Share

Bab 6 : Kehidupan Baru

Harga diri Dorothy benar-benar hancur, namanya sudah jelek di mata orang-orang. Melangkah pergi dari kediaman Adhelmar pun Dorothy harus menelan banyak cacian dan hujatan dari mereka-mereka yang sudah terhasut omongan Baron.

Dorothy pergi tanpa memiliki tujuan yang jelas, juga dirinya tidak membawa apa-apa. Ia luntang-lantung tanpa arah, terus berjalan dan berharap bisa memiliki lingkungan dan tempat tinggal yang bisa membuatnya merasa dimanusiakan.

Berjalan memasuki hutan, meninggalkan ingar bingar pedesaan, Dorothy berjalan tanpa alas dan tanpa istirahat hingga langit sudah mulai menggelap. Perutnya yang terasa lapar dan perih hanya bisa ia usap-usap di sepanjang perjalanan, sesekali Dorothy meneguk sisa embun di dedaunan, sedikit bisa menghilangkan dahaga.

“Kemana aku harus pergi? Aku bahkan tidak tahu sekarang aku ada di mana.” Dorothy mengedarkan pandangan, sesekali menengadah, menatap dedaunan rimbun yang menghalau sinar mentari untuk menelusup ke dalam hutan.

Suara tapak kaki kuda terdengar sayup-sayup, Dorothy reflek melongok ke belakang. Melihat sebuah dokar yang ditarik oleh kuda hitam dan dikendalikan oleh seseorang tengah berjalan mendekat padanya.

Semakin mendekat, semakin jelas Dorothy bisa melihat bahwa yang tengah duduk sambil memegang kendali dokar tersebut ternyata seorang pria paruh baya dengan rambut yang nyaris memutih semua. Dorothy menelan ludah, memasang wajah memelas, berharap mendapat pertolongan.

Sampai akhirnya dokar tersebut berhenti tepat di samping Dorothy. Lalu jelaga hitam Dorothy beradu pandang dengan pria renta yang mengenakan pakaian khas ala petani tersebut.

“Sepertinya kamu tersesat, Nona. Tidak pernah sekalipun ada manusia yang berani melewati hutan ini sambil berjalan kaki. Apa kamu butuh tumpangan?” tawarnya kemudian dengan sorot teduhnya yang menenangkan.

Sedikit pun Dorothy tidak melihat niat jahat yang tersirat dari bola mata pria tersebut. Tatapannya memancarkan ketulusan dibalik tawarannya untuk membantu.

“Tolong,” lirih Dorothy dengan mulut yang bergetar, bulir dingin yang memenuhi seluruh permukaan wajahnya langsung berlomba-lomba menuruni leher. “Tolong bawa aku kemanapun. Aku ... A-aku tidak memiliki tujuan. Aku hanya ingin pergi ke tempat yang jauh, tempat yang baru, tempat yang dimana seorang pun tidak bisa mengenaliku.”

Dahi pria itu mengerut, perasaan iba muncul tatkala melihat ekspresi Dorothy yang mengkhawatirkan. Sebenarnya ia hanyalah petani lintas desa yang setiap hari menjualkan hasil kebunnya ke desa lain, dan baru kali ini ia bertemu dengan seorang perempuan linglung yang berjalan sendirian di hutan.

“Naiklah. Kamu bisa menceritakan apa masalahmu selama di perjalanan nantinya. Aku hanyalah pria tua sakit-sakitan yang mungkin tidak bisa membantu banyak. Tapi aku bisa memberimu tumpangan untuk sampai ke tempat baru seperti yang kamu inginkan,” balasnya kemudian.

Dorothy membentang senyum sumringah, seperti melihat cahaya setelah berjalan di dalam lorong panjang yang gelap. Dengan kaki yang sedikit gemetaran ia menaiki dokar milik pria itu, duduk dengan nyaman di kursi bagian belakang.

“Jika dilihat-lihat, kamu mirip dengan seseorang,” ujar pria tua itu sambil mengingat-ngingat, tali yang tersambung dengan badan kuda di depan ia gerakan, membuat dokar kembali bergerak melanjutkan perjalanan.

Dorothy menahan napas sembari memejamkan matanya sebentar.

“Di desa seberang ada sebuah keluarga yang cukup terkenal dengan kekayaan yang melimpah. Putra tunggalnya memiliki seorang istri. Aku pernah melihatnya sekilas, dan wajahnya mirip denganmu. Sudah lama aku tidak mendengar kabar keluarga itu,” papar pria tersebut memberitahu.

Kepala Dorothy tertekuk, memainkan jari-jari tangannya yang ia taruh di atas paha dengan gelisah. “Bukan. Itu bukan aku. Mungkin kebetulan hanya mirip saja.”

“Benar. Rasanya tidak mungkin. Sebab kabar terakhir yang kutahu, rumah tangga mereka bisa dibilang adem ayem dan harmonis. Mustahil istri yang beruntung itu pergi meninggalkan rumah dan memilih luntang-lantung di hutan,” timpalnya kemudian.

Dorothy menyunggingkan senyum, menahan tawa kesal yang hampir saja lolos. Lalu ia mendesis dalam hati, “Tch! Apanya yang beruntung?”

***

Sementara itu, selepas mengusir Dorothy, Baron membersihkan namanya di mata orang-orang. Beberapa saksi yang menonton kejadian sebenarnya sudah ia bungkam dengan sejumlah uang.

Selain para pelayan yang bekerja di rumahnya, tidak ada satupun yang mengetahui bahwa Baron membawa wanita lain untuk mengajaknya tinggal bersama. Sampai beberapa minggu kemudian, barulah Baron mengumumkan kabar tentang pernikahannya.

Beberapa orang terkejut tidak percaya bahwa begitu cepat Baron memutuskan menikah kembali setelah bercerai dengan Dorothy, sebagian lainnya mendukung pernikahannya karena bagaimanapun juga lelaki butuh pendamping. Setidaknya dalam sebulan itu pembicaraan tentang Baron terus memanas di kalangan para penduduk desa.

“Kamu sudah janji untuk membantu keluargaku, 'kan? Seperti yang kamu tahu, usaha orang tuaku tengah berada di ambang kehancuran, nyaris saja bangkrut jika tidak ada suntikan dana. Jadi seharusnya kamu tahu harus melakukan apa,” desak Gracia, tangannya menggelayuti bahu Baron sambil sesekali menggodanya.

Baron tengah sibuk membaca laporan hasil pengeluaran dan pemasukan bulanan dari usaha peninggalan ayahnya yang sudah diambil oleh dirinya, ia tidak mengerti caranya mengembangkan usaha. Bahkan semenjak kematian ayahnya hari itu, bisa dikatakan Baron rugi banyak.

“Kamu tidak mendengarkanku, ya?” Gracia mencebik, merasa diabaikan oleh suaminya itu. Kedua tangannya ia lipat di depan dada, bibirnya ia manyunkan.

Helaan napas gusar dikeluarkan Baron, wajahnya ia usap secara kasar. Kemudian menoleh pada Gracia dengan membentang senyum setenang mungkin. “Iya, aku tahu. Aku akan segera mengirimkan uang kepada keluargamu. Tenang saja, urusan itu tidak mungkin aku lupa.”

Gracia bangkit dari kursi dengan senyum kemenangan, lantas melenggang pergi setelah mendapatkan apa yang diinginkannya. Sejujurnya Gracia tidak sebodoh dan setulus itu untuk menerima seorang lelaki yang sebelumnya sudah berstatus seorang suami dari perempuan lain, dia juga tidak berniat untuk menjadi perebut, hanya saja keadaan memaksa dirinya untuk melangkah sampai ada di titik ini.

Siapa yang tahu jika Gracia adalah putri dari pemilik kedai makanan yang cabangnya sudah tersebar ke mana-mana? Tapi sejak usahanya terombang-ambing dan membuat beberapa cabang harus tutup, keluarga Gracia yang semula dipandang tinggi pun kini sudah meredup.

Satu-satunya cara yang bisa ia pikirkan adalah dengan mengencani pria kaya raya untuk mengembalikan kehidupannya yang dulu. Hingga akhirnya Gracia memilih Baron untuk menjadi boneka yang bisa dimanfaatkan, pria bodoh macam Baron mudah ditipu hanya dengan kata-kata manis dan belaian manja.

“Mau kemana? Sudah dua hari ini kamu selalu memilih tidur terpisah,” tanya Baron, membuat langkah istrinya yang nyaris menghilang dari balik pintu jadi terhenti.

Gracia menjawab tanpa menengok, “Kamu saja selalu sibuk dengan urusanmu itu. Lagi pula, memangnya isi otakmu itu hanya tentang seks saja? Ayolah, kita tidak perlu melakukannya setiap hari.”

Baron melenguh kesal, menatap punggung istrinya yang sudah menghilang dari pandangan. “Sepertinya aku salah memilih istri,” gumamnya sambil memijat pelipisnya yang mulai berdenyut pening.

Ia baru menyadari bahwa perempuan yang dipilihnya ternyata memiliki racun yang mematikan. Efeknya bukan seperti racun yang diberikannya pada sang ayah hari itu, tapi perlahan-lahan menggerogoti rongga hatinya, menutup logikanya, dan membutakan pandangannya terhadap yang benar dan yang salah.

Jika terus begini, bagaimana nasib Baron beberapa tahun ke depan? Sepertinya tanpa ada campur tangan Dorothy, Baron sudah hancur karena pilihannya sendiri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status