“Sa—saya—“
Mendengar itu, Javier pun memotong langsung, “Nona Visha, Bos adalah ayah kandung Nona. Tidak ada lagi yang akan melukai Nona”
Lagi-lagi ucapan Javier membuat Visha membelalakkan matanya. Ia menatap Javier lama sekali, seolah mencari tanda, kalau-kalau pria itu sedang memperdayanya.
Tapi yang ia dapat hanyalah tatapan datar dan dingin dari Javier.
“Gak mungkin ...,” gumam Visha.
Gadis itu mengintip dari balik bahu Javier dan menatap pria tua berwajah sembab yang mengklaim dirinya sebagai putrinya.
Javier sendiri berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar karena tubuh Visha yang terlalu dekat dengannya.
“Matanya biru. Jelas bukan orang Jakarta,” gumam Visha yang menuai dengkusan geli Javier.
Visha menarik mundur tubuhnya dan melempar tatapan kesal dan mempertanyakan kenapa Javier mendengus padanya.
“Mata Nona juga biru,” ujar Javier mengutarakan sebuah kenyataan.
Baru saja Visha akan membalas ucapan Javier, pria tua yang adalah bos dari Javier itu kembali berseru, “Javier! Apa ada masalah di dalam?!”
Ia tidak mau membuat Visha takut, dan membiarkan Javier mengurusnya.
Javier pun segera mengedikkan kepalanya ke arah pintu dan berkata, “C’mon. Nona harus menemui Bos. Sudah lebih dari 15 tahun beliau tidak bertemu dengan Anda.”
Visha menelan ludah saat Javier berbalik dan menarik lengannya untuk ikut turun dari mobil, bersama.
Menjejak tanah lobi hotel itu, akhirnya Visha bisa melihat dengan jelas seperti apa wajah sang ayah. Belum sempat menyiapkan hatinya, pria tua itu sudah menarik Visha ke dalam pelukannya.
Walau ia terlihat tua, ternyata kekuatannya masih jauh lebih besar ketimbang Visha. Tentu saja, dengan tubuh yang masih terlihat atletis di balik kemejanya, pria itu masih bisa dikatakan dalam kondisi yang prima.
Pria itu pun meraung sambil menepuk-nepuk pundak Visha, “Syukurlah, kami tidak terlambat, Navisha sayang. Terima kasih, Javier. Kau menyelamatkannya tepat waktu.”
Javier hanya mengangguk saja. Tanpa senyum ataupun kata-kata. Tapi dalam hatinya ia juga merasa lega, karena mereka tepat waktu.
“Ta—tapi, sa—saya tidak tahu siapa Anda, Tuan.” Visha berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan pria tua itu.
Mendengar itu, pria tua tersebut pun segera melepaskan pelukannya dan meminta maaf. “Aku terlalu senang, Na—ah, mungkin kau lebih suka dipanggil Visha ya. Bagaimana kalau kita masuk dulu, Nak? Ada banyak hal yang harus kita bicarakan.”
Tapi Visha menggeleng. Ia memeluk tasnya dan mulai melangkah mundur perlahan sambil berseru, “A—aku tidak mau dijual pada siapapun!”
Ia kemudian berbalik, mencoba untuk kabur, tapi malah menabrak tubuh besar Javier yang ternyata ada di belakangnya. Tentu saja, Javier kembali memerangkap tubuh Visha dalam dekapan erat, walau tidak menyakitkan.
Wajah pria tua itu berubah murung. Ia tahu dari mana pemikiran Visha yang seperti itu. Javier sudah mencari tahu seperti apa kehidupan Visha sebelum mereka menemukan gadis itu berada di kediaman Adinata.
“Navisha, Sayang. Ayah tahu, pasti sulit untuk mempercayai bahwa aku adalah ayah kandungmu.” Pria itu menengadahkan tangannya ke arah seseorang yang langsung menyerahkan beberapa lembar dokumen.
Ia menambahkan, “Kau bisa lihat akta kelahiranmu, Nak. Ini akta pernikahanku dengan Vivien—ibumu. Ada foto kami di sana. Dan ini fotomu saat kami mengalungkan bandul dengan nama Visha. Walau aku lebih suka memanggilmu Nana, tapi Vivien lebih suka memanggilmu Visha.”
Mendengar itu, Visha pun berhenti mencoba untuk melepaskan diri dari dekapan Javier. Ia teringat kalung yang selalu dipakainya.
Dikeluarkannya kalung itu dari balik kaosnya. Ia mengamati kalung tersebut lalu membaliknya supaya ia bisa melihat apa yang tertulis di belakang sana. Visha ingat, ia pernah melihat dua nama terukir kecil di belakang bandul berbentuk namanya.
“Luca dan Vivien,” gumam Visha sambil menatap pria tua itu.
‘Bukan Maman dan Ika. Kenapa selama ini aku abai terhadap kenyataan itu?’ batin Visha dengan wajah sedihnya.
Hatinya pun mulai terasa perih.
Ia melanjutkan kata-katanya dalam hati, ‘Mungkin aku hanya tak ingin menerima kenyataan bahwa aku hidup menderita dengan orang yang bukan orangtuaku. Walau bapak dulu sangat baik, tapi ibu akhirnya menjualku juga.’
Air matanya mulai meleleh menyadari bahwa selama ini orang yang ia anggap keluarga bukanlah keluarganya. Ia bahkan sudah tidak ingat seperti apa wajah ibu kandungnya.
Dan pria tua yang ada di hadapannya sekarang adalah benar orangtua kandung satu-satunya.
“Ya, Putriku sayang. Akulah Luca—ayahmu dan juga suami Vivien—ibumu.”
Luca pun membuka lebar kedua tangannya. Ia mengundang gadis itu ke dalam pelukannya. Javier pun akhirnya melepaskan Visha, sehingga gadis itu bisa berlari ke pelukan sang ayah.
Visha meraung, mencurahkan semua isi hatinya, “Kenapa kau baru muncul sekarang?! Kau tak tahu apa yang sudah aku lalui?! Kau tak tahu apa yang sudah mereka lakukan padaku?!”
“Iya, Sayang. Maafkan ayah, Nak. Maafkan ayah. Ayah tahu apa yang sudah kau lalui.”
Luca membiarkan putrinya itu melampiaskan kesedihan dan kekecewaannya dengan memukuli dada Luca. Baginya, itu tidak seberapa, jika dibandingkan dengan penderitaan Visha selama ini.
Setelah dirasa Visha sudah tenang, Luca pun mengajaknya, “Sebaiknya kita beristirahat dulu di dalam, putriku. Bagaimana?”
Kali ini Visha pun mengangguk berkali-kali. Membuat Luca dan semua yang ada di sekitar mereka tersenyum lega.
Javier pun segera membantu membawakan tas yang sejak tadi melintang di dada Visha, karena sekarang gadis itu sudah mempercayainya seratus persen.
Sepanjang kaki Visha melangkah menuju ke kamar hotel yang sudah disiapkan oleh Luca, ia mendengar cerita mengenai masa kecilnya. Mengenai sang ibu yang sudah dipanggil Tuhan saat dirinya berusia 5 tahun.
Tapi tidak ada yang bisa menceritakan bagaimana Visha bisa menghilang hari itu, dari pengawasan pendampingnya.
“Lalu kenapa baru sekarang Ayah mencariku?” tanya Visha mengerucutkan bibirnya.
“Well, sebelum membicarakan itu, mungkin kau harus tahu siapa kami, Visha.” Luca mempersilakan Visha untuk masuk terlebih dahulu ke dalam kamar hotel yang dipesan untuknya sebelum ia mengikuti dari belakang.
“Javier, kau berjaga di luar,” perintah Luca tanpa menoleh dan tanpa menunggu pria itu berkomentar.
Padahal Javier ingin protes, tapi pintu di hadapannya sudah tertutup rapat.
‘Tsk! Aku masih belum puas memandangi Nona Visha. Dia tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik,’ gerutu Javier dalam hatinya.
Sementara itu, Luca dan Visha berbagi rindu di dalam kamar hotel dengan melanjutkan percakapan mereka.
Luca membuka lagi percakapan itu, “Visha, Sayang. Darah yang mengalir dalam dirimu adalah darah seorang pemimpin klan mafia terkuat di antara yang terkuat. Darahku, Luca Cavallo.”
Visha bergidik mendengar hal itu. Tidak pernah terbayangkan bahkan dalam mimpi tergilanya, bahwa ia adalah anak dari seorang—
“Ma—mafia?!”
“Ya, Sayang,” ucap Luca mengangguk, mengiyakan keterkejutan Visha.Ia melanjutkan, “Ketika kami menemukanmu di kediaman Adinata, orang yang kuminta mengawasimu memberitahu bahwa kau terlihat bahagia di sana. Ayah berpikir, tak perlu lagi membebanimu dengan kenyataan bahwa kau adalah seorang anak mafia.”Kerutan di dahi Visha pun mulai terlihat. Ia pun menyuarakan kebingungannya, “Memangnya kenapa kalau aku seorang anak mafia?”“Well, sasaran. Kalau mereka tahu aku punya seorang anak gadis, itu berarti kau adalah kelemahanku. Itulah kenapa, dulu aku menikahi Vivien dan tinggal di Indonesia.”Netra Visha membulat takut. “Lalu, bagaimana sekarang?” tanya gadis itu dengan nada panik.Luca tergelak melihat Visha panik. “Tenang saja,” ujarnya.“Saat ini, aku sudah punya fondasi yang kuat untuk melindungimu,” lanjut Luca dengan nada penuh kebanggaan.Luca memeluk Visha lagi, erat, sambil bertanya, “Jadi, sekalian saja kutanyakan padamu, Navisha Cavallo, putriku. Maukah kau ikut bersamaku ke
“Ng ....” Erangan Visha menandakan kesadarannya sudah muncul.Matahari telah tinggi ketika gadis itu akhirnya terbangun karena lapar.Ia pun segera menuju ke kamar mandi untuk mencuci mukanya, berharap bisa menghilangkan raut lelah yang masih terlihat di wajahnya.Ketika Visha keluar dari kamar mandi, ia terkejut karena tidak memperhatikan sebelumnya kalau di pojok ruangan sudah ada sebuah rak gantung berisi pakaian yang tak pernah berani ia impikan untuk ia kenakan.Visha melangkah cepat menghampiri rak tersebut dan langsung membolak-balik setiap baju yang tergantung di sana.Netranya membulat kaget melihat nama merek-merek yang tersemat di setiap pakaian itu. Ia pun berseru nyaring, “Wow! Ini merek yang biasa dipakai Nyonya.”Merasa tak mungkin kalau baju-baju tersebut bisa ia gunakan semua, Visha pun mencoba mencari Javier atau siapapun yang bisa ia tanyai.Tapi begitu ia membuka pintu kamarnya, hanya ada Javier di sana. Dengan malu-malu Visha menyapa, “Uhm, ha—halo, Javier.”“Ada
‘Eh?! Bukan suara Javier ...,’ batin Visha dalam hatinya.Dengan tergesa ia pun membuka pintu kamarnya dan mendapati seorang pria tua bermata sipit berdiri di depan kamarnya sambil mengelus-elus janggut panjang di dagunya.“Erm ... ca—cari siapa ya, Koh?”Alih-alih mendapat jawaban, Visha mendengar ledakan tawa bernada dalam di belakang pria tua itu. Tentu saja ia kenal suara berat itu.“Javier!” sentak Visha dengan pipi yang menggembung. Walau demikian, wajah manis gadis berusia 21 tahun itu tetap terlihat mempesona di mata Javier.Pria dingin itu—tak diduga oleh Visha, terus saja mentertawainya, “Ha! Ha! Ha! Nona, ini ... Ha! Ha! Ha! Ini dokter anda—pfft! Oh, gosh! Aku sudah lama tidak tertawa sekeras ini. Sial! Rahangku sakit.”‘Senang sekali sih melihatku bertindak bodoh ... mengesalkan!’ keluh Visha dalam hatinya.Javier meredakan tawanya dan menepuk pundak pria tua yang disebutnya sebagai dokter tadi. Ia berkata dengan nada santai, “Dok, masuklah. Kau harus memeriksa kandungan
“Ya, Nona? Apa yang menyusahkanmu?” Visha mendengus geli. Bukannya dia meremehkan peran Javier dalam melindunginya, tapi karena ia merasa pria itu terlalu perhatian padanya, untuk ukuran seorang anak buah ayahnya. Ia jadi merasa seperti sudah bersikap jahat karena melempar pria itu dengan sepatu. Jadi, ia berkata, “Maaf, soal sepatuku. Aku tidak seharusnya melakukan itu.” Padahal sebenarnya bukan itu yang ingin ia tanyakan. Javier mengangkat salah satu alisnya, heran dengan permintaan maaf yang menurutnya tak perlu. Dia adalah majikannya, apapun yang diperbuat pada dirinya, tidak akan menjadi masalah. Walau demikian Javier mengangguk kaku. “Oke. Aku tak masalah kau mau melempar apapun, selama tidak membunuhku, Nona.” Visha menghela napas panjang mendengar jawaban yang dilontarkan Javier padanya dengan nada super datar. ‘Apa sejak dulu dia seperti ini ya?! Bagaimana mau punya pacar kalau kaku begini?!’ keluh Visha dalam hatinya. “Apa ada lagi yang kau butuhkan, Nona Visha?” tan
“... tempat peristirahatan terakhir istri bos, ibu Nona,” ungkap Javier, setelah ia berpikir sesaat, sedikit menimbang jawabannya.Sepertinya ia tidak berencana memberitahu Visha secepat ini. Ia tidak mau merusak suasana sepanjang perjalanan ini.Mendengar jawaban Javier, Visha langsung merasa bersalah.‘Aku bahkan tidak memikirkan hal itu. Apa aku anak yang tidak berbakti? Tapi aku saja tidak ingat siapa ibuku, bagaimana rupa wanita yang melahirkanku itu.’ Visha membatin sambil menunduk.Madoka yang melihat Visha tertunduk sedih itu pun segera menyerahkan sebuah ponsel pintar pada putri sang bos sambil berkata, “Aku punya beberapa video seperti apa ibu Nona. Jangan bersedih, oke?”Visha menyentak naik kepalanya dan menerima benda itu dengan penuh haru. Ia merasa sepertinya Madoka bisa membaca pikirannya.“Te—terima kasih.”“Tak masalah, Nona.”Sepanjang perjalanan Visha pun menonton semua video yang ada di ponsel tersebut. Bukan hanya beberapa video, karena ternyata ponsel itu adalah
“Bos ... nona Navisha sudah tiba.”Salah seorang anak buah Luca membisikkan informasi itu dengan suara sangat pelan, hingga tak seorang pun mendengar. Tak juga wanita tua yang sedang dipeluknya itu.Luca pun hanya mengangguk sedikit, lalu menepuk punggung wanita itu dengan sabar. Ia pun memberitahunya, “Suocera*, cucumu sudah datang.” [*Suocera berarti ibu mertua, dalam bahasa italia]Mendengar ucapan menantu laki-lakinya itu, wanita tua yang ternyata adalah ibu mertuanya—ibu dari Vivien, menyentak kepalanya. Kaget dengan ucapan Luca.Netranya menatap Luca seolah tak percaya. Seolah ia berpikir bahwa Luca sedang memperdayanya. Ia pun mengkonfirmasi ucapan Luca, “Kau sudah menemukannya?!”“Ya, Bu. Kami akhirnya menemukan Navisha.” Luca mengulang kembali ucapannya, meyakinkan sang ibu mertua kalau ia tidak sedang mempermainkannya.Setelah kematian Vivien, keluarga Wijaya semakin tak terjangkau. Tapi ibu mertuanya secara berkala menghubungi Luca, perihal keberadaan Visha.Ibu mertua Luca
“Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian di depan pintu kamarku tadi siang.”Luca terkekeh mendengar nada ketus Visha. Bukan berarti ia ingin menyembunyikan kenyataan bahwa dirinya sudah menikah lagi. Hanya saja, ia ingin memberitahunya saat mereka tiba di Italia.“Yeah? Salahku, Nak. Aku tak bermaksud membicarakan hal seperti itu untuk kau dengar secara tak sengaja. Setidaknya, tiba di Italia, aku berniat memperkenalkan kalian dengan lebih formal, Navisha Sayang.”Visha mengangguk. Ia mencoba menghilangkan rasa minder dalam dirinya, tapi tentu saja, itu bukan yang mudah.Selama ini Visha dibesarkan oleh sepasang suami istri yang sangat miskin. Hidup mereka hanya bergantung pada hasil penjualan barang bekas.Setelah gadis itu tinggal di kediaman Adinata pun, semakin jauhlah ia merasa perbandingan dirinya dengan orang-orang itu.Tak disangka, air mata meluncur membasahi pipinya kala mengingat mantan majikannya itu. Ingatannya langsung membuka kenangan manis yang pernah ia miliki
“Thanks Damian.” Luca menggosok pelan netranya dan segera menyesuaikan dengan cahaya ruang kabin pesawat. Ia menambahkan, “Tolong minta Ludwig menemuiku jam 11 siang nanti, di kantor.” Pria bernama Damian—yang baru saja membangunkan Luca pun mengangguk paham dengan perintah sang atasan. Kalau Javier adalah orang yang paling Luca percayai dalam organisasi Cavallo, maka Damian adalah orang kepercayaannya di perusahaan Viensha—perusahaan yang Luca dirikan untuk mengenang sang istri tercinta. “Apa Visha sudah bangun? Di mana Javier?” tanya Luca pada Damian. “Nona Visha sedang bersiap di kamarnya, Bos. Dan ... Javier ... sedang mengobati lukanya sebentar.” Damian menjawab dengan sedikit keraguan di kalimat akhirnya. Manik mata Damien bahkan bergulir ke samping, tanda ia merasa bersalah atas suatu hal. Tentu saja. Damian lah yang membuat Javier harus menerima pengobatan sederhana. Pria tenang—setenang gunung es itu, sudah menghajarnya karena menggoda Madoka tepat di bawah hidungnya.