MasukSebelum Hasa pergi meninggalkan kamar hotel, mereka berjanji akan bertemu dua hari lagi, untuk membahas perjanjian yang berisi syarat dari Hasa dan Dama.
Dia tidak pulang ke rumah Rene, melainkan ke rumah tempatnya membuat guci. Selama ini Hasa punya rumah kecil di pinggir kota, rumah yang sengaja disewa untuk pekerjaannya. Suasana hatinya sedikit membaik hingga membuatnya ingin kembali membentuk tanah liat itu. Tapi, sebelum itu Hasa membeli makanan instan dan camilan untuk bekalnya sampai sore hari. Baru saja mendudukkan diri di kursi kayu, suara pintu dibuka paksa dari luar terdengar. Hasa terperanjat, dia tau siapa yang datang. Sarah masuk dengan mata menyala marah, dia langsung menghampiri Hasa dan melayangkan tangannya ke udara, dengan cepat Hasa menahannya. Lalu mata mereka bertemu tajam. Sarah heran, tidak biasanya Hasa seperti ini, menghindari pukulannya, biasanya dia hanya pasrah dan tidak punya keberanian untuk melawan ataupun membalas tatapannya. Ada perubahan pada diri Hasa dan itu membuatnya geram. Sarah menarik tangannya kasar. "Apa yang kau rencanakan, ha? Kenapa kau bersama dengan Dama Huston?" Sarah tidak tahan lagi untuk menahan amarahnya. "Seperti yang ibu lihat di media, kami bertemu lalu masuk ke dalam kamar yang sama," ucap Hasa sengaja memprovokasi. Nada bicaranya dingin dan menantang. "Dasar murahan!" Maki Sarah. Lagi-lagi tangannya melayang di udara, tapi Hasa berhasil menangkisnya hingga membuat Sarah bertambah murka. "Kuperingatkan kau, jauhi Dama dan jangan menampakkan dirimu lagi di hadapannya." "Sayang sekali, kami sudah berjanji untuk bertemu kembali." Hasa tersenyum penuh kemenangan. Senyum yang semakin menyulut api kemarahan Sarah. "Setelah keluar dari rumahku kau jadi pembangkang sekarang, anak tidak terdidik." "Ya, aku tidak wajib mematuhi mu seperti dulu," balas Hasa tanpa rasa takut. "Kau...!" Kemarahan Sarah memuncak. Jarinya terulur menunjuk tepat di wajah Hasa. "Meskipun aku sudah mengusirmu harusnya kau tau diri, karena kemurahan hatiku kau bisa sekolah di tempat yang layak." "Tapi aku tidak pernah diperlakukan layak." Kalimat Hasa menusuk penuh kepahitan yang selama ini ia pendam. "Tetap saja kau berhutang padaku, jadi tau diri saja sebagai manusia." "Yang kau berikan padaku tidak sebanding dengan apa yang kau curi dariku." Hasa tetap berdiri tanpa gentar. "Apa maksudmu?" Sarah mulai gelisah, firasat buruk mulai menghantuinya. "Aku tau berapa harga dari guci yang kubuat," ucap Hasa. Wajah Sarah langsung tegang, dia tidak menyangka Hasa sudah tau tentang harga guci yang dibuatnya. Sarah tampak menelan ludah. "Hasa kau berubah, ini bukan dirimu yang biasanya." Sarah sengaja melunak. "Aku menyukai diriku yang sekarang, seharusnya aku berubah lebih awal sehingga kalian tidak bisa memanfaatkanku." Sarah berlagak tidak mengerti, "Jangan bilang kau ingin balas dendam pada keluarga kami?" "Tebakan anda benar, tunggu saja apa yang akan kulakukan pada keluarga kalian." Hasa tidak menyangkalnya. "Sepertinya kau sudah bosan hidup ya?" Sarah tersenyum licik dia berjalan ke arah guci yang sudah selesai dibuat hanya saja belum diberi motif lalu... Prang... Dengan sengaja Sarah menjatuhkan guci itu hingga berserakan di lantai, dia lakukan itu untuk memancing amarah Hasa. Suara pecahan guci melukai hati Hasa. "Aku bisa melakukan hal yang sama padamu seperti guci ini, hancur," katanya lalu berpaling meninggalkan rumah yang terbuat dari kayu itu. Hasa benar-benar kesal, guci itu hampir selesai di buatnya tapi dengan mudahnya Sarah memecahkannya. Ia mengepalkan tangan menahan gejolak emosi. "Dasar tidak punya hati," pekiknya pelan. Sarah kembali ke rumah dimana Morena sudah menantinya sejak tadi. Dia menatap kedatangan ibunya tanpa Hasa. Kekhawatiran tampak jelas di mata Morena. "Di mana dia? Kenapa ibu tidak membawanya? Apa ibu sudah memberinya pelajaran?" Panik, itulah yang di alami Morena saat ini. Sarah menggenggam kedua bahu putri kesayangannya itu. "Tenangkan dirimu," bisiknya. Morena kembali bereaksi. "Bagaimana mungkin aku bisa tenang, dia mengambil calon suamiku." "Morena, belum tentu seperti itu. Kau pikir orang seperti Dama Huston itu akan menyukai yatim piatu seperti Hasa? Mereka keluarga terpandang yang mementingkan bibit-bebet dan bobot pasangan mereka. Kau pasti tau alasan ibu membuang Hasa, karena ibu tidak mau keluarga Huston menolak perjodohan itu karena kita punya anak adopsi." Sarah berusaha meyakinkan putrinya meski ia sendiri mulai meragukan rencananya. "Tapi mereka terlihat di kamar hotel yang sama, Bu. Mereka pasti telah melakukan sesuatu, Hasa pasti menggoda calon suamiku." Air mata Morena hampir jatuh, bayangan Hasa dan Dama memenuhi benaknya. Sarah segera menariknya dalam pelukan. "Kau harus tenang agar bisa berpikir jernih," ucap Sarah sambil mengelus punggung Morena lembut. "Ibu, lakukan sesuatu, tolong atur pertemuanku dengan Dama Huston," pinta Morena pada akhirnya. "Sayang, mereka orang sibuk, tidak semudah itu membuat janji." Sarah sendiri ragu untuk melakukannya. "Ibu belum mencobanya, tapi sudah bilang tidak bisa. Ibu mau aku kalah dari si jalang Hasa?" Morena terus memaksa. Seumur hidup Morena tidak ada satupun permintaannya ditolak oleh Sarah. Melihat kesedihan putrinya dia pun tidak tega. Sarah menghela napas panjang, ia akan melakukan apapun demi putrinya. Sarahpun mencari nomor Nenek Mori, wanita yang paling berkuasa di keluarga Huston. Yang pernah melakukan perjanjian itu di masa lalu. Hasa datang ke alamat yang diberikan Dama. Hari ini mereka akan menentukan rencana pernikahan kontrak itu, Dama sudah menunggu di sofa, tapi dia belum memesan minuman. Dama tampak tenang dan berwibawa, memancarkan aura dingin yang membuat orang sungkan mendekat. Suara seseorang memecah pendengarannya. "Hai, selamat siang! Boleh aku duduk di sini?" Orang itu adalah Morena, dia datang sebelum Hasa tiba. Morena duduk tanpa diundang, senyum manis terpancar di wajahnya, berusaha menarik perhatian Dama. Sapaan ramahnya hanya disambut datar oleh Dama. Morena merasa sedikit kesal karena diabaikan, ia tidak terbiasa dengan perlakuan dingin seperti ini. "Oh, aku lupa memperkenalkan diri. "Aku Morena putri tunggal keluarga Halyas." Uluran tangan Morena menggantung di udara tak ada sambutan dari Dama. Rasa malu dan kesal Morena memuncak, namun ia berusaha keras mempertahankan senyumnya. Tapi anehnya Dama tersenyum ke arahnya. Wajah Morena langsung berbinar, merasa usahanya akhirnya berhasil. Jantungnya berdebar, mengira senyum itu ditujukan padanya. "Maaf, aku terlambat!" ucap Hasa yang telah berdiri di belakang Morena. Senyum tipis Dama langsung menghilang dari wajah Morena, karena kini tatapan Dama tertuju jelas melewati bahunya, langsung pada Hasa. Morena menoleh, rasa cemburu yang menusuk memenuhi dadanya saat ia menyadari bahwa senyum langka itu sebenarnya ditujukan untuk Hasa."Kupikir kau tidak akan datang," ucap Clarissa, senyumnya surut begitu melihat ada Stephanie bersama Dama. Clarissa melambaikan tangannya ke arah sebuah pintu di ujung ruangan. "Ayo ke ruangan ku, kita bicara di sana."Dama mengamati setiap alat musik yang terpajang, didominasi oleh biola dan piano, yang lain tidak begitu banyak. Itu bukan sekedar galeri, Clarissa juga menyediakan tempat latihan, Cla Academy. Di salah satu sudut, Dama melihat koleksi biola yang tampak sangat antik."An, buatkan teh dua gelas! Yang hangat ya," perintahnya pada asistennya.An belum melangkah, matanya menangkap isyarat dari Clarissa. "Ah ya, maaf, maksudku hanya aku dan Dama. Kami perlu bicara pribadi. Stephanie, bisakah anda menunggu di luar sebentar?" Clarissa menatap Stephanie dengan senyum yang dipaksakan.Sebelum beranjak, Stephanie meminta persetujuan Dama dengan pandangan mata, Dama mengangguk tipis. Kini tinggal mereka berdua di dalam ruangan yang beraroma kayu cendana."Nona Stephanie belu
Suasana di lantai atas terasa memanas. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar menaiki tangga."Nirin, ada apa ini? Hasa, kau kenapa ada di sini?" Rupanya Don sudah kembali ke atas. Ekspresi bingung dan sedikit terkejut terpancar jelas di wajahnya melihat dua wanita itu.Nirin memalingkan wajahnya, raut mukanya masih menunjukkan kemarahan yang membekas pada Don. Sementara itu, Hasa terlihat lebih tenang, namun tatapannya serius saat menatap Don."Jangan tinggalkan dia di tempat ekstrem begini." Setelah mengucapkan kalimat dingin itu, Hasa segera berbalik. Niatnya untuk mencari udara segar di luar sirna sudah. Dia turun ke bawah dan kembali ke area pesta. Anehnya, Dama sudah tidak terlihat di sana.Hasa memutuskan untuk melangkah keluar. Ternyata, Dama sedang berdiri di dekat mobilnya, asyik bercerita dengan wanita yang sempat dilihat oleh Hasa tadi. Begitu menyadari kehadiran Hasa, Dama langsung sigap menghampirinya."Kenapa lama sekali? Aku pikir kau sudah pulang?" sapa Dama, na
Di tengah keramaian acara, Nirin mulai dilanda gelisah. Waktu berlalu terasa lambat dan mengkhawatirkan. Don, kekasihnya, pamit ke toilet, namun kepergiannya terasa sangat tidak wajar, melebihi batas normal seseorang buang air. Kekhawatiran mencekik Nirin, mendorongnya untuk menyusul. Namun, baru saja ia beranjak, langkahnya terhenti. Dari arah berlawanan, ia berpapasan dengan seorang wanita yang familier—Hasa.Hasa melangkah tanpa tujuan pasti, pikirannya melayang-layang. Ada perasaan aneh, semacam sensasi dejavu yang kuat saat ia bersirobok dengan gadis itu. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi saat ia berjalan, ingatan itu menyeruak dengan kejam. Hasa tersentak. Dia ingat sekarang. Wanita ini! Inilah gadis yang pernah menghampiri mereka saat ia masih bersama Don. Lebih menyakitkan lagi, Hasa ingat jelas gadis inilah yang duduk di mobil Don saat lelaki itu memutuskan hubungan mereka, mengakhiri kisah mereka dengan dingin.Tak ingin tenggelam dalam pusaran kepahitan masa lalu, Hasa meng
Suasana di kediaman Huston terasa mencekam, diselimuti bayangan kekhawatiran yang tebal. "Kita tidak butuh waktu lagi, sebaiknya nikahkan Dama dan Hasa secepatnya," ujar Rania, suaranya mengandung urgensi yang tak terbantahkan. Kejadian mengerikan yang hampir merenggut nyawa Hasa sudah ia ketahui secara rinci."Kenapa terburu-buru, gadis itu baru saja sembuh. Biarkan mereka saling mengenal lebih jauh. Lagi pula kau sendiri yang meragukan perasaan wanita itu terhadap Dama," balas Nenek Mori, nadanya lebih tenang namun penuh pertanyaan. Ia memandang Rania dengan sorot mata yang mencari penjelasan."Hanya dengan cara itu wanita itu terlindungi," jawab Rania singkat, raut wajahnya menunjukkan keputusan yang sulit.Nenek Mori mengerutkan kening. "Maksudmu? Apa terjadi sesuatu dengan Hasa?" Ia belum mendengar detail mengerikan di balik kecelakaan yang menimpa Hasa.Rania menarik napas perlahan. "Ibunya Sarah adalah dalang di baliknya," ia menyebut nama itu dengan ketidakpercayaan dan kekesa
Dua orang bertubuh besar itu saling pandang, lalu serempak mengalihkan fokus mereka ke daun pintu kamar yang tertutup rapat. Mereka mulai mengatur jarak memundurkan kami, mengambil ancang-ancang penuh tekad untuk mendobraknya.Brak..Bunyi benturan keras terdengar, namun daun pintu itu masih kokoh pada tempatnya. Wajah mereka menunjukkan sedikit kekesalan. Gagal, mereka tidak menyerah. Mereka mencoba lagi secara bergantian, menguras tenaga."Pencuri, pencuri..."Teriakan nyaring itu memecah kesunyian lingkungan. Di lingkungan kecil dengan rumah-rumah yang jaraknya cukup rapat, kegaduhan yang mereka timbulkan menarik perhatian. Para tetangga yang curiga melihat dua orang asing yang tampak mencurigakan itu langsung berteriak waspada."Ayo lari."Kedua orang itu sontak menghentikan usaha mereka. Mereka memilih untuk lari ke arah pintu belakang, menyelinap dengan cepat melewati gang-gang kecil. Mereka bergerak begitu gesit dan lincah, sehingga warga yang tadi berteriak-teriak tidak
"Apa-apaan ini? Kalian tidak berhak membawa saya ke kantor polisi." Sarah berteriak melawan polisi wanita yang hendak memborgol tangannya.Tidak menunggu lama, selesai Antony mengaku, polisi langsung bergerak ke rumahnya. Karena dia sudah dicurigai atas pemberitahuan dari Hasa.Matanya menyala marah mencoba membuat para polisi merasa terintimidasi. Raut wajahnya menunjukkan penolakan keras atas penahanan tersebut."Anda ditahan atas kasus pembunuhan berencana?" jelas polisi yang ikut menangani kasus Hasa. Suaranya terdengar tegas dan tanpa kompromi.Sarah berusaha menutupi keterkejutannya. "Kalian pasti salah orang." Jantungnya berdebar kencang, menyadari situasinya jauh lebih serius."Tuduhannya jelas, orang yang anda suruh sudah mengakui semuanya," ujar polisi. Senyum tipis kemenangan tak lepas dari bibirnya.Sarah langsung teringat pada Antony, tangannya mengepal dikedua sisi. Dia sudah salah mempercayai orang. Pikirannya dipenuhi kekecewaan dan amarah."Silahkan koperatif,







