Suasana warung milik Samirah masih sepi. Sudah satu jam berlalu sejak kepergian Samirah ke pasar, belum ada lagi pelanggan baru. Lelaki berkumis tebal masih betah berlama-lama di warung itu sembari menunggu si induk semang datang. Namun, Sasmita merasa tidak tenang. Ia berharap ibunya segera datang.
Sasmita duduk di kursi kayu di sudut warung yang dindingnya dari anyaman bambu. Gadis belia itu berdebar-debar. Wajahnya pias menahan rasa takut. Bagaimana jika lelaki yang mengaku bernama juragan Karyo itu berbuat tidak senonoh padanya. Sedari tadi lelaki itu tidak pergi-pergi dari warungnya. Apalagi lelaki seumuran ayahnya itu sering menatapnya dengan tajam seperti sedang menyelidiki sesuatu tentangnya, seperti mengulitinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sasmita bergidik ngeri. Juragan Karyo masih mengamati Sasmita dengan intens. Sesekali dia memilin-milin ujung kumisnya yang tebal. Terkadang senyumnya mengembang, kepalanya manggut-manggut seperti sedang merencanakan sesuatu. “Buatkan aku kopi secangkir lagi, Cah Ayu!” Perintah juragan Karyo mengejutkan Sasmita yang sedang berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Ia segera berdiri dan memasak air, menyiapkan kopi pesanan juragan Karyo. Tangannya gemetar saat menyerahkan cangkir dengan uap mengepul. “Jenengmu sapa, Cah Ayu?” tanya juragan Karyo dengan suara dilembutkan. (“Namamu siapa, cantik?”) “Sasmita, Wak.” Juragan Karyo manggut-manggut. “Jenengmu apik, Cah Ayu. Pira umurmu?” “Namamu bagus, Cantik. Berapa umurmu?”) “16 tahun, Wak.” “Wes cukup,” ucap Juragan Karyo masih dengan logat Jawa kental dan ekspresi yang sama. (“Udah cukup,”) Sasmita mengernyit. Ia tidak paham dengan perkataan laki-laki paruh baya yang ada di hadapannya. “Maksudnya udah cukup apa, Wak?” Sasmita penasaran. “Bukan apa-apa. Ibumu lama sekali. Aku ini ada perlu. Penting.” Juragan Karyo mengalihkan pembicaraan. “Maaf, Wak, mungkin sebentar lagi ibu datang.” Sasmita mencoba meyakinkan juragan Karyo. Ia merasa tidak enak lalu beringsut meninggalkan laki-laki itu. Sasmita kembali duduk di sudut warung. *** “Berhenti, Pak!” teriak Samirah kepada pengemudi becak motor yang ditumpanginya. Kendaraan roda tiga itu berhenti tepat di depan warung sederhana milik Samirah. Ibu dari tiga anak itu bergegas turun dari becak lalu menurunkan semua barang belanjaannya. Tak lupa ia membayar ongkos dan mengucapkan terima kasih pada pengemudi becak. Sasmita gegas keluar dari warung, menyambut Samirah. “Ke pasarnya lama sekali, Bu? Ada orang mencari Ibu. Sejak tadi ia menunggu di dalam warung. Mita takut, Bu.” “Kamu, kan, tahu, ibu belanja kebutuhan warung, masa’ ya disuruh cepat-cepat? Baru disuruh bantu jaga warung sebentar, kamu sudah mengeluh?” Samirah menjawab pertanyaan Sasmita panjang lebar. Ia kesal dengan perkataan anaknya. “Mita enggak mengeluh, Bu. Mita hanya takut sendirian di warung dengan bapak-bapak. Orang itu pesan kopi, tapi sampai kopinya habis, enggak pergi-pergi. Katanya menunggu ibu datang.” “Memangnya siapa yang menunggu ibu?” “I-itu katanya juragan ...” jawab Sasmita terbata. “Hei, Samirah. Lama sekali kamu.” Juragan Karyo tiba-tiba saja sudah berdiri di pintu warung. “Eh, Juragan, to, yang datang.” Samirah tersenyum semringah. Badannya membungkuk-bungkuk seperti seorang yang sedang menghormat pada majikannya. Sebenarnya ia ketar-ketir dengan kedatangan laki-laki berperut buncit itu. Samirah menduga, juragan Karyo akan menagih uang sewa tanah. “Mari juragan, silakan masuk!” seru Samirah. Juragan Karyo kembali masuk ke warung. Laki-laki itu duduk di tempatnya semula. Samirah pun menyusul masuk warung, sedangkan Sasmita membantu ibunya membawakan barang-barang belanjaan. Setelah semua pekerjaannya beres, Sasmita berpamitan pada ibunya untuk pulang sebentar karena perutnya tiba-tiba mulas. Samirah pun mengizinkan. “Ada perlu apa, ya, Juragan?” “Samirah ... Samirah, kok, pakai tanya segala. Kamu pura-pura tidak tahu niat kedatanganku? Kamu itu punya kewajiban yang harus kamu bayar,” tegas juragan Karyo. “Ma-maaf, Juragan. Saya tidak bermaksud begitu.” “Ya sudah, tidak usah banyak alasan! Sekarang bayar uang sewa tanah ini! utang-utangmu tahun lalu juga belum kau bayar.” “Tapi Juragan, saya belum punya uang. Penghasilan warung ini tak seberapa, hanya cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari.” Samirah beralasan. “Terus kapan kamu punya uangnya?” Juragan Karyo berdiri dan menggebrak meja, membuat Samirah terlonjak saking kagetnya. Tubuh Samirah bergetar, jantungnya berdetak dengan cepat. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Ia terdiam seribu bahasa. Saat-saat seperti ini seharusnya sang suami ada di sampingnya untuk melindungi, tetapi suaminya sedang bekerja di kebun sebagai buruh tani. Samirah tak bisa menyalahkannya. “Kamu sudah tak kasih harga sewa murah. Kamu juga sudah janji akan bayar bulan ini, Samirah.” Wajah juragan Karyo memerah menahan amarah. Napasnya memburu dan matanya membelalak. Namun, berbeda dengan ekspresi wajah dan sikapnya, sesungguhnya di otaknya telah merancang sebuah rencana besar. Rencana yang membuat hidup Samirah dan keluarganya akan terjamin atau justru malah menderita. Juragan Karyo kembali duduk. Dia mengusap wajah dengan sapu tangan yang diambil dari saku celananya. Napasnya kini sudah teratur. Matanya pun tak lagi membelalak. “Kalau enggak bisa bayar utang-utangmu, serahkan saja anak perawanmu padaku! Utangmu lunas jika kamu setuju.” “Apa maksud Juragan?” Samirah mendelik saking kagetnya. Mana mungkin ia menyerahkan anak gadisnya kepada bandot tua. Istri juragan Karyo memang hanya satu, tetapi laki-laki tua itu terkenal suka menggoda wanita. “Anakmu cantik, Samirah. Cocok buat ....” “Maaf, Juragan. Sasmita masih kecil, baru lulus SMP. Tolong jangan ambil anak saya, Juragan.” Samirah terduduk di lantai tanah dengan memelas. Biarpun miskin, ia tidak sudi menukar anaknya dengan utang-utangnya kepada juragan Karyo. Ia tidak rela Sasmita dinikahi laki-laki tua yang sekarang ada di hadapannya. “Kamu berani menolak permintaanku? Kamu mau dipenjara, hah?” Juragan Karyo menakut-nakuti Samirah. Dia tahu, Samirah hanya lulusan sekolah dasar. Wanita itu pasti mudah dibodohi, ‘pikir juragan Karyo.’ Mendengar kata penjara, nyali Samirah menciut juga. Ia terus mengiba dan memohon pada juragan Karyo agar mengurungkan niatnya untuk mengambil Sasmita. Gadis belia itu lebih pantas menjadi anaknya daripada menjadi istrinya. Samirah menangis histeris. Air matanya membanjir. Juragan Karyo tak bergeming. Dia tak peduli dengan Samirah yang meraung. Tidak ada yang mendengar tangisan wanita itu karena letak warung Samirah memang jauh dari pemukiman warga. Jalanan setapak depan warung juga sepi tiada yang berlalu-lalang. Panas semakin terik. Hati Samirah pun serasa ikut terbakar. Ia membisu saat air matanya telah mengering. Wanita beranak tiga itu meratapi nasibnya yang malang. Merutuki kemiskinan hidupnya. Sejenak ia menghujat Tuhan, mempertanyakan keadilan-Nya. Samirah lupa nikmat-nikmat Tuhan yang telah ia peroleh. Samirah mendustakan nikmat dari-Nya. “Rundingkan penawaranku ini dengan suamimu, Samirah! Penawaranku ini tidak datang dua kali. Besok datanglah ke rumahku dengan suamimu jika kalian setuju,” tekan juragan Karyo. Juragan Karyo meninggalkan Samirah yang masih bergeming. Wanita itu masih bersimpuh di lantai. Posisinya tidak berubah dan tak bergeser sedikit pun. Ia menyesal menyuruh Sasmita membantunya di warung. Andai saja ia tidak memaksa dan membujuk anaknya, hal ini mungkin tidak terjadi.‘Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Semua terlihat sempurna dan tanpa cela. Semua terlihat istimewa tanpa jeda. Andai rasa ini tetap bersemi sepanjang masa, mungkin hanya ada bahagia.’—Sasmita—****Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Kini yang tersisa hanya sedikit warna jingga yang menghiasi ujung langit. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai muslimah, Sasmita bergegas keluar rumah. Sasmita sedang mencuri waktu. Ia duduk di sebuah dipan yang terbuat dari bambu di teras rumahnya yang sederhana. Saat bu Samirah tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, Sasmita justru keluar dan sengaja menyendiri karena tidak ingin terusik celotehan adik-adiknya di ruang tamu. Sementara bapaknya yang baru pulang dari tempat kerja, tengah membersihkan diri di kamar mandi sederhana di belakang rumah.Sasmita tidak ingin mendapat pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya karena ia menyadari setelah pulang sekolah tadi, ia sering kali tersenyum-senyum sendiri selayaknya gadis yang
“Aku suka kamu, Mita. Apa kamu punya perasaan yang sama sepertiku?” Ramli mengeratkan genggamannya pada tangan Sasmita. Pemuda itu bicara serius dan sungguh-sungguh.Untuk beberapa saat Sasmita terbengong-bengong. Dengan perlahan gadis itu melepaskan genggaman tangan Ramli dan menariknya. Tubuh Sasmita menegang, wajahnya memanas, dan degup jantungnya serasa berlompatan. Sasmita senang sekaligus takut. Senang karena Ramli mempunyai perasaan yang sama dengannya. Namun, ia takut perasaannya itu akan berkembang yang pada akhirnya membuat ia patah hati. Ia tahu konsekuensinya.Ada perasaan aneh yang dirasakan Ramli saat Sasmita menarik tangan dari genggamannya. ‘Mungkinkah Sasmita menolak cintanya’ batin Ramli.“Maaf ... kamu tidak suka aku ...?” Ramli menjeda ucapannya. Ia bertanya dengan hati-hati dan matanya tidak berkedip ke arah Sasmita.“Bukan begitu, Mas. Aku suka, eh, maksudnya anu ....” Sasmita salah tingkah. Ia mencoba menghindar dari tatapan Ramli yang tajam. Tatapan yang menun
Sementara itu di tempat berbeda, Sasmita mempunyai kisahnya sendiri. Ia menikmati masa-masa sekolahnya dengan hati riang. Wajahnya selalu ceria dan memancarkan kebahagiaan. Sasmita tidak memikirkan perjanjian yang telah orang tuanya sepakati dengan juragan Karyo. Asalkan ia bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, hal itu tak masalah. Ia bukan akan diperistri juragan Karyo, tetapi akan dijadikan mantu oleh saudagar kaya dari desa sebelah itu. Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkan atau dikhawatirkan.Sering kali Sasmita membayangkan bagaimana rupa calon suaminya nanti. Ia tersipu sendiri. Sampai sekarang memang ia belum pernah bertemu dengan calon suaminya. Selama ini hanya juragan Karyo yang selalu mengawasi dan memperhatikannya. Laki-laki paruh baya itu ternyata sangat baik padanya dan sudah memperlakukannya seperti anak sendiri.Sasmita mengikuti pelajaran dengan serius. Ia rajin belajar agar nilai-nilainya bagus dan tidak mengecewakan calon ayah mertua yang membiayai sekolahnya.
Arya memacu kendaraan roda duanya dengan kecepatan hampir maksimal saat keluar dari Kota Surabaya. Suara knalpotnya bisa memekakkan telinga orang-orang yang mendengarnya. Saat jalan di kota, ia tidak bisa sembarangan melaju dengan kencang karena ada peraturan batas kecepatan dan banyaknya lampu merah. Sesekali Arya mengumpat jika harus mengerem mendadak saat kendaraan lain akan berbelok atau berhenti karena lampu merah. Pemuda itu memang tidak sabaran dan mulutnya dengan mudah mengeluarkan kata-kata kasar. Udara yang cukup panas membuat suasana hatinya ikut panas. Entah mengapa kebiasaan buruknya itu belum juga hilang.Hanya berkendara selama dua jam Arya sudah sampai di tanah kelahirannya, lebih cepat setengah jam dari biasanya. Hari belum terlalu siang saat Arya Sampai. Alih-alih pulang ke rumahnya, pemuda bertato elang di lengannya itu lebih memilih pergi ke tempat ia berjanji bertemu dengan Dahlia.‘Lia, aku sudah di tempat biasa kita bertemu. Kamu di mana?’Arya mengirim pesan
“Aku tadi sudah bilang juragan, kalau perjodohan antara Sasmita dan anaknya juragan, diundur sampai Sasmita lulus SMA. Juragan setuju dan beliau mau membiayai sekolah Sasmita.”“MasyaAllah, benarkah, Bu? Pak Sokran terkejut. Ia hampir tidak percaya dengan penjelasan istrinya.Mata Sasmita makin berbinar. Ia langsung sujud syukur. Air matanya berlinang karena bahagia. Sasmita terlalu senang, sehingga Iya tidak fokus lagi dengan penjelasan ibunya. Kesedihannya meluap detik itu juga. Meskipun pemuda yang ia sukai adalah Ramli, tetapi ia tidak keberatan jika dijodohkan dengan anaknya juragan, asalkan jangan menjadi istri muda juragan Karyo. Ia akan menurut kepada orang tuanya walaupun terpaksa. Andai Sasmita tahu takdir apa yang ada di depan matanya. Ia tidak akan berjalan sejauh itu dengan gegabah. Ia memang gadis bau kencur yang masih polos dan lugu.Keputusan yang dibuat para orang tua, akan mengubah hidupnya. Saat itu, Sasmita akan masuk dalam kandang binatang buas. Ia tidak bisa be
Sasmita berjalan terpincang-pincang. Air matanya terus mengalir sepanjang ia berjalan. Tidak hanya menahan perih akibat luka di tubuhnya, tetapi juga kesal dengan pemuda yang hampir menabraknya.“Dasar tidak punya perasaan dan etika. Ada orang jatuh tidak ditolong, malah dimaki-maki. Dia kira, jalan ini punya nenek moyangnya” gerutu Sasmita. Hatinya sakit mengingat pemuda tersebut. Andai Sasmita tahu, pemuda itu yang akan dijodohkan dengannya.Sasmita hampir tiba di warung ibunya setelah berjalan selama sepuluh menit. Warung berdinding anyaman bambu itu sudah terlihat jelas oleh Sasmita. Gadis itu ragu untuk kembali melangkah. Ia berhenti sejenak saat melihat laki-laki berkumis tebal keluar dari warung.“Juragan Karyo?” pekik Sasmita, lalu buru-buru ia menutup mulutnya. Tubuh Sasmita bergetar. Ia bergidik ngeri saat membayangkan akan menjadi istri seorang laki-laki yang lebih pantas menjadi bapaknya. Sasmita segera berlari dan bersembunyi di balik pohon yang tumbuh di pinggir jalan