Share

Bab 3 : Menerima atau Membenci?

Rika keluar dari rumah orang tuanya dengan langkah gontai. Ia merasa sedih dan putus asa. Setelah ini ia harus pergi ke mana? Ia tak yakin sanak saudaranya ada yang mau menampungnya, apalagi setelah mengetahui aibnya. Begitu pula dengan teman-temannya, ia yakin mereka tidak ingin terseret dengan permasalahan yang sedang terjadi padanya. 

Jujur Rika sangat menyesal telah bermain api dengan Yuda. Namun sekarang penyesalannya itu tidak ada gunanya. Dharma dan orang tuanya sudah mengusirnya. Mungkin jika dirinya sendiri tidak masalah, tetapi saat ini ia sedang mengandung. Mencari pekerjaan pun sepertinya akan sulit karena pastinya perusahaan tidak akan menerima karyawan yang sedang hamil, terlebih sekarang usia kandungannya sudah memasuki trimester akhir. 

"Seandainya aku enggak nurutin ego aku, mungkin semuanya akan baik-baik aja. Aku enggak akan berpisah dari mas Dharma," gumam Rika.

Rika tampak mengusap perut buncitnya. "Maafin Mama, Nak. Gara-gara Mama, kamu harus kena dampaknya. Padahal kamu enggak bersalah."

Air mata kembali membasahi pipi Rika. Ia benar-benar merasa berdosa kepada calon anaknya. Ia memikirkan bagaimana nasib anaknya ke depannya? Apakah ia akan mendapat kebencian dari orang-orang? Tidak, Rika tidak akan membiarkan itu terjadi. Sebisa mungkin ia akan melindungi dan membahagiakan anaknya kelak.

"Nak, Mama janji. Walaupun kita hidup berdua, kita pasti akan hidup dengan bahagia," gumam Rika.

Rika mengusap air matanya, lalu kembali menegakkan tubuhnya. Namun sedetik kemudian ia merasakan tubuhnya menegang saat mendapati seorang laki-laki yang menjadi sumber kekacauan dalam hidupnya saat ini berdiri tepat di hadapannya.

"M-mas Yuda ...," lirih Rika.

Yuda tersenyum tipis seraya menatap sendu ke arah Rika, wanita yang sudah ia hancurkan kehidupannya. Perlahan ia melangkahkan tungkainya mendekati wanita hamil itu.

"Maaf," cicit Yuda.

Rika menatap Yuda dengan tajam. Ia ingin sekali memaki laki-laki di hadapannya itu. Gara-gara dia, hidupnya menjadi berantakan. Namun mengingat kembali ini semua bukan murni kesalahan Yuda, Rika pun hanya bisa menahan makian itu hingga rongga dadanya terasa sesak.

"Maafin aku, Rik. Aku memang laki-laki brengsek. Andaikan aja aku enggak kembali lagi ke kehidupan kamu, kamu--" Ucapan Yuda terhenti karena Rika mengabaikan perkataannya. Wanita hamil itu berjalan melewatinya begitu saja, seolah menganggapnya tak kasat mata.

"Rika ...," lirih Yuda.

Rika menulikan pendengarannya. Saat ini ia tidak ingin mendengar kata maaf atau apa pun itu yang keluar dari mulut Yuda. 

Langkah Rika kembali terhenti saat tangannya ada yang mencekalnya. Tanpa menoleh ke belakang ia tahu siapa pelakunya. 

"Rika, ada apa dengan kamu? Kenapa--" Ucapan Yuda kembali terhenti karena tiba-tiba terdengar isak tangis keluar dari mulut Rika. Cengkeramannya ia kendurkan dan saat itu juga Rika mendudukkan dirinya di pinggir trotoar. Wanita itu menangis sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dan pemandangan itu membuat rongga dadanya semakin sesak. Tidak dulu, tidak sekarang ia sama-sama telah mengecewakan Rika. Benar kata orang-orang, ia memang tidak pantas bersanding dengan Rika. 

"Rik--"

"Hidup aku udah hancur, Mas. Mas Dharma udah ceraiin aku dan sekarang orang tua aku juga udah usir aku! Sekarang, ke mana aku harus pergi?! Semuanya udah benci aku!" jerit Rika disertai isak tangis yang terdengar sangat pilu.

Tanpa sadar air mata kini sudah menetes di pipi Yuda. Laki-laki itu ikut hancur melihat wanita yang sangat dicintainya itu hancur. Andaikan saja ia bisa mengulang waktu, ia tidak akan kembali mendekati Rika yang sudah berstatuskan menjadi istri Dharma. Harusnya sejak awal ia sadar diri. Walaupun niat awalnya mendekati Rika karena ingin berteman dan menjalin silaturahmi saja, ternyata hatinya tidak bisa dibohongi. Bahkan ia tamak, menginginkan Rika menjadi miliknya. 

Yuda menarik tubuh Rika ke dalam dekapannya seraya merapalkan kata maaf. Kata maaf yang ia ucapkan memang tidak ada artinya karena tidak bisa mengembalikan semuanya yang sudah terjadi. 

"Sekarang aku sendiri, Mas. Aku enggak tahu lagi akan pergi ke mana ...," lirih Rika. 

Yuda menangkup kedua pipi Rika. Kedua manik hitam itu pun bertemu. Yuda mengusap lembut kedua pipi Rika. Tidak, Rika tidak sendiri, ada ia yang akan selalu menemaninya.

"Kamu enggak sendiri, Rika. Kamu masih ada aku. Aku akan bertanggung jawab sama kehidupan kamu dan bayi ini," ucap Yuda dengan tulus.

Rika terdiam. Ia mencoba mencari celah kebohongan atau keraguan dari manik hitam legam itu. Namun ia tidak menemukannya. Yuda terlihat sangat serius dengan perkataannya. Apakah ia ikut dengan Yuda saja? 

"Kamu mau 'kan, memulai kehidupan baru sama aku? Aku janji akan bahagiakan kamu dan calon anak kamu," ucap Yuda.

Rika menggigit bibir bagian bawahnya. Ia ragu. Di satu sisi ia senang karena Yuda tidak ikut membuangnya seperti Dharma dan orang tuanya, laki-laki itu menawarkan kehidupan baru dan berusaha membahagiakannya. Namun di sisi lain ia tidak ingin Yuda terdampak atas permasalahannya ini, karena ia yakin cepat atau lambat orang-orang yang kenal dengannya akan tahu tentang perceraiannya dan menyalahkan Yuda sebagai perusak rumah tangga orang lain.

"Aku enggak maksa kamu buat jawab sekarang, tapi yang terpenting sekarang ayo ikut aku. Ini udah malah, enggak baik angin malam buat ibu hamil kayak kamu. Dan aku tebak kamu pasti lapar 'kan?" ajak Yuda.

Rika tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya. Tanpa ragu ia menerima uluran tangan Yuda. Hanya Yuda yang bisa ia mintai tolong saat ini.

***

Terhitung sudah tiga hari Rika tinggal di rumah sederhana milik Yuda. Laki-laki itu benar menepati janjinya. Yuda memperlakukannya sangat baik, bahkan terhadap bayi yang tengah di kandungnya. Bukan hanya Yuda saja yang baik, ibu dan adik perempuan Yuda juga memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan mereka tidak mempermasalahkan apa yang terjadi padanya dan Yuda, meskipun ia tahu kedua perempuan itu kecewa setelah mengetahui kenyataan ini.

"Mas! Sejak kapan kamu ada di sini?" pekik Rika yang terkejut mendapati Yuda duduk di sampingnya.

"Dari tadi. Makannya jangan ngelamun terus. Ngelamunin apa, sih? Masih kepikiran masalah Dharma sama orang tua kamu?" balas Yuda.

Rika mengangguk, namun sedetik kemudian ia menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat helaan napas keluar dari mulut Yuda.

"Maaf--"

"Enggak, Mas. Jangan minta maaf lagi. Nasi udah menjadi bubur. Dan kita berdua sama-sama salah," potong Rika.

Yuda mengangguk, meskipun dalam hatinya ia terus merafalkan kata maaf untuk Rika.

"Oh iya, tadi kata Dena kamu mau soto Betawi, ya?" Yuda mencoba mengalihkan topik pembicaraan agar Rika tidak bersedih lagi.

"Iya, tapi pedagangnya belum buka pas aku sama Dena ke sana," balas Rika.

"Tadi pas aku pulang kerja lapaknya udah buka kok," ucap Yuda.

"Masa?" Rika terlihat antusias.

Yuda menganggukkan kepalanya. "Kamu mau ke sana? Kalau mau ayo, Mas antar."

"Iya, Mas. Dari tadi dedek bayinya mau makan soto Betawi," jawab Rika.

Setelah itu Rika dan Yuda kembali masuk ke dalam rumah, bersiap-siap untuk memenuhi ngidamnya Rika. Dan setelah mereka siap, mereka berdua pun pergi ke lapak soto Betawi langganan Yuda dan adiknya yang letaknya tak terlalu jauh dari kediaman Yuda.

Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai ke tempat jualan soto Betawi Engkong Rojak. 

Namun sesampainya di sana, wajah antusias Rika berubah menjadi marah ketika melihat sepasang hawa dan adam yang sangat dikenalinya itu tengah tertawa. Tanpa ba-bi-bu, Rika menghampiri kedua orang itu, meninggalkan Yuda yang kebingungan dengan perubahan sikapnya.

"Mas Dharma!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status