Share

Bab 4 : Kebenaran Tersembunyi

Arjun ditarik keluar ruangan secara brutal, Baron sudah menetapkan pria itu sebagai pelaku. Keputusannya untuk memberikan hukuman padanya tidak bisa diganggu gugat.

Sedang Dorothy yang masih membenamkan dirinya dalam pikiran penuh tanda tanya hanya bisa bergeming, menyaksikan Arjun yang mulai diarak keliling desa dengan kedua tangan dan kakinya yang diborgol, beberapa pria bertubuh kekar menghimpit Arjun sambil sesekali memberi pecutan agar Arjun tidak diam di tempat.

Para warga desa yang menonton pun mulai mengolok-olok, saling memberi cacian hingga beberapa diantaranya melemparkan kerikil tajam pada tubuh Arjun. Pelipis pria itu terluka cukup parah, darah mengalir layaknya air terjun yang mulai menutupi seluruh paras Arjun.

Dorothy semakin merasakan tenggorokannya tercekat ketika tak sengaja melakukan kontak mata dengan Arjun, tatapan pria yang sudah babak belur itu seolah meminta pertolongan. Sorot matanya mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah.

Sebetulnya Dorothy ingin sekali menentang, dan menghentikan semua itu. Tapi dirinya tidak punya bukti yang kuat, sekalipun dirinya menjadi saksi atas transaksi dari racun tersebut, dan yakin bahwa pemilik racun itu adalah Baron, suaminya sendiri.

Dorothy melirik ke samping, melihat Baron yang sibuk menonton pemandangan di depan sambil menggertakan gigi. Dalam batin Dorothy bergumam, jika memang dalang sebenarnya dibalik semua ini adalah Baron. Lantas apa alasan dan tujuannya sampai tega membunuh ayahnya sendiri?

Entahlah, dipikirkan berapa kalipun rasanya Dorothy tidak bisa mengeluarkan sebuah dugaan. Meski Baron terlihat pembangkang, tapi Dorothy yakin hubungan antara ayah dan anak itu tidak seburuk sampai harus terjadi hal seperti ini.

“Selesai diarak keliling kampung, bawa dia ke hadapanku untuk dipenggal kepalanya!” pesan Baron sebelum meleos masuk ke dalam rumah.

“Baik, Tuanku.” Beberapa pria yang menanggung tugas tersebut langsung mengangguk paham.

***

Matahari nyaris terbenam di kaki langit, lembayung senja mulai berganti dengan gulitanya malam. Di pekarangan rumah utama Adhelmar, para warga desa berkerumun, mereka sengaja diundang oleh Baron untuk menyaksikan sebuah pertunjukan.

Tubuh Arjun yang bertelanjang dada dengan darah pekat yang bercucuran di mana-mana menguarkan bau amis yang menyengat. Paras Arjun yang sempat digilai banyak perempuan kini sudah tak berupa, bahkan warna matanya yang indah —ungu terang— sudah lebam melingkar, sebelah matanya bonyok, terpejam tak dapat dibuka kembali.

Tidak tahu apa yang dilakukan para warga desa hingga membuat Arjun terlihat menyedihkan seperti itu, tapi yang jelas penderitaannya tidak akan berhenti begitu saja. Karena akan ada pertunjukan mengerikan yang menjadi konsumsi publik, dan Arjun adalah bintang utamanya.

Arjun setengah duduk, borgol di tangannya belum dilepaskan. Hawa panas dari kobaran api yang melingkari tubuhnya sudah tak bisa lagi Arjun rasakan, ia mati rasa akibat luka di sekujur tubuhnya.

“Bersiaplah untuk menemui ajalmu, dasar pengkhianat!” Baron mengacungkan pedang, berjalan ke arah Arjun. “Aku tahu niat busukmu. Mencari-cari kesalahanku, lalu mengadu pada Ayahku untuk mengadu domba kami. Padahal jelas tujuanmu adalah untuk mengambil alih semua yang kami miliki. Jangan mentang-mentang Ayahku sangat amat mempercayaimu, kamu bisa semena-mena!”

Dengan penglihatan yang sedikit buram, Arjun masih bisa melihat wujud Baron yang tengah berjalan mendekat padanya. Ujung pedang yang runcing juga mengkilap sudah diarahkan pada lehernya, tapi itu sama sekali tidak membuat Arjun takut.

“Tuan, bahkan ketika nyawaku sudah tidak ada harganya lagi, aku masih tidak mau mengakui bahwa akulah pembunuhnya. Kata maaf dan pengakuan tidak akan keluar dari mulutku sampai kapanpun, Tuan!” tegas Arjun, rahangnya yang sudah bergeser dan ujung bibirnya yang sobek tak mengurungkan niatnya untuk tetap membela diri.

Baron mendesis sebal. “Benar. Percuma. Sekalipun kata maaf keluar dari mulutmu...” Ujung pedang yang diarahkan diangkat, menyentuh dahi Arjun, sedikit ditekan hingga tercipta luka sayatan dan kembali mengeluarkan darah, mengucur melintasi hidung mancungnya. “... Kamu akan tetap mati.”

Ujung pedang itu bergerak turun dari dahi dan kembali mendarat pada leher Arjun. Baron bersiap untuk menebasnya, ingin sekali mengakhiri nyawa Arjun dengan tangannya sendiri.

Entah karena sudah gelap mata atas kematian ayahnya atau memang Baron memiliki dendam pribadi padanya, yang jelas tilikan matanya menyorotkan kebencian yang mendalam.

“Jika kehidupan selanjutnya memang ada, saya bersumpah akan menuntut ketidak adilan ini!” Arjun mengangkat dagunya tinggi, memandang Baron tanpa takut, ekspresinya tampak senga. “Ingat, Tuan. Segalanya yang menjadi kebusukanmu akan segera terungkap. Uang yang sering kamu curi diam-diam, ketidakjujuranmu ketika mengirim barang pada konsumen, dan juga tentang sandiwaramu—”

Menggelinding. Kepala Arjun menggelinding bak bola setelah ditebas oleh Baron sebelum ucapannya selesai, tubuh tanpa kepala itu masih terduduk tegap, darah yang muncrat-muncrat membuatnya terlihat mengerikan.

Suasana mendadak tegang, keheningan mendera selama beberapa detik sebelum akhirnya Baron melempar pedang yang bersimbah darah Arjun ke sembarang arah. Lalu melenggang meninggalkan kerumunan orang-orang.

“Bersihkan jasadnya. Dan pastikan semua tentangnya pun harus hilang dari rumah ini!” titah Baron, langkah kakinya dipercepat untuk memasuki rumah.

***

Seminggu setelah kejadian itu, keadaan belum juga membaik. Hubungan antara Dorothy dan Baron pun terasa semakin berjarak, suaminya itu seolah sedang terang-terangan menjauhinya.

Bahkan selama seminggu ini mereka berdua tidak tidur seranjang lagi. Selama itu pula Dorothy dibayang-bayangi banyak pertanyaan, juga dirinya merasa diteror rasa bersalah setelah menyaksikan sendiri kematian Arjun yang mengenaskan.

Meski begitu, Dorothy tampaknya mencoba tutup mata atas suatu hal yang diketahuinya. Mungkin karena ia sudah jatuh hati pada suaminya, Dorothy berlagak seolah tidak tahu apa-apa. Menyembunyikan kebenaran yang ia ketahui entah sampai kapan.

Dorothy melamun sendirian di kamar, nafsu makannya hilang, bahkan sudah tiga hari ini ia tidak makan apapun kecuali meneguk air minum saja. Kantung matanya menghitam, membuat matanya terlihat tak cantik lagi.

Saat pintu kamar diketuk, atensi Dorothy langsung tersedot oleh Baron yang sudah berjalan masuk. Ekspresi datar Dorothy langsung berubah sumringah, ia berpikir mungkin suaminya sudah bersikap kembali seperti biasanya.

Mungkin perubahan sikapnya selama seminggu ini digunakan untuk mencoba menerima keadaan yang ada, bagaimanapun juga pastinya Baron masih terasa terpukul setelah kepergian ayahnya. Ditambah semua tanggung jawab Matteo terhadap usaha dan penguasaan wilayah langsung berpindah tangan pada Baron seluruhnya.

“Kamu—” Dorothy yang belum sempat menuntaskan ucapannya, Baron lebih dulu memotongnya.

“Mari kita berpisah,” kata Baron dengan mimik datarnya, menyela ucapan Dorothy yang belum tuntas.

“A-apa maksudmu?” Dorothy nyaris tersedak ludah sendiri ketika mendengarnya, aneh sekali jika Baron mendadak mengatakan hal itu.

“Kamu tuli, ya?” Baron berdecak sebal, bola matanya bergulir kesal. “Tapi mari aku perjelas lagi. Aku ingin kita mengakhiri semuanya, pernikahan dan segala hal yang berhubungan antara aku dan kamu.”

“Tapi kenapa?” Dorothy mengerutkan kening, benar-benar tak bisa dipahami. “Tolong beri aku alasan mengapa kamu ingin kita melakukan itu, Baron.”

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status