"Ros, kita harus main sabar kalau begini, sambil kugali langsung ke target yang kamu curigai, sebab kalau pelaku yang di gali itu pasti di lindungi."
"Coba saja dulu, aku lebih curiga ke Ibu Mertua, gelagatnya saat meninggalkan rumah sudah mulai mencurigakan.""Kamu yakin curiga ke arah sana.""Yakin, firasatku jarang meleset.""Baiklah, aku akan lebih teliti lagi untuk hal ini, melihat dari kejadian ini, kurasa semua sudah pasti di perhitungkan dengan matang.""Aku coba percaya kamu, kuharap semua ini secepatnya terkuak, sebelum kasus ini mereka tutup.""Baik, Ros." Mobil kulajukan menuju di sebuah cafe, kami berdua berniat untuk makan siang dan menikmati segelas kopi nikmat.Sambil makan siang, kami pun sambil berbincang."Ros, apa yang membuat kamu begitu yakin, kalau semua ini ulah mertua kamu.""Nggak ada, itu murni firasat saja."Fahri hanya menanggapi denga'Siapapun di luar tolong kami, aku mohon tolong ...' aku terus berharap seraya mengesot membawa tubuhku yang terikat tali. Terlebih mulut ini yang masih tertutup lakban, membuatku sekedar berteriak pun tidak bisa.Sedangkan suamiku sudah tidak sadarkan diri, dengan tubuh bersimbah darah.Aku terus berusaha menuju pintu depan dengan tertatih. Hingga sampai di muara pintu, sekuat tenaga aku mencoba menyeimbangi tubuh, agar bisa berdiri tegak.Namun kekecewaan kembali menyeruak, kala pintu depan ternyata terkunci. Padahal aku sekuat tenaga untuk berdiri, ya Allah bagaimana nasib suamiku kalau terus begini."Ros .... Rosa ...." Terdengar suara Mamah dari luar, seraya memencet bel rumah berkali-kali. Aku pun merasa mendapat setitik harapan, lalu dengan merebahkan tubuh kembali. Kutendang-tendang pintu depan, memberi kode ke Mamah, bahwa ada yang tidak beres di dalam rumahku.Suara Mamah sudah tidak terdengar lagi, aku pun beringsut menjauh denga
Aku benar-benar tak kuasa mendengar rentetan-rentetan kata-kata yang mas Gunawan ucapkan kepada kami semua. Tungkaiku melemah, rasanya badan ini seakan hilang keseimbangan. Hingga teriakkan Ibu mertua membuatku terkejut.Aku yang sedari tadi berbalik badan menyembunyikan tangis tergugu dari tatapan Mas Gunawan, seketika langsung membeku menatap teriakan histeris Ibu mertua.Tubuh suamiku memucat dan tak bergerak lagi, bahkan mata kecoklatan miliknya yang biasanya menatap nakal kepadaku kini sudah tidak terbuka lagi. Kutatap lamat-lamat wajah yang kini seolah tidur dengan kedamaian itu membuatku semakin merasakan sakit luar biasa.Aku berjalan pelan, seakan tubuh ini hilang pijakan, melihat semua orang menangis menyebut nama suamiku."Mas .... bangun" lirihku pelan di dekat Ibu mertua yang masih terisak. "Katanya kamu pengen punya anak yang banyak denganku, sebentar lagi kita akan jadi orang tua sayang! Aku rela, melahirkan sepuluh anak untuk kam
"Mamah mengerti apa yang kamu rasakan, kita semua juga sakit hati dan bersedih dengan kehilangan. Tetapi kamu juga tidak bisa mengatasi semua hal dengan emosi dan balas dendam, itu perbuatan tidak baik. Balas dendam itu bisa saja merugikan diri kamu sendiri, juga orang lain."Mamah berkata panjang lebar, aku hanya terdiam sambil menyimak segala perkataannya yang menurutku itu benar adanya. Perbuatan Ibu Mertua merupakan pelajaran penting bagiku.Ia berusaha membunuhku, yang berakhir malah merenggut nyawa anakknya. Bahkan kini ia menerima hukumannya, terbaring tidak berdaya, dan tidak mampu melakukan apa-apa itu saja merupakan hukuman yang sangat menyiksanya seumur hidup."Ngerti kamu maksud Mamah? Ros.""Ngerti, Mah," sahutku.Meskipun hatiku masih terasa sakit dan hancur atas kepergian mas Gunawan untuk selamanya, namun aku berusaha kuat dan tegar menghadapi semua ini. Masih ada calon bayiku, yang akan mengobati luk
"Ros .... Rosa ...." Mamah memanggil-manggil namaku.Sedari tadi, aku hanya uring-uringan menonton tivi. Sudah hampir sebulan aku tidak kembali ngantor, rasanya bayangan suamiku selalu melayang-layang. Hal itu membuatku tidak bisa sepenuhnya fokus untuk memimpin perusahaan milik Papah.Di tambah keadaanku, yang tengah berbadan dua.Kuusap pelan perut rataku, bulir bening kembali menyeruak, hingga mengundang sakit dan sesak didada."Harusnya kehadiran kamu menjadi pelengkap kebahagiaan Mamah dan Papah, namun Mamah bisa apa? Allah lebih sayang Papah kamu, Nak." Setiap hari selalu saja kuajak bicara, janin di kandunganku, yang baru berusia dua bulanan ini.Aku menoleh ke arah Mamah yang berteriak memanggil namaku."Aku disini, Mah!" sahutku, tanpa beranjak dari dudukku.Mamah mengulas senyum, ia memilih duduk di sampingku."Rosa, kamu penasaran kan? Tentang motif Ibu mertua kamu, melakukan kejahatannya?"t
"Rosa, sudah berapa bulan kandunganmu? Nak." Ustadzah Maya bertanya kepadaku, wajah nya mengulas senyum, kemudian mengambil posisi duduk di sampingku.Untung saja, jarak dudukku dan Suneng masih berjarak lumayan, hingga Ustadzah Maya bisa duduk tepat di sampingku."Sudah mau enam bulan, Ustadzah!" sahutku."Oh, semoga lancar sampai hariHnya ya sayang!" ucap Beliau."Aamiin, terimakasih, Ustadzah." Aku berkata dengan mengulas senyum kepadanya.Seorang wanita muda, cantik yang kuperkirakan berumur sebelah tahun itu berjalan dengan tersenyum simpul menuju ke arah kami."Assalamualaikum, Ummi, di panggil Abi ke kamar!" ucapnya."Walaikumsalam," ucap kami serentak! Dengan melempar pandangan ke arahnya. "Iya, kamu duluan saja, nak! Nanti Ummi nyusul," lanjut Ustadzah.Anak perempuan itu pun mengangguk, ia kembali masuk ke dalam, untuk menyampaikan pesan kepada Abinya.
Pagi yang syahdu, di temani rintik hujan yang mengalun-alun, membuat mata ini enggan untuk terbuka."Rosa .... Bangun! Ayo sarapan!" teriakkan Mamah selalu menggema setiap pagi. Semenjak hamil, aku selalu tidur setelah menunaikan ibadah salat subuh.Dan, Mamah lah yang akan kerepotan setiap pagi membangunkanku.Aku seperti anak kecil yang merepotkan ucap Mamah setiap kali membangunkanku yang begitu sulit.Namun aku selalu berkilah, bahwa ini bawaan dari cucunya yang sedang aku kandung.Disaat sarapan pagi, aku mengutarakan niatku untuk membuka bisnis baru di bidang kuliner."Kamu yakin? Kamu kan nggak ada basic ke arah sana, nak!" seru Mamah dengan mengernyitkan dahi."Kan itu masih termasuk bisnis, Mah."Mamah menghela napas panjang. "Biarin sajalah, Mah. Yang penting Rosa sungguh-sungguh!" sahut Papah."Pah, kan Rosa lagi mengandung begitu, apa nggak sebaiknya nunggu melahirkan dulu?" tany
Degup jantung kian cepat, kala perawat masuk ke dalam ruang UGD dengan pakaian yang berbeda.Mereka membawaku ke ranjang yang memiliki roda, aku di bawa keluar ruang UGD yang di sambut Mamah di depan ruangan dengan wajah panik berurai air mata.Laki-laki yang masih belum kutahu namanya itu pun masih berdiri di samping Mamah."Ros, kamu yang kuat dan semangat sayang! Jangan panik ya nak, berdoa terus, agar di permudah persalinannya."Aku tersenyum seraya mengangguk! Dan memusut pelan tangan Ibu yang memegang tanganku memberi semangat.Aku di bawa masuk ke dalam ruang operasi. Melewati serangkaian persiapan untuk operasi._______________"Selamat ya Ibu Rosa, bayi nya perempuan! Cantik," ucap Bu Dokter Trisa, yang membantu operasiku melahirkan bayi sebelum waktunya."Dok, mana bayi saya?" tanyaku."Bayinya masih di Ruang NICU, bayi ibu lahir prematur, harus mendapat pengawasan ketat dulu.""Ya
"Bagaimana keadaan bayi saya? Dok." Aku bertanya dengan khawatir, kondisi bayi mungilku itu, yang harus lahir sebelum waktunya.Dokter menghela napas berat, tatapan sendu ia layangkan kepadaku, pikiranku langsung menangkap aroma kekecewaan."Kami beserta team medis lainnya, sudah berusaha sebaik mungkin, namun Allah SWT lebih sayang dengan anak Ibu. Maafkan kami." Ucapan Dokter perempuan itu sukses membuat hatiku luluh lantak, hancur berkeping-keping.Tubuhku bergetar hebat, jantungku berpacu kuat menahan rasa sakit di hati yang luar biasa."Mah ...." Ucapanku tercekat, tenggorokanku mendadak sakit, dadaku sesak bagaikan terhimpit batu besar.Mamah pun tak sanggup berkata-kata, isak tangisnya membuai bagaikan alunan musik yang mengundang air mata.Mataku berkaca menatap Mamah, kupaksakan mulut yang membeku ini untuk berkata. "Maa--aah .... Apa salah Rosa? Mengapa Rosa harus kehilangan lagi? ...."Dengan terbata-b