Bab 3.
Dengan sekuat tenaga berusaha naik ke atas. Lubangnya cukup dalam aku khawatir ada ular atau sejenis binatang yang lain. Sudah beberapa kali terjatuh kembali, tubuh yang lemah dan tak berdaya hanya bisa diam. Celanaku sampai basah karena lubang ini digenangi air.
Tiba-tiba … telingaku mendengar suara bariton seorang pria setengah berlari ke arah lubang ini.
“Apa ada seseorang di dalam sana!” teriaknya bersamaan dengan bunyi ranting-ranting yang dipangkas.
“Iya ada! Tolong aku … siapapun yang ada di atas tolong saya!” Aku membalas teriakannya dengan lantang dan menggema.
Akhirnya aku bisa bernapas lega. Allah masih memberi aku umur yang panjang dan bisa bertemu kembali dengan anak-anakku, tanpa sadar bulir bening menetes di pelupuk mata.
Pria yang terbilang masih muda usianya menarik aku dengan tali tambang yang ia dapatkan entah dari mana. Akhirnya aku bisa juga keluar walaupun bersusah payah ditarik dengan tali.
“Minum dulu …,” ucapnya seraya menyodorkan botol itu setelah membuka tutupnya.
“Terima kasih ya, Dek,” ucapku menerima botol mineral itu sambil duduk lalu meminumnya hingga habis.
“Jangan panggil saya sebutan itu. Mbak,” sahutnya sembari membuka dompet lalu menyodorkan uang pecahan lima puluh ribu pada diriku. “Panggil saja, Riko.”
Aku hanya mengangguk lemah dengan nafas yang masih terengah-engah tidak mengambil terlebih dahulu uang itu. Entah apa maksudnya tidak mau dipanggil sebutan itu padahal dia masih kelihatan muda.
“Ini … hasil aku memetik brondol sawit?” tanyaku memastikan apakah uang ini benar hasil keringatku lalu mengambilnya ragu.
“Betul, Kak … kenapa Kakak bersusah payah bekerja sih ‘kan, ada suami yang bekerja …?” Dia langsung bertanya tentang diriku tanpa rasa sungkan atau mungkin. Dia merasa kasihan musibah yang menimpa aku barusan.
Aku terdiam sejenak …
Aku menghembuskan napas kasar lalu meliriknya tanpa mengeluarkan satu patah kata. Aku tak ingin berlama-lama di sini dengan pria yang tidak aku kenal, pasti anak-anakku sudah lama menunggu dan aku sangat khawatir pada si bungsu.
Perlahan aku bangkit berjalan tertatih-tatih menuju jalan raya dan menemui anakku. Pria itu tampaknya mengikuti diriku dari belakang, tidak lupa karung sawitku juga iya pikul.
Wajah ketiga anakku terpampang jelas, tampak mata anak sulungku berkaca-kaca.
“Ibu! … itu Ibu. Bang!” teriak Mona gembira sambil menunjuk dengan jari telunjuknya.
Aku hanya mengulum senyum lalu berhambur memeluk mereka.
“Ibu kemana kok lama sekali?” tanya, Bagas khawatir padaku, tubuhnya terasa bergetar dan sesenggukan mungkin terlalu lama menangis.
Aku melirik kantong plastik hitam yang tergeletak di atas karung, sekilas aku lirik rupanya, talas.
“Ibu tadi ada sedikit insiden kecelakaan, Nak. Tapi alhamdulillahnya ada orang yang nolongin ibu.” Aku mengambil alih si bungsu lalu menggendongnya di kain jarik yang aku lingkarkan ke bahu.
Bagas melirik pria yang menolongku sedang berjalan ke arah kami. Roda empatnya ia parkirkan tak jauh dari kami berada.
“Adek, namanya siapa …?” tanya pria itu langsung pada anak sulungku sambil memegang dagunya.
“Nama saya, Bagas. Om ….”
“Nama yang bagus. Sekolah kelas berapa sekarang?” pria itu mulai bertanya kepada bagas lagi.
Bagas tidak menjawab hanya tertunduk lesu, aku yang merasa kasihan pada anakku segera merangkulnya.
“Dia, tidak sekolah. Dek, karena tidak ada biaya,” ujarku one the point langsung dengan intinya supaya tidak banyak bertanya.
“Maaf. Om bukan bermaksud, seperti itu … sekali lagi minta maaf.” Dia bersimpuh sambil mengatupkan kedua tangannya sampai segitunya dia meminta maaf.
Mungkin menanyakan perihal tadi sensitif bagi Bagas, attitude pria bernama Riko ini sangatlah bagus, sesuai dengan wajahnya yang tampan.
“Mbak boleh saya berbicara sesuatu pada. Mbak?” tanya Riko dengan serius, baru kenal satu jam yang lalu langsung mengajak aku mengobrol.
Rasanya ingin cepat pulang ke rumah, aku tidak merasa nyaman dengan celanaku yang basah serta memikirkan perut anakku yang sudah keroncongan.
“Begini. Mbak, mohon maaf kalau tersinggung, saya bukannya bermaksud mengompori Mbak, saya tidak mau terjadi, seperti kejadian yang dialami kakak saya.” Dia duduk di tanah tanpa alas, bercerita dengan serius sesekali melirik ke arahku.
Aku hanya terdiam mencerna ucapannya. Sebenarnya, apa yang ingin disampaikan pria itu? Aku masih tetap berdiri di tempat tadi walaupun kaki terasa pegal.
“Mbak. Harus melawan jikalau keluarga dari pihak suami atau suami, Mbak sendiri berbuat jahat, mental harus kuat apa perlu pergi dari kehidupan mereka yang toxic. Sayangi harga diri kita sebagai perempuan. Mbak,” ujarnya bercerita panjang lebar membuat hatiku terusik.
Apa maksudnya menasehati aku, seperti itu atau kasihan mungkin? Aku mengingat perlakuan Mas Seno dan keluarganya terhadapku, ah! Rasanya ingin pergi menjauh akan tetapi, mengingat aku sebatang kara tidak punya sanak saudara, bahkan orang tua. Jadi aku lebih memilih bertahan tersiksa batin dan jiwa.
“Mencintai diri sendiri lebih penting, Mbak dan jangan bergantung pada manusia yang tak mau peduli, makin semena-mena mereka.” Riko berucap berapi-api seraya tangannya meraup tanah lalu melemparkannya ke udara.
“Terima kasih atas nasehatnya, Dek ….” Aku menyahut dengan pelan takutnya kalau berbicara tegas takut tersinggung.
Mungkin beliau trauma atas apa yang menimpa keluarganya. Aku mulai pamit menuntun anakku pulang ke rumah, biarkan saja ia melampiaskan emosinya. Beberapa saat aku melirik ke belakang rupanya Riko telah bangkit menaiki roda empat dan berputar balik arah.
“Bu. Om tadi kenapa marah-marah?” tanya Bagas polos tetap berjalan lurus ke depan tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.
“Kita tidak perlu tahu dengan masalah mereka. Nak, fokus saja pada kehidupan kita sendiri. Nanti kita mampir ke warung dulu ya kita beli beras sekalian beli ciki-ciki.” Aku mengalihkan pembicaraan tidak mau mengingat pemuda tadi berbicara walaupun dia tahu menebak rumah tanggaku sedang tidak baik.
Akhirnya, mereka menurut berjingkrak kesenangan sambil tetap berjalan menuju tempat yang aku maksud.
***
Uang 50 ribu yang aku dapatkan dari memetik berondol sawit Pak RT, sudah habis dibelanjakan bahan sembako dari mulai beras 2kg, telur 5 biji, minyak setengah kilo dan sisanya untuk anak-anak. Keinginan Mona dan Bagas tadi pagi untuk makan bakso aku urungkan karena bagiku makan nasi lebih penting daripada jajan.
“Baru belanja segitu gayanya sudah selangit, tapi pakaian compang camping.” Ratna menatapku dengan mata jelalatan perpaduan yang khas menampilkan bibir monyongnya.
Dia selalu mencari gara-gara denganku, entah apa maksudnya selalu menyindir. Memang benar kata kepala panti asuhan dulu, orang yang ingin dipandang sempurna dan segan harus kaya dulu, itu memang fakta.
“Emang kenapa dengan bajuku kalau compang camping?” tanyaku dengan sorot mata tajam.
“Bajumu itu kotor, sudah berapa tahun nggak diganti? Setidaknya pergi ke warung itu baju yang bersih dong! Jangan pake baju kerja, bau tau, mengganggu pemandangan aja,” gerutu Ratna sembari menutup hidung menggunakan jarinya.
Lagi-lagi aku tak menggubris ucapannya, malu sedih bercampur menjadi satu, mulut tak bisa berkata apa-apa daripada jadi bahan tontonan para ibu-ibu, lebih baik aku melangkah pergi.
“Huhuhu … makanya besok-besok pergi belanja tuh, baju diganti dulu, ya, ‘kan ibu-ibu!” Ratna semakin bersemangat menghinaku, kedua tangannya berayun ke udara meminta para ibu-ibu bersorak.
Aku mengayunkan langkah kakiku dengan cepat sembari menuntun kedua anakku pergi. Tangisku pecah, bulir bening mengalir deras, aku menatap wajah Mona dan Bagas yang terlihat sendu, cepat-cepat mengusap wajah dengan punggung tangan. Sebegitu bencinya mereka kepadaku, bukan hanya ibu mertua yang semena-mena, melainkan orang-orang di sekitar.
Di persimpangan jalan bola mataku tidak sengaja tertuju pada sebuah warung bakso, tumben sekali jam sepuluh siang sudah ramai pelanggan tidak, seperti biasanya, memang jam segini jamnya makan siang mungkin mereka tidak sempat masak di rumah, sungguh enak sekali jadi orang kaya, mau makan apa-apa tidak susah lagi mencari uang.
Lamunanku terbuyar, langkah kakiku tercekat tatkala bola mata menangkap wajah yang familiar, gelak canda tawa terukir manis di bibirnya, tawa yang tak pernah aku rasakan seumur hidup. Hatiku juga terbakar saat ia duduk di samping perempuan yang sangat aku kenal.
Aku mengetuk pintu yang tertutup, terdengar bunyi tangisan seseorang membuat aku memfokuskan indera pendengaranku."Kau dengar ngggak, Rik?" tanyaku seraya tangan ini menempelkan daun telinga."Iya, dengar kayaknya dari dalam deh suaranya." Riko lalu mendorong pintu perlahan ternyata pintu tidak dikunci.Terlihat Winda meringkuk, menenggelamkan kepala diantara kedua kaki, tubuhnya bergetar menangis.Suara berisik dari arah dapur terdengar sangat jelas membuat jantung terasa copot, aku dan Riko bergegas berlari ke dapur tanpa mempedulikan Winda terlebih dahulu.Pecahan piring dan tumpahan air di mana-mana, Seno, Pak Satono, Bu Marni, sedang beradu mulut satu sama lain terlihat baju mereka terkoyak serta rambut awut-awutan.Mereka semua berhenti lalu menatapku. Sudah aku duga pasti karena masalah Chea bukan anak Rahmat sudah pasti itu."Jangan lagi diributkan, nasi sudah jadi bubur, kalian harus menerima kosekuensinya, tak ada gunanya lagi dipermasalahkan, aku datang kemari lagi ada yan
"Ini pasti dianiaya ini," tutur Riko terus membolak balikan tubuh Chea."Dasar! Ibu nggak guna itu si Winda dan bibinya," kelakar Ririn memghentakkan tangan ."Ini harus lapor ke polisi ini agar bibinya di tangkap," usul Riko lalu kembali ke setir mobil."Nggak usah Rik, itu anak juga nggak apa-apa, sini Rin kasih ini dan beri minum," tolakku karena tak mau jadi masalah lagi seraya memberikan cemilan snack dan air putih.Setelah memakan beberapa roti dan meminum air Chea kembali enteng tak menangis, seperti tadi."Itu anak kelaparan, sudah berapa lama anak itu tak makan, lihat! Makan begitu lahap," tunjukku ke arah Chea yang masih di pangku Ririn.Jelas sekali aku melihat anak ini teringat dengan almarhum anakkku, terlintas dibenakku hatiku tersayat-sayat mengingat perlakuan si bangsat Seno, tunggu pembalasanku Seno."Kamu kenapa, menatap anak ini begitu, Din?" tanya Ririn kepadaku saat mobil mulai berjalan lagi."Tidak ada, cuma aku hanya teringat dengan almarhum, Mona," sahutku lema
"Winda! Ini anakmu, kamu saja yang urus, kami tak sanggup!" teriak Ibu bertubuh gempal itu berlari memberikan Chea yang sedang menangis sesenggukan kepada Winda. "Nggak! Ah! Bibi aja yang urus, aku sih ogah ngurus dia lagi kenapa juga bawa ke sini, sudah bawa pulang sana," usir Winda mendorong tubuh Chea dengan kasar. Tubuh anak kecil itu tampak kurus, dekil tak terurus, kasihan sekali anak itu. Plak! Satu tamparan mendarat dengan sempurna di pipi Winda, Ibu yang bertubuh gempal memakai daster bunga menatap bengis, matanya melotot hampir keluar dari tempatnya. "Apa kau tak sadar ini anak hasil hubunganmu sama, suami Nita hah?! Kau lah yang urus bukan aku!" teriak Ibu itu kepada Winda lalu meletakkan Chea ke depan teras rumah lalu berlenggang melangkah. "Bibi! Tak kau lihat kah?! Dengan keadaanku sekarang, aku tak punya banyak uang untuk beri makan itu anak," kelakar Winda dengan lantang tak mempedulikan Chea menangis terduduk, Ririn yang tak tega segera mengambil anak itu.
Status yang dibuat Cantika di media sosial, terpampang di layar ponsel Ririn, seketika itu membuat emosiku, terpancing, hidungku kembang kempis menahan gejolak amarah yang meningkat, bagaimana tidak kutipan status itu, dirinya mengaku bahwa dialah pemilik sawit yang berjumlah 20 hektar itu. "Riko! Belok kiri antar mereka semua kembali ke rumah asal mereka," titahku dengan mata tetap fokus ke depan menahan emosi. Pak Satono dan Mas Seno tiada henti meminta maaf sedangkan Winda, ibu mertuaku, Cantika terdiam membisu. "Barang-barang kami masih di sana, Din," celetuk Mas Seno sembari meringis. "Besok! Biar Riko yang antar ke tempat kalian." Aku tanpa menoleh menatap mereka jijik. "Halah! Hanya buat status macam itu aja marahnya selangit! Kayak nggak boleh aja bikin orang seneng!" Cantika merengut, aku mendelik dari kaca spion di dalam mobil menatap bengis wajahnya. "Kok begitu sih, Din. Mau makan apa kalau kami pulang ke rumah yang lama," tutur Bu Marni tak terima, terlihat waj
"Wih! Enak, banget jadi mereka." Lagi-lagi Cantika merepet yang membuat diriku terbakar api amarah."Loh! Bisa diam nggak?! Sekarang kerja, ambil itu parang, jangan ada yang istirahat sebelum jam sepuluh!" bentakku kepada mereka yang hanya berdiri mematung saja."Aku, di sini saja, ya, Din. Hamil besar nih nggak bisa kerja berat," rengek Winda sembari memegang perutnya yang tampak sudah sangat besar."Nggak ada, kamu bisa nebas sedikit-sedikit pakai parang panjang itu, ibu hamil tua itu harus banyak bergerak agar persalinan nanti lancar," sahutku menolak lalu menunjuk parang yang tergeletak di tanah dilipat di dalam karung, "biaya persalinan itu mahal, Win, siapa yang mau menanggung jikalau tak kerja." Aku memberi penekanan supaya dia sadar diri."Halah! Mas Seno, 'kan ada, Din. Ini darah dagingnya seharusnya dia lah yang membiayai nanti." Winda berkelakar congkak, wajahnya mendongak ke arah Mas Seno yang sedang bersiap memanen sawit."Jangan banyak berkhayal, Win orang susah itu kerj
"Nak, Ibu selalu ada untukmu walaupun kau tak pernah diberi kasih sayang ayahmu, tapi Ibu 'kan ada. Apa Bagas tak ingat dengan perlakuan ayahmu dahulu," aku mencoba agar Bagas mengingat kisah masa lalunya yang begitu pahit."Ingat, Bu, tetap Bagas ingat, tapi kenapa dia datang ke rumah ini, Bu?" tanya Bagas berbalik padaku."Biarkan saja mereka di sini, Nak mereka katanya tak mempunyai tempat tinggal," sahutku merangkul kedua bahunya.Terlihat wajah Bagas terlihat ketus tak menjawab ucapanku lagi, ayahku merangkul Bagas hendak membawanya ke depan."Besok, Bagas pergi ke luar negeri lagi, bersamaku, Din." Ayah menoleh ke arahku sebentar.Biarkan saja Bagas pergi ke sana lagi, toh di rumah ini tidak akan membuatnya betah ada setan dalam rumah ini.***"Rin, Dimas, hari ini kita survey ke kebun sawit ku, ya sambil healing buang kotoran," sindirku sembari menoleh ke arah keluarga Mas Seno."Ciah! Ke kebun sawit healing, mending ke mall, ke tempat wisata, percuma banyak duit liburannya di
"Din, ambil napas, lalu hembuskan, 'kan aku sudah bilang jangan kau bawa mereka ke sini, jadi runyam, bukan? Mereka itu dasarnya memang tak tahu malu," celetuk Ririn duduk di tepi ranjang di sampingku."Aku membawa, mereka ke sini, memberi mereka pelajaran, Rin agar tak semena-mena denganku lagi, jujur Rin, aku dendam pada mereka,"jawabku berapi-api sembari mencengkram kuat alas kasurku."Dendam, tetapi kau bawa ke sini, tidak ada cara lain, membalaskan sakit hatimu, itu?" tanya Ririn.Baru ingin aku menjawab bunyi suara gaduh dari arah dapur terdengar nyaring, aku dan Ririn bergegas bangkit berlari tergopoh-gopoh.Mataku membulat dengan sempurna, melihat makanan di atas meja makan habis berserakan, piring dan gelas pecah berhamburan ke lantai.Terlihat Bik Nur, memungut pecahan beling di lantai ubin, ayahku menghela napas menyaksikan ini semua.Dimas dan Riko yang baru datang cepat membantu Bik Nur, memungut pecahan gelas dan piring itu."Hati-hati, kacanya, Nur," ujar Riko hati-hati
"Ada apa Bik Nur?" tanyaku juga, ikut panik apa yang sedang terjadi. "Itu, Non, keluarga yang baru itu, tadi teriak-teriak mau makan katanya, sudah aku bilang tunggu, Pak Gibran dan Nyonya Dinda dulu, mereka masih tak peduli." Bik Nur berbicara sembari napasnya terengah-engah. Aku yang mendengar mereka tak sabaran, seperti itu membuatku diriku naik pitam, bergegas aku melangkah sedikit berlari kecil. Telingaku mendengar Bik Nur memanggil ayahku serta Bagas. Benar saja yang dikatakan Bik Nur, mereka antusias menyusun makanan di atas meja, mata mereka berbinar melihat lau-pauk yang terpampang di atas meja, ayahku, Bagas, Riko, Ririn serta Dimas tergopoh-gopoh berlari dari belakang. "Eh! Dinda, kami sudah lapar, Din mau makan," celetuk ibu mertuaku tanpa ada rasa malu sedikit pun. "Maaf, di rumah ini makan malam sehabis shalat maghrib, bukan jam tiga sore, seperti ini," sahutku cepat dengan sorot mata tak suka memandang mereka. "Din! Biarkan saja mereka makan jam segini, mun
Aku ingin menguji berapa besar kesabaran mereka tinggal di rumah ini."Cantika! Cantika!" Suaraku menggelegar memanggil adik Mas Seno yang masih berada di dalam kamar.Lama daun pintu tak terbuka, terlihat Rahmat mengesot ke lantai ubin keluar dari kamar yang berbeda."Ada apa, Din? Ada yang bisa dibantu?" tanya Rahmat memperlihatkan wajah belas kasihnya kepadaku.Aku yang menatap dirinya merasa ada belas kasihan dengan keadaannya sekarang, tetapi lintasan pikiranku teringat dengan sikap jahat mulutnya membuat belas kasihku pudar."Aku bukan memanggil dirimu, yang aku panggil Cantika," ujarku seraya melipat kedua tangan."Biar aku saja, Din. Mungkin Cantika beristirahat," kilah Rahmat lagi yang membuat diriku semakin jengah."Cantika! Keluar mggak kamu sekarang!!!" Aku tak mempedulikan rengekan Rahmat, suaraku menggelegar pecah memanggil Cantika berulang kali.Knop pintu tampak diputar terlihat Cantika menyembul dari balik pintu, rambutnya acak-acakan, mata terlihat merem melek."Ada