Share

Kesepakatan dan Ancaman

Clara memandang pantulannya saat duduk di depan cermin. Polesan make up tipis makin membuat wajahnya tampak menawan. Rambutnya tergerai indah, terlihat pas dengan dress putih lengan panjang yang saat ini ia kenakan. 

Siang ini ia setuju untuk makan siang bersama Martin. Bukan untuk menikmati waktu melainkan mencari kebenaran tentang Vinn. 

Vinn yang Clara kenal adalah pria jujur dan berhati hangat. Karena itu ia tak ragu menyerahkan hatinya pada pria itu. Sesungguhnya ia tidak ingin percaya begitu saja pada kata-kata Martin. Tapi jika diingat, Vinn memang seakan menyembunyikan sesuatu darinya. 

"Fokus Clara, fokus!" Clara berucap sambil menepuk-nepuk kedua pipinya. 

Tok. Tok. Martha masuk setelah mengetuk. 

"Nona, Tuan Martin telah menunggu."

"Saya tahu," jawab Clara pendek sebelum beringsut menuju pintu. 

Clara mengikuti langkah pelayan senior yang berjalan di depannya. Wanita paruh baya yang jarang tersenyum itu berjalan tegak, lengkap dengan sepatu fantofel hitam yang menimbulkan bunyi derap di setiap langkah. 

"Silahkan, Nona." Martha membukakan pintu untuknya dan hal yang pertama Clara lihat adalah ruangan bernuansa maroon dan gold. Sepertinya ini ruang bersantai, terdapat kursi dan sofa cantik, juga karpet tebal yang ia taksir seharga puluhan juta rupiah. 

"Manis, akhirnya kamu menerima ajakanku," ujar Martin yang telah menggunakan kemeja putih. Sengaja atau tak sengaja nyatanya pakaian mereka tampak serasi. 

"Aku cuma bosan di kamar. Mau makan di mana?" tanya Clara tanpa basa basi. 

"Kamu akan tahu."

Empat puluh menit kemudian, mereka sudah sampai di sebuah restoran mewah di pusat kota. Clara melihat sekitar, meja-meja lain tampak kosong. Hanya ada mereka berdua di tempat itu. 

"Cari apa? Tidak akan ada pengunjung lain hari ini. Aku ingin kita makan berdua saja. Keberatan?"

'Cih, sombong!' sungut Clara dalam hati. Ini salah satu alasan ia tak pernah menyukai pria kaya. Kebanyakan dari mereka terlalu banyak bicara dan tinggi hati. 

"Apa hubunganmu dengan Vinn?" Clara membuka topik secara tiba-tiba. 

"Kamu terlalu bersemangat, Nona. Santailah sedikit." Martin tergelak lalu memanggil pelayan dengan isyarat tangan. 

Clara menghela napas kasar dan membuang muka. Ia tak suka pria ini. 

Dua orang itu menikmati makan siang sambil mengobrol santai. Meski lebih banyak Martin yang berbicara sedangkan Clara hanya bergumam ria. 

"Setelah ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Aku yakin kamu akan senang."

Clara hanya melirik tak berselera. Andai bisa, ia ingin kabur dari sisi pria itu sekarang juga. Tapi ia pun tahu ada lebih dari lima orang suruhan Martin yang berjaga di sekitar mereka. 

**

Seperti ucapannya, Martin mengajak Clara ke suatu tempat. Tapi ini tidak seperti wanita itu kira. Kini mereka berdiri di depan sebuah gudang tua, tampaknya sudah lama tak terpakai. 

"Ayo masuk!" titahnya, walau tersenyum Clara tetap merasa ada yang penegasan di suara pria itu. 

Di dalam, terlihat seorang pria yang terikat di dalam kursi. Wajahnya memar sementara mulutnya tertutup lakban hitam. Kepalanya tertunduk. 

"Siapa itu? Kenapa dia diikat?" tanya Clara yang tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya. 

"Dia? Ohh, dia cuma orang iseng yang membuat masalah denganku."

Mendengar itu, Clara mengerutkan kening. Namun dengan segera ia akan tahu betapa mengerikannya karakter seorang Martin. 

Martin memintanya duduk di kursi kayu, percuma saja Clara menolak. Pria itu mencengkeram kedua bahunya dengan kuat sedangkan salah seorang anak buahnya menunjukkan sebuah video live. 

"Ini ..." Netra Clara tak berkedip menyadari siapa yang ada di dalam video. 

"Ya, Manis. Ini adalah pernikahan adik perempuanmu, Briana. Lihat, ini adalah Tuan dan Nyonya Watson." Martin menunjuk dengan sangat tepat. 

"Apa maumu?" Clara menatap Martin yang telah duduk di sampingnya dengan tajam. 

"Aku ingin membuat kesepakatan denganmu. Just it."

"Kalo aku gak mau?"

Martin tersenyum miring. Dalam satu gerakan ia mengambil pistor berkaliber dua puluh dua dan langsung menembak pria yang terikat di kursi. Tak kurang dari lima tembakan yang membuat pria itu tewas seketika. Clara nyaris berteriak, namun Martin mencengkram pipinya. 

"Itu yang akan terjadi pada keluargamu jika kamu menolak. Jadi, bagimana?"

Tidak mempunyai pilihan, Clara mengangguk bersamaan dengan bulir bening yang meluncur dari matanya yang cantik. 

"Good girl," puji Martin senang sembari mengusap pelan air mata wanita itu. 

**

Sejak pagi Vinn telah berada di ruangan kerja kakeknya. Tujuannya sekarang adalah mencari petunjuk tentang Ronald Alfredo, saudara kembar sang kakek yang entah bagaimana ia yakin ada hubungan dengan kematian kedua orang tuanya. 

Keyakinan itu bukan tak berdasar. Ia mengaitkan percakapan kakeknya dengan Paman Tino sehari sebelumnya usai ia menemukan perihal foto itu. 

"Dari dulu kau tak pernah berubah, Tino. Tutup saja mulutmu! Bukankah aku telah memberimu peringatan untuk tidak menyebut nama Ronald di rumah ini?!" Suara kakeknya terdengar berang meski Vinn tak bisa melihat jelas ekspresinya. Tentu saja, karena Vinn sedang menguping. 

"Maaf, Paman. Aku-"

"Cukup! Pastikan Vinn tak mencari lebih lanjut tentang Ronald atau pun tentang kematian kedua orang tuanya. Dia satu-satunya harapanmu. Kau tahu itu." Kini suara serak itu melunak. 

"Baik."

Vinn menggeleng pelan dan lanjut mencari. Ia tak tahu apa yang sedang paman dan kakeknya coba sembunyikan. Namun apapun itu, ia harus menemukannya. 

Tiga jam sudah ia berada di ruangan luas yang dipenuhi buku dan file di dalam map. Tetapi ada satupun petunjuk yang bisa membantunya. 

"Come on," gumam Vinn kesal, tangannya menarik satu laci di lemari paling bawah. Terdapat dua kotak perak berukuran keci. Belum sempat Vinn membukanya, ponsel yang ia letakkan di meja berdering. 

"Halo?"

"Saya telah mendapat informasi dari tentang orang yang Anda sebut kemarin, Pak."

"Katakan."

"Ronald Alfredo telah mengganti nama belakangnya menjadi Hazard sejak dua puluh lima tahun yang lalu."

"Ronald Hazard?" Vinn mengulang, nama itu terdengar tidak asing.

Beberapa detik kemudian, netranya melebar. Ia baru mengingat jika 'Hazard' adalah nama belakang sahabatnya, Martin. Meski begitu ia tak pernah bertemu dengan kakek dari Martin. Tapi benarkah ada hubungannya? Atau hanya nama yang sama? 

***

Bersambung. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status