersihkan tempat ini!" perintah Bima dengan tegas. Kemudian, dia mengibaskan lengan bajunya dan pergi.Setelah meninggalkan Aula Keabadian di bawah tanah dan kembali ke ruang baca Kediaman Keluarga Panjalu, Bima duduk di belakang meja. Dia mengambil selembar kertas di atas meja yang di atasnya tertulis beberapa nama.Bima melirik nama-nama itu dengan saksama, lalu akhirnya menatap lekat-lekat nama yang ada di bagian paling bawah."Syakia Angkola. Putri Suci .... Aku mau tahu kamu itu Putri Suci asli atau palsu."...Di area tempat tinggal Abista di Kediaman Adipati Pelindung Kerajaan.Setelah meminum obat mengandung teratai salju yang diberikan Syakia, Abista pun tersadar beberapa hari kemudian. Namun, kondisinya ma
Setelah bawahan itu pergi, Bima langsung duduk di kursi dan memejamkan matanya. Dia mengetuk meja dengan jari telunjuknya dan terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.Tidak lama kemudian, seorang wanita cantik berpakaian rapi datang dengan membawa sebuah botol giok. Dia duduk bersandar di pangkuan Bima, lalu membuka botol giok itu dan menuang keluar tiga butir pil hitam.Begitu pil itu keluar, sebuah aroma aneh menyerbak di ruangan batu ini. Aroma ini sangat mirip dengan aroma menawan yang ada di seluruh aula bawah tanah di luar. Namun, setelah mendekatkan pil itu ke mulut dan hidung, seseorang pasti dapat menemukan jejak darah yang jelas. Orang normal yang mencium bau darah pada pil-pil itu mungkin akan segera menjauh. Masalahnya, di antara berbagai macam orang yang berada di Aula Keabadian yang terletak di ruang bawah tanah Kediaman Keluarga Panjalu, tidak ada satu pun orang yang normal. Sama seperti Bima saat ini. Dia mendongak dan menatap si cantik yang duduk di pangkuannya. Dia
Keadaan di Kuil Bulani sangat damai dan tenang. Namun, di ibu kota, ada gelombang pasang yang diam-diam sedang bergolak.Di ruang baca Kediaman Keluarga Panjalu.Dengan wajah tanpa ekspresi, Bima mengambil kuas dan menarik sebuah garis tegas di atas informasi yang diserahkan oleh bawahannya. Kemudian, dia berdiri dan berjalan menuju tempat lilin sambil merobek surat berisi informasi tersebut menjadi serpihan.Pada akhirnya, Bima menyalakan ujung kertas dengan api lilin. Nyala api dengan cepat melahap kertas itu, lalu menjalar ke atas dan membakar jari-jari Bima yang memegang ujung kertas.Namun, Bima sepertinya sama sekali tidak merasa sakit. Setelah beberapa detik, dia baru melempar kertas yang terbakar itu ke dalam baskom arang yang telah padam."Pengawal."Sebuah sosok muncul di belakang Bima dan berlutut dengan hormat."Apa putriku yang baik itu sudah mati?"Sosok itu menjawab dengan hati-hati, "Tuan, Nona Laras ... belum mati."Kata "belum mati" itu berarti bahwa aksi orang-orang
Melihat ekspresi Syakia, Adika tahu bahwa Syakia baru saja tersadar. Dia pun tidak bisa menahan tawa. "Lain kali, nggak usah datang ke gunung belakang lagi. Di sini dingin dan berangin, juga mudah masuk angin."Syakia mengangguk dengan canggung. "Oke."Syakia juga melupakan hal ini. Dia menatap Adika dengan canggung dan bertanya dengan ragu, "Gimana kalau kita pulang sekarang?"Adika langsung tersenyum dan menjawab, "Kita sudah sampai. Lagian, hari ini aku memang ingin dengar sutra yang kamu bacakan di sini."Alasan utama Adika adalah karena ada orang lain di tempat tinggal Syakia. Saat ini, dia tidak ingin orang lain mengganggunya dan Syakia.Adika mengeluarkan barang-barang yang dibawanya, lalu mencari sebungkus kue jujube hangat dan mantel bercorak bunga plum yang baru. Dia menahan keinginan untuk memakaikan mantel itu dan menyerahkannya kepada Syakia terlebih dahulu."Pakai dulu mantel ini. Sekarang memang lagi nggak begitu berangin, tapi kamu tetap harus hati-hati."Syakia melirik
"Laba-laba beracun itu bisa memengaruhimu?" tanya Adika dengan kening yang agak berkerut. Hal pertama yang dia khawatirkan adalah keselamatan Syakia.Syakia langsung tersenyum dan menjawab, "Nggak, itu nggak akan memengaruhiku.""Kia, gimana kamu bisa pastikan laba-laba beracunmu itu ada di tubuh pemimpin suku asing? Gimana kalau itu bukan pemimpin suku asing, melainkan orang lain dari suku asing?"Cempaka bukan menanyakan pertanyaan ini untuk meragukan Syakia. Dia hanya khawatir tentang hubungan di antara Syakia dengan laba-laba beracun itu. Contohnya, jika laba-laba beracun itu terluka, apakah itu akan memengaruhi Syakia? Jika laba-laba beracun itu mati, apakah itu malah akan berdampak buruk bagi Syakia?Meskipun tidak tahu bagaimana Syakia bisa memiliki laba-laba beracun seperti itu, mereka merasa cara kerjanya sangat mirip dengan ilmu sihir racun milik suku asing. Jadi, setelah mendengar perkataan Syakia, Adika dan Cempaka langsung mengkhawatirkan Syakia.Begitu melihat ekspresi wa