Sri berencana membawa Lala keluar dari rumah sakit dengan aman, kesibukan Fandi pada hidup barunya membuat lelaki itu melupakan tujuanya untuk sesaat, dan itu membuat Sri segera mengambil keputusannya."Aku akan pulang ke rumah bapak." Sei bicara pada suaminya.Satfia meletakkan secangkir teh di tangan dan menatap lekat pada sang istri."Kerumah bapak? sekarang? jangan membuat masalah baru sayang."Sri menatap dengan tajam. "Aku tak sedang membuat masalah, tapu rumah bapak sekarang adalah yang paling aman."Sri bicara tak kalah serius, setelah lama dia berpikir sendiri, kondisi lala dan keadaan tak bisa memaksanya pergi jauh dari rumah sakit."Aku sudah temukan tepat yang baru, sebuah apartemen di Surabaya, dekat dengan rumah sakit dan fasilitas lain, aku kira kita bisa kesana."Satria kembali memberi tawaran.Sebenarnya, ini bukan hanya tentang tempat tinggal, tapi juga rumah yang bisa di tempati tanpa gangguan Fandi dan semua orangnya.Sri menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku sudah
Yuan tak dapat berbuat banyak, amarah Tuan Lee sudah membuatnya dalam bahaya, dia bahkan tak lagi punya kendali pada semua usahanya, hartanya bahkan dirinya sendiri."Air... beri aku air!" Iya berucap lirih, sejak semalam dirinya tak mendapatkan minum dan saat sebuah cawan kecil penuh air di letakkan dekat pintu selnya, Yuan merangkak segera meminum air itu."Lagi, beri lagi! Hey mana kemari kan air itu!" Ucapnya merasa air yang baru saja dia teguk belum menghilangkan rasa dahaganya."satu gelas, hanya itu yang kamu dapat! Kalu lihat di sana, mereka mengawasi kita!" Ucap penjaga lelaki itu lalu pergi begitu saja."Aji*ng! Aku bukan hewan peliharaan tol*l, aku juga manusia!" Umpatnya kesal, membanting cawan kosong di tangannya.segera dia merangkak dan duduk bersandar pada dinding sel yang dingin, melirik di mana kamera itu di tunjuk tadi, kamera pengawas yang tak hanya melihatnya di dalam, tapi juga di luar."Kalian semua memang binatang! aku sudah memintaaa, bahkan bersujud untuk men
Yuan tak dapat berbuat banyak, amarah Tuan Lee sudah membuatnya dalam bahaya, dia bahkan tak lagi punya kendali pada semua usahanya, hartanya bahkan dirinya sendiri."Air... beri aku air!" Iya berucap lirih, sejak semalam dirinya tak mendapatkan minum dan saat sebuah cawan kecil penuh air di letakkan dekat pintu selnya, Yuan merangkak segera meminum air itu."Lagi, beri lagi! Hey mana kemari kan air itu!" Ucapnya merasa air yang baru saja dia teguk belum menghilangkan rasa dahaganya."satu gelas, hanya itu yang kamu dapat! Kalu lihat di sana, mereka mengawasi kita!" Ucap penjaga lelaki itu lalu pergi begitu saja."Aji*ng! Aku bukan hewan peliharaan tol*l, aku juga manusia!" Umpatnya kesal, membanting cawan kosong di tangannya.segera dia merangkak dan duduk bersandar pada dinding sel yang dingin, melirik di mana kamera itu di tunjuk tadi, kamera pengawas yang tak hanya melihatnya di dalam, tapi juga di luar."Kalian semua memang binatang! aku sudah memintaaa, bahkan bersujud untuk men
Sri hanya bisa menatap Lala yang terpaku di atas ranjangnya, gadis itu baru saja terbangun dari tidur dan belum menyapa dirinya. setelah kepindaha mereka ke rumah kastil, Sri selalu verusaha menemani hari-hari sang putri. Melihat wajah sang anak yang polos, Sri selalu berharap ada sebuah keajaiban menuntun nya kembali pada kondisi Lala yang ceria seperti dahulu."Kenapa kakiku nggak bisa gerak?" Lirih gadis kecil itu bicara, Sri segera tersadar dari lamunan, menyadari Lala terbangun dengan ingatan yang kembali hilang, seakan sesuatu mencubit hatinya."Kaki Lala kan sedang sakit."Gadis kecil itu menatap ke arah ibunya. "tante siapa? kenapa ada di sini?"Sri terdiam menahan nyeri di dada, bahkan putrinya sendiri selalu saja bisa lupa pada dirinya.Dengan senyum hangat dan berusaha tegar, Sri menatap wajah kecil Lala. "Ini mama, mama Lala, apa Lala tidak ingat?." Bisiknya lembut dan mengusap wajah halus sang anak.Lala hanya diam menatap dua manik mata ibunya, setelah itu dia diam melih
Semakin hari kesehatan Lala semakin menurun, bahkan hari ini gadis kecil itu sama sekali tak ingat siapapun."Apa akan seperti ini terus?" Sri bertanya pada Satria, hatinya selalu terluka setiap kali Lala tak mengenalinya lagi."Ya, kita harus terus berdoa'a untuk Lala, kamu sudah mendapat penjelasan dari dokter dan beginilah keadaan Lala sekarang. Kita harus kuat sayang, Lala sedang berjuang."Sri tertunduk menahan nyeri, beberapa minggu dirinya sama sekali tak keluar dari rumah, bahkan nyaris meninggalkan semua urusnnya hanya untuk bisa menemani Lala , mungkinkah salah bila dirinya masih berharap Lala kembali sembuh."Aku dengar Fandi akan menikah." Satria memberi tahu Sri tentang kabar yang dia dengar.Sri menatap ke arah suaminya, mencari tau apakah kabar itu benar adanya."Apa yang ku dengar ini tak salah?""Tak ada yang salah, Aku mendengar memang dia akan menikah.".Kedua tangan Sri mengepal penuh amarah. "Aku tak perduli bagaimana dia akan menjalani hidup atau dengan siapa dia
Sri terdiam, dia tau gadis yang di maksud Aini adalah Lala putrinya. Aini selalu merasa ruh Lala masih berada di dekatnya, menghantui dirinya dan membuat perhitungan dengan semua yang dia lakukan, padahal tak mungkin ada hantu Lala, sementara gadis itu masih hidup meski dalam keadaan sakit."Mutia nggak suka tinggal sama Mama." Ucap Gadis itu pelan.Sri tersenyum, membelai rambut panjang Mutia lalu menatap manik mata nya yang bening."Mutia ingin pergi dari mama?" Tanya Sri, memastikan gadis itu memang tak ingin berada di sisi ibunya lagi.Dengan cepat Mutia meng-iyakan kalimat Sri, bahkan tangan kecilnya menggenggam ujung baju Sri sebagai pertanda bahwa dirinya benar-benar ingin pergi dari sang ibu."Tante akan pikirkan bagaimana membawa Mutia pergi, tapi bagaimana jika hari ini kita coba dulu jauh dari mama.Mutia terdiam, dia belum mengerti apa maksud Sri padanya."Jadi kita akan pergi jauh dari mamamu, hanya dua hari, jika Mutia bisa tante akan bilang ke mama nanti, tapu jika Muti
Fandi memarkirkan mobilnya di depan rumah Aini, memperhatikan ke dalam pelataran rumah yang nampak sunyi. Dia lalu mengambil ponselnyandan menghubungi wanita itu.tut... tut... tut...Nada sambung terdengar, namun tak juga ada jawaban.Fandi turun dari mobilnya, ia masuk begitu saja setelah lama menelepon Aini dan tak mendapat jawaban."Kenapa pagarnya tak di kunci?" Fandi bergumam sendiri dan melangkah masuk ke pelataran rumah. Mobil Aini berada di pelataran rumahnya, namun hingga dirinya sampai ke ruang tengah, Aini tak juga terlihat."Aini!" Dia memanggil lagi, memutar seisi ruang bawah lalu pandangannya tertuju ke arah tangga."Apa dia ada di atas?" Fandi bertanya sendiri, kemudian dia mengambil langkah naik ke lantai dua, setelah memastikan tak ada siapapun yang bisa dia temui di bawah."Aini!" Teriaknya lagi, namun hanya suara air yang dia dengar dari sebuah ruangan."Aini!" Fandi mengetuk kamar itu dan lagi-lagi tak ada jawaban.Perlahan Fandi membuka pintu kamar dan terkejut
Fandi memakai kembali bajunya, Aini telah membuat dirinya lupa akan segala yang seharusnya dia urus."Maaf jika akhir nya seperti ini." Ucap Fandi sedikit menyesal, entah kenapa dia jadi lupa diri, bahkan membiarkan hawa nafsu menguasainya."Lupakan, di matamu aku memang wanita murahan kan?" Aini bicara seolah menyesali apa yang sudah terjadi."Aku tak pernah menyebutmu begitu, lagi pula untuk apa aku berpikir kau murahan, itu tak akan memberiku keuntungan." "Bohong! Bukankah kau menikmatinya?"Fandi memastikan bajunya kembali rapi, ia berdiri di depan kaca sebentar lalu berjalan keluar dari kamar wanita itu."Tentu saja, lelaki manapun akan menikmatinya sayang.""Sayang? seperti apa aku di matamu?""Entahlah, kau hanyalah wanita biasa dan hari ini aku tau kau hebat di atas ranjang."Kalimat dari Fandi seolah menghujam harga diri Aini."Jangn tersinggung, ini pujian Aini. Bukankah tuan Yuan juga tergila-gila pada dirimu?" Fandi menaikkan kedua alisnya, sementara Aini masih terdiam."