Keesokan harinya.
Elina membuka mata dengan perlahan saat suara-suara langkah kaki juga derit roda yang menggema dari luar kamar.
“Anda sudah bangun.”
Elina menolehkan kepala ke samping. Dia melihat Darren yang berdiri di dekat ranjangnya.
“Anda butuh sesuatu?” tanya Darren kemudian.
Elina menggeleng pelan. Dia mendesis seraya mengangkat tangan untuk menekan kepala yang begitu pening.
“Aku mau ke toilet,” lirih Elina yang kemudian menyibakkan selimut dari kakinya.
Darren bergerak ke arah ranjang saat Elina hendak bangun, tapi gerakan kakinya kembali terhenti saat tatapan mereka bertemu.
“Mau apa kamu?” tanya Elina dengan kening berkerut halus.
“Membantu Anda ke kamar mandi.”
Elina diam sejenak. “Tidak perlu.”
Elina berusaha bangun sendiri, lalu kedua kakinya mulai diangsurkan ke lantai.
Gadis itu mulai berdiri dengan perlahan, tapi karena kepala yang masih sangat pusing dan tubuh yang seperti remuk redam, ia malah limbung.
Beruntung, Darren dengan sigap langsung menangkap tubuhnya. Pria itu merangkul pinggangnya dan memastikan tubuhnya tidak luruh ke lantai.
Elina terkesiap. Dua tangannya secara tak sengaja berpegangan pada pundak Darren.
Tatapan mereka kembali bertemu, mereka sama-sama diam saling pandang dalam waktu sesaat.
“Anda yakin bisa berdiri dengan benar?” tanya Darren setelah membantu Elina agar bisa berdiri.
Kedua tangan Darren sudah tak menyentuh pinggang Elina, tapi masih menggantung di samping tubuhnya untuk memastikan gadis itu tidak jatuh.
“Aku bisa sendiri.” Elina menoleh ke kantong infus yang tergantung di tiang dan sempat tertarik tangannya.
“Anda tidak bisa pergi sendiri, saya akan membantu Anda ke toilet.” Nada suara Darren tak terbantah. Dia langsung meraih kantong infus dari tiang, kemudian membantu Elina pergi ke kamar mandi.
Elina menatap datar pada Darren yang bertindak tanpa persetujuannya. Tapi kondisinya yang memang sedang tak memungkinkan, membuat Elina membiarkan Darren melakukan apa yang hendak dilakukan.
Elina sudah berada di dalam toilet sendirian setelah Darren meninggalkannya.
Elina duduk di atas closet. Diam merenungkan kejadian yang menimpanya.
“Sedikit lagi aku mati, tapi kenapa pria itu muncul?” gumam Elina.
Tiba-tiba wajah sang mama melintas di depan mata.
Apakah Darren datang karena Tuhan belum menakdirkan dia mati?
“Sampai kapan aku harus bertahan, Ma….”
Tangan Elina terkepal kuat di atas pangkuan. Tiba-tiba air mata kembali menetes, kepalanya tertunduk saat rasa sesak menekan kuat di dada.
Dia benar-benar sudah tak kuat menghadapi tekanan yang terus menerus didapatnya.
Tidak ada yang mendukungnya, bahkan meski di rumah mewah sang ayah hanya neneknya yang menerima keberadaannya, tapi neneknya tak bisa berbuat banyak.
**
Di rumah mewah Jhonny.
Pria itu sedang sarapan bersama Samantha dan Magentha—ibu Jhonny.
“Bagaimana kondisi Elina?” tanya Magentha sebelum memulai sarapan.
Jhonny melirik pada Samantha yang diam tak menanggapi pertanyaan sang ibu.
“Hanya luka ringan, tidak terlalu fatal,” jawab Jhonny lalu mengambil alat makan di meja.
“Bagaimana bisa kalian lalai menjaganya?”
Samantha mendengkus. “Bukan kami yang lalai, tapi Elina yang kabur dari pesta tanpa sepengetahuan kami.”
“Itu namanya lalai, kalian bahkan tidak tahu kalau Elina pergi.” Magentha menatap tak senang atas sikap Samantha yang selalu memojokkan Elina.
“Sudah,” hardik Jhonny, “kita mau sarapan, bukan untuk berdebat.”
Samantha memalingkan muka, lalu memilih segera menyantap sarapannya.
Setelah sarapan. Samantha berada di kamar bersama Jhonny yang bersiap-siap pergi ke perusahaan.
“Lihat, berita soal kecelakaan Elina sudah menyebar.” Samantha menunjukkan informasi berita di ponselnya pada Jhonny.
Begitu ponselnya dipegang oleh sang suami, Samantha duduk dengan kasar di tepian ranjang, satu kakinya disilangkan, lalu kedua tangan bersedekap di depan dada.
“Dia ini memang bodoh. Sudah tahu hal-hal mencolok bisa memancing pembencimu mengincarnya, tapi dia malah melakukan tindakan-tindakan di luar kendali. Apa dia sudah bosan hidup?!” gerutu Samantha.
Jhonny masih membaca artikel yang ditayangkan oleh salah satu akun berita di sosial media. Setelah selesai membaca, Jhonny kembali menatap pada Samantha yang memasang wajah kesal.
“Kita masih membutuhkannya sampai Eleanor siap, sesuai dengan keinginanmu. Jadi selama menunggu Eleanor, setidaknya bersikaplah baik pada Elina agar dia mau bertahan.”
Samantha melirik tajam pada Jhonny, ucapan suaminya membuat Samantha muak.
Wanita itu berdiri dari duduknya, lalu dengan tatapan mata penuh kilatan api ia berkata, “Aku menerimanya karena aku masih berbaik hati padanya. Seharusnya dia sadar diri, bukan aku yang harus mengalah merayunya.”
Elina menjauhkan bibirnya setelah cukup lama menyentuhkannya ke bibir Darren. Membuka matanya perlahan, Elina menatap Darren yang masih bergeming dengan tatapan tertuju padanya.Kedua pipi Elina panas merona, dia sadar dengan apa yang sudah dilakukannya, kini menyisakan kecanggungan di antara mereka.“Tadi ….” Darren menjeda kalimatnya, dia melipat bibirnya, tatapannya terus tertuju pada Elina untuk menuntut penjelasan akan arti sentuhan bibir mereka tadi.Elina menggigit bibir bawahnya, sadar jika tindakannya salah, dia langsung membuat alasan. “Anggap hadiah, atau terima kasih.”Kedua sudut alis Darren tertarik ke atas mendengar ucapan Elina.Melihat Darren yang menatap aneh padanya, Elina kembali menjelaskan untuk menutupi kepanikannya. “Jangan dimasukkan ke dalam hati, terkadang orang dewasa, lawan jenis, melakukannya sebagai tanda terima kasih, kan? Jadi, itu terima kasihku karena kamu sudah mau berada di pihakku.”Darren masih diam menatapnya, sampai Elina kembali bicara. “Aku m
Melihat tatapan Elina yang begitu serius padanya, Darren menipiskan senyum sebelum menghela napas kasar.“Saya paham jika Anda tak mudah percaya begitu saja dengan apa yang mungkin akan saya jelaskan,” kata Darren.Saat mendengar Darren mulai bicara, Elina melipat kedua tangan di atas lutut, lalu dia meletakkan kepala di atas kedua tangannya, dengan tatapan tertuju pada Darren.Elina menutup rapat bibirnya, siap mendengarkan semua penjelasan dari Darren untuk memantapkan hatinya agar semakin yakin dan percaya pada semua yang akan Darren lakukan untuknya.Darren diam sejenak melihat tingkah Elina yang begitu santai mendengarkannya bicara, padahal sebelumnya sikap Elina begitu serius. Cara Elina memandangnya saat ini, membuat desiran aneh di dalam dadanya.Darren buru-buru mengontrolnya emosinya. Untuk lebih meyakinkan Elina, akhirnya Darren kembali bicara. “Saya benar-benar ingin membantu Anda, terutama setelah melihat bagaimana Anda tidak diperlakukan baik dan melihat bagaimana ibu An
Elina baru saja tiba di rumah. Dia segera melangkah masuk ke dalam rumah, saat tanpa sengaja berpapasan dengan Samantha yang baru saja keluar dari ruang keluarga.“Sudah pulang.”Suara bernada dingin itu menusuk ke telinga Elina, tapi Elina bersikap biasa saja, bahkan dia masih bisa memampangkan senyum di bibirnya.“Iya,” balas Elina singkat, “aku naik ke atas dulu,” katanya lagi.Saat siap melangkahkan kaki untuk meninggalkan Samantha, Elina kembali berhenti karena Samantha bertanya, “Apa menyenangkan bermain bowlingnya?”Elina menoleh pada Samantha lagi, melihat tatapan penuh selidik dan curiga dari sorot mata Samantha, Elina tetap memasang senyumnya saat dia menjawab, “Sangat menyenangkan.” Melihat Samantha menipiskan senyum, Elina menatap meyakinkan saat dia kembali berkata, “Aku sudah sangat lama sekali tidak bermain bowling. Bisa kembali bermain, rasanya sangat menyenangkan.”Satu sudut alis Samantha tertarik ke atas. Dia mengangguk pelan setelah tatapannya menelisik ke tubuh E
Jhonny terkejut mendengar ucapan Samantha. Dia menoleh pada Samantha yang sudah berdiri di sampingnya. Menatap sang istri yang menatap penuh rasa penasaran, lalu Jhonny membalas, “Mencurigakan bagaimana maksudmu?”Samantha diam sejenak untuk berpikir dengan tatapan tertuju ke samping, dia menatap kembali pada Jhonny lalu setelahnya membalas, “Ya, mungkin lalai di pekerjaan, atau dia meninggalkan ruangan di jam kerja? Intinya mungkin dia melakukan hal-hal yang tak semestinya di kantor?”Kening Jhonny berkerut dalam, kepalanya menggeleng pelan.“Elina selalu patuh, dia mengerjakan pekerjaannya tanpa masalah. Dan, jikalaupun di keluar dari ruangan, sepertinya hanya untuk makan siang atau jika ada urusan di luar seperti rapat atau meeting dengan klien,” ujar Jhonnya menjelaskan.“Kamu yakin?” tanya Samantha memastikan dengan mata menyipit.Jhonny memandang aneh pada sikap Samantha, lantas dia balik bertanya, “Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?”Samant
Elina menatap Darren yang tampak sangat serius ketika bicara. Setiap kalimat yang meluncur dari bibir Darren, seperti sebuah nada-nada yang indah ketika menyelip di telinganya.Tembok tinggi yang dibangunnya agar tak ada siapa pun yang bisa menjebol pertahanannya dalam waspada akhirnya runtuh. Kini Elina benar-benar memercayai setiap kalimat yang diucapkan oleh pria di depannya ini.“Tentu saja,” balas Elina, “asal kamu tak mengkhianatiku, aku tentu tidak akan ragu.”Darren mengangguk paham. Dia lalu menoleh ke jam dinding.“Kita tak bisa terlalu lama di sini, Nona. Nyonya pasti akan curiga jika Anda bermain bowling terlalu lama,” ucap Darren kemudian.Elina hanya mengangguk-angguk, lalu dia bangkit dari posisi duduknya.“Di ruang ganti ada kamar mandi khusus, Anda bisa membersihkan diri dulu di sana jika ingin,” kata Darren.“Jika aku mandi di dini dan pulang dalam kondisi bersih, Samantha pasti akan curiga. Jadi biarkan saja kondisiku seperti ini,” balas Elina cepat.Darren mengangg
Elina dan Darren sudah berada di atas matras untuk mulai berlatih bela diri setelah melakukan pemanasan.Darren mengamati postur tubuh Elina, sebelum melangkah menghampiri lalu membantu Elina membuat kuda-kuda.“Atur napas Anda lebih dulu, buka kedua kaki Anda selebar bahu, lalu posisikan tangan Anda seperti ini,” kata Darren sambil membantu Elina mengatur posisi yang tepat.Darren berdiri di belakang Elina, memastikan Elina di posisi yang tepat untuk menghindari cedera.“Saya tidak akan mengajarkan Anda ilmu bela diri yang berat, hanya beberapa cara untuk mempertahankan diri saat Anda diserang,” kata Darren.Elina mengangguk saat melirik Darren yang ada di belakangnya.Darren melangkah ke depan Elina. Dia berdiri di depan majikannya ini, lalu mulai memasang kuda-kuda untuk melatih Elina.“Coba cengkram pakaian saya, Nona. Yang kuat,” pinta Darren.Elina mengerutkan keningnya, tapi dia tetap melakukan apa yang Darren katakan.Elina mengulurkan tangan, lantas mencengkram tepian baju Da