Kumi menoleh dan mulutnya terkunci saat melihat Ibu dan Ayahnya berdiri di depan pintu. Dia langsung menubruk Ibu dan Ayahnya yang belum dilihatnya selama berbulan-bulan. “Ibu, Kumi kangen sekali.”
Putri memeluk anaknya sambil berlinang air mata. Hatinya hancur sekali melihat Kumi diperlakukan jahat oleh menantu dan besannya. “Maafkan Ayah dan Ibu Nak. Ibu tidak menyangka mereka memperlakukanmu buruk seperti ini.”
Rini ketus, ia marah sekali melihat besannya mendadak datang. ”Tamu kok gak punya sopan-santun, langsung masuk ke rumah orang tanpa permisi. Lagipula, Kumi itu menantu kami, kami berhak melakukan apa saja kepadanya. Sedangkan kalian tidak punya hak sama sekali!”
Teguh datang. “Benar apa kata istri saya, kalian tidak usah ikut campur dengan rumah tangga anak kami. Sebaiknya Tomo dan Putri pulang, daripada memperkeruh keadaan,” ucapnya tenang tanpa empati.
Darah Putri naik mendengar perkataan kedua besannya. “Kumi itu anak saya, darah daging saya! Saya dan Mas Tomo tidak pernah memukulnya. Eh… kok kalian gampang sekali memukul anak orang. Apa situ mau Arka kami siksa seperti kalian memperlakukan anak kami? Pasti gak mau juga to?” Mata Putri menatap nanar Rini dan Teguh bergantian. “Ayo Nduk kita pulang. Wes sampai mati Ibu gak rela kamu bersama Arka lagi!” sungutnya dongkol.
“Tidak bisa! Kumi masih istri sah saya. Ibu tidak bisa membawanya pulang seenaknya tanpa seijin saya!” teriak Arka, dia berdiri di depan pintu.
Kumi menyeringai. dia yang dulunya mantan atlet silat, tanpa aba-aba kaki kanannya langsung menendang alat vital Arka, membuat pria itu mengadu kesakitan. “Aku jijik denganmu Mas dan jangan pernah sebut lagi aku istrimu!”
“Sial!” umpat Arka yang masih meringis kesakitan.
Sutomo mendekati Teguh dan berkata dengan dingin. “Aku menyesal telah menjadi besan sampeyan Mas.”
“Sana-sana pergi! Emangnya siapa yang suka berbesanan dengan kalian yang miskin itu! Aku juga tak sudi punya menantu dekil, pencuri pula seperti kamu itu!” usir Rini sambil melemparkan barang-barang Kumi di depan Sutomo.
Kumi maju, ia tak terima dengan perkataan mama mertuanya. ”Iya saya memang miskin dan dekil tapi saya bukan pencuri seperti yang mama bilang. Meski kalian memberi saya makanan sisa-sisa, tak pernah sekalipun saya berniat mencuri! Orang tua saya mendidik saya baik.”
“Ini buktinya! Kamu dapat darimana coklat Cadbury ini!!” Rini melemparkan coklat itu ke tubuh Kumi.
Kumi menahan napas. Matanya terpejam mengingat sesuatu. “Jangan asal tuduh Ma. Itu pemberian Celine. Kalau Mama tidak percaya, silahkan telpon mamanya Celine dan biarkan saya bicara kepadanya.”
Rini memandang Kumi dengan remeh. “Mana pencuri mau ngaku.”
Kumi tertawa getir dia berjalan pelan menghampiri Papa mertuanya yang mulai tadi duduk mengamati mereka.
“Papa adalah orang yang katanya taat beragama, coba jelaskan pada saya, didikan apa yang Papa ajarkan pada Arka sehingga rela tidak mengakui istri dan menyodorkan istrinya pada sang bos supaya mendapatkan jabatan?” Kumi tersenyum sinis. “Apakah ketaatan itu hanya kamuflase untuk menutupi kebobrokan Papa?!!”
Kedua rahang teguh mengatup menerima pertanyaan telak yang dilontarkan Kumi kepadanya.
Sutomo melihat gelagat tak baik. “Sudah biarkan saja. Jangan ikuti sikap mereka.” Dia lalu dengan santai memunguti barang-barang Kumi dan memasukkannya ke dalam kopor. Matanya memerah menahan gejolak emosinya. Kemudian mengajak istri dan anaknya pergi. “Ayo kita pulang,” katanya sambil menyeret kopor Kumi.
Kumi tak tega melihat orang tuanya diperlakukan kejam oleh keluarga Arka. Gigi wanita muda itu gemeretuk dan tangannya membelai perutnya. “Maaf ya Nak, kamu harus menerima perlakuan buruk seperti ini. Mommy janji akan membahagiakan kamu,” gumamnya lirih.
Mereka bertiga berjalan beriringan dengan pikiran yang bergelayut menuju mobil yang terparkir di tepi jalan.
Saat hendak membuka pintu mobil, sebuah mobil Lexus berhenti di belakang mobil ayah Kumi, Ibu Nita keluar dari dalam mobil.
“Lho Mba, mau kemana?”
“Saya mau pulang, Bu.”
“Jangan pulang Mba. Kerja sama saya saja. Saya janji akan memberikan gaji dobel daripada di rumahnya Jeng Rini, mau ya?”
Kumi tersenyum palsu. “Maaf Bu. Saya sebenarnya bukan pembantu Bu Rini, tapi saya adalah istri Mas Arka,” ungkapnya. Kumi tak peduli lagi apa yang dikatakannya akan mencoreng nama baik keluarga Arka. Ah persetan. “Permisi.” Dia masuk ke dalam mobil dan meminta Ayahnya untuk segera pergi.
Nita hanya melongo menatap punggung Kumi. Dia lalu mengambil ponsel dan mengupdate status F******k.
Gak nyangka sama sekali, orang yang selama ini saya anggap baik baik, suka ngundang makan-makan ternyata tega memperlakukan menantunya seperti pembantu. Saya jadi gak respek. Maaf ya Jeng. Dia memberikan emoticon berpikir dan marah.
Kumi tak bisa mendeskripsikan apa yang ada di dalam hatinya. Perasaan sedih bercampur bahagia berbaur menjadi satu. Dirinya merasa terbebas dari tekanan Arka dan mertuanya. Akan tetapi di satu sisi dia takut dengan masa depan dirinya dan buah hatinya kelak. Perempuan ayu itu menarik napas panjang, menatap pepohonan yang mereka lewati dengan pikiran hampa.
Dia tak pernah menyangka sama sekali perkawinan yang dia jalani seperti cerita-cerita drama yang dilihat mertuanya di layar kaca.
Bagaimana caranya supaya dia berani? Ketika hidupnya saat ini terpuruk? Detak jantung Kumi berdegup kencang.
Lampu merah menyala, seorang perempuan berpakaian kumal menggendong bayi yang sedang tertidur pulas, ia mengetuk kaca mobilnya.
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k