"Saya terima nikah dan kawinnya Ainel Celia Putri Hario dengan mas kawin yang tersebut tunai."
Dengan lantang Bara mengucapkan ijab qabul didepan Martano Hario selaku orang tua dari Ainel Hario yang kini sudah sah menjadi istrinya.
"Bagaimana saksi? Sah?" tanya pak penghulu yang sudah berumur tersebut.
"SAH!"
Ruang tamu rumah yang mewah ini dipenuhi dengan riuh rendah suara semua yang hadir. Entah siapa mereka Bara tidak mengenal mereka kecuali beberapa orang yang merupakan atasannya di kantor Hario Group.
Bara bahkan tidak tahu yang mana Ainel istrinya, karena sejak awal dia diminta menikahi Ainel tidak sekalipun dia bertemu. Semua sudah dipersiapkan oleh Tuan Hario, mertuanya. Bara hanya diminta datang hari ini ke kediaman Tuan Hario.
Tak lama kemudian seorang wanita dengan mengenakan gaun putih panjang, menuruni tangga dengan dibantu dua orang perias pengantin yang bertugas mengangkat gaun tersebut apabila dia mau berjalan. Fotografer dengan sigap mengambil dokumentasi di setiap gerakan sang wanita. Blitz lampu kamera saling bersahutan antara fotografer satu dengan lainnya.
Tampak perempuan muda dan cantik dengan wajah tirus, memiliki kulit yang putih dan kuku-kuku yang panjang terawat tersenyum menghadap kamera.
Bara tertegun melihat wanita yang nyaris sempurna kecantikannya menurut Bara, karena di kampung tidak pernah Bara melihat perempuan secantik dia.
Namun mata Bara dikejutkan saat melihat kebagian perut sang mempelai wanita, perut yang tampak membesar walaupun sudah ditutupi dengan berbagai hiasan gaun, tetap saja perut yang membesar sangat tampak terlihat.
Bara menghela nafas panjang, terungkap sudah alasan Tuan Hario memaksanya untuk menikahi putrinya dengan seorang lelaki seperti Bara.
Mempelai wanita mendekat, dan atas arahan semua orang Ainel menciumi tangan lelaki yang beberapa menit lalu sudah sah menjadi suaminya. Bara membalas mencium kening sang istri sementara Ainel bergidik jijik saat Bara mendekatinya.
"Cium, cium!"
Gema suara teman-teman Ainel didalam ruangan ini.
"Iya sebaiknya kita ambil foto kalian yang sedang berciuman," ujar salah satu fotografer tersebut.
"Hayok Ainel jangan dianggurin dong, suami ganteng lo," ujar salah satu teman Ainel yang berbaju warna ungu dengan belahan baju hampir menampakkan seluruh bagian dadanya.
Ainel hanya mendelik, namun akhirnya mereka menuruti permintaan yang lainnya demi sebuah foto yang akan memenuhi feeds sosial media. Untuk membuktikan kepada dunia bahwa Ainel putri pemilik Hario Group bukan hamil dengan lelaki yang tidak jelas siapa.
Beberapa jam kemudian...
Saat ini Bara dan Ainel sedang berkumpul bersama teman-teman Ainel setelah prosesi akad nikah selesai. Ada satu laki-laki dan perempuan sedang berkumpul sambil menikmati hidangan yang tersedia.
"Nel, ganteng juga laki lo?" ujar Febi yang mengenakan gaun panjang berwarna ungu namun belahan gaun hanya berjarak sejengkal dari area intimnya.
"Ganteng dari Hongkong?" sungut Ainel.
"Serius kok Nel, dimana sih lo nemunya?" tanya yang lainnya.
"Lo mau sama dia?" tanya Ainel, sontak pertanyaan tersebut membuat Bara terkejut.
"Boleh Nel gua coba ya kapan-kapan kalo lo ikhlas sih," jawab Nilam yang mengenakan gaun putih transparan hanya menutupi bagian intimnya saja, sisanya transparan terekspos dengan bebas dinikmati semua mata yang memandang.
"Boleh ambil aja kalo lo gak jijik," ucap Ainel.
"Aih gampang itu mah, dimodalin dikit udah kinclong kok," jawab Nilam sambil mengedipkan matanya.
Bara yang mendengar semua percakapan beberapa orang tersebut sedikit bergidik ngeri, namun tak lama kemudian seringai jahat tercetak di bibirnya.
"Kalian pada ngomongin apa sih?" tanya Ben satu-satunya teman laki-laki disana.
"Laki Ainel ganteng, gua mau cicipi," ujar Nilam sambil menghisap rokok ditangannya.
"Gila lo, laki teman sendiri mau diembat juga?" tanya Ben.
"Habisnya Ainel gak mau, sayang lo di sia-siain," jawab Nilam.
"Atau lo sama gua aja Nel?" ujar Ben mengedipkan matanya kepada Ainel.
"Punya lo kecil!" jawab Ainel ketus.
Sekarang Bara paham seperti apa pergaulan wanita yang beberapa menit lalu menjadi istrinya. Bara paham jika anak yang ada dalam kandungan Ainel tidak tahu pasti siapa ayahnya. Bara hanya menggeleng.
"Hai Bar," sapa Ben sok akrab.
Bara hanya tersenyum menggeser duduknya memberikan ruang kepada Ben duduk disebelahnya.
"Ainel itu ganas Bar, siap-siap aja malam pertama lo bakal diterkamnya," kekeh Ben disambut gelak tawa yang lainnya.
"Itu karena lo aja yang loyo sih," jawab Febi yang diikuti anggukan oleh yang lainnya.
Bara hanya menjadi bahan bullyan Ainel dan teman-temannya. Bara hanya menanggapi mereka dengan tersenyum.
Namun, dikepala Bara sudah tersusun langkah apa yang akan diambil untuk kedepannya.
"Kita lihat saja Ainel, siapa yang akan bertekuk lutut," gumam Bara dalam hatinya.
"Maaf semuanya saya pamit istirahat dulu ya," ucap Bara kepada semuanya.
"Yoi bro, siapkanlah tenaga lo untuk nanti malam," jawab Ben sambil menepuk pundak Bara.
Sementara Ainel masih bercengkrama dengan teman-temannya, Bara merebahkan tubuhnya di kamar pengantin yang sudah disiapkan. Menghempaskan tubuhnya di kasur empuk yang bertaburan bunga. Bara hanya menyeringai melihat kamar pengantin.
"Jangan lo sentuh barang-barang gua yang ada di kamar ini!" tiba-tiba suara seseorang terdengar mengintimidasinya.
Bara menoleh, tampak Ainel sedang berkacak pinggang berdiri didepan pintu.
"Masuklah aku tak akan menyentuh apapun," jawab Bara santai.
"Lo jangan tidur disana, gua jijik," lanjut Ainel dengan ekspresi jijiknya menunjuk kasur tempat Bara berbaring.
"Terus aku tidur dimana?"
"Sofa atau di bawah ada kamar pembantu kosong untuk lo."
"Baiklah," jawab Bara sambil berjalan menuju sofa besar yang lebih dari cukup untuk tidur.
Tanpa memperdulikan Bara yang terus menatapnya Ainel melepaskan gaun pengantinnya dan membiarkan gaun tersebut teronggok di lantai. Sedang saat ini dia melenggang masuk ke kamar mandi dengan hanya mengenakan pakaian dalam saja dengan perut yang membesar.
Bara justru melihat Ainel semakin menarik dengan perut yang membuncit seperti itu. Seringai jahat kembali terukir di bibirnya.
"Kau akan memohon dibawah kuasaku Ainel," gumamnya sambil memejamkan matanya.
Tak lama kemudian Ainel keluar kamar mandi hanya berlilitkan handuk, dengan rambut yang basah. Menuju lemari bajunya hanya melirik ke arah Bara yang sedang pura-pura tertidur.
"Tanda tangan ini!"
Sontak Ainel terkejut dan tanpa diduga handuk yang melilit tubuhnya terlepas. Bara memungut handuk tersebut dan membuangnya ke sembarang arah.
"Apa ini?" tanya Ainel santai.
"Silakan baca sendiri!" ucap Bara tajam.
Ainel merobek-robek kertas tersebut sambil tertawa mengejek.
"Apa kau tahu akibatnya jika menolak Ainel? "ucap Bara sambil mendesak Ainel kedinding hingga posisi Ainel terkunci tangan Bara.
"Salma gak melamun, Mas," elak Salma."Yaudah Mas mandi dulu ya," ujar Bara dan berlalu masuk ke kamar mandi, karena bajunya bau asap rokok.Walaupun Salma tidak pernah protes akan hal itu, namun Bara menghargai sang istri dengan tidak bau asap bila di dekatnya."Iya, Mas," jawab Salma pelan. Entah dia sendiri pun bingung dengan pikirannya, padahal sejak pulang kerumah Bara tidak menunjukkan gelagat yang aneh."Astagfirullah," ujar Salma menggeleng dan segera menyiapkan baju ganti untuk sang suami.Bara keluar kamar mandi dengan hanya berbalut handuk, wajahnya tampak segar. Bara segera mengambil baju yang sudah disiapkan oleh Salma."Ada apa, kok mandang Mas gitu? Ganteng? Seksi?" goda Bara kepada Salma yang tengah memandangnya tanpa berkedip."Ih apaan sih Mas, suami Salma itu memang ganteng kok," jawab Salma sambil tersenyum.**Bara, Salma, dan Rikel sudah bersiap berangkat ke sebuah mall untuk ajak Rikel main sepuasnya."Yuda, yok kita ke Indah Mall," ajak Bara kepada Yuda.Disaat
Feeling seorang istri kadang tidak pernah salah, begitupun dengan Salma. Biasanya walaupun Bara pulang terlambat Salma tidak pernah menelepon. Entah hari ini tiba-tiba dia menelpon."Mas dimana? Kayak lagi dijalan?" tanya Salma."Enggak, Mas masih di kantor. Sebentar lagi Mas pulang ya," jawab Bara sedikit gugup.Salma memandang layar hp nya ada yang tidak biasa dari Bara. Tadi Yuda bilang Bara tidak ada di kantor, sedangkan Bara bilang masih dikantor."Mungkin tadi Mas Bara lagi keruangan lain," gumam Salma tetap berpikiran positif untuk sang suami. Karena dia tahu Bara selama ini tidak pernah berbohong.Bara tiba di kantor dan langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan diri. Menunggu hingga rambutnya mengering baru pulang kerumah.Rasa bersalah kepada Salma menghantuinya."Tadi ibu telepon, saya cari-cari bapak gak ada diruangan," ujar Yuda saat mereka sudah dalam perjalanan."Tadi perut saya sakit banget, mungkin saya lagi di kamar mandi," jawab Bara cuek sambil memainkan ponselny
"Ainel jadi jemput Tama?" tanya Bara kepada Salma."Kan sama Jojo pesan Mas kemaren," jawab Salma sambil memandang sang suami."Iya maksudnya Ainelnya kesini dulu kan, baru Jojo antar kemana yang mereka mau," ujar Bara."Jam sepuluh katanya Ainelnya kesini," beritahu Salma."Oh oke. Rikel gak ikut, kan?" tanya Bara lagi."Kayaknya gak deh Mas, tar gak dapat quality time berdua nya," jawab Salma."Gapapa, Rikel bisa main dirumah sama kita.""Mas kerja hari ini?" tanya Salma."Iya setengah hari saja, ada laporan yang mesti di cek," jawab Bara.Salma hanya mengangguk dan kemudian sibuk membantu bik Rasi menyiapkan makanan diatas meja untuk sarapan. Sedangkan Bara asyik dengan kopinya."Mbok Inah kemana, bik?" tanya Salma."Siram tanaman bu, kan udah beberapa hari gak ujan," jawab bik Rasi."Mang Bidin dan mang Ujang kemana?" sambung Bara heran karena seharusnya yang bertanggung jawab terhadap rumput dan tanaman itu kedua lelaki paruh baya tersebut."Itu loh pak, mereka berdua nyiram tana
Bu Aisah yang melihat bu Bira keluar kamar membawa koper besar, langsung mendekat."Ibu mau kemana?" tanya bu Aisah sambil menahan tangan bu Bira."Saya mau pulang ke rumah saya bu, percuma saya disini anak saya tidak pernah menghargai saya, tidak pernah menganggap saya ada, dan bahkan berani berteriak kepada saya," jawab bu Bira sambil menangis melirik ke arah Bara dan Salma yang sedang makan.Salma memilih menghentikan makannya, sedangkan Bara seolah tak peduli terus melanjutkan makannya, hanya ekor matanya melirik sekilas ke arah sang Mama yang sedang memainkan aktingnya. Playing victim."Udah bu kita bisa bicarakan ini baik-baik. Tunggu Bara selesai makan ya," bujuk bu Aisah membimbing bu Bira duduk di sofa depan TV. Sedangkan bik Sri memilih masuk ke kamarnya tidak mau ikut campur urusan keluarga sang majikan.Bu Bira menurut duduk di sofa sambil menyeka air matanya seolah-olah dia adalah orang yang paling terzalimi, padahal justru sebaliknya jika dibandingkan dengan Salma, sang
"Ada apa ma?" tanya Bara lagi."Buka dulu pintunya," teriak bu Bira."Tunggu aja di bawah Ma, nanti Bara turun," jawab Bara masih tak beranjak dari tempat tidurnya."Kalian lagi ngapain sih, buka pintunya kenapa?" tanya bu Bira."Gak bisa, Ma, lagi nanggung," jawab Bara tersenyum."Tanggung apanya?" tanya bu Bira lagi."Ya olahraga dong ma," jawab Bara."Kok sore-sore sempat-sempatnya kalian olahraga?" tanya bu Bira."Iya apa bedanya ma sore dan malam," jawab Bara tanpa beranjak dari posisinya.Hingga akhirnya bu Bira menyerah.Terdengar langkah yang menjauh. Bara menghela nafas lega. Anehnya aja ibunya seakan tidak memberinya waktu berduaan dengan Salma kecuali malam hari."Siapa, Mas?" tanya Salma yang baru keluar dari kamar mandi, bau mawar menguar ke seluruh ruangan."Mama," jawab Bara cuek."Kenapa?" tanya Salma mengernyitkan keningnya."Gak tahu, gak Mas bukain pintu," jawab Bara berlalu menuju kamar mandi, sebelumnya sempat mendaratkan kecupan di kening sang istri.Salma hanya
“Pa, Tama dan Ikel hari ini sekolah sama Umi ya pa. Please,” mohon kedua anaknya dengan wajah memelas.“Bik Sri kenapa?” tanya Bara sambil memandang ke arah sang pengasuh tersebut.“Gapapa Pa, hanya mau sama Umi aja sesekali,” jawab Tama.“Kasih tahu alasannya sama Papa dulu,” ujar Bara sambil mengelap mulutnya dengan tissue.“Mau cepelti teman-teman yang ditungguin sama ibunya,” jawab Tama dan Rikel bersamaan sambil menunduk.Bara melihat ada kesedihan di wajah kedua anaknya tersebut.“Boleh. Tapi hati-hati ya,” jawab Bara sambil mengelus kepala Tama.“Horeeee. Makasih, Paa,” jawab Tama dan Rikel sambil berlarian memeluk tubuh sang ayah.Salma hanya tersenyum melihat keceriaan kedua anak tersebut. Sudah berkali-kali keduanya memaksa untuk diantar oleh uminya, dan selalu dilarang oleh Bara.Bukan tanpa alasan Bara melarang Tama dan Rikel di antar oleh Salma.Tapi lebih ke ingin memberi tahu kepada Mamanya kalau di rumah ini ada orang yang bertanggung jawab terhadap suatu pekerjaan buk