Share

Kenyataan Pahit

Sasmita berjalan sendirian menyusuri jalanan desa yang sepi. Pohon mahoni tumbuh tegak berjejer di sepanjang jalan desa. Pohon-pohon itu memang cukup meneduhkan, tetapi terik matahari tetap terasa membakar kulit Sasmita. Tubuhnya dibanjiri keringat. Sesekali ia menyeka peluh di dahi. Sasmita mempercepat langkahnya. Perutnya yang sedari tadi mulas rasa-rasanya sudah tidak mau diajak kompromi. Ia ingin segera sampai di rumah untuk menuntaskan hajat.

 

Sasmita ingin berlari saja, tetapi jalanan yang masih berupa bebatuan kapur dan dipenuhi kerikil mengurungkan niatnya. Ia tak mau terjatuh dan terpeleset kerikil-kerikil tajam. Ia harus berhati-hati jika tidak mau terluka. Entah mengapa pemerintah belum juga memperbaiki jalan di desanya. Padahal jalan yang bagus sangat penting untuk membawa hasil sawah dan kebun ke kota sehingga perekonomian di desa bisa berkembang pesat.

 

Sasmita menghela napas. Pikirannya melalang buana. Ia kembali mengingat ucapan kedua orang tuanya semalam yang sudah tak sanggup membiayai sekolahnya. Sepanjang jalan air matanya kembali tertumpah. Cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi kini telah sirna.

 

Sasmita menghentikan langkah saat seseorang memanggil namanya dari arah belakang. Suara yang tidak asing dan sangat ia kenal. Suara itu terdengar seperti melodi-melodi musik yang memanjakan telinga. Seketika jantung Sasmita berdetak dengan cepat. Wajahnya tiba-tiba menghangat. Gadis belia itu menunduk saat seorang pemuda yang mengendarai motor menghalangi jalannya.

 

“Kamu dari mana, Mita? Panas-panas begini jalan sendirian.” Ramli mengulas senyum. Dia senang bertemu dengan Sasmita. Ramli tidak menduga bisa bertemu dengan gadis yang dia suka. Tebersit dalam hatinya untuk mengajak Sasmita naik motornya.

 

“Eh, Mas Ramli. Dari mana, Mas?” Sasmita memalingkan muka dan mengusap kedua pipinya. Ia tidak ingin pemuda di hadapannya melihat kekacauan wajahnya.

 

“Ditanya, kok, balik bertanya? Kamu menangis?”

 

Sasmita menggeleng. Gadis belia itu jadi salah tingkah. Ia beralasan. “Enggak, Mas. Mataku kelilipan debu. Anginnya kenceng banget.”

 

“Kamu dari mana?” Ramli mengulang pertanyaannya.

 

“Dari warung, Mas.”

 

“Warung?”

 

“Iya, Mas. Ibukku jualan kopi dan gorengan di warung pinggir jalan depan gapura desa,” jelas Sasmita.

 

“Oh, jadi itu warung milik ibumu?”

 

“Iya, Mas. Tapi tanahnya menyewa dari juragan pemilik sawah dan kebun-kebun jagung yang ada di belakang warung.”

 

Ramli mengangguk-angguk tanda mengerti. Di sisi lain Sasmita meringis. Sebenarnya ia masih menahan sakit perut. Keringat sebesar biji jagung menetes dari dahinya. Ujung matanya kembali mengembun. Kali ini bukan karena sedih, tetapi karena perutnya yang makin melilit.

 

Mata Sasmita yang sembap tidak bisa membohongi Ramli. Pemuda itu merasa iba dan tidak tega. Tanpa banyak bertanya lagi, Ramli menyuruh Sasmita untuk naik motornya.

 

“Aku akan mengantarmu pulang, Mita. Naiklah!”

 

“Baik, Mas.” Sasmita segera membonceng Ramli. Ia tidak menolak tawaran pemuda itu, mengingat keadaan perutnya yang makin sakit.

 

“Kamu enggak apa-apa, kan? Kamu sakit?” Ramli kembali memastikan keadaan Sasmita setelah gadis itu duduk di atas jok motornya.

 

“Enggak apa-apa, Mas. Yuk, berangkat!” ajak Sasmita. Ramli pun menuruti Sasmita.

 

Sepanjang jalan Ramli mengajak Sasmita mengobrol. Gadis cantik itu hanya menjawab seperlunya. Bahkan gadis itu tidak mengaku mengapa air matanya tumpah. Sasmita tidak ingin Ramli mengetahui alasan ia menangis. Ia malu.

 

Ramli tertarik pada kepolosan Sasmita. Menurutnya, Samita berbeda dengan gadis-gadis lain di desa itu yang tiap melihatnya akan mencari perhatian. Apalagi Sasmita adalah sahabat Rani—sepupunya. Makin mudah Ramli mengorek informasi dari Rani. Mahasiswa semester empat itu mempunyai perasaan khusus pada Sasmita sejak pertama kali bertemu. Ramli bukan pemuda asli Desa Banjarsari. Dia datang ke desa ini untuk berkunjung ke rumah pamannya—ayah Rani.

 

Ramli mengantar Sasmita tepat di depan rumah gadis itu. Sasmita segera turun dari motor dan berterima kasih pada Ramli lalu segera berlari masuk rumah. Ramli bengong melihat tingkah Sasmita. Pemuda itu hanya bisa menggeleng karena heran. Baru kali ini ia dicuekin cewek.

 

Seharusnya siang ini adalah pertemuan yang manis antara Sasmita dan Ramli. Rencana Ramli untuk mendekati Sasmita pun gagal. Dia bahkan belum mengutarakan isi hatinya. Pemuda itu sedikit menelan kekecewaan. Hari ini adalah hari terakhir liburannya di desa. Besok dia harus kembali ke kota.

 

***

 

“Hari ini juragan ke warung, Pak,” ucap Samirah dengan suara bergetar. Ia beberapa kali menghela napas karena gugup. Lidahnya terasa Kelu saat akan menceritakan pada suaminya perihal kedatangan juragan Karyo.

 

“Juragan Karyo meminta anak kita untuk menebus hutang-hutang kita, Pak,” kata Samirah. Wajahnya mendung menahan sedih.

 

“Apa maksudmu, Bu?” Sokran terkejut. Ia tidak percaya dengan pendengarannya.

 

“Kita tidak perlu membayar sewa warung, tidak perlu juga membayar hutang, asalkan Sasmita diperistri juragan Karyo,” jelas Samirah hati-hati. Ia perkecil suaranya agar tidak terdengar Sasmita.

 

“Apa-apaan kamu ini, Bu? Anak kita ini masih bau kencur. Bisa-bisanya kamu mengambil keputusan sendiri tanpa persetujuanku.” Emosi Sokran memuncak. Laki-laki itu merasa dilangkahi istrinya. Wajah Sokran memerah menahan amarah.

 

“Pak, jangan keras-keras suaranya!” Samirah meletakkan jari telunjuk di mulutnya.

 

“Kamu jangan gegabah, Bu! Pokoknya aku tidak setuju!” tekan Sokran.

 

“Tidak, Pak. Jangan salah paham! Dengarkan dulu penjelasanku!”

 

“Tidak perlu penjelasan! Aku tidak setuju! Titik.”

 

“Aku belum mengambil keputusan, Pak. Aku juga tak rela anak kita jadi istri simpanan.”

 

“Lalu? kenapa tidak langsung kau tolak saja permintaan orang gemblung itu?”

 

“Aku sudah menolaknya, Pak, tapi juragan mengancam. Juragan akan menjebloskan kita ke penjara kalau tidak segera membayar hutang.”

 

Sokran mengernyit. Ia mencoba menyaring ucapan istrinya. Emosinya sedikit menurun. Kali ini otaknya berpikir dengan jernih. “Juragan mungkin bukan orang yang lurus, Bu. Tapi tidak mungkin juragan berbuat seperti itu. Selama ini juragan baik dan selalu membantu kita. Kamu jangan mengada-ada!” Sokran masih belum percaya dengan ucapan istrinya. Menurutnya, sebrengsek-brengseknya juragan Karyo, tidak mungkin laki-laki itu memperistri gadis bau kencur.

 

“Aku tidak bohong, Pak,” jerit Samirah. Ia jengkel karena sang suami tidak mempercayainya.

 

Sasmita yang berada di kamar keluar mendengar teriakan kedua orang tuanya yang berada di ruang tamu sekaligus ruang serba guna untuk berkumpul sekeluarga. Ia pun keluar untuk memastikan pendengarannya.

 

“Siapa yang Bapak, Ibu, maksud?”

 

“Mita!” Sokran dan Samirah tergemap. Mereka tidak menyangka Sasmita mendengar perdebatan barusan. Ini karena mereka tidak  bisa mengendalikan ucapan.

 

“Siapa?” jerit Sasmita.

 

Sokran dan Samirah kembali terkejut. Mereka terdiam seribu bahasa. Kedua orang tua itu tidak bisa menjawab pertanyaan anaknya.

 

“Tidak ... Aku enggak mau, Pak, Buk. Aku enggak apa-apa enggak disekolahkan, tapi tolong, jangan menjualku!”

 

“Mita .... ! Kami tidak menjualmu, Nak.” Sokran dan Samirah bergegas mendekati anaknya. Mereka berusaha menenangkan Sasmita

 

Sasmita terguncang. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Belum pulih kekecewaannya mengenai sekolah, kini ia harus menerima kenyataan pahit lagi. Kenyataan yang lebih menghancurkan hidupnya. Sasmita menangis dalam diam. Air mata sudah membanjiri kedua pipinya. Gadis beliau tidak lagi mempunyai semangat hidup. Masa depan impiannya pupus sudah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status