Matanya menatap seluruh tubuh sang anak yang sebagian diperban dan ditutupi oleh selimut dari rumah sakit. Tangan Rima makin bergetar, ketika dia ingin menyentuh anaknya.Tangis Rima terdengar pilu, sesekali dia memukul dadanya yang terasa sangat sesak. Rima mencoba melegakannya dengan cara memukulnya. Dengan tangan yang masih gemetar, Rima mengambil ponsel miliknya dan menghubungi seseorang. Dia tidak kuat, jika harus menanggungnya seorang diri, seperti keinginanya.***[Halo, Mas. Kapan kamu pulang?] Tanya Rima, saat panggilannya tersambung.[Ada apa, sayang? Suaramu kok aneh, oya, aku sudah melihat hadiah terbaik darimu. Terima kasih sudah memberikan hadiah istimewa, ketika aku harus menghadapi hari yang sangat melelahkan.]James benar-benar tidak memberikan kesempatan pada Rima untuk menjelaskan apa yang terjadi saat ini.Rima tidak menjawab apa yang ditanya oleh James, dia langsung memutuskan panggilan telepon begitu saja. Rima duduk di lantai dan menangis tersedu-sedu, tanpa b
Bu Rina dan Bu Halimah sudah sampai di rumah sakit dan langsung menuju ke ruangan yang telah di arahkan oleh suster jaga dan polisi yang kebetulan ada di dekat meja sang suster."Ada apa sebenarnya, Pak?" tanya Bu Halimah khawatir.kegelisahan dan kebingungan dari dua wanita paru baya itu sangat terlihat dengan jelas di wajah mereka. Tentu saja, ini membuat polisi yang mengantarkan mereka menjadi iba."Mari," ajak polisi tersebut. "Ibu akan mengerti setelah ada di alam," sahutnya.Pintu ruang rawat dibuka, dan nampak sesorang sedang terbaring tidak berdaya di atas ranjang dengan berbagai alat medis di tubuhnya. Bu Halima dan Bu Rina bergegas mendekat, tapi hanya bisa memandang tanpa berani menyentuh."Rima," panggil Bu Halimah ragu.Namun, Bu Rina memajukan langkanya dengan tangan terulur yang gemetaran. "Sherly," pekiknya.Bu Rina dapat mengenali remaja yang berada di ranjang itu, meskipun wajahnya babak belur. Dia mendekati cucunya yang tidak berdaya.Sedangkan Bu Halimah diam ter
Bu Halimah memandang anaknya dengan tatapan iba, bagaimana dia akan bertanya tentang kehamilan anaknya disituasi berat begini. [Rima baik-baik saja. kamu kapan bisa pulang, Nak?] [Pekerjaan sudah selesai lebih cepat, Bu. Sekarang saya seang dalam perjalanan, perasaan saya tidak enak saat ini, jadi memutuskan untuk langsung pulang. oya, Bu. Boleh saya bicara dengan Rima?] Permintaan James membuat wanita paruh baya itu dilema, meski dia senang mendengar, jika James akan segera pulang. Namun, Bu Halimah bingung harus menyampaikan permintaan menantunya, saat melihat sang anak masih termenung dalam kesedihan. [Lebih baik kamu langsung pulang, Rima lagi sedikit mual-mual. kamu hati-hati, ya, di jalan. Banyak orang yang bergantung padamu, termasuk Rima.] Bu Halimah berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya, berharap semua kan baik-baik saja. Setelah sedikit berbincang, Bu Halimah mengakhiri panggilan telepon. Setitik airmata, turun perlahan di wajahnya yang mulai dipenuhi dengan keriput.
Bu Halimah mengambil tangan besannya, dan dia genggam dengan erat. "Saya juga minta maaf, Besan. Saya tidak bisa memposisikan diri," balas Bu Halimah merendah."Nak, kamu yang menemui dokter, ya," pinta Bu Rina pada sang menantu.Rima mengangguk patuh, dan mengikuti suster menuju ruang dokter, tanpa sepatah kata."Silahkan, Bu," ujar suster, mempersilahkan Rima untuk masuk ke dalam ruangan dokter.Rima hanya mengangguk sebagai ucapan terima kasih. "Permisi, Dok. Ini Ibu dari Sherly," ujar sang suster."Silahkan duduk, Bu." Dokter meminta Rima untuk duduk di kursi yang ada di depannya. "Apakah ibu sendirian?" tanya dokter kemudian.Rima mengangguk, dan tersenyum miris. Bukan menampakan kebahagian, tapi kepedihan yang mendalam. Setelah menarik napas panjang, Rima mulai bertanya."Ada apa dengan anak saya, Dok. Apakah ada hal yang sangat patal, sehingga banyak alat medis di tubuhnya?" tanya Rima.Kali ini dokter yang menarik napas panjang dan berat, lalu menghembuskannya secara perlahan
"Malanjutkan yang tadi, Bu Rima. Ibu sebaiknya membuat laporan resmi kepada Pak Irawan, agar kasus anak ibu bisa segera ditangani," saran dari dokter. "Sherly mendapatkan perlakuan serius dari para tersangka, dan saat ini memerlukan perhatian juga penanganan yang sangat seriu. Ibu pun harus didampingi suami atau keluarga yang lainnya," imbuh dokter.Rima menarik napas panjang, dan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Apa dokter yakin, anak saya diperkosa?" tanya Rima dengan nada serius."Ekhm!" sang dokter berdehem.Tidak langsung menjawab, dokter yang ada di depan Rima membenarkan posisi duduknya. Melipat tangannya, dan terbatuk ."Jika diperkosa, maka yang melakukannya hanya satu atau dua kali saja. Akan tetapi, kemaluan anak ibu sobek dan ...," kembali sang dokter berdehem. "Anak ibu dirudapaksa dan di aniaya," lanjuta sang dokter.Mata Rima melotot, sendi di kakinya terasa sangat lemah, bahkan tubuhnya tidak merespon ketika dia ingin bergerak. Dunia Rima runtuh seketika, padahal dia
"Benaran, Rima hamil?" tanya Bu Rina ulang.Bu Halimah mengangguk, sedangkan Bu Rina sangat bahagia, terliat dari matanya yang berbinar dan wajahnya yang berseri-seri. Sejenak dia melupakan kepedihan cucunya yang lain."Tapi situasi ini tidak mendukung sama sekali!" lirihnya dengan kecewa, bukan karena kehamilan putrinya, tapi karena situasi yang sangat fatal untuk keluarga besar mereka.Bu Rina langsung memeluk besannya, harapan mereka berdua sama. Hidup tenang bersama anak dan cucu-cucu mereka.Di tengah kabar bahagia dan duka, james datang dengan tergesa-gesa dan langsung menuju kamar anaknya, Sherly."Bu," sapa James, ketika sampai di dalam ruangan anaknya dan melihat ibu serta mertuanya saling berpelukan.Bu Hlimah dan Bu Rina mengurai pelukan merekan dan menatap ke arah james yang terlihat kelelahan."Ada apa, Bu. Setelah ibu telepon, aku langsung pulang dan beruntungya ada penunpang yang membatalkan tiket pesawatnya." James berkisah."Ibu juga belum tahu apa-apa, Nak. Tadi Rim
Setelah puas melapiaskan kekesalan dan ketidakberdayaannya, james menyusuri lorong rumah sakit untuk menemui suster jaga untuk mengetahui ada apa dirinya tadi di telepon. Dengan langkah gontai, James sampai di meja suster jaga dan segera menanyakan apa yang ingin dia ketahui. setelah mendapat informasi tentang keadaan Rima, James bergegas menuju kamar rawat sang istri. Saat ini dia inin mengutamakan sang istri dibandingkan bertemu dengan dokter yang menunggu kedatangannya.James menarik napas panjang, saat masuk ke dalam ruangan. Menatap punggung istrinya yang nampak bergetar, sesaat James termenung. Suara isakan Rima terdengar lirih, seperti seseorang sedang meratapi nasibnya yang malang. James berjalan mendekati ranjang, dan langsung memeluk tubuh Rima yang nampak kurus. Dengan lembut, James mengecup kening sang istrinya yang berkeringat."Ada apa sayang?" bisik James lirih.Mendengar suara James, Rima malah makin terisak."Ma--maaf, Mas. Maafkan, aku. Maaf!" ujarnya berulang kali
"Bisa, Pak!" jawab James tegas. "Lebih baik, kita berbicara di luar saja. Istri saya butuh istirahat," imbuh James. James merasa tidak nyaman, ketika lelaki yang ada di depannya memandang Rima yang sedang tersedu. James dapat menilai pandangan lelaki itu, pada istrinya bukanlah pandangan yang biasa. Lelaki itu langsung menatap ke arah James, setelah dia terpergok memandang Rima yang sedang terbaring. Dengan berdeham, dia mencoba menormalkan rasa yang bergejolak dalam hatinya, "Di sini saja, Mas. Aku ingin mendengar kebenaran yang terjadi, Sherly juga anakku!" pinta Rima dengan menarik tangan James, yang dilepas oleh suaminya. James mengaangguk dan mengiyakan pinta sang istri yang ingin tahu kebenaran tentang anak mereka. Mengesampingkan rasa curiganya pada lelaki yang ada di depannya, James juga mengkhawatirkan keadaan istrinya yang terlihat sangat drop. Apalagi, Rima masih sangat syok, karena kehilangan anak dalam rahimnya dan juga anak sambungnya yang sedang terbaring tidak berd