Share

Pembalasan Untuk Pengkhianat
Pembalasan Untuk Pengkhianat
Penulis: Rias Ardani

Kedatangan Mertua

Part1

”Happy anniversary sayang!” ucapku, ditengah malam kepada suamiku, Mas Jalu. Namun tidak ada sahutan. Aku mengernyitkan dahi, lalu menghidupkan saklar lampu kamar. 

Kamar sepi, padahal aku baru beberapa menit keluar kamar untuk mengambil kue yang kini berada di tanganku.

Mas Jalu sudah tidak ada di tempat, aku pun berusaha mencarinya keseluruh ruangan.

Hingga terdengar sayup-sayup suara orang yang tengah berbincang dari arah dapur. Aku perlahan mendekatkan diri menuju asal suara, dengan pelan, aku berusaha menguping terlebih dahulu.

Namun suara itu lenyap, malah terdengar bunyi grasak-grusuk, hingga desahan halus.

Aku merasa berang langsung menarik gagang pintu dengan keras.

"Happy anniversary sayang!" teriak Mas Jalu, bersama Ratih sahabatku dan kekasihnya yang bernama Gunawan. 

"Kalian," pekikku, seraya memanyunkan bibir. Aku malah sempat berpikir yang tidak-tidak saja tadinya. Ish, iseng banget tau!" cetusku dengan kesal, mereka sempat membuat degub jantungku kian melaju cepat.

"Ciee ..., samawa selalu sayangku!" ucap Ratih seraya memelukku. 

"Terimakasih, sayangku!" balasku sambil mengulas senyum, aku dan Ratih dari kecil sudah bersahabat dekat. 

Bulan depan dia sudah mulai bekerja di perusahaan yang suamiku jalankan. Sebenarnya itu perusahaan milik Papah, hanya saja karena usia Papah yang sudah tidak muda lagi, sehingga Beliau memilih beristirahat dan aku anak satu-satunya, jadinya Papah mempercayakan kepada Mas Jalu untuk memegang perusahaan itu.

Sedangkan Mas Jalu adalah anak sulung dari dua bersaudara, adiknya seorang perempuan dan Ibunya sudah lama menjanda.

Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan kami, jika mau menuju rumah Ibu mertua, memakan waktu kurang lebih lima belas menit.

Hari ini merupakan anniversary yang ke empat tahun pernikahanku.

Namun sayangnya, kami belum dikaruniai seorang anak.

Mungkin Allah belum mempercayakan itu kepada kami.

Syukurnya, Mas Jalu tidak pernah menuntut lebih, dia selalu memaklumi itu.

"Apa hadiah untukku?" tanyaku pada Mas Jalu dengan manja.

Mas Jalu memberikanku sekotak perhiasan yang limited edition, aku tercengang bukan karena harganya. Tapi karena dia begitu romantis, ini hadiah pertama berupa perhiasan, biasanya hadiah yang kuterima setiap tahunnya hanyalah berupa tas dan barang-barang lainnya.

Bukan hanya aku, Ratih pun tak kalah tercengangnya melihat perhiasan berkilau indah itu.

"Semoga kamu suka ya!" ucap Mas Jalu sambil mencium keningku. 

"Terimakasih sayang!" balasku, sambil memeluk erat tubuh suami tersayangku itu.

"Tentu saja aku sangat suka".

"Ehem ..., Kok kita berasa jadi obat nyamuk ya!" protes Gunawan, kekasih Ratih yang sedari tadi hanya senyam-senyum memperhatikan tingkah kami.

"Eh, maaf. Ayo kita ke ruang tamu, potong kue dulu!" ajakku pada mereka.

Kami pun berkumpul di tengah malam, sambil menyantap kue dan minuman jus buah yang menyegarkan lainnya.

"Kapan nih kalian punya momongan? Betah banget berduaan melulu, apa nggak bosan?" tanya Ratih antusias, sembari menyesap minumannya.

"Belum dikasih, tetapi kami berdua selalu berusaha dan berdoa kok, kamu doain ya!" sahutku seramah mungkin, padahal rasanya hatiku sedih, setiap kali ada yang bertanya tentang momongan yang belum juga ada di rahimku.

"Pasti aku doain, kok. Tetapi, kalau masih belum dapat juga, bisa-bisa tuh laki nikah lagi entar!" seru Ratih sambil terkekeh. Apa yang lucu? Entahlah, apa dia pikir masalah seperti itu lelucuan. 

Untung saja dia sahabatku, kalau bukan, sudah kutabok mulutnya itu.

Aku tersenyum tipis menanggapinya, sedangkan mas Jalu bersikap datar, hanya Gunawan nampak menyenggol lengan Ratih untuk mengingatkan sikapnya yang menurutku berlebihan.

"Maa--ff, jangan tersinggung, kalian tahu sendirikan, kalau aku ceplas-ceplos, jangan dimasukin ke hati ya!" serunya gelagapan, sambil menangkupkan kedua tangan didada.

"Iya, nggak apa-apa," jawabku santai. Meski dalam hati terlanjur sakit.

Setelah berbincang-bincang, mereka berdua pun pamit pulang. 

Semenjak kepergian mereka, Mas Jalu terdiam membisu, sama halnya denganku, kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sudah setahun ini, Mas Jalu memintaku untuk beristirahat di rumah saja, untuk mengikuti program hamil. Tapi memang mungkin belum waktunya.

_______________

Pagi ini nampak sejuk, angin berembus kencang membelai hati yang membeku. Pikiranku selalu sibuk dengan bayangan buah hati, yang tidak kunjung datang ke rahim ini. 

Dalam diri yang mulai kepayahan, karena otak terus dipaksa untuk berpikir.

Ditambah bunyi bell rumah yang terus berulang terdengar kencang, disaat aku sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan pagi. Aku dan Mas Jalu tinggal hanya berdua, kami sengaja tidak menyewa jasa asisten rumah tangga. Sebab hanya ada aku dan Mas Jalu, aku masih bisa mengurus sendiri semuanya.

Aku bergegas menuju pintu depan, untuk melihat tamu yang datang sepagi ini.

Saat aku membuka pintu, ternyata wajah mertua dengan masamnya sudah membuat pagi yang sejuk menjadi panas seketika. 

"Ibu, apa kabar?" tanyaku sambil bersalaman dan mencium punggung tangannya. Wanita yang kupanggil Ibu itu mendengkus, sambil berjalan memasuki rumahku dengan angkuhnya.

"Mana Jalu?" tanyanya.

"Masih tidur, Bu!" sahutku sambil mengekornya dari belakang.

"Kamu sama Jalu nggak pernah salat subuh? Sehingga Jalu jam segini masih asik tidur?" tanyanya dengan nada meninggi satu oktaf.

"Aku sih salat, Bu. Mas Jalu, dia nggak pernah mau, alasannya selalu ngantuk!" jawabku jujur.

"Alah, kamu kok jadi istri nggak becus begitu sih Rosa, harusnya kamu bisa bimbing suami kamu ke hal yang lebih baik. Selama Jalu hidup sama Ibu, dia selalu nurut kalau diajak shalat," cetus Ibu dengan berbagai rentetan ceramah paginya.

"Maaf, Bu." 

"Ngurus suami saja tidak becus! Pantes saja kamu tidak hamil hingga saat ini. Gak cocok kamu jadi seorang Ibu, ngurus suami biar mau salat aja gak bisa."

'Allahu akbar! Perkataan Ibu bagaikan sambaran petir di pagi hari, sukses meluluh lantakkan perasaanku hingga hancur berantakan.'

Entah mengapa, Ibu mas Jalu selalu saja bersikap seperti ini. Padahal selama ini, aku selalu berusaha diam dan mengalah kepadanya.

Mengapa Ibu mertua nampak sekali tidak menyukaiku? Apakah ini karena keturunan? Atau apa?

Setiap kedatangan wanita yang bergelar mertua itu kerumah ini. Rasanya, rumahku seperti di neraka, panas.

"Cepat! Bangunin si Jalu, ibu ada perlu," titahnya sambil duduk dengan tangan di lipat di dada. Aku pun mengangguk, lalu segera berlari kecil menuju kamar, untuk membangunkan anak kesayangan Ibu mertua.

Kuguncang pelan bahu mas Jalu. "Mas, bangun, Ibu kamu datang!" bisikku. Mas Jalu pun membuka matanya dengan berat, dia kemudian beranjak turun dari ranjang menuju kamar mandi.

Aku pun segera keluar kamar, berniat kembali mengurus sarapan yang belum selesai kubuat.

Melihatku turun seorang diri, Ibu yang berada di ruang tengah menghadap tangga bertanya kembali. "Mana Jalu nya?" tanyanya tak sabaran.

"Lagi ke kamar mandi," sahutku.

"Lama sekali, buang-buang waktu orang saja," ucapnya dengan wajah sinis, aku pun tak menyahut, langsung saja berjalan menuju dapur.

"Eh, Rosa! Kamu selain mandul, juga budek ya? Orang tua ngomong malah di abaikan!" hardiknya sambil berjalan ke arah dapur menyusulku dengan nada suara yang keras dan menggema.

"Bu, tolong jangan membuat masalah! Rosa diam bukan budek, tapi tidak ingin memicu masalah menjadi besar!" sahutku pelan, awalnya memang Ibu mertua begitu baik kepadaku, namun lama-kelamaan dia semakin menunjukkan sikap seenaknya.

Kasar dan kejam, tidak segan-segan melukai harga diri dan perasaanku.

"Pandai sekarang kamu membantah saya!" teriaknya sambil berkacak pinggang. Lagi-lagi aku yang salah.

"Ada apa sih, Bu? Pagi-pagi sudah teriak-teriak, nggak malu apa?" ucap Mas Jalu sambil berjalan menuruni anak tangga.

"Istri kamu, nih, ajarin sopan santun sama orang tua!" sahutnya sambil berjalan kembali ke ruang tengah.

Mas Jalu hanya terdiam, dia lalu menuju tempat Ibu nya duduk, sedangkan aku kembali berkutat dengan kerjaanku di dapur. 

Sakit rasanya di kata-kata mandul, padahal belum tentu aku yang bermasalah.

Setelah selesai sarapan buatanku, aku berniat memanggil Mas Jalu dan Ibunya, namun langkahku terhenti, ketika mendengar obrolan mereka.

"Bu, masalah keturunan itu tidak bisa kita paksakan!" ucap Mas Jalu.

"Ibu pengen punya cucu, Jalu. Kalau punya cucu, jelas pewaris kamu ada! Kalau begini, kamu nggak punya pewaris sama sekali. Rugi dong! Nikah sama anak orang kaya, tapi nggak dapat apa-apa," kata Ibu Mas Jalu.

"Bu, tolong jangan memperkeruh perasaan Jalu, semua orang juga pengen punya keturunan, tapi tidak semua orang memilikinya."

"Nah, kalau Rosa tidak bisa, kamu bisa menikahi wanita lain." 

"Bu, sudah! Nanti saja kita bahas. Jalu nggak mau didengar Rosa!" ucap Mas Jalu mengakhiri obrolan mereka, aku hanya bisa diam. Lalu berpura-pura tidak tahu apa-apa, aku ingin lihat, sejauh mana Ibu Mas Jalu bertindak.

"Bu, Mas, sarapan yuk!" ajakku dengan wajah sebiasa mungkin, seakan aku tidak tahu apa-apa tentang pembicaraan mereka tadi.

Ibu semakin sinis menatapku, namun aku berusaha santai menanggapinya, terlalu sering dia bersikap seperti ini.

___________

Sebulan berlalu, aku dan Mas Jalu memutuskan untuk memeriksakan kembali ke Dokter, apa yang menjadi penyebab kami berdua sulit mendapatkan keturunan.

Akhirnya, Dokter menjelaskan secara rinci, bahwa rahimku lah yang bermasalah. Itu membuat Mas Jalu langsung terdiam, bahkan sepanjang perjalanan, dia enggan berbicara denganku. Meskipun aku berulang kali mengajaknya mengobrol, namun dia terlihat enggan menanggapiku. 

Rasanya hatiku sakit, melihat perubahannya seketika. Entah kenapa, aku jadi kembali teringat akan obrolan Mas Jalu dengan Ibunya saat itu, apa mungkin Mas Jalu benar-benar akan memilih orang baru dan meninggalkanku.

Sesampainya di rumah, dia langsung masuk ke dalam kamar dan membaringkan diri, membelakangiku. 

Aku hanya bisa terdiam, bingung harus bagaimana menghadapi situasi ini. Selain rasa sakit dari kabar yang aku terima hari ini, tidak sebanding sakitnya di abaikan oleh orang yang aku sayangi.

"Mas, apakah kamu kecewa?" lirihku.

"Jelas!" sahutnya pelan.

Rasanya hatiku remuk mendengar penuturannya seperti itu. Begitu teganya dia berkata sedemikian rupa.

Aku menghela napas pelan, mencoba menyabarkan diri.

Tidak ada satupun wanita yang mau bernasib begini, tapi aku harus bagaimana? Selain berdoa dan berusaha, setidaknya Mas Jalu tidak harus memperlakukanku sedingin ini.

"Yang paling terluka itu aku, bukan cuma kamu, Mas!" lirihku dan Mas Jalu hanya mendengkus dan mengabaikan segala ucapanku.

____________

Sebulan berlalu, sikap mas Jalu semakin tidak tahu menahu dan dingin, dia bahkan membiarkan tiap kali Ibunya datang dan menghinaku terang-terangan. 

Harus sesabar apalagi aku pada mereka, rasanya begitu teramat sakit hanya karena kini mereka tahu, aku lah yang tidak bisa hamil.

"Sekaya apapun kamu, jika perempuan tidak bisa hamil, tidak ada gunanya! Rosa." Ibu Mas Jalu berkata sekasar itu, bahkan hampir tiap hari, setiap dia datang berkunjung ke rumah kami.

💞 Terimakasih 💞

Jangan lupa subscribe, like dan komentarnya dong! Biar aku-nya makin semangat 😘

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
cepet beresin surat2 dan semua aset perusahaan .....mertua ga tau diri .mulut nya kotor bngt.
goodnovel comment avatar
ILYAS SADUDIN
jadi nama suaminya itu Jalu apa Juna sih ? ...
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
suami Brengsek kog gitu sih emang dia dak sadar sama ibunya tu, dia makan karena apa? ya karena prrusaahaan orang tua rosa.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status