"Jeng Miranda!" ucap Siska lantas berlari menghampiri Kania. Sontak saja Dika yang berdiri tepat di sisi Kania berbalik arah sehingga membuat Kania mengerutkan dahi. Namun, ia langsung bernapas lega karena akhirnya Dika meninggalkannya. Dika memilih menghindar agar Siska tidak bertanya macam-macam. Lelaki itu sangat paham bagaimana sifat Nisya dan teman-temannya. Menurutnya mereka sangat suka ikut campur dan ingin tahu urusan orang lain. "Eh, Jeng Siska." Kania menghentikan langkahnya sambil menyeka dahi dengan handuk kecil di tangannya. "Itu tadi Pak Dika, kan? Suaminya Jeng Nisya?"ucap Siska seraya menyejajari Kania. Selain yoga, Siska memang rutin berlari pagi. Ia melakukannya dua kali dalam satu minggu. Kebetulan pagi itu ia bertemu dengan Kania. Siska lalu menatap lurus ke belakang tubuh Kania seraya melihat punggung Dika yang semakin mengecil."Iya, dia.""Terus kenapa dia balik arah?"Kania mengedikkan bahu. "Mungkin mau ke kantor." Siska menghentikan pertanyaan saat Kania
"Oh ya, mungkin saya juga belum mengatakan, jika Ibu Miranda ini adalah....""Dia asisten Anda. Saya sudah tahu itu.""Bukan hanya itu, Pak Dika. Selain asisten, dia adalah calon istri saya."Kania mengangkat kedua alisnya. Sontak, ia memandang Mahar dengan raut wajah penuh pertanyaaan. Namun, Mahar hanya menjawab dengan sedikit anggukan seolah ingin mengatakan, Tenang, Mir. Percaya aja sama gue.Tak berbeda dengan Kania, Dika membelalak saat Mahar seketika menghancurkan harapannya. Sikapnya pun tidak seramah tadi. Aku yakin Miranda punya perasaan yang sama denganku. Dari tatapannya, gerak tubuhnya saat kami bersama dan dari raut wajahnya setiap kali kami bertemu. “Baik, mari kita mulai saja rapatnya. Nasihat apa yang Anda punya?” Dika kembali memfokuskan diri pada masalah pekerjaan. Namun, pandangan Dika tidak pernah beralih sedetik pun dari wajah Kania. Bahkan, ia tidak memperhatikan saat Mahar sedang memberikan penjelasan di depan dengan berbagai tampilan layar yang cantik. Mesk
Kania tidak langsung menjawab. Dia menatap ke arah laut lepas seraya mengambil kerikil dari sisi kirinya, lalu melemparnya jauh ke depan. Dahinya berkerut-kerut memikirkan syarat apa yang akan diajukan pada Mahar. Tadi sebenarnya ia hanya asal bicara, agar Mahar mengurungkan niatnya. Namun siapa sangka Mahar malah menyanggupi. "Gue pikirin dulu, Har. Nanti gue kasih tau.""Oke gue tunggu. Syarat apa pun dari lo, akan gue turutin.""Memang harus kayak gitu ya, Har?"Kania membatin sambil menatap Mahar yang tengah tersenyum ke arahnya. Wanita itu sungguh tidak tega menyakiti sahabat baiknya itu. Mahar terlalu baik. Dia begitu tulus mencintai Kania, meski Kania belum bisa membalas perasaannya. Kadang Kania ingin marah pada dirinya sendiri. Kenapa hatinya selalu terpaku pada Dika dan bukan pada lelaki baik seperti Mahar. Setelah dari pantai, Mahar tidak mengantar Kania pulang. Lelaki itu langsung ke kantor. Namun setibanya di rumah, Kania kembali dikejutkan dengan kehadiran seorang anak
"Tante Miranda?" Aksara melepaskan pelukan Kania lalu memandang wanita itu."Maaf, Nak. Tante cuma teringat sama putra tante yang sudah lama pergi. Kalau dia masih ada, usianya sama denganmu."Aksara terdiam lalu bibir kecilnya membentuk lengkungan ke atas. "Nggak papa kok, Tante. Kalau Tante mau, Aksara bisa jadi pengganti anak tante.""Benarkah? Tante senang sekali." Kania lalu kembali memeluk Aksara."Tante aku berangkat sekolah dulu, ya. Takut terlambat. Pulang sekolah nanti apa aku boleh main ke rumah Tante?"Meski baru pertama kali bertemu Kania dalam sosok Miranda, Aksara pun sudah merasa dekat. Bahkan anak itu sudah sayang pada Kania seperti ia menyayangi Nisya. "Boleh, dong. Kamu hati-hati, ya," ucap Kania sambil melambai pada Aksara yang mulai menaiki kembali sepedanya. Setelah itu ia pun kembali menuju ke warung sayur.Di rumahnya, Fitri tersenyum lebar saat mendengar cerita Mahar bahwa Kania menerima lamaran putranya itu. Bahkan ia sampai tersedak dan terbatuk-batuk hing
Saat Dika akan melangkah masuk ke rumah Galih, terdengar azan Maghrib. Dika sontak menghentikan langkahnya lalu masuk kembali ke mobilnya. Ia masih ingat betul bagaimana kebiasaan Galih. Mantan ayah mertuanya itu selalu salat berjamaah di Masjid. Dika tidak mau jika sampai bertemu dengannya. Dika masih ingat saat terakhir kali ia menemuinya, Galih memarahinya habis-habisan dan memakinya akibat ulahnya pada Kania. Dika masih sakit hati. Akhirnya Dika memutuskan menunggu sampaiB Galih pergi ke masjid.Setelah Galih pergi ke masjid, Dika turun dari mobilnya dan masuk ke rumah Kania. Kania yang sudah berada di kamar terkejut karena pintu rumahnya kembali diketuk."Kenapa Ayah balik lagi? Apa dia ketinggalan sesuatu?" Kania lalu bergegas keluar dan membuka tirai. Sontak, ia terkejut saat melihat Dika tengah berdiri tepat di depan pintu. Tubuh Kania seketika gemetar. Ia langsung menutup kembali tirainya dan masuk ke kamar.Namun, Dika kembali mengetuk hingga Kania akhirnya sadar."Ingat, kam
Bagai kilat, Dika langsung mendekat dan memeluk erat Kania. Seketika aroma vanilla yang menguar dari tubuh Kania membuatnya terbuai. "Sejak awal melihatmu, aku sudah merasa kalau kamu Kania. Kaniaku. Kenapa kamu harus bohong?" "Lepasin! Kita udah nggak ada hubungan apa-apa!" ucap Kania sambil mendorong kasar tubuh Dika. "Aku nggak bohong. Sekarang aku adalah Miranda. Karena Kania yang dulu kamu kenal, sudah mati!" Dika kembali mendekat. "Nggak usah menipu dirimu sendiri. Jelas-jelas aku dengar tadi kamu bilang kalau kamu masih mencintaiku." Wajah Kania yang putih semakin memucat. Ia pun lekas menghindari Dika dan mendekati Galih. "Dika! Jangan dekati anakku! Kenapa kamu kembali ke sini?" Galih maju selangkah ke depan Kania. "Pak, maaf. Tapi izinkan saya bicara berdua dengan Kania. Masih banyak yang harus saya sampaikan." "Kamu mau ngomong apa lagi, Mas? Urusan kita sudah selesai." "Urusan kita masih banyak, Kan. Dulu kamu main hilang begitu saja. Padahal masih banyak yang i
Setelah Kania terkulai, Dika lekas membopongnya dan menaruhnya di ranjang. Ia kemudian memasukkan tubuh Kania ke dalam koper besar yang ia temukan di dalam lemari Kania. "Jadi kamu dan Mahar akan bulan madu dengan menggunakan koper ini? Sayang sekali rencana itu aku hancurkan." Sesudah memastikan kalau kondisi aman: karena orang-orang masih sibuk di ruang depan, Dika lekas mendorong koper itu melalui pintu belakang. Ia juga menutupi wajahnya agar tidak ada yang mengenali. Lagi-lagi ia terbantu karena saar itu Galih sedang berada di depan menyambut para tamu yang berasal dari saudara jauh Kania. Dika lekas membawa tubuh Kania dan memasukannya ke mobil yang ia parkir di seberang rumah Galih. Ia sempat berpapasan dengan seorang petugas katering yang menanyakan mengenai koper yang sedang ia bawa, tapi Dika menjawab santai. "Ini hanya sound sistem." Karena petugas katering itu juga sedang sibuk menyiapkan penganan, ia langsung percaya dan tidak bertanya lebih lanjut. Tak lama setelah Di
"Gimana, Pak? Apa ada informasi?" ucap Mahar setibanya ia di kediaman Galih. Galih menggeleng lemah, "Bapak sudah menanyakan semua orang di sini tapi tidak ada yang mengaku melihat orang asing." Sebelum Mahar tiba, Galih sudah mengumpulkan semua tamu, termasuk tim penyedia fasilitas yang mereka libatkan dalam acara. Mahar mengerutkan dahi. Dadanya yang sudah memanas mendadak sempit. Mir, kamu di mana? Please, kasih aku petunjuk biar bisa nolongin kamu. Aku harap kamu baik-baik aja. Firasatnya kalau Kania diculik semakin kuat. Tiba-tiba salah seorang petugas katering melihat ke arah para tim sound sistem. "Personal kalian yang satu lagi mana?" "Ini sudah semuanya. Siapa yang kamu maksud?" kata pemimpin tim sound sistem. "Tadi itu ada orang memakai topi hitam dan masker keluar dari sini sambil membawa koper besar. Katanya dia membawa sound sistem."Mahar pun sontak mendekat. "Kenapa, Mas?""Ini, Pak, tadi waktu saya sedang sibuk membereskan meja untuk prasmanan, ada laki-laki yang