Sudah beberapa hari Tuti memasukkan air jampi-jampi dari Mbah Gondrong. Perlahan, pelet itu mulai bekerja pada Arman. Saat subuh menjelang, biasanya Arman akan melaksanakan ibadah sholat bersama Arini. Tapi, hari ini saat Arini membangun Arman, malah bentakkan yang Arini dapatkan."Apaan, sih! Ganggu orang lagi tidur aja!" kata Arman dengan mata yang enggan terbuka. Arini belum menyadari keanehan sikap Arman. Arini mengira itu efek kelelahan bekerja, karena memang semalam Arman pulang hampir tengah malam."Sholat subuh dulu, Mas," ucap Arini sambil mengusap pucuk kepala Arman. Arman mengeliat tapi masih dalam kondisi mata tertutup."Ayo, Mas! Nanti kalau mau lanjut tidur lagi gak apa-apa," ajak Arini lagi. Kali ini, dengan terpaksa Arman pun bangkit dan mengambil air wudhu.Selesai sholat, Arman langsung menuju ke dapur. Kebetulan di dapur hanya ada Tuti yang sedang memasak untuk sarapan. Arman menatap Tuti tanpa berkedip."Kenapa akhir-akhir ini Tuti jadi kelihatan lebih cantik dan m
"Lepaskan, Mas!" teriak Arini. Dan tiba-tiba Doni, kakak iparnya menarik tubuhnya dengan kasar. Dalam keadaan hamil dan tidak siap, Arini jatuh ke dalam pelukan Doni."Sebenarnya aku sudah menginginkanmu sejak lama, Arini!" bisik Doni ke telinga Arini. Arini yang merasa risih, mendorong tubuh kakak iparnya itu.Namun, belum sempat Arini masuk ke dalam kamar, pergelangan tangan Arini kembali dicekal oleh Doni. "Kamu tak bisa menghindariku sekarang, Arini! Tak akan ada yang menolongmu kini. Hanya kita berdua yang berada di rumah ini," kata Doni dengan senyum menyeringai.Arini tak tahu harus berbuat apa. Dirinya tak bisa leluasa bergerak untuk melarikan diri. Mengingat perutnya yang sudah membesar, sehingga Arini kesulitan untuk berlari. Tak mau ambil resiko, akhirnya Arini memilih menurutku dulu apa mau kakak iparnya itu.Karena merasa Arini tak melakukan perlawanan, tangan Doni segera menyentuh wajah Arini dan membelainya dengan lembut. Arini yang sadar Doni tengah terlena, menendang
"Kandungan Ibu Arini ... mohon maaf Pak Arman, janinnya tidak selamat!" ucap Dokter Firman hati-hati.Arman terpaku menatap Dokter Firman. Berharap apa yang dokter itu katakan tidaklah benar."Gak mungkin, Dok!" Arman menyangkal pernyataan Dokter Firman."Karena benturan yang kuat saat terjatuh, sehingga terjadi pendarahan yang hebat, Pak. Jadi, janin yang Ibu Arini kandung tidak selamat," terang Dokter Firman. Tak ada jawaban dari Arman. Dirinya masih memandang Dokter Firman dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan."Satu hal lagi Pak Firman, jika Ibu Arini ingin hamil harus, harus minimal enam bulan setelah pemulihan. Dan resiko keguguran di kehamilan Ibu Arini selanjutnya lebih besar dari kehamilan sebelumnya," kata Dokter Firman lagi.Bak sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang Arman rasakan saat ini. Menurut Dokter Firman, kalau Arini hamil lagi akan rentan keguguran karena kejadian ini.Dengan langkah gontai, Arman keluar dari ruangan Dokter Firman dan berjalan menuju tempat Ar
Hari ini Arman libur kerja. Pekerjaannya yang bukan merupakan pegawai negeri, membuat hari libur Arman tak menentu. Saat Arini meminta izin bekerja padanya, sungguh Arman marah pada Arini. Bagaimana mungkin seorang istri Arman yang merupakan manager hotel ternama bekerja? Terlebih lagi Arini hanya lulusan D3. Arini tetap nekad berangkat untuk mencari pekerjaan. Arman pun yang terlanjur marah, membiarkan istrinya itu. Biasanya kalau libur begini, Arman akan menghabiskan waktu berdua bersama Arini. Tapi, itu dulu! Kecewa karena kehilangan anak masih membekas di hati Arman dan Arman menganggap itu kesalahan Arin "Mas Arman tidak kerja?" kata Tuti yang baru saja pulang dari belanj "Lagi libur, Tut!" balas Arman. Tuti pun tersenyum mendengar jawaban Arma "Ibu dan Bela kemana, Tut?" tanya Arman karena dari tadi pagi tidak melihat ibu dan adiknya it "Tadi pagi mereka bilang mau perawatan ke salon, Mas. Mungkin sudah berangkat. Soalnya ini Tuti habis pulang belanja, jadi gak tahu perginy
Foto-foto dan video yang Sarah ambil barusan, dikirimkan kepada Ibu Ida. Harapannya nanti akan ada keributan yang besar antara Ibu Ida, Arini dan juga Arman. Syukur-syukur Arman mentalak Arini, begitu pikiran Sarah. [Di mana kamu sekarang, Sarah?] pesan dari Ibu Ida. Sarah tersenyum miring membaca pesan itu. [Sarah sedang di kantor *****, masih memantau Arini, Tante] balas Sarah santai. [Ikuti dia terus Sarah! Tante akan buat perhitungan dengan Arini!] nada marah terlihat dari pesan yang Ibu Ida kirim. Sebenarnya Rahman dan Arini tidaklah bersalah. Hanya saja, Sarah mampu memanfaatkan keadaan untuk membuatnya menjadi masalah. Di salon tempat Ibu Ida dan Bela perawatan, Ibu Ida tampak mengepalkan tangannya kuat. "Kali ini tak akan ada yang bisa membelamu Arini!" gumam Ibu Ida. "Akan aku pastikan Arman menceraikanmu!" kali ini Ibu Ida benar-benar marah. Bela yang tak tahu apa-apa hanya diam melihat ibunya yang sedang marah. "Ayo Bela kita pulang!" ajak Ibu Ida. "Tapi Bu, Bela
"Kamu?!" kata wanita yang hendak mewawancarai Arini. "Indah!" lirih Arini. Kedua mata mereka saling tatap. Dua sahabat yang sudah lama tak bertemu. Indah adalah sahabat Arini dari kampung. Arini dan Indah berpisah saat Arini meneruskan pendidikannya di kota dan Indah pindah dari kampungnya. Karena sedang berada situasi yang tak memungkinkan untuk berbicara, mereka berdua menahan diri. Selama sesi wawancara di mulai, Arini terlihat tenang dan juga mampu menjawab pertanyaan dengan baik. "Baik. Terima kasih, Arini. Tunggu kabar dari kami selanjutnya," ucap salah seorang penguji yang ada di dalam. "Baik, terima kasih! Saya mohon undur diri," balas Arini dengan membungkukkan badannya. Sebelum Arini keluar, Indah memanggilnya. "Arini ... bisa minta waktunya sebentar? Jangan pulang dulu," kata Indah pada Arini. Arini menganggukkan kepalanya. Arini teringat pada Rahman yang menunggunya. Sudah lebih dari dua jam Arini berada di dalam gedung. Rasa tak enak seketika menyeruak dalam hatinya
"Sudah tiga tahun aku menikah dengan Mas Firman. Tapi, kami belum diberikan momongan." Mata Indah tampak berkaca-kaca. Arini pun mengusap punggung sahabatnya itu pelan. "Keluarga Mas Firman sebenarnya tidak mempermasalahkannya. Tapi, aku sebagai menantu satu-satunya di rumah itu merasa sedih karena tak kunjung memberikan mereka pewaris," ucap Indah lagi. Indah menghela nafas lagi. "Apalagi suamiku dokter kandungan, tapi aku sendiri belum juga hamil!" lirih Indah sambil menunduk. "Firman? Suami Indah dokter? Jangan-jangan dokter yang menanganiku waktu itu —?" ucap Arini dalam hati. "Semua sudah digariskan oleh Allah, Ndah. Percaya dan yakin kalau Allah tak akan menguji kita di luar batas kemampuan kita," kata Arini mencoba menghibur Indah. Nasehat Arini untuk Indah juga berlaku untuk dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Setelah kehilangan anak, sekarang sikap suaminya Arman juga berubah padanya. Dulu saat Ibu Ida, Salma dan Bela tak menyukainya, Arini tak mempermasalahkan itu. Tapi s
"Arini! Mulai hari ini kamu gak boleh keluar rumah tanpa izinku!" dicekalnya kuat tangan Arini dan Arman menariknya kasar."Lepaskan, Mas! Sakit!" Arini mencoba melepaskan cekalan tangan Arman. Tapi, karena kuatnya tenaga Arman, Arini tak mampu. "Man! Kenapa gak mau ceraikan saja si Arini itu?" teriak Ibu Ida dari depan pintu rumah."Iya, Mas! Buat apa masih menahan istri tukang selingkuh?" ucap Bela ikut mendukung keputusan Ibu Ida. Sarah dan Tuti juga ada di rumah itu. Mereka senang melihat pertengahan antara keluarga ini."Masuk kataku!" bentak Arman. Karena kencangnya tarikan Arman, Arini pun terjerembab ke lantai teras dan dahinya terpentok lantai. Rahman yang melihatnya tak tega. Tapi, untuk membantu Arini, itu sama saja akan membuat masalah lain. Akhirnya Rahman memutuskan untuk pergi dari tempat itu.PLAAAKK! Sebuah tamparan dari Arman melayang di pipi sebelah kiri Arini ketika mereka sudah sampai di dalam rumah. Arini yang tak percaya, memegang pipinya yang memerah itu. Ada