Wanita dengan tampilan stylish mendekati Martin dan Clara setelah panggilannya tidak mendapat respon. Dua orang itu terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun. "Martin!" panggilnya sekali lagi ketika jaraknya sudah lebih dekat.Benar perkiraannya, Martin yang mendengar seketika menoleh. Disusul wanita cantik yang berada di samping. Kening Martin mengerut saat mereka bertemu pandang. "Stella?" sebut Martin pelan. Pria itu merangkul bahu Clara seakan menunjukkan jika ia tidak datang sendiri. "Ehm, bisa kita bicara?" Stella berbicara dengan ragu. Ia tidak melihat Clara sama sekali. Sedangkan Clara, tidak peduli. "Kita sudah selesai, Stella." Martin memperjelas status hubungan mereka yang telah usai sejak dua bulan lalu. Tapi itu tidak menyurutkan keinginan Stella untuk menyampaikan sesuatu. "Tapi kita perlu bicara. Ini penting, Martin. Kalau kamu menolak, aku akan menemui kakek atau Tante Amber," ancamnya.Perkataan Stella membuat Martin mencebik kesal. Ia tak suka diancam. Apalagi jik
Martin bangkit dengan dada bergemuruh. Kejadian ini sungguh tak terduga. Wanita bernama Stella terlihat sudah siap menembak dengan air mata berlinang. Tangannya gemetar. "Kenapa, Martin? Kenapa kamu diam? Aku lebih baik mati daripada menanggung malu!" Bulir bening menetes dari netra wanita dengan rambut bawah bahu itu. "Letakkan pistol itu, Stella. Semua masalah pasti punya solusi. Termasuk masalah kita," tutur Martin. Perlahan tapi pasti, ia mendekat. "Berhenti atau aku akan menembak!" teriak Stella mengancam. Bukannya menuruti, Martin justru memasang mode tak mendengar dan terus maju. Saat jarak mereka tinggal tiga langkah, pria itu bergerak cepat. Merebut pistol dan merengkuh Stella agar tidak bisa bergerak. "Lepaskan, Martin! Lebih baik aku mati! Ini yang kamu inginkan, bukan? Lepaskan aku!" Stella terus meracau. "Ssstt. Kita akan menemukan solusi. Jangan seperti ini," bisik Martin tepat di telinga Stella. Stella masih menangis tapi pergerakannya sudah banyak berkurang. Pik
Sore itu Clara duduk termangu di teras samping mansion, ditemani segelas tinggi jus pome yang berwarna semerah darah. Tangannya terus mengaduk jus, dengan tatapan kosong pada kolam ikan di taman yang ditata rapi. Tiga hari sudah sejak ia terakhir bertemu Martin. Pria itu menghilang bak ditelan bumi. Bahkan saat ia mengitari area mansion, Clara tetap tak menemukannya. Bosan hanya duduk selama setengah jam, Clara berpindah. Berjalan menuju pohon rindang yang pada salah satu cabangnya dipasang rumah burung. Namun langkahnya melambat saat mendengar percakapan dua pelayan di balik pohon. Clara tak suka menguping tetapi suara dua wanita yang tengah membersihkan rumput liar itu cukup bisa didengar dengan jelas. "Benar? Siapa yang mengatakan padamu? Ini bisa jadi bahan gosip saat berkumpul dengan yang lain nanti." Sebuah suara melengking berbicara. "Pelankan suaramu. Jika Tuan besar tahu, bisa habis kita. Aku ingin dipecat dalam waktu dekat," balas wanita satu lagi. "Tenang saja. Di tama
Martin sedang menikmati whiskey gelas ke lima saat teman-temannya mengajak bermain Truth or Dare. Pria itu hanya mengangguk tanpa mengira jika permainan itu menjadi di luar kendali beberapa saat lagi. Botol kosong bekas minuman beralkohol diputar di atas meja dan ketika berhenti menuju ke arah Archie, pria tambun yang sedari tadi asyik pada ponsel pintarnya. "Big Bro, giliranmu. Truth or Dare?" tanya Monty memberi pilihan. "Aku sedang sibuk, yang lain saja," kilah Archie tanpa mengalihkan pandangan pada ponsel. "Cih, kau sebenarnya datang untuk berkumpul bersama kami atau untuk berkencan dengan ponselmu?" gerutu Monty. "Putar lagi," komentar Martin yang kemudian disetujui oleh yang lain. Tangan pria itu membelai paha salah seorang wanita dengan dress bodicon ketat berwarna hitam. "Yoo, Martin! Truth or Dare? Sekali ini lebih baik kau pilih 'Truth'. Aku penasaran dengan berapa banyak wanita yang kau tiduri," ujar pria bernama Bastian yang disambut gelak tawa teman-teman lainnya.
Clara melangkah cepat, seakan siap jika tubuhnya akan hancur dihantam kendaraan yang melaju dengan cepat. Wanita itu memejamkan mata, tak mempedulikan suara klakson yang memekakkan telinga. Baginya, hidup sudah tidak ada artinya lagi. Tak disangka, tiba-tiba sebuah tangan menariknya. Dua orang terpelanting ke trotoar tetapi pria itu dengan sigap melindungi kepala Clara. "Nona? Anda baik-baik saja?" Daniel memandang Clara yang masih terpejam. Jarak wajah mereka hanya beberapa centimeter saja. "Kalau mau mati cari tempat lain saja. Dasar wanita gila!!" umpat pengendara mobil putih yang sempat berhenti sebelum melanjutkan perjalanan yang terjeda. Selama hampir satu menit, beberapa pasang mata memperhatikan ke arah mereka, diikuti kasak kusuk melalui bisikan. Clara bangkit dibantu dengan Daniel. Bukannya ingin berterimakasih, ia justru kesal. Seharusnya Daniel tidak perlu ikut campur dan membiarkannya mati tertabrak. Namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir merah mudany
Nyonya Merry tersenyum dan sesekali mengangguk untuk menanggapi tingkah Paman Tino yang tengah berbicara dengan semangat. Pria itu tak henti membela diri, mengatakan jika yang terjadi saat ini adalah konspirasi orang-orang yang iri padanya. Lima menit berlalu, wanita itu melihat jam tangan dengan gelisah. Dalam hati ia mulai berhitung. Seharusnya cairan dalam suntikan sudah memberi efek. Benar saja, tak lama berselang Paman Tino merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya. "Sayang, aku sedikit pusing. Sebaiknya kau pulang saja. Aku akan langsung tidur." Paman Tino bangkit dari bangku lalu berjalan menuju pintu. Namun baru beberapa langkah, ia jatuh tak sadarkan diri. Tak bergerak. Tak bernapas. Brukk. Tidak ada yang panik, baik Nyonya Merry maupun seorang sipir yang sejak tadi berjaga. Wanita kaya itu bangun dengan cara anggun lalu memberikan segepok uang merah pada si sipir. "Urus dia. Pastikan hanya kau yang tahu tentang ini." Nyonya Merry berkata dengan dingin sebelum berla
Clara membuka mata tapi menutupnya kembali ketika pendar cahaya memaksa masuk ke dalam lensanya. Wanita itu mengerjap, lalu mengitari sekitar dengan pandangan. Perlu waktu beberapa detik hingga ia menyadari jika tempatnya berada sekarang adalah kamar rumah sakit. Cklek. Tap. Tap. Tap. Seseorang memasuki ruang inap royal suite itu. Ingin rasanya menoleh, tapi Clara merasa tubuhnya masih sangat lemah. Ia hanya menunggu, hingga satu sosok muncul memberinya senyum menenangkan. "Briana?" Suara parau milik Clara menyebut sebuah nama. Briana tersenyum, dan meletakkan buket bunga lily putih di nakas sebelum mendekati ranjang. Clara yang belum mempercayai penglihatannya berusaha untuk duduk, tanpa diminta adik perempuannya itu dengan sigap membantu. "Pelan-pelan, Kak," ujarnya lembut.Clara masih memandangi wajah wanita yang tampak mirip dengannya itu. Ia belum mengerti apa yang terjadi. Memorinya hanya bisa memutar kejadian semalam saat ia terjun ke aliran sungai besar yang cukup deras
Pagi yang cerah. Namun tak secerah beberapa wajah di pemakaman itu. Prosesi berjalan cepat dan diadakan tertutup, diiringi suara tangis kecil Nyonya Merry yang seakan berat melepaskan kepergian Paman Tino. "Suamiku, kenapa cepat sekali kau pergi ...." isak wanita dengan setelan hitam itu pilu. Acara duka itu hanya dihadiri orang-orang terdekat, termasuk di antaranya keluarga besar dan beberapa kerabat. Jason menatap kosong pada tanah basah di mana sang ayah. Selama ini hubungan mereka tidak terlalu dekat, Paman Tino juga bukanlah ayah yang baik. Tapi tetap saja kehilangan orang tua adalah hal menyakitkan. Tak jauh darinya, Vinn melirik ke arah Tuan Bara. Banyak yang ingin ia tanyakan, meski tentu sekarang bukan waktu yang tepat. Tuan Bara menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandangan sembari membuang napas berat. "Merry, aku tahu ini berat tapi kau adalah wanita tegar. Aku akan siap kapanpun kau membutuhkanku," ucap Bibi Agatha setelah Tuan Bara memberi kode untuk pergi. Tak lupa