Share

Misi

"Harusnya kamu malu, Rosa. Tidak bisa membuat Keluarga saya bahagia," ucap Ibu Mas Jalu dengan tangan di lipat didada, memandangiku dengan sinis. Aku hanya menunduk, mencoba meluaskan rasa sabar.

"Kamu denger nggak?" tanya Ibu sambil berteriak.

"Dengar, Bu." Aku menjawab singkat.

"Kalau dengar harusnya kamu sadar diri, obati diri kamu benar-benar, saya tidak akan pernah menyukai kamu sedikitpun. Sebelum kamu mampu memberikan anak saya keturunan."

"Apa tujuan Ibu sebenarnya? Setiap hari melakukan hal ini." Aku memberanikan diri bertanya, rasanya sudah sia-sia aku bersabar, ibu selalu saja menyakiti hatiku sesukanya.

"Aku muak lihat kamu masih berada di rumah ini," bentaknya dengan mengibaskan rambut.

"Ini rumah Rosa, Rosalinda! Masa Ibu lupa?" tanyaku yang mulai tersulut emosi. 

"Dasar mantu kurang ajar, saya akan adukan kamu ke Jalu," ucapnya seraya berdiri menuju pintu keluar. Aku memusut dada, apakah akan terjadi masalah lagi setelah ini.

Kalau terus begini, aku bisa gila tertekan, lebih baik aku pergi ke salon saja. Untuk membuang penat dan rasa lelah akibat tekanan Ibu mertua.

Aku melajukan mobilku ke Salon Cantika, salon langgananku.

Sesampainya aku di parkiran mobil, aku mengernyitkan dahi melihat salah satu mobil yang terparkir di parkiran salon.

Mobil mas Jalu, ngapain dia di salon perempuan? Entah kenapa, rasanya degub jantungku semakin berpacu, kala melihat sosok mas Jalu keluar dari salon. Bersama seorang wanita yang begitu amat aku kenali, bahkan mereka berdua saling rangkul bak pasangan bahagia.

'Ratih, Mas Jalu, apakah selama ini mereka menjalin hubungan diam-diam. Keterlaluan.' batinku semakin terluka, bukan hanya hinaan yang ku tuai, tapi juga pengkhianatan.

Benar kata Ibuku, harusnya aku lebih pandai melihat perangai seseorang. Ternyata aku hanya di bodoh-bodohi oleh keluarga yang bahkan tidak menghargaiku sama sekali. Bahkan kawan baik sekalipun ternyata berperangai buruk, dengan meminta belas kasihan untuk di terima bekerja di perusahaan Papah, nyatanya untuk merebut Suamiku.

'Baiklah, mungkin selama ini aku terlalu membuat kamu hidup nyaman, Mas. Maka saatnya membuat hidup kalian jungkir balik.'

Aku urungkan niat ke salon, mobil kulajukan ke arah lain, setelah Mas Jalu pergi meninggalkan parkiran salon.

Aku melaju ke rumah Papah dan Mamah. Sesampainya aku di rumah mewah berlantai tiga itu, ada sedikit perasaan tak nyaman, juga malu. Namun apapun itu, aku harus bisa hadapi.

Kulangkahkan kaki memasuki rumah Papah dan Mamah. 

"Rosa, tumben datang!" sapa Mamah yang menuruni anak tangga.

Aku tersenyum menatap wanita paru baya itu, langsung kuraih tangannya, dan menciumnya dengan khidmat.

"Duduk, Nak." Mamah mengajakku duduk di ruang tengah. Aku mengangguk mengikuti langkahnya.

"Papah mana? Mah," tanyaku sambil menyisir seluruh ruangan dengan mataku.

"Papah di kamar," sahutnya.

"Sakit?" tanyaku lagi.

"Masih ngorok!" jawab Mamah sambil terkekeh.

"Bangunin dong! Mah. Aku ada perlu sama kalian," ujarku memohon. 

Mamah menatap heran kepadaku, namun ia tidak langsung bertanya. "Tunggu ya!" ujarnya sambil mengulas senyum, ia berdiri menaiki tangga menuju kamar mereka.

Lima belas menit kemudian, Papah turun bersama Mamah.

Dengan wajah yang terlihat masih setengah mengantuk. Mereka pun duduk bersebrangan denganku.

"Ada apa? Ros," tanya Papah.

"Pah, aku mau kembali ke kantor! Biar aku saja yang pegang jabatan CEO disana, Mas Jalu turunin jadi staff cleaning servis saja." 

Papah nampak mengernyitkan dahi menatapku, ia lalu bertukar pandang dengan Mamah. "Ada apa Ros? Mendadak," tanya Mamah dengan heran.

"Aku ingin sedikit bermain, Mah." Aku menjawab sambil tersenyum.

"Ros, Mamah serius."

"Mah, Rosa bisa kok menyelesaikan masalah ini, hanya saja tolong kembalikan posisi Ros di perusahaan Papah." Aku mengiba.

"Tapi kenapa dengan Jalu? Apa dia bermain nakal?" tanya Papah yang mulai curiga.

"Betul sekali, Ros mau memberi pelajaran lelaki tak tahu diri itu," sahutku berapi-api.

"Baiklah, itu urusan gampang Nak. Kamu amankan aset milikmu dulu, masalah perusahaan biar Papah yang atur." 

"Terimakasih, Pah." Aku berucap dengan wajah berbinar-binar.

Setelah selesai, aku pun pamit pulang, banyak hal yang ingin kuperiksa di rumah.

Sesampainya di rumah, aku sudah di sambut ocehan Ibu Mertua yang duduk di ruang tengah.

"Jadi Istri kok kluyuran melulu, bagaimana mau jadi seorang Ibu," celetuknya saat melihatku di ambang pintu depan rumah. Ini yang membuatku semakin tidak sabar untuk menghancurkan kesombongan mereka.

Aku acuhkan saja, seakan aku tidak melihat Ibu mertua datang.

"Dasar mantu tidak beretika!" bentaknya. "Begini rupanya kamu di ajarin orang tua kamu," lanjutnya lagi dengan mencibir.

Aku tetap harus sabar, sebelum semua misiku selesai. Aku tidak boleh terpancing emosi, tahan Rosa, tahan. 

Kusugesti diri ini, agar tidak lepas kendali. Biar Ibu mertua sakit jantung pada saatnya nanti, sekarang biarkan saja dulu ia merasa hebat dengan memakiku.

'Aku tetap harus sabar, sebelum semua misiku selesai. Aku tidak boleh terpancing emosi, tahan Rosa, tahan. 

Kusugesti diri ini, agar tidak lepas kendali. Biar Ibu mertua sakit jantung pada saatnya nanti, sekarang biarkan saja dulu ia merasa hebat dengan memakiku.

Tanpa menyahutnya, aku berlari cepat menaiki tangga, memasuki kamarku. Kukunci langsung. Kurebahkan diri ini sejenak di atas kasur, sambil memikirkan banyak hal untuk melakukan pembalasan yang seumur hidup akan mereka sesali telah mengkhianati dan menyakiti hatiku secara sengaja.

Jangan pikir karena aku bermasalah, lalu mereka se'enaknya berkhianat.

Aku bangkit untuk melihat beberapa aset milikku yang tersimpan di brankas. 

Perhiasan aman, namun surat-surat ada beberapa yang berkurang. Inilah kebodohanku, terlalu percaya dengan Mas Jalu.

Dua surat-surat tanahku yang lenyap, sialan.

Sebelum semua habis, aku pun segera meraih surat-surat itu, dan akan menggantinya dengan surat-surat palsu.

Aku pun menghubungi orang kepercayaan Papah untuk membuatkanku beberapa surat tanah palsu dan surat rumah palsu, untuk menjebak maling sialan yang ada di rumahku.

Aku pun meminta tukang CCTV untuk datang esok hari, sebab hari ini ada Ibu Mertua yang selalu siap menggonggong.

Aku kembali tercengang, melihat satu set kotak perhiasan milikku lenyap. 'Ya Allah, mas Jalu, keterlaluan kamu!'pekikku dalam hati.

Setelah semua beres, membawa semua asetku ke rumah Papah dan Mamah. Namun, beberapa perhiasan limited edition yang hampir tidak pernah kugunakan, hari ini kupasang sesuai tempatnya.

Kulihat diri ini di cermin, aku merasa mulai menua, bahkan baju-bajuku pun terlihat sudah sangat usang. Aku terlalu fokus mengurus mas Jalu, hidup hemat sesuai maunya dia, dan selalu di rumah. 

"Aku akan selalu mencintai kamu apa adanya, kamu nggak dandan aja cantik," ucapnya kala itu, namun kala itu aku terharu, terkesima. Sekarang? Aku muak! Nyatanya melihat Ratih yang sexy dan bening, mudah baginya menjadi sosok pengkhianat.

Sepertinya aku telah memelihara singa ysng yang akhirnya menerkam tuannya. Mungkin itulah kata yang tepat buat seorang Ratih dan Mas Jalu.

Aku kembali bernyanyi-nyanyi menuruni anak tangga, untuk bersiap ke rumah orang tuaku. Kulihat rumah sudah sepi, sepertinya Ibu telah pulang.

Rumahku saja, ia miliki kunci gandanya, sesuka hatinyalah memasuki rumahku ini, seakan dialah tuan rumahnya.

Kulakukan mobil ke rumah Papah dan Mamah, sambil menunggu surat-surat palsu yang aku minta, aku bersantai ria terlebih dahulu di rumah Papah dan Mamah.

"Nah, Ros. Ingat, restu orang tua itu penting. Itu kenapa Mamah melarang kamu bersama Jalu, melihat gelagat Ibunya saja, Mamah sudah yakin, bahwa akhirnya ia hanya akan mengacaukan kehidupan kalian. Apalagi si Jalu, laki-laki klemer-klemer begitu," ucap Mamah dengan wajah datar.

"Iya, Ros yang salah, maafkan, ya mah!" sesalku, sambil memegang tangan rentanya yang sudah mulai di makan usia.

"Tidak apa-apa sayang! Tapi lain kali, kamu nurut apapun yang papah dan mamah katakan."

Aku mengangguk.

"Assalamu'alaikum!" ucap seseorang diambang pintu.

"Walaikumsallam!" sahutku serentak bersama Ibu. "Masuk, wan!" titah Ibu pada lelaki paru baya yang berada diambang pintu.

Ia pun tersenyum sumringah sambil membawa kantong plastik berisi surat-surat yang aku minta.

Setelah menerima surat itu, aku pun mengucapkan terima kasih dan memberikan ia upah.

Aku tersenyum sumringah ketika membuka surat-surat palsu itu, sangat begitu mirip sama aslinya. 

”Buat apa itu? Ros." Mamah bertanya seraya mengernyitkan dahi.

"Mau menjebak tikus nakal, Mah." 

"Mamah bingung, Ros." 

"Udah ah, mamah kepo aja!" ujarku sambil berdiri, lalu aku menyimpan surat-surat asli milikku ke dalam brankas yang ada di dalam kamarku, saat aku masih bujangan dulu. Di rumah Mamah, aku mempunyai brankas sendiri sejak dahulu. Bahkan kamar itu pun akan selalu menjadi milikku tutur Mamah dan Papahku.

Selesai menyimpan, aku berpamitan pulang, sebelum Mas Jalu pulang duluan. Ntar ribet urusannya. 

Setelah bersalaman, aku melajukan mobil pulang ke rumah, rumah masih begitu sepi. 

Aku bergegas masuk, dan menyimpan surat-surat palsu itu dalam brankas.

Semua aman, sekarang aku bersiap menyiapkan makan malam buat pengkhianat.

Aku sebenarnya enggan, namun ia masih sah suamiku, mau tidak mau aku harus tetap melayaninya.

Selesai masak, aku mandi dan bersantai di ruang keluarga, sambil menunggu kepulangan mas Jalu.

Tak lama kemudian, terdengar suara klakson mobil berkali-kali dari luar rumah. Aku mendecak kesal, siapa orang yang main-main klakson sesore ini.

Aku keluar rumah, di ambang pintu, terlihat mobil mas Jalu di depan pintu pagar.

Apa maksudnya ini, apa ia memintaku membukakan pagar untuknya? Entahlah.

Aku pun mendekat ke arah mobilnya.

"Mas, kenapa main klakson mobil?" tanyaku heran.

Mas Jalu mendongakkan wajahnya dari kaca jendela mobil. "Buka Ros, masa gitu saja nggak paham kamu!" ucapnya dengan wajah yang nampak kesal.

Ya Allah, mulai keterlaluan laki-laki ini, aku mencoba sabar. Kubuka pintu pagar, mobil itu pun meluncur masuk ke dalam pekarangan rumah. 

Kututup kembali pintu pagar, Mas Jalu keluar dari mobil dengan wajah datar. "Jangan pemalas dong Ros. Harusnya suami datang itu, kamu bergegaslah membukakan pagar, gitu saja nggak paham." Ia berkata dengan wajah acuh, seakan tak peduli perasaanku. 

Sabar, sabar. Tunggu saja kamu, mas. Pembalasanku tidak semanis madu. 

πŸ’ž Terimakasih πŸ’ž

Jangan lupa subscribe, like dan komentarnya dong! Biar aku-nya makin semangat 😘

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
Ya mantap aku seneng mendukung ros
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status