Vinn terdiam selama beberapa saat. Ingatannya melayang, menelusuri waktu belasan tahun yang telah ia habiskan bersama Martin. Mereka telah melalui banyak hal, ia bahkan tahu apa kebiasaan buruk pria yang sebaya dengannya itu.
Berbagai pertanyaan mulai berkecamuk dalam benaknya. Benarkah jika ia dan Martin adalah kerabat? Lalu apa Martin juga tak mengetahuinya?Tak ingin berlama-lama hanyut dalam pikirannya sendiri, Vinn memilih untuk memastikan sekarang juga. Pria itu beranjak, bergegas meninggalkan ruangan bernuansa abu-abu dan putih.Belum sempat Vinn mencapai tangga, seorang pelayan wanita menghampirinya dengan langkah sedikit terburu-buru."Tuan Vincent," panggilnya yang langsung membuat Vinn berhenti."Kenapa?" Pria itu memeriksa jam tangan mahalnya lalu mengalihkan pandangan pada si pelayan."Tuan Richard ingin Anda datang ke kamarnya.""Sekarang?" tanyanya lagi."Benar, Tuan."Vinn mengubah"Siapa?" Lucas bertanya pada Vinn sembari menunjuk dengan lirikan pada Zara. Mereka baru sampai di rumah berlantai tiga Keluarga Hazard. "Zara." Wanita itu mengulurkan tangan dengan percaya diri sebelum Vinn sempat bersuara. Ia tersenyum hingga tampak lesung pada kedua pipinya. Vinn masuk terlebih dahulu, meninggalkan dua orang yang kini asyik mengobrol di ambang pintu. Pria itu mengamati rumah bernuansa klasik yang telah Martin tinggali sejak kecil. Tak seperti sebelumnya, hari ini Vinn lebih teliti melihat semua foto keluarga yang terpajang pada dinding. Semua foto-foto itu tentang Martin, kedua orang tua juga kakak laki-lakinya. Tidak ada sosok yang sedang Vinn cari. Ronald Hazard. "Vinn," panggil sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya. Pria muda itu menuruni tangga dengan cardigan biru tua. "Hei," sambut Vinn saat Martin mendekat. "Merasa asing? Salah sendiri kau tak datang kesini begitu lama," ujar Martin sambi
Martin membuka satu per satu kancing kemejanya dengan mata terarah lurus pada tubuh Clara. Wanita itu menangis. Namun isakan kecil yang keluar dari bibirnya terdengar bak melodi terindah bagi Martin. "Oh, come on Sweetie, jangan membuatku semakin ingin menyentuhmu," ucap Martin dengan suara berat. Pria itu kini bertelanjang dada, menunjukkan tato kepala naga dibawah lehernya. Senyum miringnya merekah, membayangkan dalam hitungan detik ia akan menikmati apa yang seharusnya menjadi milik Vincent. "Tolong lepaskan aku ...." "Teruslah memohon seperti itu. Aku suka mendengar suaramu saat menangis, Sayang," ujar Martin yang sudah tak mampu menahan gejolak nafsu. Pria itu menenggelamkan wajahnya pada leher Clara. Clara yang hendak menghindar justru memudahkan usahanya. Martin merengkuh tubuh itu erat hingga satu nama lolos dari bibir Clara. "Vinn," ucap Clara di tengah isakan. Nafsu yang semula berkobar mendadak hilang d
Daniel menatap bingung pada wanita yang kini bergelayut pada lengan Vinn. Vinn membalas senyum, sepertinya ini adalah cara termudah untuk masuk ke dalam. "Hei, kalian sedang apa? Lihat, ini undanganku," hardik wanita tanpa nama pada dua penjaga yang justru terdiam."Oh, maaf Nona. Silahkan."Dua orang itu masuk, menyisakan Daniel yang telah mendapat isyarat mata dari Vinn agar mencari jalan masuk lain. Salah satu penjaga menatapnya tajam, membuat pria itu ingin segera beringsut dan melaksanakan tugas. Di dalam mereka kembali bertemu dua penjaga di pintu selanjutnya. Tugas mereka adalah memberi topeng pada tamu yang hadir. Vinn dan juga wanita iu menerima topeng yang berbeda. Si wanita masih menempel pada Vinn hingga masuk ke dalam. Vinn masih bertanya-tanya tentang acara apa ini sebenarnya. Di sana sudah ada lebih dari dua puluh orang yang tampak bukan dari kalangan biasa. Semua orang memakai topeng, tak terkecuali pelayan dengan setel
Suasana yang dingin di ruang makan Mansion Alfredo. Vinn baru saja meminum sedikit kopi hitamnya dengan wajah tak berselera. Ia hanya menatap lurus pada laptop di depannya, acuh pada roti panggang madu yang mulai mendingin. "Vinn, selesaikan sarapanmu." Richard hanya melirik cucunya yang sedari tadi tak memandangnya sama sekali. "Aku sudah selesai," jawab Vinn tanpa mengalihkan pandangan pada layar. "Jangan terlalu memaksakan diri, kau hanya perlu mengawasi kinerja mereka di kantor.""Aku tahu."Bagi Richard, ini bukan pertama kali Vinn bersikap dingin padanya. Namun pagi ini ada yang berbeda. Pewarisnya itu tampak menahan kesal. Richard meletakkan alat makannya dan menyesap teh hijau sebelum bersuara kembali. "Ada yang ingin kau sampaikan?"Seketika pandangan Vinn berpaling. Ia menutup laptop dan menghela napas berat. "Kenapa Kakek memberikan gelang giok milik ibu pada orang asing?"Respon awal, R
Clara menatap gedung tinggi yang merupakan sebuah hotel ternama di kota metropolitan itu. Sejak berangkat, Martin tak benar-benar mengatakan acara apa yang akan mereka datangi. "Kita turun, Teman-temanku pasti sudah menunggu."Meski terpaksa, pada akhirnya Clara ikut turun dengan mengacuhkan uluran tangan Martin yang hendak membantunya. Di pintu masuk menuju lobby, pria itu melirik pasangan palsunya seraya tersenyum kecil. "Ini acara reuni, dan kalau kamu beruntung akan ada Vincent juga di sana."Langkah Clara mendadak melambat dan nyaris terhenti. Perasaannya menjadi campur aduk saat mendengar nama itu. "Kenapa wajahmu tegang? Bukankah kamu sangat ingin bertemu dengannya?" Martin terlihat senang, sangat berbeda dengan ekspresi yang Clara tunjukkan. Senang? Tentu ia akan senang bertemu Vinn. Pria itu masih memiliki hatinya hingga saat ini. Tapi tidak dengan situasi ia harus ber-cosplay menjadi calon istri Martin. "A
Pukul sepuluh lewat lima belas menit. Malam mulai larut dan Martin baru saja meletakkan tubuh Clara secara perlahan di atas ranjang. Wanita itu mabuk hanya dengan segelas wine. Pertemuan mereka yang tak disengaja dengan Adella berakhir dengan minum bersama. Sejak pertama saling mengenal, Martin telah mengetahui jika Adella sudah akrab dengan minuman memabukkan. Berbeda dengan Clara yang langsung kehilangan kesadaran setelah menghabiskan minuman pemberian Adella. "Saat mabuk dia semakin terlihat manis. Ehm, bagaimana aku bisa menuruti perintah kakek untuk tidak menyentuhnya kalau begini?" Netra Martin menjelajahi setiap jengkal bagian tubuh Clara. Wanita itu masih memejamkan mata meski terkadang keluar gumaman tidak jelas dari bibirnya. Martin hampir saja mengecup pelan bibir indah itu saat Clara mendorong dadanya agar menjauh. "Jangan menyentuhku. Dasar cowok gak tahu sopan santun!!" racaunya masih dengan mata terpejam. Tingkah Clara
Usai perbincangan ringan selama hampir tiga puluh menit, Vinn memutuskan untuk pamit. Ia bangkit dan memberi salam pada tuan rumah yang memintanya datang di kemudian hari. "Lain kali kita bicarakan lagi tentang museum rancanganmu. Aku juga akan menunjukkan beberapa koleksi barang antikku.""Terima kasih, Kek."Tuan Ron mengangguk dengan senyum yang membuat netranya semakin terlihat sipit. Kembali seorang pelayan mengantar Vinn melewati beberapa ruang bernuansa klasik dan elegan untuk menuju pintu depan. Ketika sampai di depan tangga menuju lantai dua, Vinn mendengar suara Martin yang sepertinya sedang berbicara dengan seorang wanita. 'Kebetulan, sekalian aku akan berpamitan pada Martin,' batin pria itu. Langkah Vinn terhenti, bersamaan dengan munculnya dua sosok yang menuruni tangga. Sebelah alisnya terangkat, tak yakin dengan penglihatannya sendiri. "Clara?" ucapnya pelan, mirip gumaman. "Hei, Buddy? Suda
GNLangit mulai gelap, lampu-lampu jalan telah menyala. Menuju rumah lama kakek buyut Vinn, kembali Daniel yang menyetir. Ini pertama kali Vinn mengajaknya ke rumah yang memiliki halaman luas itu. Vinn dan Daniel mendatangi pos dan bertemu dua security yang langsung mengenali Vinn. "Maaf, Tuan Vincent tidak diijinkan masuk," ujar salah satu security bertubuh tambun. "Kenapa?" Vinn mengerutkan kening. Dua security saling pandang selama beberapa saat. Mereka seakan berkomunikasi hanya dengan gerakan mata. "Hei, apa maksudnya ini? Kenapa Tuan Vincent tidak boleh masuk?" Daniel yang bersuara. "Kami hanya menjalankan tugas, Tuan.""Tuan, mundurlah. Dua orang ini sepertinya minta diberi pelajaran." Daniel bersiap dengan jurus yang membuat dua security mundur. "Hentikan, jangan membuat mereka takut." Vinn menahan bahu asistennya agar lebih tenang. "Tapi-"Vinn menghentikan ucapan Daniel hanya dengan lirikan. Detik berikutnya ia maju, mendekati s