Share

Bab 7

      

Kumi menoleh dan mulutnya terkunci saat melihat Ibu dan Ayahnya berdiri di depan pintu. Dia langsung menubruk Ibu dan Ayahnya yang belum dilihatnya selama berbulan-bulan. “Ibu, Kumi kangen sekali.”

            Putri memeluk anaknya sambil berlinang air mata. Hatinya hancur sekali melihat Kumi diperlakukan jahat oleh menantu dan besannya. “Maafkan Ayah dan Ibu Nak. Ibu tidak menyangka mereka memperlakukanmu buruk seperti ini.”

Rini ketus, ia marah sekali melihat besannya mendadak datang. ”Tamu kok gak punya sopan-santun, langsung masuk ke rumah orang tanpa permisi. Lagipula, Kumi itu menantu kami, kami berhak melakukan apa saja kepadanya. Sedangkan kalian tidak punya hak sama sekali!”

Teguh datang. “Benar apa kata istri saya, kalian tidak usah ikut campur dengan rumah tangga anak kami. Sebaiknya Tomo dan Putri pulang, daripada memperkeruh keadaan,” ucapnya tenang tanpa empati.

Darah Putri naik mendengar perkataan kedua besannya. “Kumi itu anak saya, darah daging saya! Saya dan Mas Tomo tidak pernah memukulnya. Eh… kok kalian gampang sekali memukul anak orang. Apa situ mau Arka kami siksa seperti kalian memperlakukan anak kami? Pasti gak mau juga to?” Mata Putri menatap nanar Rini dan Teguh bergantian. “Ayo Nduk kita pulang. Wes sampai mati Ibu gak rela kamu bersama Arka lagi!” sungutnya dongkol.

“Tidak bisa! Kumi masih istri sah saya. Ibu tidak bisa membawanya pulang seenaknya tanpa seijin saya!” teriak Arka, dia berdiri di depan pintu.

Kumi menyeringai. dia yang dulunya mantan atlet silat, tanpa aba-aba kaki kanannya langsung menendang alat vital Arka, membuat pria itu mengadu kesakitan. “Aku jijik denganmu Mas dan jangan pernah sebut lagi aku istrimu!”

“Sial!” umpat Arka yang masih meringis kesakitan.

Sutomo mendekati Teguh dan berkata dengan dingin. “Aku menyesal telah menjadi besan sampeyan Mas.”

“Sana-sana pergi! Emangnya siapa yang suka berbesanan dengan kalian yang miskin itu! Aku juga tak sudi punya menantu dekil, pencuri pula seperti kamu itu!” usir Rini sambil melemparkan barang-barang Kumi di depan Sutomo.

Kumi maju, ia tak terima dengan perkataan mama mertuanya. ”Iya saya memang miskin dan dekil tapi saya bukan pencuri seperti yang mama bilang. Meski kalian memberi saya makanan sisa-sisa, tak pernah sekalipun saya berniat mencuri! Orang tua saya mendidik saya baik.”

“Ini buktinya! Kamu dapat darimana coklat Cadbury ini!!” Rini melemparkan coklat itu ke tubuh Kumi.

Kumi menahan napas. Matanya terpejam mengingat sesuatu. “Jangan asal tuduh Ma. Itu pemberian Celine. Kalau Mama tidak percaya, silahkan telpon mamanya Celine dan biarkan saya bicara kepadanya.”

Rini memandang Kumi dengan remeh. “Mana pencuri mau ngaku.”

Kumi tertawa getir dia berjalan pelan menghampiri Papa mertuanya yang mulai tadi duduk mengamati mereka.

“Papa adalah orang yang katanya taat beragama, coba jelaskan pada saya, didikan apa yang Papa ajarkan pada Arka sehingga rela tidak mengakui istri dan menyodorkan istrinya pada sang bos supaya mendapatkan jabatan?” Kumi tersenyum sinis. “Apakah ketaatan itu hanya kamuflase untuk menutupi kebobrokan Papa?!!”

Kedua rahang teguh mengatup menerima pertanyaan telak yang dilontarkan Kumi kepadanya.

Sutomo melihat gelagat tak baik. “Sudah biarkan saja. Jangan ikuti sikap mereka.” Dia lalu dengan santai memunguti barang-barang Kumi dan memasukkannya ke dalam kopor. Matanya memerah menahan gejolak emosinya. Kemudian mengajak istri dan anaknya pergi. “Ayo kita pulang,” katanya sambil menyeret kopor Kumi.

Kumi tak tega melihat orang tuanya diperlakukan kejam oleh keluarga Arka. Gigi wanita muda itu gemeretuk dan tangannya membelai perutnya. “Maaf ya Nak, kamu harus menerima perlakuan buruk seperti ini. Mommy janji akan membahagiakan kamu,” gumamnya lirih.

Mereka bertiga berjalan beriringan dengan pikiran yang bergelayut menuju mobil yang terparkir di tepi jalan.

Saat hendak membuka pintu mobil, sebuah mobil Lexus berhenti di belakang mobil ayah Kumi, Ibu Nita keluar dari dalam mobil.

“Lho Mba, mau kemana?”

“Saya mau pulang, Bu.”

“Jangan pulang Mba. Kerja sama saya saja. Saya janji akan memberikan gaji dobel daripada di rumahnya Jeng Rini, mau ya?”

Kumi tersenyum palsu. “Maaf Bu. Saya sebenarnya bukan pembantu Bu Rini, tapi saya adalah istri Mas Arka,” ungkapnya. Kumi tak peduli lagi apa yang dikatakannya akan mencoreng nama baik keluarga Arka. Ah persetan. “Permisi.” Dia masuk ke dalam mobil dan meminta Ayahnya untuk segera pergi.

Nita hanya melongo menatap punggung Kumi. Dia lalu mengambil ponsel dan mengupdate status F******k.

Gak nyangka sama sekali, orang yang selama ini saya anggap baik baik, suka ngundang makan-makan ternyata tega memperlakukan menantunya seperti pembantu. Saya jadi gak respek. Maaf ya Jeng. Dia memberikan emoticon berpikir dan marah.

Kumi tak bisa mendeskripsikan apa yang ada di dalam hatinya. Perasaan sedih bercampur bahagia berbaur menjadi satu. Dirinya merasa terbebas dari tekanan Arka dan mertuanya. Akan tetapi di satu sisi dia takut dengan masa depan dirinya dan buah hatinya kelak. Perempuan ayu itu menarik napas panjang, menatap pepohonan yang mereka lewati dengan pikiran hampa.

Dia tak pernah menyangka sama sekali perkawinan yang dia jalani seperti cerita-cerita drama yang dilihat mertuanya di layar kaca.

Bagaimana caranya supaya dia berani? Ketika hidupnya saat ini terpuruk? Detak jantung Kumi berdegup kencang.

Lampu merah menyala, seorang perempuan berpakaian kumal menggendong bayi yang sedang tertidur pulas, ia mengetuk kaca mobilnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status