Dua minggu telah berlalu sejak hari itu, hari di mana pengkhianat terjadi begitu nyata tepat di hadapannya. Tak pernah Alika sangka jika dirinya diperlakukan seperti ini oleh orang yang ia sayang dan cintai.
“Kalian, lihat saja!” seru Alika mengeram.
Tapi tunggu dulu, orang yang disayang dan dicintai? Ah, tidak! Mungkin itu dulu, tidak untuk sekarang. Cinta dan sayang untuk Arsen sudah tak lagi ada! Kini, yang tersisa dari semuanya itu adalah sebuah rasa benci yang begitu dalam. Tak akan pernah ada kata maaf untuk pengkhianat seperti Arsen itu!
Alika menggenggam erat kedua tangannya mencoba untuk tetap bisa mengendalikan dirinya sendiri di tempat keramaian seperti ini. Jika saat ini ia sedang berada di rumah, mungkin beberapa barang akan siap jadi pelampiasan dari kemarahannya ini.
Ia berjalan menyusuri jalanan Amerika, tepatnya di New York. Tempat di mana Asren memintanya untuk tinggal.
Alika mengunjungi tempat itu, sebelum ia benar-benar harus melupakan segala hal mengenai Arsen, serta perlawanan untuk balas dendam pada keluarga Matthias yang tidak memiliki sedikitpun rasa kemanusiaan padanya.
Ia mengusap lembut perut yang rata itu, seharusnya saat ini, janinnya masih ada di dalam perut. Namun, karena keluarga itu, semua benar-benar habis tak bersisa.
"Nak, maaf ‘kan Mama, ya, karena Mama tidak bisa menjagamu dengan baik. Mama tidak bisa membawa kamu lahir dan melihat dunia yang indah ini, meskipun banyak orang yang penuh kepalsuan tapi, Mama berjanji akan membalas semua perbuatan mereka karena telah memisahkan kita berdua. Mama akan membuat mereka membayar nyawa kamu!" ucap Alika dengan begitu lirih, air matanya juga jatuh ketika mengingat sudah tak ada lagi nyawa yang hidup di dalam perutnya.
Dalam banyaknya orang yang berlalu lalang itu, entah kenapa Alika seperti merasa sedang diawasi saat ini.
Langkah kaki Alika berhenti di tengah-tengah orang yang berlalu lalang tersebut. Karena terkenal dengan negara paling sibuk, bahkan tak ada yang memperhatikan Alika yang tiba-tiba berhenti.
Alika mencoba untuk menyapu ke sekelilingnya, ia benar-benar merasa bahwa saat ini dirinya sedang diawasi. Tapi, tak ada siapapun yang ia temui. Alika mencoba untuk berpikir positif, mana mungkin ada orang jahat di tengah keramaian seperti ini.
“Mungkin perasaanku saja,” batin Alika. Ia pun melanjutkan langkahnya segera kembali ke rumah. Ia sengaja ingin berjalan kaki untuk memikirkan segala hal yang dikatakan sang ayah padanya.
Sebuah keputusan besar yang diambil.
Langkah demi langkah terasa begitu kurang mengenakan, Alika merasa benar-benar ada yang mengikuti dirinya. Ia mempercepat langkahnya, dan langkah kaki orang di belakangnya juga semakin cepat seolah seirama dengan langkah kaki Alika.
Tentu saja, hal ini membuat Alika sangat panik sekali. Ia tak tahu, harus meminta bantuan pada siapa saat ini. Dirinya hanyalah sebatang kara disini, tanpa teman ataupun keluarga.
Alika memberanikan diri untuk membalikkan badannya, setidaknya hal itu harus ia lakukan agar ia bisa untuk mengenali siapa orang yang sejak tadi mengikutinya, bukan?
Ketika ia berbalik, Alika menghentikan langkahnya. Matanya melebar dengan sempurna melihat sosok yang sejak tadi terus mengikuti dirinya.
"Arsen," gumam Alika.
Iya, sosok yang sejak tadi mengikuti Alika adalah Arsen, laki-laki itu tidak sempat untuk bersembunyi saat Alika mendadak menoleh ke belakang.
"Alika," jawab Arsen sambil tersenyum dengan manis.
Alika sesaat tersenyum melihat pria itu tetapi mengingat apa yang telah diperbuat oleh Arsen dan keluarganya membuatnya mengubah raut wajahnya. Rasa benci pada sosok laki-laki yang pernah bertahta di hatinya kini makin membara.
"Pergi!" ucap Alika dengan penuh penekanan. Sorot matanya juga begitu tajam pada Arsen.
"Tapi Al—“
"Aku bilang pergi!" potong Alika lagi. Ia tak ingin mendengar apapun lagi dari mulut Arsen. Tak akan ia membuat dirinya menjadi bodoh akan rasa cinta. Lagipula, ia dan Arsen bukanlah sepasang kekasih lagi. Tak ada keterikatan apapun, mereka hanyalah dua orang yang pernah menjalankan hubungan dan melakukan hal bodoh dan berakhir dengan dirinya ditinggal menikah.
"Al, beri aku waktu sebentar saja untuk menjelaskan semuanya pada kamu."
"Enyahlah! Aku dan kamu, kita berdua bukan lagi kita yang dulu. Tolong untuk menjaga jarak denganku! Dan yang paling penting di sini, kamu adalah orang asing bagiku setelah hari itu!"
Alika mengatakan itu dengan begitu lantang sekali seperti menegaskan bahwa ia tak ingin diganggu oleh Arsen.
Arsen menggelengkan kepalanya, "Tidak! Kamu harus mendengarkan penjelasan aku dulu! Ayolah Al, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu. Please, mengerti aku sekali ini saja. Aku juga tidak punya pilihan lain waktu itu."
"Bullshit! Shut up, Arsen!”
Alika melangkah dengan cepat untuk segera pergi meninggalkan Arsen, ia tak ingin mendengarkan apapun itu.
"Al," panggil Arsen, ia mencoba untuk menyamakan langkahnya dengan Alika. Ia sudah datang sejauh ini, dan tak akan ia biarkan Alika hilang dari pandangan matanya begitu saja.
Alika menghentikan langkahnya dan menatap tajam dengan ekspresi dingin, "Jangan ikuti aku! Hubungan kita tidak ada yang perlu dijelaskan lagi!"
Entah apa lagi yang harus mereka bicarakan setelah hubungan antara mereka sudah usai seperti ini. Alika kemudian menarik mantel miliknya dan pergi menemui Arsen. Dia ingin pria itu pergi dari kehidupannya.
“Apalagi yang harus kita bicarakan Arsen, huh?”
“Aku ingin menjelaskan kenapa aku menikah dengan Vero, dan juga bayi kita.”
“Bayi kita? Kau baru saja mengatakan bayi kita? Apa aku tidak salah dengar? Setelah yang kau lakukan padaku, kau mengatakan bayi kita?” Tatapan Alika dipenuhi oleh kemarahan.
“Setidaknya biarkan aku menjelaskan padamu.”
“Apa kau tidak punya telinga, huh? Pergilah. Aku tidak ingin kau menggangguku lagi.
Arsen tidak dapat berbuah banyak, dia pergi tanpa menjelaskan apa yang terjadi. Selepas Arsen pergi, Alika berteriak penuh histeris membuat beberapa pejalan kaki melihat ke arahnya. Rasa sesak di dalam hati Alika mengingat kembali kehilangan bayinya membuat pikiran Alika kosong, dia gelap mata dan melangkah tanpa arah laut. Dinginnya air laut seakan tidak terasa.
Ankara yang melihat putrinya segera berlari, bergegas menyelamatkannya. Begitu susah payah dia meraih tubuh Alika, dengan kondisi dirinya sendiri yang tidak baik-baik saja.
“Apa kau bodoh, huh?” tanya Ankara sambil membantu Alika agar bernapas lagi. Beberapa kali dia mengomeli Alika yang masih belum sadarkan diri. Hingga akhirnya Alika terbangun.
“Apa yang kau pikirkan? Apa kau pikir bunuh diri akan membuat masalahmu selesai? Tidak.” Ankara membentak Alika membuat putrinya yang baru saja kembali dari kematian menangis histeris. “Kau benar-benar bodoh.”
Tidak ada satupun kalimat bantahan dari Alika, dia hanya menangis dan terus menangis sedangkan Ankara memeluknya. Berharap agar Alika bisa tenang di dalam pelukannya.
“Apa kau ingin balas dendam?”
Vero yang baru tiba di kantor menghamburkan seluruh barang-barang di atas mejanya. Dia memekik membuat sang asisten masuk ke dalam ruangannya.“Keluar,” bentak Vero.Tangan Vero mengepal erat, melihat bagaimana Arsen mencium Elektra. Dia bahkan tidak pernah mendapatkan sentuhan dari suaminya tapi wanita yang baru dikenal itu mendapatkannya.“Elektra sialan,” umpatnya sambil melemparkan ponsel sembarang arah. “Berani sekali wanita itu. Berani sekali dia tersenyum seperti itu,” geram Vero.Suara barang-barang yang dibanting terdengar hingga keluar tapi tidak ada yang berani mendekat kea rah ruangannya. Mereka sudah tahu bagaimana sikap Vero jika marah.Namun berbeda dengan Elektra yang tengah santai di dalam mobil Arsen, wanita itu seakan tidak terjadi apa-apa. Arsen sesekali melirik ke arah wanita disampingnya.“M-maaf jika saya membuat Anda tidak nyaman,” seru Arsen membuka suara.“No problem. Aku yakin Anda melihatku karena wajahku mirip dengan Alika.”“M-maaf.” Elektra tersenyum men
Vero yang baru tiba di kantor menghamburkan seluruh barang-barang di atas mejanya. Dia memekik membuat sang asisten masuk ke dalam ruangannya.“Keluar,” bentak Vero.Tangan Vero mengepal erat, melihat bagaimana Arsen mencium Elektra. Dia bahkan tidak pernah mendapatkan sentuhan dari suaminya tapi wanita yang baru dikenal itu mendapatkannya.“Elektra sialan,” umpatnya sambil melemparkan ponsel sembarang arah. “Berani sekali wanita itu. Berani sekali dia tersenyum seperti itu,” geram Vero.Suara barang-barang yang dibanting terdengar hingga keluar tapi tidak ada yang berani mendekat kea rah ruangannya. Mereka sudah tahu bagaimana sikap Vero jika marah.Namun berbeda dengan Elektra yang tengah santai di dalam mobil Arsen, wanita itu seakan tidak terjadi apa-apa. Arsen sesekali melirik ke arah wanita disampingnya.“M-maaf jika saya membuat Anda tidak nyaman,” seru Arsen membuka suara.“No problem. Aku yakin Anda melihatku karena wajahku mirip dengan Alika.”“M-maaf.” Elektra tersenyum men
Hotline berita begitu menarik banyak perhatian public. Di mana mereka menulis jika Elektra membela seorang pelaku dengan menjadi pengacaranya.“Tch. Sudah kuduga akan seperti ini,” gerutu Elektra kemudian menyambar remote dan mematikannya.Magno baru saja masuk dengan wajah yang sulit untuk diartikan. “Kita ke kantor.”“Banyak reporter di sana.”“Kau tidak bisa menangani mereka, huh?”Melihat raut wajah Magno dia bisa tahu jawabannya. “Aku tidak akan mati hanya karena mereka, ayo kita ke kantor,” ucap Elektra.Saat tiba di parkiran mata Elektra tertuju pada Regan yang berdiri di samping mobil. Magno pun terkejut dengan kehadiran pria itu.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku mengkhawatirkanmu, aku melihat berita dan datang. Kau tidak membalas pesan ataupun mengangkat telponku.”Elektra baru ingat dia tidak memang ponselnya. “Kau mau ke kantor?” Regan lagi-lagi bertanya. “Ikut denganku di dalam mobil, mereka pasti akan mengenali mobilmu tapi mereka tidak akan mencegah mobilku masuk,” t
Arsen benar-benar tidak bisa terima jika ada pria lain yang mendekat pada Elektra. Keinginannya mendekati Elektra berubah menjadi obsesi.“Enak ‘kan? Aku tebak kau tidak pernah merasakan nasi goreng seperti ini,” seru Regan. “Mau lagi?” Regan kembali menyendok nasi miliknya dan menyuapi Elektra. Lagi-lagi Elektra membuka mulutnya menerima suapan dari Regan.Mungkin banyak yang mengira jika keduanya adalah sepasang kekasih yang tengah berkencan.Di saat bersamaan, sebuah ponsel di atas meja berbunyi menampilkan sebuah pesan. Melihat pesan yang dikirimkan padanya membuat pria itu mengerutkan kening, sesaat kemudian menghubungi yang mengirimkan pesan padanya.“Pergi dari sana. Jangan ganggu dia, jangan sampai ketahuan.”“Baik Tuan.”Saat menerima pesan dari anak buahnya, Ankara memejamkan mata. Kemudian menghubungi satu nama di ponselnya. “Tolong cari informasi mengenai seseorang untukku,” serunya kemudian mematikan panggilan tapi mengirimkan satu foto.“Kau tidak akan menolak sepiring n
Dari kejauhan terlihat pria yang tadi mengirimkan pesan pada Elektra, dia tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah wanita yang dilihatnya baru saja keluar dari pintu lift menuju basement kantor.“Kau mengajakku keluar karena ingin membayar hutangmu?”Regan segera menganggukan kepala. “Ya, dan juga ingin merayakan denganmu karena diterima menjadi pengacara di sini,” jawab Regan jujur.“Ayo,” seru Regan membukakan pintu mobilnya. “Maaf, mobil saya tidak seperti mobilmu,” ucap Regan saat masuk ke dalam mobil.Elektra bahkan tidak mempermasalahkan itu, apalagi bau parfum menyengat, tidak buruk menurutnya. Wanginya menenangkan dengan aroma kayu.Tidak ada ekspresi di wajah Elektra saat masuk ke dalam mobil. “Apa kau tidak suka dengan mobilku? Kita bisa—““Tidak. Ayo pergi saja,” bantah Elektra menenangkan Regan yang terlihat sedikit segan dengan sikapnya.H
Elektra mengumpati dirinya yang saat ini tengah duduk di dalam mobil sambil memperhatikan seseorang dari dalam mobil. Magno yang ada disampingnya pun menatap dengan penuh tanya, mengenai apa yang dilakukan oleh sang nona.Mata Elektra tertuju pada pria yang berada di dalam restoran, beberapa saat kemudian pria itu beranjak dari restoran tersebut. Dia berjalan santai menuju parkiran dan menyadari jika hari sudah sore. Buru-buru ia mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat itu.Tanpa disadari—Elektra yang bersembunyi di dalam mobilnya kini membuntuti Regan. Ternyata dia juga penasaran terhadap laki-laki itu karena selalu mengajaknya bicara.“Kau tertarik dengannya?” Magno barulah membuka suara. Lirikan tajam dari Elektra terlihat, “Okay. Aku tidak akan bertanya lagi,” lanjutnya.Seram juga menanyakan hal seperti itu pada Elektra. Namun, dia suka jika Elektra menunjukan sikap seperti itu.Magno sengaja memberi jarak yang
"Hai, tu— tunggu." Regan mencoba menahan Elektra agar tidak pergi.Sayangnya, wanita itu tidak ingin bicara dan langsung mengemudikan mobilnya meninggalkan Regan."Ah, sial!" umpat Regan karena lagi-lagi dia gagal mengajak Elektra bicara. “Padahal dia ingin mentraktirnya.”Dia pun memilih pergi dari Firma Hukum Lyosa karena masih ada perut kelaparan yang harus diberi makan. Regan lantas mengemudikan mobilnya menuju sebuah restoran terdekat.Lagi-lagi kedatangan Regan di restoran tersebut mengundang perhatian orang-orang sekitar. Ketampanannya memang telah diakui banyak orang. Namun, Regan sendiri bingung mengapa Elektra sama sekali tidak tertarik padanya? Bahkan setelah mereka bertemu beberapa kali."Ck! Aku sungguh tidak nyaman ditatap oleh mereka seperti itu," celetuk Regan seraya memasuki restoran.Walaupun begitu, dia tidak berniat untuk mencari tempat makan yang lainnya. Regan sengaja memilih tempat duduk di sudu
Kamar yang tertata rapi, deretan buku-buku hukum ada di dalam membuat kamar tersebut sesuai dengan pemilik kamar. Sederhana tapi sangat bersih."Bangun, Regan. Katamu ada acara hari ini?" Seorang wanita berkata lembut setelah membuka korden jendela kamar putranya."Iya, Ma," jawab laki-laki itu seraya berkedip cepat.Dia ingat sekali jika hari ini akan ada interview bagi orang-orang yang sudah mendaftar di Firma Hukum Lyosha. Seketika Regan bangun dengan penuh semangat dan ingin segera diwawancarai, sekaligus berharap bisa bertemu pengacara cantik lagi di sana."Aku mandi dulu ya, Ma," pamit Regan."Iya, Sayang," sahutnya.Begitu Regan masuk kamar mandi, wanita paruh baya itu langsung membereskan tempat tidur sang putra. Kemudian—menyiapkan sarapan dan melakukan aktivitas yang lain.Berhubung sudah hampir terlambat, Regan mempercepat proses mandinya dan segera memakai baju se-rapi mungkin. Dia berdiri di depan cer
Elektra lagi-lagi terbangun melihat ruangan yang berbeda. Ruang kamar dengan cat berwarna abu. “Sial. Kenapa aku tidak sadar jika dia menggendongku pulang,” gerutu Elektra sambil mengacak rambut. Setelah merasa nyawanya terkumpul, Elektra turun dari tempat tidur, dia mencari keberadaan Magno tetapi tidak menemukan pria itu di manapun. Namun, sarapan pagi berada di atas meja membuatnya segera menyantapnya. “Ke mana perginya, dia? Bukankah ini masih pagi?” tanya Elektra sambil mencari letak jam, dia ingin tahu saat ini pukul berapa. Namun saat dia melihat jam, begitu terkejut dirinya. “Astaga. Apa aku tidur selama itu?” tanya Elektra. Jam telah menunjukan pukul 3 sore. Sesaat Elektra terdiam. “Makanannya masih hangat, apa dia pulang dan membuatkanku makanan?” Elektra tersadar mengenai hal itu. Setelah menyelesaikan makannya, Elektra bergegas membersihkan diri. Di dalam kamar tersedia pakaian ganti untuknya. “Dia selalu tahu, fash