LOGINHasa bangkit, dia mendapati paperbag di sampingnya, isinya sepaket pakaian wanita lengkap. Dia mandi dan mengganti baju. Cukup pas di tubuhnya dan yang membuat Hasa heran, baju ini sesuai dengan seleranya. Jeans yang tidak sempit juga kaos oblong longgar, kesehariannya memang menyukai pakaian casual seperti itu.
Dama sudah menunggunya di meja yang sudah terisi oleh menu sarapan pagi. Hasa duduk menghampirinya. "Sekretarisku tidak tau jenis make up yang biasa kau gunakan," ucap Dama. "Ti- tidak apa-apa, aku-aku lebih suka seperti ini," kata Hasa. Dia merasa Dama terlihat berbeda, tidak semenakutkan yang diberitakan oleh orang-orang. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Dama. Tangannya belum menyentuh sarapan, rasa penasarannya jauh lebih tinggi setelah tau asal-usul Hasa. Hasa sempat ragu tapi tetap saja menjawab. "Aku ingin kau menikahi ku." "Kau bukan bagian dari keluarga Halyas, memangnya apa yang bisa kau berikan padaku?" Hasa menatap heran. "Kau tau kalau aku bukan anak kandung keluarga Halyas?" Dama hanya menaikkan kedua alisnya. "Perjodohan antar keluarga Huston dan Halyas terjadi dua puluh tahun yang lalu oleh para tetua, dan perlu kau tau zaman sudah berubah dan aku tidak menganggap itu serius, jadi lupakan tentang perjodohan," kata Dama tegas. Harapan Hasa langsung kandas, dia seharusnya tau diri dan mundur. Meskipun pernikahan ini bohongan tetap saja orang kaya tidak akan mau rugi. "Kalau begitu, aku minta maaf tentang kejadian malam tadi." Hasa pamit undur diri. "Kau menyerah?" Pertanyaan Tama membuat Hasa tak jadi melangkah. "Segitu saja usahamu untuk mendapatkan aku?" Hasa tidak mengerti. "Kau sudah tau kalau aku hanya anak adopsi, dan kau bilang sudah tidak tertarik dengan perjodohan itu," jawab Hasa. "Karena kau bukan bagian dari Halyas aku berpikir untuk mempertimbangkan permintaanmu." Dama menyuruh Hasa kembali duduk. "Makanlah sebelum pergi!" Hasa duduk, mengambil semangkuk makanan berbentuk bubur yang ditaburi dengan toping dari jagung. Dama sudah mulai menyantapnya, tapi Hasa masih bergeming, tangannya sedikit bergetar, dia menyendok bubur itu dan ingin memasukkannya ke dalam mulut, pergerakannya yang lambat dan kaku tak luput dari perhatian Dama. Sampai ketika sendok itu menyentuh mulutnya Hasa menjatuhkannya kembali ke dalam mangkuk. Hasa mual-mual, dia berpaling ke samping, dalam sekejap nafasnya memburu dengan bahu yang naik turun. Dama merasa Hasa seperti orang yang mengalami trauma, dia kembali menyendok bubur yang rasanya sangat tidak diragukan lagi. Isakan Hasa membuat Dama segera bangkit lalu menghampirinya. "Apa kau alergi sesuatu? Ini minumlah dulu!" Dia menyodorkan gelas lalu membiarkan Hasa meminumnya. Setelah agak tenang Hasa kembali duduk tegak. "Maaf, aku tidak terbiasa dengan makanannya." "Wah, padahal ini dibuat dengan bahan berkualitas tinggi oleh koki spesial hotel ini, bisa-bisanya kau tidak menyukainya, lalu seperti apa seleramu? Sikapmu tadi sangat menakutkan seolah makanan itu beracun." Mood Hasa langsung berantakan pagi itu. "Aku-aku terbiasa makan makanan instan," katanya. Hasa teringat saat duduk di bangku smp. Sarah memberikannya bubur nasi yang lezat. Hal itu pertama kali dilakukan Sarah setelah dia di adopsi. Hasa yang polos berpikir bahwa Sarah telah berubah dan menyayanginya, maka dengan lahap dia menyantapnya, namun setelah makanan itu habis, lehernya terasa seperti dicekik kemudian mulutnya mengeluarkan busa, Hasa diracuni. Dia dilarikan ke rumah sakit, Sarah pikir Hasa tidak akan tertolong, tapi takdir berkata lain, Hasa berhasil diselamatkan. Sejak saat itu dia tidak pernah memakan apapun selain makanan siap saji yang di dapatkannya dari luar. "Itu sebabnya tubuhmu sangat kurus, ternyata kau kurang gizi." Dama melihat sesuatu yang aneh, dia semakin penasaran dengan kehidupan seperti apa yang dijalani Hasa. "Kenapa kau berpikir untuk memintaku menikahimu?" Kembali ke topik utama. "Aku butuh bantuan mu." "Bantuan? seperti apa?" "Perempuan yang dijodohkan denganmu adalah anak kandung keluarga Halyas." "Ya, dia saudarimu." "Aku ingin membalas dendam padanya dan ibuku." "Wah, ini menarik." "Selama ini aku diperlakukan buruk oleh mereka, sampai aku di usir dari rumah, aku sadar bahwa aku hanya dimanfaatkan." "Sekarang kau sudah keluar dari rumah itu, kenapa tidak melanjutkan hidupmu?" "Ada yang ingin kurebut," kata Hasa. "Hasil jerih payahku diambil oleh mereka, tidak hanya itu, adikku juga membranding namanya dengan karyaku." "Karya, apa maksudmu guci?" Dama sudah mengetahui tentang galeri yang di isi oleh anak pemiliknya yaitu, Morena. "Tangan inilah yang menciptakan semua guci itu," kata Hasa seraya mengangkat tangannya. Kini Dama mengerti dan entah kenapa dia semakin tertarik. "Jika aku membantumu, apa yang kau tawarkan sebagai timbal baliknya?" Hasa menoleh tak percaya. "Aku akan membuatkan mu guci, dengan begitu kau bisa membuat galerimu sendiri," kata Hasa. "Idemu boleh juga. Selama ini aku tidak berpikir untuk mencoba bisnis galeri." Dama terlihat cukup tertarik membuat Hasa merasakan ada sedikit harapan. Dia membuka tablet yang ada di meja. "Apa kau menerima tawaranku?" "Setelah kuperhatikan, guci buatanmu memang menarik, harganya juga cukup tinggi, bahkan ada yang mencapai seratus ribu dolar." Hasa terkejut sontak tangannya mengambil tablet di tangan Dama dan melihat gambar yang baru saja dilihat oleh pria itu. "Sepertinya kau tidak tau harga jualnya, dari caramu melihatnya kau begitu syock." Kilat amarah memancar di mata Hasa. Selama ini Sarah selalu bilang kalau guci itu dijual murah karena masih kalah jauh dengan barang impor. "Kau merasa ditipu?" Tebakan Dama tidak salah. "Aku harus pergi menemui mereka dan menanyakannya?" Hasa ingin bergegas tapi Dama menarik tangannya spontan. Dia menggeleng. "Kau pikir mereka takut padamu? Mereka akan menganggap kau bodoh dan menertawakanmu di sana," kata Dama. Hasa melemah, air matanya kembali curah. Kenapa Sarah dan Morena setega itu padanya? Apa salahnya hingga harus terus menerima perlakuan buruk mereka. "Dari pada ke sana, lebih baik kau katakan pernikahan seperti apa yang kau inginkan?" tanya Dama. "Pernikahan kontrak." "Setelah itu apa yang akan kau dapatkan?" "Dengan begitu Morena akan sakit hati dan merasa kalah dariku. Jika Morena terluka maka yang lebih terluka lagi adalah ibunya." Wajah Hasa mengeras, menunjukkan tekadnya yang besar untuk balas dendam. Rasa sakit yang ia terima harus dibayar setimpal. "Setelah itu mereka akan membalasmu lebih kejam." "Jika kau menikahi ku, mereka akan berpikir seribu kali untuk membalas ku." Hasa menatap Dama penuh harap. "Baiklah, aku akan menyusun kontraknya, tapi sebelum itu aku harus tau batas waktunya," kata Dama yang berarti setuju. "Enam bulan," jawab Hasa tanpa ragu. Dama tampak berpikir. "Baiklah, tulis nomor hanphonemu!" Dama menyodorkan ponselnya pada Hasa. "Kupikir akan sulit mendapat persetujuan mu? Kau yakin dengan penawaran ku?" Setelah Dama yang setuju dengan mudah, kini Hasa yang berubah ragu. Dia merasa usulan pernikahan kontraknya terlalu berani dan mendadak. "Kurasa memiliki seluruh yang dihasilkan oleh tanganmu sudah cukup untuk membalas dukunganku untuk pembalasan dendammu." Senyum smirk muncul di sisi bibir Dama. Matanya menunjukkan ketertarikan pada tawaran Hasa."Kupikir kau tidak akan datang," ucap Clarissa, senyumnya surut begitu melihat ada Stephanie bersama Dama. Clarissa melambaikan tangannya ke arah sebuah pintu di ujung ruangan. "Ayo ke ruangan ku, kita bicara di sana."Dama mengamati setiap alat musik yang terpajang, didominasi oleh biola dan piano, yang lain tidak begitu banyak. Itu bukan sekedar galeri, Clarissa juga menyediakan tempat latihan, Cla Academy. Di salah satu sudut, Dama melihat koleksi biola yang tampak sangat antik."An, buatkan teh dua gelas! Yang hangat ya," perintahnya pada asistennya.An belum melangkah, matanya menangkap isyarat dari Clarissa. "Ah ya, maaf, maksudku hanya aku dan Dama. Kami perlu bicara pribadi. Stephanie, bisakah anda menunggu di luar sebentar?" Clarissa menatap Stephanie dengan senyum yang dipaksakan.Sebelum beranjak, Stephanie meminta persetujuan Dama dengan pandangan mata, Dama mengangguk tipis. Kini tinggal mereka berdua di dalam ruangan yang beraroma kayu cendana."Nona Stephanie belu
Suasana di lantai atas terasa memanas. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar menaiki tangga."Nirin, ada apa ini? Hasa, kau kenapa ada di sini?" Rupanya Don sudah kembali ke atas. Ekspresi bingung dan sedikit terkejut terpancar jelas di wajahnya melihat dua wanita itu.Nirin memalingkan wajahnya, raut mukanya masih menunjukkan kemarahan yang membekas pada Don. Sementara itu, Hasa terlihat lebih tenang, namun tatapannya serius saat menatap Don."Jangan tinggalkan dia di tempat ekstrem begini." Setelah mengucapkan kalimat dingin itu, Hasa segera berbalik. Niatnya untuk mencari udara segar di luar sirna sudah. Dia turun ke bawah dan kembali ke area pesta. Anehnya, Dama sudah tidak terlihat di sana.Hasa memutuskan untuk melangkah keluar. Ternyata, Dama sedang berdiri di dekat mobilnya, asyik bercerita dengan wanita yang sempat dilihat oleh Hasa tadi. Begitu menyadari kehadiran Hasa, Dama langsung sigap menghampirinya."Kenapa lama sekali? Aku pikir kau sudah pulang?" sapa Dama, na
Di tengah keramaian acara, Nirin mulai dilanda gelisah. Waktu berlalu terasa lambat dan mengkhawatirkan. Don, kekasihnya, pamit ke toilet, namun kepergiannya terasa sangat tidak wajar, melebihi batas normal seseorang buang air. Kekhawatiran mencekik Nirin, mendorongnya untuk menyusul. Namun, baru saja ia beranjak, langkahnya terhenti. Dari arah berlawanan, ia berpapasan dengan seorang wanita yang familier—Hasa.Hasa melangkah tanpa tujuan pasti, pikirannya melayang-layang. Ada perasaan aneh, semacam sensasi dejavu yang kuat saat ia bersirobok dengan gadis itu. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi saat ia berjalan, ingatan itu menyeruak dengan kejam. Hasa tersentak. Dia ingat sekarang. Wanita ini! Inilah gadis yang pernah menghampiri mereka saat ia masih bersama Don. Lebih menyakitkan lagi, Hasa ingat jelas gadis inilah yang duduk di mobil Don saat lelaki itu memutuskan hubungan mereka, mengakhiri kisah mereka dengan dingin.Tak ingin tenggelam dalam pusaran kepahitan masa lalu, Hasa meng
Suasana di kediaman Huston terasa mencekam, diselimuti bayangan kekhawatiran yang tebal. "Kita tidak butuh waktu lagi, sebaiknya nikahkan Dama dan Hasa secepatnya," ujar Rania, suaranya mengandung urgensi yang tak terbantahkan. Kejadian mengerikan yang hampir merenggut nyawa Hasa sudah ia ketahui secara rinci."Kenapa terburu-buru, gadis itu baru saja sembuh. Biarkan mereka saling mengenal lebih jauh. Lagi pula kau sendiri yang meragukan perasaan wanita itu terhadap Dama," balas Nenek Mori, nadanya lebih tenang namun penuh pertanyaan. Ia memandang Rania dengan sorot mata yang mencari penjelasan."Hanya dengan cara itu wanita itu terlindungi," jawab Rania singkat, raut wajahnya menunjukkan keputusan yang sulit.Nenek Mori mengerutkan kening. "Maksudmu? Apa terjadi sesuatu dengan Hasa?" Ia belum mendengar detail mengerikan di balik kecelakaan yang menimpa Hasa.Rania menarik napas perlahan. "Ibunya Sarah adalah dalang di baliknya," ia menyebut nama itu dengan ketidakpercayaan dan kekesa
Dua orang bertubuh besar itu saling pandang, lalu serempak mengalihkan fokus mereka ke daun pintu kamar yang tertutup rapat. Mereka mulai mengatur jarak memundurkan kami, mengambil ancang-ancang penuh tekad untuk mendobraknya.Brak..Bunyi benturan keras terdengar, namun daun pintu itu masih kokoh pada tempatnya. Wajah mereka menunjukkan sedikit kekesalan. Gagal, mereka tidak menyerah. Mereka mencoba lagi secara bergantian, menguras tenaga."Pencuri, pencuri..."Teriakan nyaring itu memecah kesunyian lingkungan. Di lingkungan kecil dengan rumah-rumah yang jaraknya cukup rapat, kegaduhan yang mereka timbulkan menarik perhatian. Para tetangga yang curiga melihat dua orang asing yang tampak mencurigakan itu langsung berteriak waspada."Ayo lari."Kedua orang itu sontak menghentikan usaha mereka. Mereka memilih untuk lari ke arah pintu belakang, menyelinap dengan cepat melewati gang-gang kecil. Mereka bergerak begitu gesit dan lincah, sehingga warga yang tadi berteriak-teriak tidak
"Apa-apaan ini? Kalian tidak berhak membawa saya ke kantor polisi." Sarah berteriak melawan polisi wanita yang hendak memborgol tangannya.Tidak menunggu lama, selesai Antony mengaku, polisi langsung bergerak ke rumahnya. Karena dia sudah dicurigai atas pemberitahuan dari Hasa.Matanya menyala marah mencoba membuat para polisi merasa terintimidasi. Raut wajahnya menunjukkan penolakan keras atas penahanan tersebut."Anda ditahan atas kasus pembunuhan berencana?" jelas polisi yang ikut menangani kasus Hasa. Suaranya terdengar tegas dan tanpa kompromi.Sarah berusaha menutupi keterkejutannya. "Kalian pasti salah orang." Jantungnya berdebar kencang, menyadari situasinya jauh lebih serius."Tuduhannya jelas, orang yang anda suruh sudah mengakui semuanya," ujar polisi. Senyum tipis kemenangan tak lepas dari bibirnya.Sarah langsung teringat pada Antony, tangannya mengepal dikedua sisi. Dia sudah salah mempercayai orang. Pikirannya dipenuhi kekecewaan dan amarah."Silahkan koperatif,







