Ankara hanya memperhatikan putrinya yang sejak tadi diam di atas hospital bed. Saat putrinya kembali hanya menangis, kemudian diam dan kembali menangis lagi. Sepanjang malam, ia hanya melihat Alika menangis.
Hanya laporan dari pengawal yang didengarnya mengenai apa yang terjadi di keluarga Matthias.“Kenapa? Apa kau baru tahu sifat asli dari keluarga mantan kekasihmu itu?” Ankara mengawali pembicaraan membuat Alika menatap sendu ke arahnya. “Mereka akan mengantarkanmu pulang,” ucap Ankara kemudian beranjak dari tempat duduknya. “Kita berdua akan bicara setelah kondisimu sudah membaik,” tambah Ankara lagi.Pengawal yang mengantarkan Alika, bukan mengantarkannya ke apartement tapi mengantarkanya ke sebuah rumah berlokasi di Cilandak Margasatwa Townhouse. Kawasan rumah megah di Jakarta Selatan.Ia tahu dengan persis harga rumah di kawasan tersebut. “Tuan, tidak ingin Anda kembali ke Apartemen itu lagi. Beliau memintaku untuk mengemas seluruh barang-barang Anda, saya telah menata kembali barang-barang Nona seperti di apatement.”Alika tidak berkomentar sama sekali. “Rumah ini sangat mahal.” “Bagi Tuan harganya tidak seberapa Nona. Nona bahkan meminta Tuan membeli sebuah villa atau mansion megah di kawasan elit. Nona tidak perlu tinggal di apatement kecil itu lagi. Anda adalah Nona muda keluarga Lysander, tidak perlu lagi merasa kekurangan uang.”Hanya kekehan terdengar dari mulut Alika. “Nona muda? Itu terdengar sangat lucu.”Mobil berhenti di sebuah rumah begitu megah. “Ini rumah yang akan Nona tempati,” ucap pria itu.Tidak bisa dipungkiri Alika tercengang melihat rumah yang begitu megah di hadapannya. Apalagi pria yang mengatarkannya mengatakan jika rumah tersebut di beli atas nama dirinya.“Kenapa Nona tidak masuk? Apa tidak menyukainya? Saya akan mengatakan pada Tuan jika Nona tidak menyukainya.”“Tidak. Ini benar-benar di luar ekspetasi. Hidup sebatang kara selama seperempat abad, tiba-tiba menjadi putri dari keluarga konglemerat. Benar-benar bercanda hidup ini,” kekeh Alika.Didampingi pria suruhan sang ayah, Alika masuk ke dalam rumah untuk melakukan room tour. Lagi-lagi Alika dibuat terkesima dengan apa yang ada di depan matanya. Tidak hanya mobil tetapi di lantai atas rumah pun memiliki landasan pacu helicopter. “Apa ini tidak berlebihan?”“Menurutku tidak, Nona. Selama ini Nona hidup dengan serba kekurangan, jadi tidak berlebihan jika menikmati semua yang seharusnya Anda nikmati sejak dulu,” tegas pria itu. Alika hanya terdiam. Dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi. “Aku harus memanggilmu apa?” tanya Alika. “Maksudku, namamu?”Pria itu terdiam sesaat.“Farhan.”Setelah mengatakan namanya, Farhan pun pergi meninggalkan Alika di lantai atas. Ia kembali melihat helicopter yang tengah terparkir megah di depannya saat ini.“Apa ini masuk akal?” tanyanya kemudian turun ke lantai bawah. Ia merebahkan diri di atas sofa, tubuhnya masih lemah.Beberapa jam kemudian, terdengar sebuah ketukan pintu, ia pun bergegas membuka pintu. Sontak saja saat membuka pintu Alika melebarkan matanya dengan sempurna, seumur hidupnya, ini kali pertama ia merasa begitu ketakutan."Whats wrong?" tanya Alika dengan terbata-bata.Pria itu, Ankara. Entah apa yang terjadi, ia datang ke tempat tinggal Alika dengan keadaan terluka."Help me, please!" gumam orang itu sambil menahan rasa sakit.“Please close the door. Someone is chasing me.”Tak menunggu jawaban dari Alika lebih dulu, laki-laki itu langsung menerobos masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Alika yang masih termenung di depan pintu. Alika masih terlihat bingung bercampur rasa takut, ia melihat Ankara yang ada di hadapannya itu. Tubuhnya penuh dengan luka. Bayangan orang psikopat yang seringkali ia tonton di dalam drama, tiba-tiba muncul di kepalanya hingga membuat rasa takutnya menjadi berkali-kali lipat."Apakah perlu aku panggilkan dokter untuk membantumu membersihkan luka-luka itu? Atau, apakah kita kerumah sakit saja?" tanya Alika, meskipun rasa takut sedang menjalari tubuhnya tapi ia terlihat sangat khawatir.“Tidak perlu, tolong berikan saja aku kotak P3Knya, aku akan membersihkan sendiri luka-luka ini. Lagian, ini bukanlah kali pertama aku seperti ini, aku sudah terbiasa. Luka seperti ini juga tidak akan membuatku mati," jawab Ankara membuat Alika menatap penuh keanehan.“Are you serious?” tanya Alika dengan sedikit keraguan.“Yes. I'm serious.”Masih ada keraguan pada Alika walaupun pria itu mengatakan serius, cukup kotak P3k saja. “But your wound is quite serious.”"Shut up.” Ankara sedikit membentak Alika. “Sebaiknya, segera berikan saja padaku kotak obatnya.”Alika tidak berani lagi bertanya, dia segera berjalan mengambil kotak P3K yang tersedia di depan meja televisi."Ini," ucap Alika. Ia begitu ngilu melihat luka-luka itu."Terimakasih." Alika hanya diam saja, ia berjalan ke arah dapur untuk mengambil air minum. "Mau minum apa?" tanya Alika."Bir. Punya?"“Sepertinya tidak ada,” ucap Alika memeriksa kulkas.“Huh. Berikan saja, apa yang kau punya,” seru Ankara sambil mengobati luka miliknya sendiri. Tak lama kemudian, Alika kembali dengan membawa nampan berisi air putih dan beberapa cemilan yang ia punya. Melihat luka pria itu membuat Alika merinding."Terimakasih." "CK! Mau berapa kali Anda mengatakan terimakasih? Lagian, ini bukan apa-apa kok. Ini hanya bentuk rasa kepedulian sesama manusia saja." jawab Alika.Setelah itu, tak ada jawaban apapun yang diberikan oleh Ankara. Ia nampak fokus mengobati lukanya yang hampir seluruh tubuhnya.Tiba-tiba Farhan dan menghampiri mereka. “Tuan, kami telah membereskan mereka. Beberapa orang yang mengikuti Anda sudah kami bereskan.”Alika tidak paham apa yang dikatakan Farhan. Membereskan? Apa yang diberesekan. “Bagus.”“Saya membawa dr. Ardana untuk mengobati Anda,” ucap Farhan lagi kemudian membalikan badan mempersilahkan dokter yang dibawa untuk memeriksa Ankara. A-apa maksudnya membereskan? Apa yang dibereskan?” Alika bertanya karena dia penasaran.“Belum waktunya kau tahu,” ucap Ankara dengan tegas menatap ke arah Alika.Alika yang tidak terima dengan jawaban itu, memilih naik ke lantai atas. Di kepalanya masih memikirkan apa yang dikatakan Ankara. Namun, ada hal yang harus dia pikirkan daripada memikirkan mengenai Ankara. Keluarga Matthias, mengingat kejadian semalam membuat Alika memiliki pikiran terbuka. Pria yang dia pikir mampu melindunginya, memilih menjadi boneka. “Apa kau sudah memutuskannya?” Ankara tiba-tiba datang mengejutkan Alika. “Apa kau sudah memikirkan menjadi Alika Farhan yang miskin dan menyedihkan atau menjadi Putri tunggal Ankara Jagna Lysander pewaris seluruh kekayaan keluarga Lysander?” Ankara bertanya dengan sungguh-sungguh.Tidak ada jawaban dari Alika, ia pun masih berpikir. “Dengan menjadi Nona Muda Lysander kau bisa membalaskan dendammu pada keluarga Matthias.” Ankara kembali mengingatkan sebuah keinginan yang telah membara di mata Alika.“Jadilah Nona Muda Lysander dan buat mereka yang telah menghinamu memohon ampun.”Mendengar apa yang dikatakan Ankara, dendam yang ada di dalam hati Alika mulai membawa. Apa yang dikatakan oleh Ankara benar, jika dia menjadi Nona Muda Lysander dia bisa membalaskan dendamnya.Vero yang baru tiba di kantor menghamburkan seluruh barang-barang di atas mejanya. Dia memekik membuat sang asisten masuk ke dalam ruangannya.“Keluar,” bentak Vero.Tangan Vero mengepal erat, melihat bagaimana Arsen mencium Elektra. Dia bahkan tidak pernah mendapatkan sentuhan dari suaminya tapi wanita yang baru dikenal itu mendapatkannya.“Elektra sialan,” umpatnya sambil melemparkan ponsel sembarang arah. “Berani sekali wanita itu. Berani sekali dia tersenyum seperti itu,” geram Vero.Suara barang-barang yang dibanting terdengar hingga keluar tapi tidak ada yang berani mendekat kea rah ruangannya. Mereka sudah tahu bagaimana sikap Vero jika marah.Namun berbeda dengan Elektra yang tengah santai di dalam mobil Arsen, wanita itu seakan tidak terjadi apa-apa. Arsen sesekali melirik ke arah wanita disampingnya.“M-maaf jika saya membuat Anda tidak nyaman,” seru Arsen membuka suara.“No problem. Aku yakin Anda melihatku karena wajahku mirip dengan Alika.”“M-maaf.” Elektra tersenyum men
Vero yang baru tiba di kantor menghamburkan seluruh barang-barang di atas mejanya. Dia memekik membuat sang asisten masuk ke dalam ruangannya.“Keluar,” bentak Vero.Tangan Vero mengepal erat, melihat bagaimana Arsen mencium Elektra. Dia bahkan tidak pernah mendapatkan sentuhan dari suaminya tapi wanita yang baru dikenal itu mendapatkannya.“Elektra sialan,” umpatnya sambil melemparkan ponsel sembarang arah. “Berani sekali wanita itu. Berani sekali dia tersenyum seperti itu,” geram Vero.Suara barang-barang yang dibanting terdengar hingga keluar tapi tidak ada yang berani mendekat kea rah ruangannya. Mereka sudah tahu bagaimana sikap Vero jika marah.Namun berbeda dengan Elektra yang tengah santai di dalam mobil Arsen, wanita itu seakan tidak terjadi apa-apa. Arsen sesekali melirik ke arah wanita disampingnya.“M-maaf jika saya membuat Anda tidak nyaman,” seru Arsen membuka suara.“No problem. Aku yakin Anda melihatku karena wajahku mirip dengan Alika.”“M-maaf.” Elektra tersenyum men
Hotline berita begitu menarik banyak perhatian public. Di mana mereka menulis jika Elektra membela seorang pelaku dengan menjadi pengacaranya.“Tch. Sudah kuduga akan seperti ini,” gerutu Elektra kemudian menyambar remote dan mematikannya.Magno baru saja masuk dengan wajah yang sulit untuk diartikan. “Kita ke kantor.”“Banyak reporter di sana.”“Kau tidak bisa menangani mereka, huh?”Melihat raut wajah Magno dia bisa tahu jawabannya. “Aku tidak akan mati hanya karena mereka, ayo kita ke kantor,” ucap Elektra.Saat tiba di parkiran mata Elektra tertuju pada Regan yang berdiri di samping mobil. Magno pun terkejut dengan kehadiran pria itu.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku mengkhawatirkanmu, aku melihat berita dan datang. Kau tidak membalas pesan ataupun mengangkat telponku.”Elektra baru ingat dia tidak memang ponselnya. “Kau mau ke kantor?” Regan lagi-lagi bertanya. “Ikut denganku di dalam mobil, mereka pasti akan mengenali mobilmu tapi mereka tidak akan mencegah mobilku masuk,” t
Arsen benar-benar tidak bisa terima jika ada pria lain yang mendekat pada Elektra. Keinginannya mendekati Elektra berubah menjadi obsesi.“Enak ‘kan? Aku tebak kau tidak pernah merasakan nasi goreng seperti ini,” seru Regan. “Mau lagi?” Regan kembali menyendok nasi miliknya dan menyuapi Elektra. Lagi-lagi Elektra membuka mulutnya menerima suapan dari Regan.Mungkin banyak yang mengira jika keduanya adalah sepasang kekasih yang tengah berkencan.Di saat bersamaan, sebuah ponsel di atas meja berbunyi menampilkan sebuah pesan. Melihat pesan yang dikirimkan padanya membuat pria itu mengerutkan kening, sesaat kemudian menghubungi yang mengirimkan pesan padanya.“Pergi dari sana. Jangan ganggu dia, jangan sampai ketahuan.”“Baik Tuan.”Saat menerima pesan dari anak buahnya, Ankara memejamkan mata. Kemudian menghubungi satu nama di ponselnya. “Tolong cari informasi mengenai seseorang untukku,” serunya kemudian mematikan panggilan tapi mengirimkan satu foto.“Kau tidak akan menolak sepiring n
Dari kejauhan terlihat pria yang tadi mengirimkan pesan pada Elektra, dia tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah wanita yang dilihatnya baru saja keluar dari pintu lift menuju basement kantor.“Kau mengajakku keluar karena ingin membayar hutangmu?”Regan segera menganggukan kepala. “Ya, dan juga ingin merayakan denganmu karena diterima menjadi pengacara di sini,” jawab Regan jujur.“Ayo,” seru Regan membukakan pintu mobilnya. “Maaf, mobil saya tidak seperti mobilmu,” ucap Regan saat masuk ke dalam mobil.Elektra bahkan tidak mempermasalahkan itu, apalagi bau parfum menyengat, tidak buruk menurutnya. Wanginya menenangkan dengan aroma kayu.Tidak ada ekspresi di wajah Elektra saat masuk ke dalam mobil. “Apa kau tidak suka dengan mobilku? Kita bisa—““Tidak. Ayo pergi saja,” bantah Elektra menenangkan Regan yang terlihat sedikit segan dengan sikapnya.H
Elektra mengumpati dirinya yang saat ini tengah duduk di dalam mobil sambil memperhatikan seseorang dari dalam mobil. Magno yang ada disampingnya pun menatap dengan penuh tanya, mengenai apa yang dilakukan oleh sang nona.Mata Elektra tertuju pada pria yang berada di dalam restoran, beberapa saat kemudian pria itu beranjak dari restoran tersebut. Dia berjalan santai menuju parkiran dan menyadari jika hari sudah sore. Buru-buru ia mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat itu.Tanpa disadari—Elektra yang bersembunyi di dalam mobilnya kini membuntuti Regan. Ternyata dia juga penasaran terhadap laki-laki itu karena selalu mengajaknya bicara.“Kau tertarik dengannya?” Magno barulah membuka suara. Lirikan tajam dari Elektra terlihat, “Okay. Aku tidak akan bertanya lagi,” lanjutnya.Seram juga menanyakan hal seperti itu pada Elektra. Namun, dia suka jika Elektra menunjukan sikap seperti itu.Magno sengaja memberi jarak yang