Saat Dika akan melangkah masuk ke rumah Galih, terdengar azan Maghrib. Dika sontak menghentikan langkahnya lalu masuk kembali ke mobilnya. Ia masih ingat betul bagaimana kebiasaan Galih. Mantan ayah mertuanya itu selalu salat berjamaah di Masjid. Dika tidak mau jika sampai bertemu dengannya. Dika masih ingat saat terakhir kali ia menemuinya, Galih memarahinya habis-habisan dan memakinya akibat ulahnya pada Kania. Dika masih sakit hati. Akhirnya Dika memutuskan menunggu sampaiB Galih pergi ke masjid.Setelah Galih pergi ke masjid, Dika turun dari mobilnya dan masuk ke rumah Kania. Kania yang sudah berada di kamar terkejut karena pintu rumahnya kembali diketuk."Kenapa Ayah balik lagi? Apa dia ketinggalan sesuatu?" Kania lalu bergegas keluar dan membuka tirai. Sontak, ia terkejut saat melihat Dika tengah berdiri tepat di depan pintu. Tubuh Kania seketika gemetar. Ia langsung menutup kembali tirainya dan masuk ke kamar.Namun, Dika kembali mengetuk hingga Kania akhirnya sadar."Ingat, kam
Bagai kilat, Dika langsung mendekat dan memeluk erat Kania. Seketika aroma vanilla yang menguar dari tubuh Kania membuatnya terbuai. "Sejak awal melihatmu, aku sudah merasa kalau kamu Kania. Kaniaku. Kenapa kamu harus bohong?""Lepasin! Kita udah nggak ada hubungan apa-apa!" ucap Kania sambil mendorong kasar tubuh Dika. "Aku nggak bohong. Sekarang aku adalah Miranda. Karena Kania yang dulu kamu kenal, sudah mati!" Dika kembali mendekat. "Nggak usah menipu dirimu sendiri. Jelas-jelas aku dengar tadi kamu bilang kalau kamu masih mencintaiku."Wajah Kania yang putih semakin memucat. Ia pun lekas menghindari Dika dan mendekati Broto. "Dika! Jangan dekati anakku! Kenapa kamu kembali ke sini?" Broto maju selangkah ke depan Kania. "Pak, maaf. Tapi izinkan saya bicara berdua dengan Kania. Masih banyak yang harus saya sampaikan.""Kamu mau ngomong apa lagi, Mas? Urusan kita sudah selesai.""Urusan kita masih banyak, Kan. Dulu kamu main hilang begitu saja. Padahal masih banyak yang ingin ak
Setelah Kania terkulai, Dika lekas membopongnya dan menaruhnya di ranjang. Ia kemudian memasukkan tubuh Kania ke dalam koper besar yang ia temukan di dalam lemari Kania."Jadi kamu dan Mahar akan bulan madu dengan menggunakan koper ini? Sayang sekali rencana itu aku hancurkan."Sesudah memastikan kalau kondisi aman: karena orang-orang masih sibuk di ruang depan, Dika lekas mendorong koper itu melalui pintu belakang. Ia juga menutupi wajahnya agar tidak ada yang mengenali. Lagi-lagi ia terbantu karena saar itu Broto sedang berada di depan menyambut para tamu yang berasal dari saudara jauh Kania.Dika lekas membawa tubuh Kania dan memasukannya ke mobil yang ia parkir di seberang rumah Broto. Ia sempat berpapasan dengan seorang petugas katering yang menanyakan mengenai koper yang sedang ia bawa, tapi Dika menjawab santai. "Ini hanya sound sistem." Karena petugas katering itu juga sedang sibuk menyiapkan penganan, ia langsung percaya dan tidak bertanya lebih lanjut.Tak lama setelah Dika
"Mas. Aku datang bulan." Kania langsung menangis di pelukan Dika. Ini sudah hari ke tujuh ia terlambat datang bulan. Padahal Kania sangat berharap bahwa ia hamil, tapi pagi itu harapannya hancur berantakan. "Sabar, Dek. Mungkin belum saatnya, yang penting kita tidak menyerah dan terus berusaha." Dika berusaha menenangkan. Sambil merangkul bahu sang istri ia mengajak Kania duduk di tepi ranjang. "Iya, Mas." ucap Kania lesu. "Maafin aku ya karena belum bisa jadi istri yang sempurna buat kamu.""Stss. Jangan ngomong gitu. Aku nggak nyalahin kamu. Emang kitanya aja yang belum dipercaya Tuhan."Pernikahan Kania dan Dika sudah berjalan tiga tahun, tapi Kania belum juga hamil. Mereka juga sudah melakukan konsultasi ke banyak dokter spesialis dan sudah melakukan berbagai cara yang dianjurkan oleh banyak orang guna mendapatkan keturunan.Sampai akhirnya, suatu malam Kania berpikir untuk menyerah. Ia tidak lagi berambisi untuk melahirkan bayi dari rahimnya sendiri. "Mas.""Kenapa, Dek?" kata
"Mas, kamu masih ingat kan sama Nisya? Sahabatku yang cantik banget itu, lho," ucap Kania saat tengah menemani Dika makan malam. Sontak, Dika terbatuk-batuk sampai mengeluarkan sebagian isi mulutnya. Ia pun langsung meminum habis segelas air dingin di depannya. "Mas, pelan-pelan dong makannya. Sampai tersedak gini." Kania menghampiri Dika lalu menepuk pelan punggung suaminya. "Udah enakan?""Mas nggak pa-pa, Dek. Udah enakan. Tadi kamu bilang apa?"Kania kembali ke tempat duduknya semula sambil mengambil secentong nasi ke piringnya. "Nisya, Mas masih ingat dia?"Dika mengangguk pelan. "Memangnya dia kenapa?""Dia udah balik lagi ke sini. Kemarin dia datang ke rumah. Aneh deh, Mas, Aksara langsung anteng sama dia. Kayak udah kenal lama. Padahal anak itu kan jarang mau digendong sama orang asing."Dika seketika melebarkan matanya. Keringatnya mulai menyeruak dan membasahi wajahnya. "Jadi tanpa setahuku, Nisya sudah menemui Aksara? Dasar ceroboh! Gimana kalau Kania curiga?" Dika terus
Nisya masih membeku saat Dika memandangnya tajam. Lelaki itu seolah berkata, Kenapa kamu datang ke sini nggak bilang aku dulu?Beruntung Kania segera memutus tatapan tajam Dika dengan menyambut Nisya. Istri dari Dika itu lekas memeluk Nisya. Kania menganggap Nisya sudah memaafkannya atas tuduhannya kemarin. "Nis, aku seneng kamu dateng. Sorry ya atas sikapku tempo hari," kata Kania dengan ceria. Ia bahkan tidak menghiraukan sikap Nisya dan Dika yang masih mematung. Di pikiran Kania hanya ingin segera membuat Aksara lekas sembuh, dengan bantuan Nisya. "I-ya, Kan. Enggak pa-pa," ucap Nisya sambil terus melihat ke arah Dika. Namun, Nisya lekas beralih ke arah Kania saat sahabatnya itu kembali mengajaknya bicara. "Untung kamu dateng sekarang, karena tadinya aku yang mau ke rumah kamu. Aksara, Nis.""Emang kenapa, Kan? Aksara baik-baik aja, kan?" kata Nisya dengan nada khawatir. Kania tidak langsung menjawab. Ia malah melihat ke arah Dika. "Kan, cepet jawab.""Aksara lagi sakit, Nis.
Dua tahun lalu“Sya, kenalin. Ini Mas Dika,” ucap Kania seraya mengenalkan suaminya pada sang sahabat. Karena Dika kerja di luar kota, baru kali itu Nisya bertemu dengannya.Sontak, bola mata Nisya membulat. Ia memandang Dika bagai kucing melihat ikan. Lelaki 35 tahun itu sukses membangunkan jiwanya yang fakir kasih sayang: sejak sang suami meninggal dunia beberapa tahun lalu. Hatinya yang gersang pun pelan-pelan menyejuk.Kania selalu menceritakan mengenai Dika, sehingga membuat Nisya penasaran. Sahabatnya itu berkoar jika Dika lelaki sempurna. Dikalah yang terbaik."Sya, lihat ni, Mas Dika abis beliin gelang. Bagus, kan?""Sya, Mas Dika tuh nggak bisa makan kalau bukan aku yang masak.""Sya, Mas Dika tu harus denger aku ngomong i love you dulu setiap pagi baru dia semangat kerja."Dika beginilah, begitulah, dan masih banyak lagi, hingga membuat Nisya yang merasa lebih baik dan cantik daripada Kania, mendadak jengah. Menurutnya Kania sangat beruntung. Sahabatnya itu bisa bersuamikan
Saat tengah sibuk di dapur, terdengar alunan 'Sang Dewi' milik penyanyi Lyodra hingga membuat Kania mengecilkan kompor lalu mendekati meja makan--tempat ponselnya terletak. Senyumnya seketika tersungging saat melihat nama sang suami di layar iPhone 13-nya. Ia lalu merapikan rambutnya dengan tangan sebelum menarik tombol hijau ke atas. “Kenapa, Mas, tumben video call?” ucap Kania setelah menjawab salam Dika. Ia pun sempat melirik jam dinding yang ada di dapur. Jam tiga sore. “Biasanya kalau udah di kantor suka lupa sama yang di rumah,” ucapnya hingga membuat Dika tersenyum.“Dek, kamu lagi ngapain?”“Tuh lihat. Aku lagi masak, buat makan malam.”“Sekarang kamu matiin kompor dan cuci tangan. Nggak usah masak. Terus kamu pergi ke salon dan dandan yang cantik. Nanti jam lima Mas jemput. Kita makan malam di luar.”Sontak, mata Kania membulat. Sudah cukup lama Dika tidak pernah mengajaknya makan di luar. “Beneran, Mas?”“Iya. Kalau perlu kamu beli baju baru. Mas mau ajak kamu makan ke resto