Share

Pewaris Tunggal

Sementara itu di rumah juragan Karyo

 

Suasana rumah juragan Karyo siang itu sangat panas. Bukan panas karena musim kemarau yang panjang, tetapi karena pertengkaran dua manusia berbeda usia. Seharusnya rumah juragan Karyo cukup sejuk.  Bangunan berlantai dua yang didominasi tembok  warna putih dengan ornamen-ornamen dari kayu jati itu sangat asri. Kusen pintu dan jendela juga terbuat dari kayu jati, membuat rumah makin megah.

 

“Setiap hari pekerjaanmu hanya mabuk saja Arya! Mau jadi apa kamu? Kamu itu anak bapak satu-satunya, pewaris semua harta bapak.” Juragan karyo menasihati Arya. Ia kecewa dengan kelakuan anak semata wayangnya.

 

“Sudahlah, Pak. Aku ini masih muda. Aku masih ingin bersenang-senang. Aku jadi seperti ini juga karena didikan, Bapak.”

 

“Arya! Lancang kamu!” Tamparan juragan Karyo mendarat di pipi Arya. Laki-laki berusia 40-an tahun itu tidak menyangka dengan jawaban Arya yang malah menyudutkannya. Dadanya berdetak naik turun. Detakannya lebih cepat dari berputarnya jarum jam yang tergantung di dinding bercat putih di ruang tamunya. Selama ini ia dan istrinya memang salah dalam mendidik Arya. Karena Arya anak satu-satunya, tidak segan juragan Karyo dan istrinya selalu memanjakan dan menuruti keinginan Arya.

 

Arya tersenyum sarkastik. Ia mengusap ujung bibirnya yang berdarah karena tamparan ayahnya. “Bapak puas bisa memukulku? Aku salah apa, Pak?” teriak Arya. Suaranya menggelegar. Bapak dan anak itu saling melemparkan suara keras seakan-akan suara itu tidak terdengar jika tidak dikeraskan.

 

“Kamu masih belum juga menyadari kesalahanmu? Kapan kamu akan berubah, Arya? Mulai sekarang, jauhi teman-teman berandalmu itu.”

 

“Bapak tidak berhak mengatur hidupku.”

 

“Kurang ajar kamu. Dasar anak durhaka. Sampai kapan pun selama kamu masih butuh uang dari bapak, bapak berhak mengatur hidupmu, Arya! Camkan itu!”

 

“Arya tidak peduli!” Arya pergi meninggalkan juragan Karyo sendirian di ruang tamu. Ia menuju kamarnya dan membanting pintu hingga suaranya berdebam.

 

Deru mobil terdengar memasuki halaman. Juragan Karyo membuka gorden untuk melihat siapa yang datang. Ia bertambah kesal saat melihat seorang wanita keluar dari pintu belakang mobil. Kedua tangan wanita itu menenteng tas besar yang penuh dengan barang-barang. Wanita yang masih cantik di usia 39 tahun itu berjalan hendak masuk ke rumah. Ia istri juragan Karyo.

 

Juragan Karyo segera keluar dan berdiri di depan pintu untuk menyambut istrinya. “Dari mana saja kamu?”

 

Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, wanita itu malah bertanya balik. “Mas Karyo di rumah? Bukannya tadi ngecek gudang beras?”

 

“Dari mana kamu?” bentak juragan Karyo. Laki-laki itu berkacak pinggang. Emosinya kini makin meluap.

 

“Biasa, Mas, aku tadi habis arisan di kampung sebelah terus sekalian belanja bulanan. Aku tadi diantar pak sopir, kok. Kamu kenapa, sih, marah-marah? Istri baru datang bukannya disambut yang baik, malah dibentak-bentak.” Istri Juragan Karyo merengut. Ia meletakkan barang belanjaannya di meja tamu, lalu duduk berselonjor kaki di sofa berwarna cokelat susu.

 

“Tiap hari arisan. Sekali-kali urus anak manjamu itu. Nasihati dia biar berubah!”

 

“Memangnya Arya kenapa, Mas? Dia, kan, udah besar. Memangnya dia bikin ulah?”

 

“Ini nih, yang enggak aku suka dari kamu. Kamu enggak tau kalau anakmu itu tiap hari kerjaannya mabuk? Kuliah sering bolos, dan bisanya ngabisin duit saja.”

 

“Arya anakmu juga, Mas. Kenapa hanya aku yang nasihati dia? Terus tugas kamu sebagai bapaknya apa?”

 

“Aku sudah nasihati dia, tapi kelakuannya tetap saja. Ini semua gara-gara kamu yang terlalu memanjakan anak itu. Lagi pula kamu yang selalu di rumah dan waktumu lebih banyak bersama Arya.”

 

“Kok, gara-gara aku? Bukan hanya aku yang memanjakan Arya, Mas. Kamu juga sama. Dia anak kita satu-satunya. Wajar, kan, kalau aku memanjakannya?”

 

“Ah, sudahlah! Percuma ngomong sama kamu. Pokoknya Arya harus bisa mengubah sikapnya itu. Dia itu pewaris usaha kita. Ingat itu!”

 

Juragan Karyo pergi meninggalkan istrinya. Pikirannya kalut memikirkan keluarga juga penerus bisnisnya. Ide yang kemarin muncul di benaknya saat bertemu Sasmita menari-nari dalam kepalanya. Ia bergumam ‘Pernikahan ini harus terjadi.’

 

***

 

Pikiran Arya kacau. Sejak bertengkar dengan bapaknya, pemuda itu belum keluar kamar. Panggilan untuk makan siang dari ibunya pun ia abaikan. Dia merebahkan tubuhnya di dipan dari kayu jati yang berukir indah. Sudah seminggu dia tidak bertemu kekasihnya, Dahlia. Gadis yang dicintainya itu dilarang keluar sendirian oleh keluarganya. Tentu saja mereka takut Dahlia akan bertemu Arya.

 

Arya membolak-balik telepon genggamnya. Beberapa kali ia menekan tombol nomor Dahlia, tetapi dia urungkan. Nomor itu selalu tidak bisa dihubungi. Arya meremas rambutnya kasar. Dalam otaknya terlintas pikiran untuk mengajak Dahlia lari.

 

Kecanduannya terhadap minuman beralkohol membuat hidupnya berantakan. Ia pertama kali mengenal minuman itu saat usinya 17 tahun. Temannya yang mengikuti sebuah kelompok anak punk yang mengenalkannya pada minuman keras itu. Arya memang tidak tergabung dalam gangster tersebut, tetapi dia sering kali ikut nongkrong bersama mereka.

 

Karena kebiasaannya itulah, hubungannya dengan Dahlia tidak berjalan mulus. Dahlia gadis yang cantik dan populer di desa dan sekolah. Dahlia anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakak laki-lakinya telah berumah tangga. Meskipun bukan dari keluarga kaya, tetapi orang tua Dahlia cukup di hormati dan disegani oleh masyarakat. Bapak Dahlia seorang perangkat desa yang biasa disebut kamituwa atau kepala dusun.

 

Sebagai seorang anak juragan tanah, tak lantas membuat Arya diterima di keluarga Dahlia. Keluarga besar Dahlia menentang hubungan mereka karena kebiasaan buruk Arya. Hal itu juga membuat juragan Karyo tersinggung dan menyuruh Arya untuk putus dengan Dahlia.

 

Arya meletakkan telepon genggam di meja kecil yang letaknya di samping kanan dipan. Arya mencoba memejamkan mata. Dia berusaha mengurai kekusutan yang ada di otaknya. Tiba-tiba teleponnya berdering. Gambar telepon berpendar dan nama Dahlia muncul di layar. Arya segera menjawab panggilan tersebut.

 

“Halo, Lia.” Arya menyebut Dahlia dengan panggilan kesayangannya. Ia begitu senang bisa mendengar suara gadis di seberang sana.

 

“Aku ingin bertemu denganmu di tempat biasa, Mas Arya. Ada hal penting yang ingin kubicarakan. Sekarang.” Dahlia berkata dengan suara serak, lalu gadis berusia 19 tahun itu terisak-isak.

 

“Kamu menangis, Lia? Apa ada yang menyakitimu?” Arya panik. Dia memang tidak tau keadaan Dahlia saat ini, tetapi mendengar suara gadis itu yang serak, dia tidak sabar ingin segera bertemu dengannya. Pasti ada suatu alasan yang kuat sehingga Dahlia mengajak bertemu secara sembunyi-sembunyi. “Baiklah, jangan menangis lagi! Aku akan segera ke sana.” Arya menutup telepon genggamnya.

 

Arya berdiri dari dipan dan menyambar kunci motor yang terletak di atas meja. Sebelum berangkat, tak lupa dia menggunakan Jaket hitam dan topi untuk menyembunyikan sebagian wajahnya. Pertemuan dengan Dahlia kali ini harus berhasil. Jangan sampai orang tua dan kakak-kakak Dahlia mengetahuinya.

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status