"Saya terima nikah dan kawinnya Ainel Celia Putri Hario dengan mas kawin yang tersebut tunai."
Dengan lantang Bara mengucapkan ijab qabul didepan Martano Hario selaku orang tua dari Ainel Hario yang kini sudah sah menjadi istrinya.
"Bagaimana saksi? Sah?" tanya pak penghulu yang sudah berumur tersebut.
"SAH!"
Ruang tamu rumah yang mewah ini dipenuhi dengan riuh rendah suara semua yang hadir. Entah siapa mereka Bara tidak mengenal mereka kecuali beberapa orang yang merupakan atasannya di kantor Hario Group.
Bara bahkan tidak tahu yang mana Ainel istrinya, karena sejak awal dia diminta menikahi Ainel tidak sekalipun dia bertemu. Semua sudah dipersiapkan oleh Tuan Hario, mertuanya. Bara hanya diminta datang hari ini ke kediaman Tuan Hario.
Tak lama kemudian seorang wanita dengan mengenakan gaun putih panjang, menuruni tangga dengan dibantu dua orang perias pengantin yang bertugas mengangkat gaun tersebut apabila dia mau berjalan. Fotografer dengan sigap mengambil dokumentasi di setiap gerakan sang wanita. Blitz lampu kamera saling bersahutan antara fotografer satu dengan lainnya.
Tampak perempuan muda dan cantik dengan wajah tirus, memiliki kulit yang putih dan kuku-kuku yang panjang terawat tersenyum menghadap kamera.
Bara tertegun melihat wanita yang nyaris sempurna kecantikannya menurut Bara, karena di kampung tidak pernah Bara melihat perempuan secantik dia.
Namun mata Bara dikejutkan saat melihat kebagian perut sang mempelai wanita, perut yang tampak membesar walaupun sudah ditutupi dengan berbagai hiasan gaun, tetap saja perut yang membesar sangat tampak terlihat.
Bara menghela nafas panjang, terungkap sudah alasan Tuan Hario memaksanya untuk menikahi putrinya dengan seorang lelaki seperti Bara.
Mempelai wanita mendekat, dan atas arahan semua orang Ainel menciumi tangan lelaki yang beberapa menit lalu sudah sah menjadi suaminya. Bara membalas mencium kening sang istri sementara Ainel bergidik jijik saat Bara mendekatinya.
"Cium, cium!"
Gema suara teman-teman Ainel didalam ruangan ini.
"Iya sebaiknya kita ambil foto kalian yang sedang berciuman," ujar salah satu fotografer tersebut.
"Hayok Ainel jangan dianggurin dong, suami ganteng lo," ujar salah satu teman Ainel yang berbaju warna ungu dengan belahan baju hampir menampakkan seluruh bagian dadanya.
Ainel hanya mendelik, namun akhirnya mereka menuruti permintaan yang lainnya demi sebuah foto yang akan memenuhi feeds sosial media. Untuk membuktikan kepada dunia bahwa Ainel putri pemilik Hario Group bukan hamil dengan lelaki yang tidak jelas siapa.
Beberapa jam kemudian...
Saat ini Bara dan Ainel sedang berkumpul bersama teman-teman Ainel setelah prosesi akad nikah selesai. Ada satu laki-laki dan perempuan sedang berkumpul sambil menikmati hidangan yang tersedia.
"Nel, ganteng juga laki lo?" ujar Febi yang mengenakan gaun panjang berwarna ungu namun belahan gaun hanya berjarak sejengkal dari area intimnya.
"Ganteng dari Hongkong?" sungut Ainel.
"Serius kok Nel, dimana sih lo nemunya?" tanya yang lainnya.
"Lo mau sama dia?" tanya Ainel, sontak pertanyaan tersebut membuat Bara terkejut.
"Boleh Nel gua coba ya kapan-kapan kalo lo ikhlas sih," jawab Nilam yang mengenakan gaun putih transparan hanya menutupi bagian intimnya saja, sisanya transparan terekspos dengan bebas dinikmati semua mata yang memandang.
"Boleh ambil aja kalo lo gak jijik," ucap Ainel.
"Aih gampang itu mah, dimodalin dikit udah kinclong kok," jawab Nilam sambil mengedipkan matanya.
Bara yang mendengar semua percakapan beberapa orang tersebut sedikit bergidik ngeri, namun tak lama kemudian seringai jahat tercetak di bibirnya.
"Kalian pada ngomongin apa sih?" tanya Ben satu-satunya teman laki-laki disana.
"Laki Ainel ganteng, gua mau cicipi," ujar Nilam sambil menghisap rokok ditangannya.
"Gila lo, laki teman sendiri mau diembat juga?" tanya Ben.
"Habisnya Ainel gak mau, sayang lo di sia-siain," jawab Nilam.
"Atau lo sama gua aja Nel?" ujar Ben mengedipkan matanya kepada Ainel.
"Punya lo kecil!" jawab Ainel ketus.
Sekarang Bara paham seperti apa pergaulan wanita yang beberapa menit lalu menjadi istrinya. Bara paham jika anak yang ada dalam kandungan Ainel tidak tahu pasti siapa ayahnya. Bara hanya menggeleng.
"Hai Bar," sapa Ben sok akrab.
Bara hanya tersenyum menggeser duduknya memberikan ruang kepada Ben duduk disebelahnya.
"Ainel itu ganas Bar, siap-siap aja malam pertama lo bakal diterkamnya," kekeh Ben disambut gelak tawa yang lainnya.
"Itu karena lo aja yang loyo sih," jawab Febi yang diikuti anggukan oleh yang lainnya.
Bara hanya menjadi bahan bullyan Ainel dan teman-temannya. Bara hanya menanggapi mereka dengan tersenyum.
Namun, dikepala Bara sudah tersusun langkah apa yang akan diambil untuk kedepannya.
"Kita lihat saja Ainel, siapa yang akan bertekuk lutut," gumam Bara dalam hatinya.
"Maaf semuanya saya pamit istirahat dulu ya," ucap Bara kepada semuanya.
"Yoi bro, siapkanlah tenaga lo untuk nanti malam," jawab Ben sambil menepuk pundak Bara.
Sementara Ainel masih bercengkrama dengan teman-temannya, Bara merebahkan tubuhnya di kamar pengantin yang sudah disiapkan. Menghempaskan tubuhnya di kasur empuk yang bertaburan bunga. Bara hanya menyeringai melihat kamar pengantin.
"Jangan lo sentuh barang-barang gua yang ada di kamar ini!" tiba-tiba suara seseorang terdengar mengintimidasinya.
Bara menoleh, tampak Ainel sedang berkacak pinggang berdiri didepan pintu.
"Masuklah aku tak akan menyentuh apapun," jawab Bara santai.
"Lo jangan tidur disana, gua jijik," lanjut Ainel dengan ekspresi jijiknya menunjuk kasur tempat Bara berbaring.
"Terus aku tidur dimana?"
"Sofa atau di bawah ada kamar pembantu kosong untuk lo."
"Baiklah," jawab Bara sambil berjalan menuju sofa besar yang lebih dari cukup untuk tidur.
Tanpa memperdulikan Bara yang terus menatapnya Ainel melepaskan gaun pengantinnya dan membiarkan gaun tersebut teronggok di lantai. Sedang saat ini dia melenggang masuk ke kamar mandi dengan hanya mengenakan pakaian dalam saja dengan perut yang membesar.
Bara justru melihat Ainel semakin menarik dengan perut yang membuncit seperti itu. Seringai jahat kembali terukir di bibirnya.
"Kau akan memohon dibawah kuasaku Ainel," gumamnya sambil memejamkan matanya.
Tak lama kemudian Ainel keluar kamar mandi hanya berlilitkan handuk, dengan rambut yang basah. Menuju lemari bajunya hanya melirik ke arah Bara yang sedang pura-pura tertidur.
"Tanda tangan ini!"
Sontak Ainel terkejut dan tanpa diduga handuk yang melilit tubuhnya terlepas. Bara memungut handuk tersebut dan membuangnya ke sembarang arah.
"Apa ini?" tanya Ainel santai.
"Silakan baca sendiri!" ucap Bara tajam.
Ainel merobek-robek kertas tersebut sambil tertawa mengejek.
"Apa kau tahu akibatnya jika menolak Ainel? "ucap Bara sambil mendesak Ainel kedinding hingga posisi Ainel terkunci tangan Bara.
Sebenarnya nyali Ainel cukup ciut melihat tatapan mata Bara yang seperti namanya membara. Namun, kesombongan mengalahkan segalanya."Memangnya kau bisa apa, lalat kecil?" tanya Ainel dengan seringai mengejek."Apa kau tahu, aku bisa menghancurkan Hario Group," ucap Bara penuh penekanan."Hari belum malam, bung, jangan ngigau," hina Ainel."Aku ingatkan sekali lagi Ainel, tanda tangani atau aku hancurkan semuanya?"Kembali Bara mengancam dan semakin mengunci posisi Ainel yang menempel pada dinding tanpa sehelai benangpun. Sebenarnya tidak munafik jiwa kelakian Bara meronta, namun dia harus menahan demi tercapai tujuannya."Jangan bermimpi hai lalat busuk.""Baiklah jika itu maumu, akan kuhancurkan semuanya. Silakan pikirkan sebelum terlambat," ujar Bara sambil meletakkan sebuah map diatas tempat tidur.Bara memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Ainel dengan cepat mengenakan piyama berwarna putih. Karena penasaran Ainel meraih map yang diberikan Bara dan membaca satu persatu ker
"Perkenalkan gua Albara Kaizer," ucap Bara sambil mengulurkan tangannya kepada Ainel.Sementara itu Ainel hanya membiarkan tangan Bara menguap tanpa menyambutnya, hingga akhirnya Bara tersenyum dan menurunkan tangannya."Tuan Hario sudah tahu siapa saya yang hanya seorang cleaning service di Hario Group, apalagi yang mau lo ketahui tentang gua?" tanya Bara kepada Ainel.Bara sudah lelah bersikap manis dengan menggunakan panggilan 'aku kamu' namun tidak pernah dihargai sedikitpun oleh Ainel."Kenapa lo bersedia menikahi gua?" selidik Ainel."Harusnya lo sudah tahu jawabannya," ucap Bara sambil memainkan ciprat air dengan tangannya."Karena uang?""Awalnya tidak sama sekali," jawab Bara tertawa."Terus kenapa?""Dipaksa dan tidak punya pilihan lain.""Lo udah tau sama gua?""Sama sekali tidak, bahkan alasannya saja gua gak tau. Gua pikir tuan Hario memiliki anak yang cacat sehingga harus memaksa seseorang untuk jadi jodohnya.""Setelah lo melihat gua?""Orientasi gua terhadap pernikahan
Suara Bara mengagetkan bu Aisah yang sedang memegang barang-barang saksi kelamnya kisah Bara. Saat itu Bara sudah duduk dibangku kelas dua SMA. Akhirnya mengalir kisah dari mulut bu Aisah, dan semua barang tersebut dipercayakan kepada Bara yang menyimpannya."Kenapa ada foto anjing, bu?" tanya Bara saat membuka kardus tersebut.Dengan gemetar bu Aisah menceritakan bagaimana jasa anjing tersebut menjaga Bara sepanjang malam yang dingin hingga membuat sekujur tubuhnya membiru."Kemana anjing tersebut bu?" tanya Bara bergetar."Ibu gak tau nak, ibu sibuk menjaga kamu di rumah sakit. Dan setelah pulang anjing tersebut sudah tidak ada lagi disini.""Dan ini cincin pemberian ibumu, berilah kepada istrimu nanti, nak," lanjut bu Aisah.Bara anak yang kuat yang tidak pernah menangis dan mengeluh tentang kerasnya hidup.*Setelah menyelesaikan sekolahnya Bara bekerja serabutan, kerja apa saja asal mendapatkan uang untuk membantu bu Aisah membiayai adik-adiknya di panti.Hingga dua tahun yang la
Bara berjalan pelan menuju ruangan tuan Hario yang merupakan pemilik Hario group sekaligus sang mertua yang tidak pernah menganggap Bara menantu.Tok! Tok! Tok!Bara mengetuk pintu tiga kali, dan kemudian mendapat sambutan dari dalam.“Masuk.”Ceklek.“Maaf, bapak memanggil saya?” tanya Bara sopan.“Diperusahaan ini ada berapa banyak karyawan yang bernama Albara Kaizer?” tanya tuan Hario sinis.“Maaf,” ucap Bara sambil menunduk.Tuan Hario menyerahkan sebuah amplop coklat tebal kepada Bara dengan cara melemparkan dengan kasar ke hadapan Bara.Bara hanya menghela nafas panjang. “Sabar Bara, belum saatnya. Biarkan dia bersenang-senang terlebih dahulu.”Bara berucap dalam hati untuk menenangkan pikirannya yang sudah hampir diselimuti dengan emosi.“Apa ini pak?” tanya Bara sambil memegang amplop tersebut.“Sisa pembayaran kamu menikahi Ainel.”Tuan Hario dengan pongahnya menjelaskan kepada Bara mengenai amplop tersebut.Bara menerima amplop tersebut dan segera memasukkan ke dalam tasnya,
"Apalagi pa?" tanya Ainel sambil memegang perutnya yang tampak mulai membesar."Duduk!"Dengan malas Ainel menurut dan kembali duduk di kursi yang tadi ditinggalkannya."Kamu mau jabatan apa untuk Bara?" tanya tuan Hario."CEO mungkin?" jawab Ainel santai."Kamu jangan asal Ainel, CEO bukan untuk orang sembarangan.""Terserah papa deh, percuma juga Ainel ngomong papa gak akan ngerti," ucap Ainel sambil kembali meninggalkan meja makan."Ainel!"Teriak tuan Hario yang kali ini tak digubris oleh Ainel."Udah pa biarin aja," ucap bu Sirra.Tuan Hario dan istrinya kembali melanjutkan makan malam tanpa Ainel. Denting bunyi sendok dan garpu yang beradu ke piring yang mengisi keheningan di meja makan keluarga Hario.Sementara itu di dalam kamarnya, Ainel sedang berlayar di sosial medianya."Kenapa hidup gua jadi ribet gini?" gumam Ainel seorang diri."Mending kemarin gua gak usah nikah nurutin papa, mending gua kabur ke luar negeri aja."Ainel terus saja menggerutu sambil melihat-lihat postin
Semenjak kejadian di meja makan itu, mbak Yen dipecat. Dan Ainel semakin terabaikan oleh kedua orang tuanya yang semakin disibukkan dengan urusan masing-masing.Hingga Ainel memasuki sekolah menengah atas, kehidupannya semakin bebas. Pulang atau gak itu tidak pernah dipedulikan oleh kedua orang tuanya. Ainel mencari dunianya sendiri, clubbing menjadi kegiatan rutinnya.Bahkan hidup bebas bercampur pria dan wanita menjadi hal yang lumrah. Hingga malam itu dalam keadaan setengah mabuk Ainel diajak Ben pulang kerumahnya setelah mereka clubbing.Ben membawa Ainel ke kamarnya kemudian menyerang bibir Ainel. Ainel yang sedang mabuk membalas pagutan demi pagutan Ben, hingga tanpa disadari oleh Ainel mereka telah melakukan hal tersebut dan Ben yang merenggut kesuciannya."Kok gua dirumah lo Ben?" tanya Ainel saat terbangun di pagi hari dan mendapatkan tubuhnya tanpa sehelai benangpun."Lo ngapain gua Ben?" tanya Ainel marah.Sementara Ben duduk dan memutar rekaman di ponselnya apa yang mereka
"Ma-aaf tuan," ujar Asep langsung menyambar pakaian nya dan segera berlalu keluar dari kamar.Bara hanya diam dengan tangan terkepal dan mata yang memerah. Wajar saja saat Bara memasuki rumah seluruh pekerja di rumah ini berusaha mencegahnya menuju kamar.."Tuan Bara mau makan?" tawar mbok Inah."Nanti aja mbok, terima kasih. Saya mau istirahat dulu mbok," jawab Bara santai menuju lantai atas."Atau tuan mau jus?""Gak.""Mau kue?""Terima kasih, gak perlu melayani saya seperti itu saya biasa melakukan sendiri mbok,"Bara menjelaskan, namun mbok Inah seperti tak putus semangat menawarkan Bara dengan sesuatu."Buah, tuan?"Bara hanya menggeleng."Atau mau mbok buatkan minuman dingin tuan?"Bara membalikkan badan menghadap mbok Inah yang tampak gelisah."Mbok sebenarnya ada apa?" tanya Bara."Gak ada apa-apa tuan, saya hanya menawarkan makan tuan.""Mbok gak usah repot-repot, mbok kan sudah tau saya disini diperlakukan seperti apa. Dan juga saya bisa lakukan sendiri untuk hal-hal sepert
Bara semakin menajamkan pendengarannya, tak disangka pintu tersebut ternyata tidak ditutup rapat. Diam-diam Bara menghidupkan video ponselnya untuk merekam pembicaraan dan juga melihat apa yang dilakukan tuan Hario di dalam ruang kerjanya saat tengah malam seperti ini.Dengan susah payah Bara mencari posisi yang pas agar tidak ketahuan sedang mengambil merekam dan mengambil video tersebut.Tuan Hario dan seorang wanita tersebut tidak menyadari bahwa apa yang sedang mereka lakukan sedang direkam oleh Bara. Keduanya terlalu sibuk dengan rencana busuk dan juga terlalu sibuk bergumul manja di tengah malam seperti ini.Hampir tiga puluh menit Bara masih di posisi semua layaknya videografer profesional, karena demi sebuah video bahkan rela berguling di lantai.Sepertinya tuan Hario sudah melakukan pelepasan dan mengakhiri permainan mereka yang hangat. Bara menghentikan rekamannya dan bersembunyi saat mendengar ada pergerakan disana. Ternyata hanya pergerakan dua manusia yang sedang mencapai
"Minum dulu Nel," ujar Bara menyodorkan air mineral yang sudah dibukanya.Ainel menerima air tersebut kemudian menenggaknya hingga setengah botol."Gua gak tahan baunya," ujar Ainel kemudian."Yaudah kita cari mini market aja," ajak Bara.Akhirnya keduanya kembali masuk kedalam mobil untuk mencari minimarket. Namun, setelah puas berkeliling hingga senja menjadi gelap mereka tak juga menemukan minimarket hanya ada beberapa toko yang lumayan besar, namun saat magrib tiba semuanya serentak tutup.Ainel hanya menghela nafas menyaksikan bagaimana suramnya kehidupannya saat ini setelah diasingkan ayahnya sendiri."Pulang aja," gumam Ainel pelan.Bara hanya mengangguk dan melirik sekilas kearah istrinya yang tampak kecewa."Inilah alasan kenapa gua gak boleh lo berangkat sendiri Nel," ujar Bara."Tempat ini seperti tempat pengasingan narapidana bagi lo yang dibesarkan dengan glamornya kehidupan kota," lanjut Bara lagi."Gua gak tahan," ujar Ainel."Sabarlah Nel, minimal sampai anak lo lahir.
"Rania tahu pak," ujar Rania santai dan duduk mepet ke Bara."Jangan menggoda saya kalau kamu sudah tahu Ran, nanti kamu menyesal," peringat Bara."Apa salahnya pak, poligami aja boleh kok asal mampu," ujar Rania sambil cemberut."Saya menghargai istri saya Ran.""Gak usah munafik deh pak, bapak menikah dengan anak pak Hario karena terpaksa kan. Dan dia juga tidak mencintai bapak kan?""Mau cinta atau tidak yang jelas kami sudah menikah," jawab Bara masih memejamkan matanya."Rania bisa memberikan apa yang dia tidak bisa berikan pak," ujar Rania sambil memegang pipi Bara.Dengan sedikit kasar Bara menepis tangan Rania, membuat wanita itu merasa sangat kesal."Dan perlu kamu ketahui Ran, saya ini bukan siapa-siapa, dan tidak memiliki apa-apa Ran. Semua ini adalah milik orang tua istri saya."Bara beranjak menuju meja kerjanya melewati Rania yang kecewa mendapat penolakan. Baru kali ini ada orang yang menolak seksi tubuhnya."Jika tidak ada kepentingan lagi, kamu boleh keluar Ran," peri
Bara masih berdiri di balkon, sambil melihat sekeliling. Hanya beberapa rumah yang tampak lampu menyala ikut menerangi kompleks ini, lainnya hanya ada lampu temaram di depan rumah menunjukkan bahwa rumah tersebut tak berpenghuni.Tanpa terasa waktu menunjukkan tengah malam, Bara masih berdiri di tempatnya. Entah sudah berapa batang rokok yang dihisapnya. Hingga saat ini Bara mulai terbatuk-batuk mungkin terlalu banyak asap yang ditelannya.Akhirnya Bara memilih masuk untuk segera mengistirahatkan tubuhnya. Memandangi langit kamar yang putih dan menghipnotis Bara segera terlelap.Sementara itu di kamarnya, Ainel belum bisa memejamkan matanya. Dia mengutuk Peter yang telah melecehkannya. Karena dulu Ainel memang sering mengajak Peter menemaninya saat dia sedang bete.Semburat cahaya matahari pagi menyilaukan, membuat Bara terbangun. Matahari telah bersinar menerobos masuk ke kamarnya karena jendela dan gorden yang tidak tertutup. Segera Bara mengecek jam di dindingnya, ternyata masih ja
Hampir jam sembilan malam Bara baru tiba dirumah. Ainel masih didepan tv dengan mengenakan baju yang kurang bahan. Terlihat Peter beberapa kali melirik Ainel sebelum masuk ke kamarnya."Kamu kalo mau makan langsung aja Peter, gak usah menunggu," teriak Bara sembari duduk disebelah Ainel."Iya pak," jawab Peter singkat."Nel, ini ada martabak dan dibelakang ada ayam bakar," ujar Bara."Beli dimana?" tanya Ainel cuek."Di dekat pabrik banyak yang jualan ternyata.""Hem, gua gak suka jajanan pinggir jalan!" jawab Ainel ketus."Kenapa?""Gak enak.""Oke, gapapa kalo lo gak mau. Tapi sampai kapan? Lo coba lihat ke sekitar sini, ini adalah tempat pembuangan. Dimana lo harus menempuh perjalanan kurang lebih empat jam untuk mencapai kota dan membeli makanan yang lo maksud.""Dan juga tidak setiap hari ada yang kekota," sambung Bara."Gua punya mobil.""Terserah lo kalo gak mau," ujar Bara sambil membawa kotak martabak kebelakang dan meletakkannya di atas meja makan.Bara menaiki tangga menuju
Setelah sarapan Bara berpamitan kepada Ainel untuk berangkat kerja."Gua kerja dulu," ucap Bara sambil berdiri dari duduknya."Lo tau tempatnya?" tanya Ainel."Tuan Hario mengirimkan mobil beserta sopirnya.""Siapa?""Peter.""Peter jadi sopir?" tanya Ainel sambil mengernyitkan dahinya."Iya, kenapa?" jawab Bara singkat."Ah gapapa," jawab Ainel sedikit gugup.Di teras depan, mang Bidin sudah siap menunggu Bara. Mang Bidin akan ke pasar terdekat membeli perlengkapan berkebun."Yok mang," ucap Bara sopan.Mang Bidin mengikuti naik mobil yang akan membawanya ke pasar."Di dekat pabrik aja ojekkan, Peter?" tanya Bara."Ada tuan.""Yaudah nanti mamang ke pasar dari pabrik naik ojek aja ya," ucap Bara sambil mengedipkan mata kepada mang Bidin."Iya tuan." ucap mang Bidin pelan.Setelah sekitar tiga puluh menit mereka tiba di sebuah pabrik kertas yang akan Bara pimpin. Mang Bidin turun di depan pintu gerbang dan melanjutkan ke pasar dengan naik ojek.Sementara Bara langsung mengikuti meetin
Saat Bara membalikkan badan akan kembali menuju teras, terdengar suara ranting yang dipijak. Memang disebelah kanan rumah ini terdapat tanah kosong dan pohon-pohon besar. Namun, lagi-lagi Bara tidak melihat apapun dari dalam sini.Bara mendengus kesal, dan memilih kembali duduk di teras rumah hingga menjelang pagi."Kok tuan Bara disini?" tanya Mang Bidin saat keluar rumah setelah shalat subuh."Gapapa mang, cari udara segar aja," ucap Bara sambil mematikan rokoknya."Kayaknya dari semalam tuan disini, bekas rokoknya udah banyak banget," sambung mang Bidin sambil duduk disebelah Bara."Dari jam satu mang.""Kenapa tuan?""Mang, jangan panggil Bara tuan ya. Bara gak terbiasa dan gak pantas.""Kok tuan bicara seperti itu.""Bara sama kayak mamang hanya pekerja disini, jadi jangan panggil tuan.""Tapi kan suami non Ainel.""Iya walaupun saya suaminya Ainel tapi saya gak suka dipanggil tuan.""Mamang panggil apa?""Panggil Bara aja gapapa mang.""Mamang panggil 'nak' aja ya?""Itu juga bo
"Ah enggak tuan, gak ada apa-apa," jawab mbok Inah gugup dan berlalu ke kamarnya.Namun, belum sempat kakinya melangkah Bara sudah mencekal tangannya."Mbok Inah mau kemana?" tanya Bara."Ke-ke kamar tuan," jawab mbok Inah ragu-ragu."Mbok, saya paling benci kebohongan. Beritahu saya apa yang dikatakan tuan Hario," ucap Bara pelan, namun dengan sorot mata yang menakutkan."Iya tuan.""Cepat katakan mbok!" tekan Bara."Tadi tuan Hario kesini, beliau mengatakan kalau tuan Bara adalah Presiden Direktur di sebuah perusahaannya, terus mbok dan mamang harus memantau setiap gerak gerik tuan. Bahkan di rumah ini dipasang beberapa cctv, tapi mbok gak tau persisnya dimana. Sumpah!" bisik mbok Inah pelan."Disini ada?" tanya Bara menunjuk tempat mereka berbicara."Sepertinya tidak ada, karena tadi mbok gak lihat mereka didapur.""Yaudah, terima kasih mbok. Gak usah siapin saya makan, biar saya siapin sendiri.""Baik tuan."Langkah Bara kembali terhenti."Ah iya satu lagi mbok, jangan panggil say
"Apaan sih lo, gua panggil security kalau lo gak sopan ke gua," ujar Lily sambil mendorong tubuh Bara.Bara menyeringai, dan memutar video panas tengah malam di ruang kerja tuan Hario. Wajah Lily memerah, menahan malu dan marah."Mau gua sebar?" tanya Bara."Siniin hape lo, hapus!" teriak Lily."Disini boleh dihapus, tapi jangan lupa sudah gua pindahin di semua tempat yang siap sebar. Mau terkenal?" tanya Bara sambil meniup telinga Lily sambil memberikan ponselnya kepada Lily.Lily mematung, tampak sudut matanya sudah siap tumpah."Jangan menangis, baby?" ujar Bara sambil menarik hidung Lily."Apa yang lo inginkan?" tanya Lily."Pertanyaan yang bagus sayang," ujar Bara duduk didepan Lily."Katakan!" Lily menggertak."Turuti saja apa mau gua," Bara menarik tangan Lily.Dengan terpaksa Lily mengikuti langkah kaki Bara.Bara mendudukan Lily di kursi di sebelah pengemudi, Lily masih diam. Bara menjalankan mobilnya dengan sedikit kencang, ternyata menuju sebuah hotel bintang lima yang tida
"Halo," sapa Bara setelah menggeser tombol jawab pada layar hp nya."Apa kalian sudah sampai?" ternyata tuan Hario yang meneleponnya."Sedikit lagi, tuan," jawab Bara ramah.Bara mengaktifkan loudspeaker ponselnya dan memencet mode rekam. Bara sengaja membiarkan Ainel mendengar percakapan dengan ayahnya."Mulai hari ini kamu tidak usah lagi datang kekantor, kamu saya pecat!" ucap tuan Hario diseberang sana."Alasannya?" tanya Bara masih berusaha santai."Sekarang kamu kerja dirumah baru yang akan ditempati Ainel menjadi sopir dan penjaga rumah sampai tiba Ainel melahirkan, gaji kamu setiap bulan akan saya transfer," jelas tuan Hario."Setelah Ainel melahirkan?" selidik Bara."Kamu harus tinggalkan rumah tersebut dan saya akan berikan kamu pesangon."Ainel, mbok Inah dan mang Bidin terkejut mendengar penjelasan tuan Hario."Baiklah. Tapi saya mohon, izinkan saya bertemu tuan besok ada yang harus saya sampaikan," ucap Bara."Baik, saya tunggu jam sebelas siang. Jika lewat tidak ada kese