"Mutia mau tinggal di sini?" Sri kembali bertanya pada gadis kecil itu, ada rasa marah dalam dirinya setiap kali melihat Mutia, wajahnya selalu mengingatkan Sri pada Aini, namun gadis itu hanyalah anak kecil yang tak bisa di salah kan atas perbuatan mamanya."Iya mau. Tapi tante akan sering kesini?""Ya, hari libur tante akan datang. jika Mutia ingin pulang, bilang tante Raya, dia akan antar Mutia ke mama.".Dengan cepat Mutia menggelengkan kepalanya. "Tidak tante, Mutia nggak mau ke rumah mama lagi."Gadis itu perlahan membuka lengan dan perutnya, Sri terkejut saat mendapati luka lebam di semua sisi, dia bahkan memeriksa punggung Mutia yang penuh memar lama dan baru."Apa ini? apa yang sudah mamamu lakukan Mutia?" Sri menatap manik mata gadis kecil itu."Mama marah dan pukul Mutia.""Bagaiamana bisa mamamu marah dan memukulmu begini?" Sri benar-benar kehilangan kata, tak terbayang olehnya apa yang di alami Mutia ternyata begitu berat."Kemarilah sayang, biarkan tante memeluk mu." Uca
Sri membuka pintu dengan gemetar, gadis kesayangannya duduk di atas kursi roda dan menatapnya dengan senyuman."Mama... " Ucapnya lirih."Hay sayang." Sri melepaskan tas nya di lantai, berlari kecil memeluk sang putri.Bagi Sri waktunya dan Lala begitu berharga, terlebih panggilan "mama" itu keluar dari bibir Lala, entah esok atau sedetik kemudian gadis itu masih ingat dengannya atau tidak."Lala ingat mama?" Sri bertanya tanpa bisa membendung rasa bahagianya."Apa Lala selalu lupa sama mama? kenapa mama menangis?" Lala bertanya dengan polos, dia ikut sedih bila tau dirinya ternyata menyakiti mamanya sendiri."Oh sayangku, bukan begitu sayang, mama hanya senang Lala sudah lebih baik.""Lala tau mama berbohong, Lala lupa mama kan, iya kan ma?"Sri menggeleng dengan cepat. " Bukan, Lala hanya sering tidur karena obat, jadi mama senang Lala bisa duduk di sini dan tersenyum pada mama, mama kangen sama Lala.""Apa begitu? apakah begitu pa?"Sri menoleh ke belakang, Satria sudah berdiri di
"Ayo kita makan bersama!" Sri berseru, membawa semangkuk sup dengan iga sapi yang baunya menyebar ke ruangan atas.Lala tersenyum saat Satria membawanya keluar kamar, mereka memang tak bisa makan di bawah, Lala masih suka general setiap kali masuk dalam ruang kecil yang tertutup seperti lif rumah mereka, jadilah Satria mengatur segalanya di ruang tengah lantai dua.Arman bahkan tak bisa menyembunyikan rasa hatinya, melihat keluarga kecil sang nyonya kini begitu lengkap dengan kebahagiaan."Mama buat bubur ayam kesukaan Lala."Gadis itu tersenyum senang melihat semangkuk bubur yang dia rasa lama tak di jumpai."Man, kenapa hanya berdiri di situ, ayo makan kemari!" Satria memanggil Arman yang berdiri menatap ke arah meja.Arman terkejut saat sang tuan memanggilnya, merasa canggung dan tak enak hati dia mundur satu langkah "Terimakasih tuan, tapi tidak usah tuan, saya_""Jangan menolak man, nanti tuan besar marah, duduklah kemari dan kita makan bersama, kalian juga kemari, ayo kita makan
Mutia masih tak bisa memejamkan mata, hingga malam semakin larut, gadis kecil itu meringkuk dengan takut di bawah selimutnya yang hangat. Untuk pertama kalinya ia jauh dari sang ibu, meski ada rasa senang tak lagi merasa tertekan, satu sisi hatinya juga takut bila mamanya menggamuk atau menyakiti adiknya yang masih kecil. Bulir bening keluar dari manik matanya yang bulat, selama ini dia simpan semua sendiri, bahkan saat sang ibu terus memintanya menyakiti Lala dulu, Mutia merasa Sri tak akan membantunya.Gadis itu kemudian teringat beberapa waktu lalu saat hujan deras menguyur sekolahnya yang pulang lebih awal, Mutia berdiri di gerbang sekolah dan hampir berlari saat Sri datang mendekat."Tunggu Mutia, tunggu!" Sri meraih tangan kecil gadis itu, melihatnya takut, Sri membelai wajah Mutia dengan lembut."Tante mau apa?" Saat itu tubuh Mutia gemetar hebat, bahkan tangannya tak bisa memegang botol minum dengan benar."Jangan takut, tante hanya ingin menyapa. Mutia baik-baik saja?" Sri ya
Sri meninggalkan rumahnya dengan amarah yang tertahan, membayangkan wajah lelaki mantan suaminya itu membuat darahnya seakan mendidih di ujung kepala. Dengan segera ia meminta supirnya menuju pabrik teh tempat Fandi bekerja dulu. Lelaki itu masih menunggu di luar pabrik saat Sri sampai dan memasukkan mobilnya ke dalam. Fandi tentu saja tak datang sendiri, dia bersama beberapa orang yang Sri kenal adalah anak buah Yuan dulu.Sri turun dari mobil dan berjalan kembali ke area pintu masuk, melihat lelaki tak tau malu itu tersenyum dengan sombongnya di luar pagar pabrik yang di kunci lagi setelah Sri masuk."Hay nyonya Meilin, apakah begini caramu memperlakukan tamu? kami bahkan tak di izinkan masuk dan menunggu di dalam." Fandi berteriak dari luar pagar, memperlihatkan sikap arogannya dengan kesombongan yang justeru membuat Sri tersenyum geli."Tamu macam apa yang datang bahkan saat tuannya tak ada di tempat? kamu berteriak meminta di perlakukan baik, tapi lihat dirimu sendiri, apa kamu m
Fandi terduduk tanpa tenaga, seluruh tulangnya seolah lepas dari raga, Sri sudah membuat seluruh harga dirinya tergerus habis, bahkan ia nyaris tak lagi bisa berlagak sombong di depan orang-orang Yuan. Dan yang tak dapat Fandi lupakan adalah tatapan dingin mantan istri nya itu, seperti membawa mata pisau yang menghulus harga dirinya."Apa kita akan balas wanita itu?" Pengawal Yuan bertanya pada Fandi, dia juga merasa sakit hati di perlakukan begitu oleh seorang wanita."Tidak sekarang, wanita itu sangat berbahaya."Mereka masih berada di depan pabrik, duduk di dalam mobil yang bahkan belum beranjak dari tempatnya."Lalu kapan tuan? dia sudah menghina kita, apa tuan akan diam saja?"Fandi menatap dengan marah pada dua orang yang duduk di kursi depan."Jangan mengajari aku! Aku akan pikirkan bagaimana caranya membalas perlakuan wanita itu, sekarang jalankan saja mobilnya sebelum peluru mereka bersarang di kepala kalian!" Ucap Fandi kesal, dia masih bisa melihat beberapa orang di atas ge
Dengan cepat Aini keluar setelah mengambil dompet daro dalam rumah, dia keluarkan motornya dari garasi samping dan segera menyalakannya lalu pergi keluar.Setelah memastikan Aini pergi, Satria masuk ke dalam rumah wanita itu, mematikan cctv Aini di kamar bawah tangga lalu memeriksa kamar anak-anak di lantai atas. Satria tak menemukan Mesya di sana, gadis kecil itu harusnya menangis atau tertawa jika masih di dalam rumah ini."Apa yang sudah terjadi pada Mesya? kemana dia sekarang?" Fandi lalu memeriksa lemari gadis itu, seluruh bajunya masih ada, artinya Aini tak mengirim pergi Mesya dari sisinya."Tapi di mana kamu mesya sayang?" Satria bertanya sendiri dan memutuskan untuk turun ke lantai bawah.Di lantai bawah, Satria mengambil rekaman cctv rumah Aini, dia ingin. melihat apa saja yang di lakukan wanita itu selama ini. Tak lama setelah itu Satria jelas mendengar suara motor Aini masuk ke pelataran, segera Satria kembali duduk di ruang tamu rumah wanita itu."Apa aku lama?""Tidak,
"Mesya pergi bersama pengasuhnya? Tapi siapa pengasuh Mesya?" Satria terus bertanya sendiri, lalu memutuskan meninggalkan rumah Aini, dirinya tiba-tiba ingin mampir sebentar ke rumahnya yangasoj berada di dalam satu kompleks dengan rumah Aini, Lama Satria tak datang ke rumah yang sudah kosong dan tak sempat lagi dia tenggok."Mungkin sebaiknya aku melihat ke rumah sebentar." Ucapnya dalam hati.Mobilnya lalu memutar, melewati taman dalam area perumahan yang selalu ramai dengan orang sekitar kompleks. Mata Satria tiba-tiba saja tertuju pada seorang gadis dengan rambut ikalnya berlari di tengah taman."Mesya!" Satria meyakini gadis kecil itu Mesya, di belakangnya ada seorang wanita muda mengikuti setiap langkah anak itu.Satria memutuskan mencari tempat parkir dan turun untuk menyapa keponakan nya itu. "Mesya!" Panggilnya dari jauh dan gadis itu tersenyum mengenali dirinya."Papa!" Teriaknya seperti biasa, panggilan yang selalu di dengar Satria setiap kali bertemu gadis kecil itu.Sat